Analisis Teoritis HUBUNGAN PEMEGANG IZIN DENGAN PEMEGANG

142 di Desa saya blok 7 masih sangat minim, bahkan tidak tersentuh oleh pembangunan. Sedangkan untuk fungsi dan tugas pemerintah melalui dinas perkebun pernah dilakukan melalui pemberian bibit, egrek, pestisida palawija sementara sosialisasi dan penyuluhan jarang dilakukan, dan jika pun ada agenda nya tidak merata ”. 111 Dari pemaparan diatas dapat kita rangkum bahwasanya implementasi pengelolaan perkebunan sawit terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat masih rendah, hal ini dilihat dari pendapatan masyarakat yang tidak sesuai dengan pendapatan daerah yang besar dari perkebunan sawit, kemudia dalam aspek kesejahteraan sosial , fasilitas kesehatan, pendidikan masih sangat minim, ditambah lagi dampak dari produski perkebunan sawit belum sepenuhnya dapat dinikmati masyarakat secara merata, tingkat kesenjangan kesejahteraan sosial masyarakat tergantung dari yang memiliki lahan perkebunan sawit. Sementara tugas dan fungsi pemerintah daerah melalui dinas kehutanan dan perkebunan juga belum maksimal dalam menanggulangi persoalan-persoalan terhadap implementasi kebijakan tersebut. Hal tersebut terjadi akibat minimnya pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsinya baik dalam hal pemberian ijin lahanHGU, sosialisasi, penyuluhan, dan pengawasan.

3.4 Analisis Teoritis

Kebijakan pengelolaan perkebunan sawit di kabupaten Aceh Singkil merujuk pada Qanun provinsi Aceh nomor 21 tahun 2002 tentang pengelolaan sumber daya alam dan Qanun nomor 19 tahun 2002 tentang tugas dan fungsi dinas perkebunan. Jika dikaitkan dengan tujuan kebijakan tersebut, artinya 111 Wawancara dengan tokoh masyarakat Dulmusrid pada tanggal 6-01-2017 pukul 10.00 Wib Universitas Sumatera Utara 143 kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah mampu memberikan solusi yang konkret atas aspirasi dan kebutuhan masyarakat secara adil dan merata. Hal itu sesuai dengan tujuan yang tercantum dalam pasal 3 Qanun provinsi Aceh nomor 21 tahun 2002 menyatakan pengelolaan sumber daya alam bertujuan menjaga kelestarian sumber daya alam dan keseimbangan lingkungan sehingga dapat mendukung upaya pembangunan yang berkelanjutan guna peningkatan kesejahteraan masyarakat. Artinya disini bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya alam dikabupaten Aceh Singkil harus diorientasikan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat kabupaten Aceh Singkil. Chandler dan Plano, mengatakan Kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas 112 . Akan tetapi jika dilihat kondisi pengelolaan perkebunan sawit di kabupaten Aceh Singkil masih jauh dari tujuan Qanun tersebut, hal itu dapat dilihat dari distribusi pengelolaan perkebunan sawit terhadap kesejahteraan sosial masyarakat masih sangat rendah. Kesejahteraan sosial dalam hal ini dapat dikatakan sebagai pemenuhan hak-hak masyarakat Aceh Singkil baik secara ekonomi, sosial, dan budaya. 112 Hessel Nogi S. Tangkilisan. Op.citt Universitas Sumatera Utara 144 Berbicara tentang kesejahteraan sosial, Friedlander mengatakan kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisasi dari pelayanan-pelayanan sosial dan institusi-institusi yang dirancang untuk membantu individu-individu dan kelompok-kelompok guna mencapai standar hidup dan kesehatan yang memadai dan relasi-relasi personal dan sosial sehingga memungkinkan mereka dapat mengembangkan kemampuan dan kesejahteraan sepenuhnya selaras dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga dan masyarakatnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan sosial dapat diartikan sebagai suatu kondisi di mana orang dapat memenuhi kebutuhannya dan dapat berelasi dengan lingkunganya secara baik. Akan tetapi faktanya penyelenggaraan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dalam kedua Qanun tersebut di Aceh Singkil masih jauh dari ekspektasi masyarakat. Hal itu dilihat dari tingkat pendapatan yang masih rendah, perumahan yang kurang memadai, minimnya fasilitas publik seperti kesehatan hanya ada 1 rumah sakit untuk 114.518, pendidikan, dan juga tingkat kemiskinan yang masih tinggi, mencapai 21,72 atau sekitar 24.840 orang dari 114.518 dengan indiktator garis kemiskinan Rp 351.409. kemudian tingkat pengangguran yang mencapai 7,03 dari 64,07 atau sekitar 3.148 dari 42.573 angkatan kerja ditahun 2015, naik dari tahun sebelumnya yang hanya 6,08 . kondisi ini tidak sesuai dengan tujuan dari Qanun tersebut bahwa Pengelolaan sumber daya alam berasaskan kerakyatan, dimaksudkan agar setiap pengelolaan sumber daya alam harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada Universitas Sumatera Utara 145 semua rakyat sesuai dengan kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh masyarakat. Kemudian di dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Kabupaten Aceh Singkil juga diatur tentang bagaimana ke terkaitan pengelolaan sumber daya alam dengan pelestarian lingkungan, artinya lingkungan merupakan elemen yang harus dijaga dan diperhatikan dibalik eksplorasi untuk kepentingan manusia. Hubungan antara kebijakan dengan lingkungan sebagai objek dari eksplorasi kebijakan itu mempunyai peranan penting dalam hal penditribusiannya di masyarakat, artinya ketika terjadi eksplorasi terhadap sumber daya alam maka elemen masyarakat yang menjadi bagian didalamnya juga harus berpartisipasi dan mendapatkan hasil dari pengelolaan itu. Disamping juga setiap elemen menjaga kelestarian lingkungan tersebut. Paterson mengatakan bahwa politik lingkungan adalah suatu pendekatan yang menggabungkan masalah lingkungan dengan politik ekonomi untuk mewakili suatu pergantian tensi yang dinamik antara lingkungan dan manusia, dan antara kelompok yang bermacam-macam di dalam masyarakat dalam skala dari individu lokal kepada transnasional secara keseluruhan. 113 Dalam hal ini dapat kita lihat bahwa kebijakan pengelolaan perkebunan sawit di kabupaten Aceh Singkil juga merupakan kebijakan yang tidak terlepas dari proses-proses politik, yang didalamnya terdapat beberapa kepentingan politik, apakah itu untuk 113 Herman Hidayat. 2008. Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm.9. Universitas Sumatera Utara 146 segelintir orang atau untuk semua msayarakat. Disini dapat kita tarik benang merah dengan kondisi pengelolaan perkebunan sawit di kabupaten Aceh Singkil dimana pemanfaatan perkebunan sawit yang belum merata dan memiliki kesenjangan sosial dimasyarakat membuktikan bahwa kebijakan tersebut belum sepenuhnya dinikmati oleh sebagian masyarakat khususnya kalangan yang tidak memiliki lahan perkebunan sawit. Hal ini mengindikasikan bahwa implementasi kebijakan pengelolaan perkebunan sawit adalah untuk kepentingan segelintir orang. Sesuai dengan data yang diperoleh dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Walhi Aceh menyoroti kasus-kasus perambahan hutan untuk diubah menjadi perkebunan sawit yang terjadi, menyeruaknya kasus-kasus konflik agraria dan dampak yang tidak signifikan untuk pengentasan kemiskinan dari usaha perkebunan. Walhi mengambil contoh kawasan Kabupaten Aceh Singkil, kabupaten miskin yang terletak di sebelah selatan provinsi Aceh. “Belasan perusahaan perkebunan sawit telah beroperasi di Aceh Singkil, mereka mengelola puluhan ribu hektar lahan untuk ditanami sawit. Dari luas Aceh Singkil 1.857,88 km2, 36,65 persen luasnya telah menjadi lahan sawit. Di Aceh Singkil 51,14 persen 14.752 KK dikategorikan miskin dalam kelompok keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera satu. Kondisi tersebut menjadikan Aceh Singkil salah satu kabupaten termiskin dan tertinggal di Indonesia 114 . 114 http:www.mongabay.co.id20160505moratorium-dan-reviu-perizinan-perkebunan-sawit-di-aceh- seberapa-pentingnya diakses pada tanggal 22 Januari 2017 pada pukul 19.44 Wib Universitas Sumatera Utara 147 Marx dan Engels juga mengatakan “jika pencerahan kepentingan diri merupakan prinsip dari semua moralitas, maka kepentingan pribadi manusia harus diselaraskan dengan kepentingan umat manusia.Jika manusia dibentuk oleh lingkungannya, maka lingkungannya harus dibentuk lebih manusiawi”. Keberadaan perkebunan sawit di Aceh Singkil bukan hanya tidak berpengaruh terhadap peningkatan ekonomi tapi juga mengancam keberadaan hutan rawa gambut, termasuk Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Luas konsesi perkebunan sawit di Aceh Singkil berada di urutan keempat terluas di Aceh dan urutan kedua dari total produksi. Sedangkan perkebunan rakyat, terluas kedua dari luas area dan urutan pertama dari jumlah total produksi. Ini membuktikan meskipun perkebunan kelapa sawit cukup luas di Kabupaten Aceh Singkil, namun perekonomian masyarakat dan daerah tidak berpengaruh positif dari adanya perkebunan 115 . Kemudian peran pemerintah dalam menjalankan fungsinya sangat diperlukan baik dalam memberikan sosialiasi, dan penyuluhan terhadap masyarakat dalam mengelola perkebunan sawit secara khusus. Hal ini bukan tanpa alasan, melihat kondisi kesejahteraan Aceh singkil yang masih rendah ditengah produksi dan keuntungan dari perkebunan sawit yang begitu besar. Kerap sekali terjadi ketimpangan dan ketidakadilan dalam pelaksanaan sebuah kebijakan karena pemerintah abai dalam melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap setiap persoalan-persoalan pengelolaan sumber daya alam khususnya perkebunan sawit, ditambah lagi pemerintah secara langsung lebih berpihak pada perusahaan 115 Ibid, Universitas Sumatera Utara 148 dibandingkan kepada masyarakat. Akibatnya ada kelompok besar dalam masyarakat kabupaten Aceh Singkil menjadi termarginalisasi ditengah eksploitasi besar-besaran dalam pengelolaan sumber daya alam. Sesuai dengan pendapat Vandana Silva mengatakan, akar krisis ekologi terletak pada kelalaian pihak penguasa dalam menyingkirkan hak-hak komunitas lokal untuk berpartisipasi secara aktif dalam kebijakan lingkungan Menurut UUD 1945 pasal 33 ayat 1 bahwa kekayaan alam, tanah, air, udara, dan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Melihat kondisi penguasaan lahan yang sebagian besar didominasi oleh pihak swastaperusahaan, terdapat lahan sebesar 47.801 Ha yang dikuasai oleh 12 Perusahaaan. Dibandingkan masyarakat yang hanya mengelola 30.100 Ha oleh 11.710 petani sawit atau rata-rata 2,57 Hapetani. Dari kesenjangan lahan tersebut berdampak langsung pada pihak mana yang paling menikmati keuntungan dalam pengelolaan perkebunan sawit. Dari fenomena tersebut pemerintah harusnya menjadi stake holder yang paling utama dalam mengatur tentang akses penguasaan lahan perkebunan sawit agar dapat merata, berkeadilan, dan demokratis. Seperti kebijakan menurut Woll bahwa kebijakan publik adalah sejumlah aktifitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. 116 116 Tangkilisan.op. cit, hal.2. Universitas Sumatera Utara 149 Dengan begitu dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa implementasi pengelolan perkebunan sawit di kabupaten Aceh Singkil berdasarakan kebijakan dalam Qanun provinsi Aceh nomor 21 tahun 2002 dan Qanun kabupaten Aceh Singkil nomor 19 tahun 2002 masih belum mampu meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat secara merata, berkeadilan, dan demokratis. Universitas Sumatera Utara 150 BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan Dari hasil uraian data beserta analisis tentang Implementasi kebijakan