Kepentingan Ekologis Motivasi Global Environment Facility Memprioritaskan Alokasi

64 iklim yang sangat tinggi, ditambah dengan infrastruktur yang tidak memadai, situasi politik yang tidak stabil, dan perekonomian yang lemah. Cina tidak berada dalam situasi ekstrim, melainkan masih dalam kategori medium risk. Kapabilitas Cina terlihat dari banyaknya infrastruktur yang dibangun, kemampuan pemerintah nasional untuk mendapatkan bantuan atau investasi asing, keseriusan dalam mengimplementasikan kebijakan lingkungan, situasi politik yang stabil serta perekonomian yang kuat. 137 Dari segi infrastruktur, Cina memiliki industri energi terbarukan dengan kapasitas 200 Gigawatt GW di bidang hydropower, 47GW wind energy dan 3GW solar power. 138 Untuk mendukung industri ini, pemerintah Cina telah mengeluarkan investasi sejumlah US68 miliar di tahun 2012. Angka ini merupakan yang terbesar di dunia setelah AS US44 miliar, Jerman US23 miliar dan Jepang US16 miliar. 139 Apabila didasarkan data-data kerentanan ekosistem tersebut, Cina semestinya tidak diprioritaskan sebagai penerima terbesar dana GEF. Ini dikarenakan Cina masih memiliki kapabilitas nasional yang cukup memadai untuk mengatasi dampak kerusakan lingkungannya. Dibanding Cina, masih banyak negara lain yang berada dalam kategori extreme risk dengan kondisi yang lebih rentan. Ironisnya, negara-negara tersebut justru mendapat bantuan yang jauh lebih sedikit daripada Cina. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kepentingan ekologis bukanlah faktor yang menjadi prioritas dalam penempatan bantuan GEF. 137 ibid. 138 REN 21. 2013. Renewables 2013 Global Status Report. 139 Ernst and Young. 2013. “Renewable Energy Country Attractiveness Indices”. hal. 33. 65

IV.2 Performa Environmental Governance

Alokasi dana GEF juga dipengaruhi oleh sejauh mana tata kelola pemerintahan, khususnya di bidang lingkungan, di Cina dapat berjalan efektif. Dalam konteks ini, GEF memiliki sistem pengukuran tersendiri yang disebut Global Performance Index GPI, indeks ini menginvestigasi sejauh mana implementasi good environmental governance di suatu negara. Ini dilihat dari tingkat efektifitas kebijakan lingkungan, kapasitas pemerintah, serta implementasi hukum dan keadilan. GEF menyatakan indeks tersebut dibuat tidak hanya berdasarkan penelitian yang dilakukan staf GEF sendiri, melainkan juga dipengaruhi oleh survey good governance yang dikeluarkan Bank Dunia. 140 Dalam World Bank Worldwide Governance Indicators, aspek yang diteliti diantaranya prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, kebijakan yang efektif dan efisien, penegakan hukum yang adil serta aparatur negara yang berkualitas. 141 Survey ini memberikan skor 0 sampai 100 bagi setiap prinsip yang diimplementasikan di suatu negara. Kategori penilaian dibagi empat, yaitu skor 100 – 80 untuk golongan ‘Sangat Baik’; 79 – 60 ‘Baik’; 59 – 40 ‘Buruk’; dan 39 – 0 ‘Sangat Buruk’. Berdasarkan laporan World Bank Worldwide Governance Indicators tersebut, secara umum skor yang didapatkan Cina dari tahun 2002 hingga tahun 2012 terbilang cukup buruk. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut. 140 Smita Nakhooda dan Maya Forstater. 2013. “The Effectiveness of Climate Finance: A Review Of The Global Environment Facility”. ODI Working Paper. 141 World Bank. 2013. World Bank Worldwide Governance Indicators http:info.worldbank.orggovernancewgiindex.aspxreports diakses tanggal 10 November 2013. 66 Tabel IV.1 Beberapa Indikator Good Governance Cina Indikator Tahun 2002 2007 2012 Transparansi 6,25 5,29 4,74 Efektifitas pemerintah 55,12 59,71 55,98 Kualitas aparatur negara 33,33 50,97 43,54 Penegakan hukum 39,23 41,15 38,86 Sumber: World Bank Worldwide Governance Indicators 2012 Tabel di atas mengindikasikan bahwa Cina belum dapat melaksanakan prinsip-prinsip good governance dengan baik. Skor terendah ada pada prinsip transparansi yang semakin menurun dari 6,25 di tahun 2002 menjadi 4,72 di tahun 2012. Transparansi data biasanya dilakukan pemerintah Cina dengan mengeluarkan laporan berkala untuk publik. Meskipun demikian, laporan tersebut masih dipertanyakan validitasnya terkait dengan metode yang dipakai dalam segi pengukuran dan pengumpulan data. 142 Bahkan, pemerintah Cina bukanlah mitra yang dapat diandalkan komitmennya. Beberapa data survey tentang good governance dapat dimodifikasi oleh staf pemerintahan Cina sendiri agar hasil kerjanya terlihat baik dan mendapatkan promosi jabatan. Hal ini ditemukan pada penelitian yang dilakukan Steven Andrews yang mendapati beberapa pegawai pemerintahan Cina dengan sengaja mengubah laporan tingkat polusi di kotanya sehingga kota tersebut 142 Richard Edmonds. 2011. “ The Evolution of Environmental Policy in the People’s Republic of China”. Journal of Current Chinese Affairs. h.16. 67 terlihat lebih bersih. 143 Pandangan tersebut juga didukung oleh pernyataan seorang staf Badan Perlindungan Lingkungan Nasional Cina, Lu Xinyuan, yang mengungkapkan tentang data polusi udara: 144 “Memberikan data ke publik merupakan hal yang baru bagi pemerintah dan masyarakat Cina. Kami khawatir masyarakat akan menganggap polusi udara sebagai masalah yang terlalu serius. Ketika kesadaran akan isu ini semakin tinggi, mereka akan lebih mempercayai kerja pemerintah jika mengeluarkan data dengan hasil positif.” Prinsip berikutnya yang dievaluasi untuk menentukan level good governance Cina adalah efektifitas pemerintah. Dalam indikator ini, Cina mendapatkan skor tertinggi di antara indikator lainnya meskipun hanya mencapai 55,98 di tahun 2012. Ini disebabkan pemerintah Cina yang kurang efektif karena seringkali mengeluarkan kebijakan bukan sebagai tindakan pencegahan, melainkan respon atas suatu musibah lingkungan. Misalnya, ketika sungai Yangtze mengalami kekeringan di tahun 1997 dan kemudian banjir di tahun 1998, pemerintah baru menerapkan program perlindungan hutan dan konservasi lahan di wilayah barat Cina. Selanjutnya, pada tahun 2005 terjadi ledakan di pabrik kimia yang menyebabkan 100 ton cairan minyak dan bahan kimia mencemari sungai Songhua. Setelah kejadian itu pemerintah baru menetapkan standar pengamanan pabrik dan lingkungan di provinsi tersebut. 145 Kemudian, dari segi kualitas aparatur negara, skor yang dicapai pun belum memuaskan, yakni 33,33 2002, 50,71 2007 dan 43,54 2012. Salah satu 143 Steven Andrews. 20082009. “Seeing Through the Smog: Understanding the Limits of Chinese Air Pollution Reporting”. Woodrow Wilson Center Working Paper. h. 2. 144 Nytimes. 1998. China lifts filter on pollution. http:www.nytimes.com19980614worldchina-officially-lifts-filter-on-staggering-pollution- data.html?pagewanted=allsrc=pm 145 OECD. 2006. “Environmental Compliance and Enforcement in China: An Assessment Of Current Practices And Ways Forward”. OECD Working Paper. h. 8. 68 contoh kasus yang menggambarkan kinerja aparatur negara di Cina yaitu ketika mereka menginginkan promosi jabatan. Cara yang paling umum dilakukan oleh pegawai pemerintah Cina untuk meningkatkan karirnya adalah dengan memenuhi target yang ditetapkan oleh atasannya. Biasanya, target yang menjadi prioritas adalah jumlah pemasukan daerah yang banyak bersumber dari pajak industri. Ini mengakibatkan pemerintah sering kali membiarkan industri melanggar regulasi kesehatan dan lingkungan untuk memaksimalkan produksinya. Ketika berhadapan dengan standar lingkungan, beberapa pegawai pemerintah mengakalinya dengan menekan industri tersebut agar mematuhi standar lingkungan untuk sementara waktu, ketika inspeksi selesai dilakukan, industri itu akan dibiarkan melakukan aktifitasnya seperti semula. 146 Prinsip terakhir, yang dinilai dalam menentukan level good governance Cina adalah penegakan hukum. Cina mendapat skor 38,82 di tahun 2012, lebih rendah dibanding tahun 2002 dan 2007. Salah satu kebijakan yang diterapkan untuk menegakan hukum adalah dengan menginspeksi pabrik-pabrik yang tidak mematuhi regulasi pemerintah. Sepanjang tahun 2003 hingga 2005 diperkirakan terdapat 48.000 pabrik yang melanggar dituntut ke pengadilan. 147 Meski demikian, hal itu belum dapat dikatakan efektif karena beberapa alasan. Pertama, jika ada sengketa antara pemerintah dengan industri, penyelesaian masalahnya cenderung dilakukan dengan negosiasi dan kompromi. Kedua, meskipun pelanggaran itu dibawa ke pengadilan, para korban yang dirugikan akibat pencemaran sulit memenangkan kasus tersebut karena mereka biasanya 146 Ibid. h. 13. 147 Ibid. h. 14.