72 Hingga tahun 2013, status Cina masih tergolong dalam kategori negara
berkembang. Namun, terlepas dari status tersebut, dilihat dari pencapaian ekonomi serta upayanya yang sangat signifikan dalam memberantas kemiskinan,
dapat dikatakan bahwa Cina berada dalam tingkat yang relatif sejahtera dibandingkan negara berkembang lainnya. Ditambah lagi Cina merupakan salah
satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia dengan pertumbuhan GDP rata-rata 9,4 per tahun.
Jika dikaitkan dengan mekanisme STAR yang menyertakan aspek kemiskinan sebagai faktor yang dapat membuat suatu negara menerima bantuan
lebih, maka operasi GEF dapat dikatakan tidak berjalan sesuai prosedur yang telah ditetapkan. Karena pada prakteknya, kemiskinan tidak dilihat sebagai faktor
utama dalam pengalokasian bantuan GEF. Berdasarkan mekanisme STAR, kawasan Afrika—yang merupakan wilayah termiskin di dunia—seharusnya
menjadi region yang paling banyak dibantu GEF. Akan tetapi, data-data yang telah disajikan di bab 2 justru menunjukkan bahwa kebanyakan dana disalurkan
ke kawasan Asia Pasifik dengan Cina sebagai penerima dana terbesar.
IV.4 Kepentingan Ekonomi Negara-Negara Pendonor
Dalam mekanisme distribusi bantuan GEF memang tidak pernah disebutkan ketentuan bahwa dana yang diberikan harus menghasilkan keuntungan
ekonomi, namun bukan berarti bahwa faktor ini tidak mempengaruhi negara pendonor untuk memberikan bantuannya. Kepentingan ekonomi tersebut dapat
terlihat dari proses pengambilan kebijakan GEF dalam memutuskan
73 pengalokasian dana bantuan, terutama keputusan yang diambil oleh Dewan.
Dalam struktur GEF, Dewan memiliki wewenang untuk mengadopsi kebijakan baru serta menyetujui ataupun menolak program full-sized GEF. Ballesteros et.al
menyatakan bahwa dalam pengambilan keputusan terkait distribusi bantuan GEF, negara pendonor akan menentukan secara spesifik focal area yang akan menjadi
prioritas dan ke negara mana sebagian besar bantuan tersebut dialokasikan. Jika persyaratannya tidak dipenuhi, pendonor dapat mengancam akan mengurangi
jumlah kontribusi bantuannya.
152
Ini berarti setiap keputusan pengalokasian bantuan GEF dapat bersifat subjektif karena diwarnai dengan kepentingan para
pendonor. Ravi Kanbur berpendapat bahwa bantuan luar negeri yang berbentuk
teknologi atau logistik sering kali digunakan sebagai alat promosi ekspor. Ini dikarenakan sumber bantuan negara pendonor sebagian berasal dari kontrak yang
dilakukan dengan kalangan industri.
153
Sama halnya dengan yang terjadi di Cina, sebagian dari dana GEF yang telah diberikan digunakan untuk membeli produk-
produk ramah lingkungan yang berasal dari negara pendonor. Hal itu terlihat dari banyaknya kerja sama antara pemerintah Cina dengan industri yang berasal dari
negara pendonor dalam upaya mereduksi dampak perubahan iklim. Misalnya saja, program GEF dalam pembangunan transportasi ramah lingkungan di Beijing pada
tahun 2004. Bis berbahan bakar hydrogen untuk proyek ini merupakan produk
152
Ballesteros et.al. 2010. “Power, Responsibility, and Accountability: Re-Thinking the Legitimacy of Institutions for Climate Finance”. Washington, DC: World Resources Institute. h. 8.
153
Ravi Kanbur. 2000. Aid, conditionality and debt in Africa. h. 318 di Foreign Aid and Development: Lessons Learnt and Directions for the Future, diedit Finn Tarp. London: Routledge.
74 dari perusahaan Jerman, Daimler AG.
154
Selain itu, perusahaan AS seperti Dupont, General Electric, Chrysler, dan Dow Chemicals juga mendapat
keuntungan langsung dari proyek-proyek GEF, salah satunya dengan memperoleh kuota pengadaan barang senilai US10 juta per tahun.
155
Kanbur menambahkan, keputusan pendonor mengenai jumlah dan jenis bantuan lingkungan banyak dipengaruhi oleh tingkat pengembalian rate of
return yang akan dihasilkan dari investasi mereka.
156
Berdasarkan laporan Renewable Energy Country Attractiveness Indices 2013, Cina berada di peringkat
pertama sebagai negara paling potensial dalam menghasilkan rate of return, disusul oleh Jerman, AS dan India. Urutan peringkat tersebut dilihat dari potensi
energi bersih, ketersediaan pasar, infrastruktur dan regulasi pemerintah.
157
Menurut Matthew Kahn, Cina merupakan partner perdagangan yang tepat bagi AS karena kebutuhan Cina akan energi bersih menyediakan pasar yang
sangat besar dan potensial.
158
Tidak hanya bagi AS, keuntungan ekonomi tersebut juga dialami oleh negara-negara pendonor lain seperti Jepang, Jerman, dan
Perancis. Ini dibuktikan dengan banyaknya produk ramah lingkungan yang diimpor Cina dari keempat negara tersebut sebagaimana yang ditunjukan oleh
kedua diagram di bawah ini.
154
http:www.china.org.cnenglishenvironment96463.htm
155
International Conservation Programs — U.S. Economic and National Security Interests. http:www.conservation.orghowpolicypagessecurity.aspx
. Diakses tanggal 10 Juni 2013.
156
Ravi Kanbur. 2000. Aid, conditionality and debt in Africa. h. 318 di Foreign Aid and Development: Lessons Learnt and Directions for the Future, diedit Finn Tarp. London: Routledge.
157
Ernst and Young. 2013. Renewable Energy Country Attractiveness Indices. Issue No. 36.
158
http:www.nytimes.comroomfordebate20110118can-the-us-compete-with-china-on- green-techhow-we-gain-from-chinas-advances
dikases tanggal 22 November 2013.
75
Gambar IV.2 Data Perdagangan Cina dengan Jepang, Jerman, Perancis, dan AS
Di Bidang Energi Terbarukan
Sumber: DIW 2013
Perdagangan Energi Terbarukan AS – Cina Tahun 2011 dalam juta USD
Sumber: Pew Charitable Trust 2013
Diagram pertama memperlihatkan bahwa baik Jepang, Jerman, maupun Perancis telah menjadi pihak yang diuntungkan dalam transaksi tersebut. Jumlah
50 260
1,120
550 1,450
3,460
Perancis Jerman
Jepang
Perdagangan Teknologi Wind Energy Cina dengan Jepang, Jerman, dan Perancis Tahun 2010
dalam juta USD
Impor Ekspor