Diplomasi multilateral six party talks dalam proses denuklirisasi Korea Utara periode 2003-2009

(1)

DIPLOMASI MULTILATERAL SIX PARTY TALKS

DALAM PROSES DENUKLIRISASI KOREA UTARA

PERIODE 2003-2009

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Muhammad Nabil

109083000052

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v

ABSTRAK

Skripsi ini menganalisis pengaruh diplomasi multilateral Six Party Talks terhadap proses denuklirisasi Korea Utara periode 2003-2009. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui pencapaian serta kontribusi yang dihasilkan oleh Six Party Talks dalam mewujudkan denuklirisasi di Korea Utara periode 2003-2009. Peneliti menemukan bahwa pengembangan nuklir Korea Utara mengundang kritik dari berbagai negara, karena dianggap mengancam keamanan kawasan. Pendirian awal Six Party Talks yang bertujuan untuk menyelesaikan isu nuklir Korea Utara ternyata belum mampu menghentikan nuklir yang dikembangan Korea Utara. Walaupun pada akhirnya tercapai sebuah kesepakatan, akan tetapi kesepakatan tersebut belum mampu diimplementasikan. Pendapat ini kemudian dirumuskan melalui tahapan analisa, yaitu dengan melihat perkembangan nuklir Korea Utara dari tahun ke tahun, mengamati proses pembicaraan Six Party Talks, serta memperhatikan faktor-faktor penghambat Six Party Talks dalam melakukan denuklirisasi di Korea Utara. Kemudian melihat pencapaian-pencapaian yang telah dihasilkan oleh Six Party Talks selama 2003-2009 dan selanjutnya dianalisa menggunakan kerangka teori.

Kerangka pemikiran yang digunakan dalam skripsi ini adalah Realis, kebijakan luar negeri, dan diplomasi multilateral. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Oleh karena itu, teknik pengumpulan data menggunakan data primer dan data sekunder. Dari hasil analisa dengan menggunakan kerangka pemikiran tersebut, dapat disimpulkan bahwa Six Party Talks telah memberikan kontribusi bagi perkembangan isu nuklir Korea Utara, sebagaimana yang tertuang dalam ketiga kesepakatan bersama yang telah dicapai Six Party Talks. Kontribusi tersebut antara lain, Six Party Talks mampu menjadi sarana diplomasi dan negosiasi, mendorong proses pembongkaran program nuklir Korea Utara, memperbaiki hubungan antar anggota Six Party Talks, menjaga perdamaian dan Stabilitas Kawasan Semenanjung Korea dan Asia Timur, serta meningkatkan kerjasama antara anggota Six Party Talks dengan Korea Utara. Kontribusi yang diberikan Six Party Talks belum dapat menyelesaikan isu nuklir Korea Utara secara keseluruhan karena hambatan yang dihadapi Six Party Talks. Alasan terhambatnya usaha Six Party Talks, disebabkan oleh adanya konflik kepentingan antar anggota Six Party Talks, pengaruh Juche Idea dan Songun Policy, serta ketiadaan aturan yang mengikat secara hukum (non-legally binding).

Kata Kunci: Denuklirisasi, Korea Utara, Semenanjung Korea, Six Party Talks, diplomasi multilateral, kebijakan luar negeri.


(6)

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan hanya bagi Allah SWT, Pemilik dan pemelihara seluruh alam raya beserta isinya, atas limpahan nikmat, rahmat, taufik dan hidayah-Nya. Shalawat bermutiarakan salam, semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang selalu menjadi tauladan dan panutan terbanyak di dunia. Akhirnya penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Diplomasi Multilateral Six Party Talks Dalam Proses Denuklirisasi Korea Utara Periode 2003-2009.” Tugas akhir ini dikerjakan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana Program Studi Hubungan Internasional. Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini bukanlah tujuan akhir dari proses pembelajaran selama ini, karena belajar tidak mengenal batas waktu dan tempat.

Terselesaikannya skripsi ini, tentunya tidak lepas dari dorongan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika penulis mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Teguh Santosa, MA, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu serta banyak membantu dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas nasihat dan masukan yang diberikan selama proses skripsi ini berjalan.

2. Bapak Drs. Aiyub Mohsin, MA, MM,. dan Ibu Mutiara Pertiwi, MA., selaku Dosen Penguji yang telah meluangkan waktunya untuk membaca dan mengujikan skripsi ini.

3. Bapak Kiki Rizky, M.Si, selaku Ketua Prodi Hubungan Internasional, serta Bapak Agus Nilmada Azmi, S. Ag M.Si, selaku Sekretaris Prodi Hubungan Internasional.

4. Bapak Arisman, M.Si, selaku dosen sekaligus mentor penulis yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk berkarya di Pusat Kajian Asia Tenggara (CSEAS) dan banyak memberikan pengalaman berharga selama bergabung dalam organisasi ini.

5. Bapak/Ibu Dosen Prodi Hubungan Internasional UIN Syarif Hdayatullah, diantaranya Bapak Nazaruddin Nasution, SH, MA., Bapak Armein Daulay, M.Si., Bapak M. Adian Firnas, M.Si., Ibu Dina Afrianty, Ph.D, Ibu Debbi Affianty, MA., Ibu Rahmi Fitriyanti, M.Si., Ibu Friane Aurora M.Si,. Tidak lupa juga seluruh staf Dosen di Prodi Hubungan Internasional FISIP UIN Syarif Hidayatullah, yang selama masa pendidikan penulis telah banyak


(7)

vii

mengajarkan dan mengarahkan penulis dalam bidang keilmuan Hubungan Internasional.

6. Ibu Dr. Adriana Elisabeth, terima kasih atas waktu dan bantuan yang diberikan selama wawancara yang dilakukan dengan penulis.

7. Tidak lupa skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orang tua penulis. Untuk Papa dan Mama, H. Ahmad Jauhar Tanwiri dan Hj. Eti Cahyati yang dengan sabar dan tiada hentinya memberikan motivasi serta doa demi terselesaikannya skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat mengeringkan keringat, menghapus air mata, dan membayar semua pengorbanan yang telah Papa Mama berikan selama ini.

8. Tidak lupa pula untuk saudara-saudara penulis: Teh Syaima, Aa Romzi, Irsyad, dan Faiha yang telah mendampingi penulis dengan penuh kasih sayang dan selalu memberikan dukungan untuk tetap bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Tetaplah menjadi anak kebanggaan orang tua. 9. Sahabat terbaik dan seperjuangan penulis dalam menyelesaikan tulisan ini,

yaitu Arif Rahman, Corryatul Fillacano, Fajar Shidiq, Edwin Saputra, Dafi Hifdzillah, Andri Zainal, dan Amrullah Rafioeddin, yang telah bersama-sama berjuang dalam suka dan duka, saling berbagi pengalaman, pencerahan, motivasi, dan banyak memberi masukan kepada penulis.

10.Teman-teman sepermainan, khususnya anggota grup Pakzi: Baihaqi, Rizki, Mel, Elva, Novi, Ayu, Algi, Riza, Dwi. Terima kasih atas berbagai trip kita selama ini. Semoga perjalanan kita akan berlanjut di masa yang akan datang. 11.Teman-teman Hubungan Internasional, khususnya kelas B angkatan 2009,

selaku rekan sekelas penulis yang banyak memberi saran dan inspirasi dalam penulisan penelitian ini.

12.Teman-teman senior penulis yang selalu memberikan senyum dan memberikan masukan terhadap diri penulis: Kang Wadiin, Mas Zainudin, Bang Salman, Kiki, Abib, Fitria, Yeni, Dida, Akmal. Para junior kece yang telah berkontribusi dalam penyelesaian skripsi ini: Gus Ibad, Bung Arya, Bisti, Afina, dan Zahra.

13.Teman-teman keluarga besar HMI komisariat FISIP cabang Ciputat yang telah membentuk karakter kepemimpinan penulis dan memberikan pengalaman organisasi tiada henti. Serta tidak lupa teman-teman Ma‟had Sabilussalam angkatan 2009, selaku rekan asrama penulis yang banyak memberi inspirasi mengenai kesederhanaan dalam hidup dan berbagi ilmu-ilmu agama.


(8)

viii

14.Kepada seluruh kolega dari berbagai acara dan organisasi yang pernah penulis geluti selama kuliah, Delegates of UIN Jakarta for HNMUN dengan pengalaman Amerika nya, Center for Southeast Asian Studies dengan research dan ASEAN trip, Global Citizen Corps dengan proyek-proyek sosialnya, International Studies Club dengan Model United Nations, Volunteer Nation dengan pengalaman volunteerism nya.

15.Wanita-wanita hebat yang selalu menemani penulis dalam berbagai pengalaman dan semangat dalam menjalani proses perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.

16.Terima kasih juga kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah berjasa dan terlibat dalam penelitian ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan ketulusan semua pihak yang telah membantu menyelesaiakan skripsi ini dengan melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Semoga karya penelitian tugas akhir ini dapat memberikan manfaat dan kebaikan bagi banyak pihak demi kemaslahatan bersama serta bernilai ibadah dihadapan Allah SWT. Amin.

Jakarta, Januari 2014 Salam,


(9)

ix DAFTAR ISI LEMBARAN JUDUL LEMBAR PERNYATAAN LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK..………...………...v

KATA PENGANTAR….……….….………...vi

DAFTAR ISI…..………...………...ix

DAFTAR TABEL….…………..………..xi

DAFTAR LAMPIRAN….………...………...xii

BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah...………..1

B. Pertanyaan penelitian………...9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………....9

D. Kerangka Pemikiran………...10

1. Perspektif Realisme………10

2. Teori Kebijakan Luar Negeri……….12

3. Konsep Diplomasi Multilateral...………...13

E. Metode Penelitian………...15

F. Sistematika Penulisan……….16

BAB II PERKEMBANGAN PROGRAM NUKLIR KOREA UTARA A. Sejarah Perkembangan Program Nuklir Korea Utara………19

1. Asal Mula Pembangunan Program Nuklir Korea Utara Tahun 1959-1970)……….………....20

2. Perkembangan Program Nuklir Korea Utara (Tahun 1970-1994)………..……….22

3. Peluncuran Uji Coba Nuklir Korea Utara………..26

B. Krisis Nuklir di Korea Utara dan Upaya Penyelesaiannya……….28

BAB III TUJUAN DAN PERKEMBANGAN SIX PARTY TALKS DALAM MEWUJUDKAN DENUKLIRISASI DI KOREA UTARA A. Sejarah Pembentukan Six Party Talks……….37

B. Tujuan Pendirian dan Perkembangan Six Party Talks……….43

BAB IV IMPLEMENTASI TUJUAN-TUJUAN SIX PARTY TALKS DALAM


(10)

x

A. Pencapaian Six Party Talks dalam Mewujudkan Denuklirisasi di

Korea Utara..………..55

1. Pencapaian dalam Six Party Talks………..55 2. Implementasi hasil pencapaian Six Party Talks………58

a. Six Party Talks sebagai Sarana Diplomasi dan

Negosiasi………59

b. Pembongkaran Program Nuklir Korea Utara……….60 c. Normalisasi Hubungan antar Anggota Six Party Talks...62 d. Meningkatkan Kerjasama Negara Anggota Six Party Talks

dengan Korea Utara………66

e. Menjaga Perdamaian dan Stabilitas Kawasan Semenanjung

Korea ………...………..69

B. Faktor Penghambat Six Party Talks dalam Mewujudkan Denuklirisasi di Korea Utara……….73 1. Konflik Kepentingan (Conflict of Interests)………..73 2. Juche Idea dan Songun Policy………….77 3.Ketiadaan Aturan yang Mengingkat Secara Hukum (Non- Legally

Binding)……….80

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………84

DAFTAR PUSTAKA ………...xiii


(11)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel III.B.1 Perkembangan Pertemuan Six Party Talks…………... 50


(12)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Kerangka Persetujuan (Agreed Framework) 1994…..…... xx Lampiran II Pernyataan Bersama (Joint Statement) 19 September 2005.….xxiii Lampiran III Perjanjian 13 Februari 2007 (Beijing Agreement)…………... xxvi Lampiran IV Perjanjian 3 oktober 2007……….………. . xxix Lampiran V Transkrip Wawancara………...……….. xxxii


(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Energi nuklir pertama kali dibuat percobaan pada 1896 oleh fisikawan Perancis yang digunakan sebagai sumber energi. Semakin meningkatnya permintaan energi setiap negara, maka mendorong negara-negara besar seperti Jerman, Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris, Perancis, dan Cina untuk mengembangkan sumber energi baru yang dapat menghasilkan energi dalam jumlah besar. Dengan energi nuklir, manusia dapat mengekstrak lebih banyak panas dan listrik dari jumlah yang diberikan dibandingkan sumber lainnnya dengan jumlah yang setara (Herbst 2007, h.128).

Dengan kelebihan yang dimiliki energi nuklir, maka membuat negara-negara besar diatas berlomba-lomba memperbaharui energinya dengan mengembangkan energi nuklir untuk keperluan bahan bakar dan pembangkit tenaga nuklir. Akan tetapi, pada Desember 1938 seiring kemajuan teknologi, dua fisikawan Jerman, Otto Hahn dan Fritz Strassman mencoba melakukan percobaan revolusioner dengan melakukan pemisahan atom uranium yang dapat menghasilkan daya ledak. Kemudian Jerman tertarik untuk mengembangkan teknologi senjata daya ledak yang belum dimiliki negara lain ini (Athanasopulos 2000, h.7). Akhirnya teknologi tersebut


(14)

2

mampu dikembangkan menjadi sebuah senjata yang kita kenal saat ini sebagai senjata nuklir.

Ketika mengetahui Jerman sedang mengembangkan teknologi nuklirnya, maka Amerika Serikat bersama Inggris dan Kanada pada tahun 1942 membangun sebuah proyek bersama pembuatan bom atom untuk melawan proyek bom atom Nazi Jerman yang dikenal sebagai Manhattan Project (Molander dan Nichols 1985, h.33). Setelah Manhattan Project dianggap berhasil, Uni Soviet, Perancis, dan Cina mengikuti langkah yang dilakukan Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada tersebut untuk melindungi negaranya dari berbagai ancaman serangan yang datang dari luar (Ardisasmita dan Bunjamin 2010, h.56)

Kepemilikan program nuklir yang dilakukan negara-negara di atas ternyata mendorong negara lain seperti Korea Utara untuk mengembangkan juga program modern tersebut. Pembangunan program nuklir Korea Utara diawali selama kurun waktu enam tahun dari 1959-1965. Pada periode ini, bantuan Uni Soviet sangat membantu dalam pembentukan fasilitas nuklir Yongbyon, karena Uni Soviet membantu secara langsung dalam pembentukan dan pengawasan terhadap fasilitas nuklir tersebut (Niksch 2003, h.6).

Kemajuan perkembangan teknologi nuklir yang dimiliki Korea Utara mulai tampak setelah Korea Utara berhasil melakukan penyulingan, konversi, dan memproduksi reaktor nuklirnya secara mandiri pada tahun 1970 (Pinkston 2008,


(15)

3

h.47). Hal tersebut membuat Korea Utara percaya diri melakukan tes peluncuran nuklirnya tahun 1998. Uji coba peluncuran nuklir Korea Utara mengundang berbagai kritik negara lain, khususnya negara di kawasan Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan, dan Cina karena dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas kawasan Asia Timur yang dapat berujung pada peperangan.

Untuk mencegah situasi yang semakin tidak kondusif di Asia Timur, maka dibuatlah sebuah usaha diplomatik. Dalam upaya tersebut, AS sangat berperan dalam mendesak denuklirisasi di Korea Utara, yaitu sebuah proses terwujudnya penghapusan kepemilikan senjata nuklir Korea Utara (Kimball 2012). Usaha diplomatik yang dilakukan adalah memprakarsai perundingan multilateral yang dikenal dengan Six Party Talks pada tahun 2003.

Six Party Talks yang dibentuk Agustus 2003 merupakan serangkaian upaya multilateral untuk menggandeng Korea Utara kembali bergabung ke dalam meja perundingan yang melibatkan AS, Rusia, Jepang, Cina, Korea Selatan (Ceuster & Melissen 2008, h.11). Six Party Talks ini bertujuan untuk mengakhiri program nuklir Korea Utara melalui proses negosiasi. Pembicaraan dibangun sebagai respon terhadap pengunduran diri Korea Utara dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir pada Januari 2003 (Gershman 2005).

Six Party Talks putaran pertama dimulai pada 27 Agustus 2003 di Beijing yang membahas normalisasi hubungan Korea Utara dengan AS. Dalam pembicaraan


(16)

4

putaran pertama ini, Wakil Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi menguraikan enam poin konsensus yang telah disepakati pada akhir pertemuan. Salah satu poin tersebut mewajibkan semua anggota berkomitmen mengatasi isu nuklir secara damai melalui dialog serta menghindari tindakan yang dapat memperburuk situasi (Liang 2012).

Pada putaran selanjutnya, sikap Korea Utara mulai melunak dan bersedia berkompromi. Hal ini ditunjukkan dengan penawaran Korea Utara untuk memusnahkan program senjata nuklirnya, tetapi tetap dengan melanjutkan aktivitas program teknologi nuklirnya untuk tujuan damai. Sebagai imbalan, Korea Utara meminta uang ganti rugi untuk proses pembuangan senjata nuklirnya tersebut. Tawaran tersebut dilanjutkan dalam putaran keempat sesi dua pada September 2005, ketika para anggota Six Party Talks merumuskan pernyataan bersama (joint statement) dalam menyetujui langkah terhadap denuklirisasi di Semenanjung Korea (Ceuster & Melissen 2008, h.11).

Salah satu isi dari Joint Statement tersebut yaitu memaparkan prinsip-prinsip dan tujuan untuk menyelesaikan masalah nuklir Korea Utara secara damai, dimana masing-masing pihak berjanji akan menghormati kedaulatan masing-masing dan menghindari aksi provokasi yang dapat merusak pembicaraan. Kemudian semua pihak menyetujui untuk memperbaiki hubungan antar semua anggota Six Party Talks, pembongkaran program nuklir Korea Utara, serta kesepakatan pemberian bantuan internasional untuk Korea Utara di bidang energi dan ekonomi (Park dan Kim 2012, h.82).


(17)

5

Pencapaian Joint Statement telah membuka harapan baru dalam penyelesaian masalah nuklir Korea Utara. Akan tetapi, dalam pelaksanaanya ternyata tidak mudah, dimana perundingan sempat memburuk ketika AS menjatuhkan sanksi dengan membekukan rekening milik Korea Utara di Banco Delta Asia (BDA) Macau untuk menghindari pemalsuan dolar oleh Korea Utara (Park dan Kim 2012, h.81). Akibatnya Korea Utara memboikot penyelenggaraan Six Party Talks dan meluncurkan kembali serangkaian tes rudal balistiknya pada 5 Juli 2006 (Ceuster & Melissen 2008, h.46). Uji coba rudal Korea Utara tersebut menyebabkan turunnya resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengecam peluncuran rudal Korea Utara.

Pada Februari 2007 Korea Utara berhasil digandeng kembali oleh Cina untuk dapat kembali ke meja perundingan setelah AS menyetujui untuk menghapus Korea Utara dari daftar negara penyokong terorisme dan mencairkan dana Korea Utara di Banco Delta Asia Macau (Ceuster & Melissen 2008, h.47).

Pada Februari 2007 anggota Six Party Talks sepakat merumuskan Beijing Agreement sebagai implementasi dari Joint Statement sebelumnya. Salah satu poin dari Beijing Agreement tersebut yaitu normalisasi hubungan antara Korea Utara dengan AS dan Jepang, komitmen Korea Utara untuk meninggalkan dan menonaktifkan fasilitas nuklirnya, kembali bergabung ke dalam Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT), dan mengizinkan pemeriksaan oleh badan atom dunia (IAEA) (Ceuster & Melissen 2008, h.15)..


(18)

6

Pada Juni 2007, secara resmi Badan Atom Dunia (IAEA) mengonfirmasikan bahwa reaktor nuklir Yongbyon telah di nonaktifkan dan ditutup. Korea Utara juga berkomitmen untuk tidak mentransfer bahan nuklirnya.

Pada 13 November 2008 Korea Utara menolak proposal yang diajukan AS untuk mengizinkan pemeriksaan seluruh situs nuklir Korea Utara. Selama ini, pemeriksaan hanya dibatasi untuk fasilitas nuklir Yongbyon saja (Ceuster & Melissen 2008, h.32).

AS terus mendesak Korea Utara untuk mengizinkan pemeriksaan di luar fasilitas nuklir Yongbyon. Namun, Korea Utara tetap teguh pada penolakannya. Karena tidak adanya mutual understanding antar kedua pihak, maka pertemuan Six Party Talks dihentikan sementara waktu. Hal ini berujung pada krisis nuklir berikutnya ketika Korea Utara melakukan kembali tes uji coba rudal balistiknya pada 5 April 2009. Korea Utara sendiri mengundurkan diri dari Six Party Talks pada 14 April 2009. Setelah pengunduran dirinya, Korea Utara kembali melakukan tes uji coba nuklir bawah tanahnya pada 25 Mei 2009 (Kimball 2012).

Setelah pengunduran dirinya dari keanggotaan Six Party Talks, Korea Utara gencar melakukan tes peluncuran beberapa rudal balistiknya. Peluncuran beberapa roket di Semenanjung Korea itu kian mengkhawatirkan negara-negara di sekitarnya seperti Korea Selatan, Cina, dan Jepang. Hingga saat ini Amerika Serikat bersama empat negara anggota Six Party Talks lainnya terus berupaya untuk dapat membawa


(19)

7

kembali Korea Utara ke dalam meja perundingan yang sempat terhenti pada tahun 2006.

Pembahasan mengenai keamanan di Semenanjung Korea sudah pernah dibahas sebelumnya oleh Timothy S. Reed dalam jurnalnya The Korean Security Dilemma: Shifting Strategies Offer a Way pada 2002. Timothy membahas mengenai pandangannya terhadap permasalahan dilema keamanan (security dilemma) di Semenanjung Korea sejak bergulirnya perang tahun 1950-1953.

Amerika Serikat (AS) yang memiliki kepentingan menjaga proliferasi nuklir dunia, ternyata juga memiliki pengaruh besar menjaga keamanan di Semenanjung Korea. AS merasa bahwa Korea Utara merupakan ancaman serius bagi masa depan keamanan di kawasan Semenanjung Korea. Dalam menghadapi ancaman Korut tersebut, jika dilihat dari sudut pandang Realis, AS akan tetap mengedepankan opsi militer apabila Korut menyerang Korea Selatan yang merupakan sekutu AS dan sangat menggantungkan keamanannya kepada AS.

Telah terdapat penelitian yang membahas mengenai Krisis Nuklir Korea Utara. Aditia Harisasongko dalam skripsinya yang berjudul “Diplomasi Amerika Serikat terhadap Korea Utara dalam Upaya Menyelesaikan Krisis Nuklir di Semenanjung Korea (1994-2007)” menjelaskan secara umum mengenai diplomasi Amerika dalam menangani krisis nukllir Korea selama pemerintahan Clinton dan Bush.


(20)

8

Dalam skripsinya tersebut dijelaskan bahwa terdapat dua perbedaan mendasar mengenai kebijakan dalam menangani krisis tersebut. Clinton cenderung menggunakan hubungan bilateral dengan pendekatan halus. Sementara itu, Bush cenderung menggunakan forum multilateral yang digabungkan dengan pendekatan keras seperti sanksi ekonomi, pembekuan aset Korea Utara, hingga ancaman militer. Namun, walaupun terdapat perbedaan gaya, keduanya tetap memberikan kompensasi ketika Korea Utara bersedia menutup fasilitas nuklirnya.

Sedangkan Fina dalam skripsinya uang berjudul “Upaya Menuju Denuklirisasi Korea Utara Oleh Negara Anggota Six Party tahun 2006-2009” menjelaskan secara umum mengenai peranan Six Party Talks periode 2006-2009. Dalam penelitiannya, ia menggunakan pendekatan teori resolusi konflik, dimana mediasi menjadi salah satu cara efektif dalam menyelesaikan konflik secara damai.

Fina juga menganalisa bahwa nuklir yang dikembangkan Korea Utara akan membuat Korea Utara lebih kuat dari Korea Selatan dan memberikan jaminan keamanan bagi Korea Utara yang selama ini tidak ditawarkan oleh negara manapun dalam komunitas internasional. Selain itu, pengembangan nuklir tersebut untuk menangkal serangan AS dan memperkecil ketergantungan Korea Utara terhadap Cina dan Uni Soviet.

Berdasarkan penelitian sebelumnya, pembahasan umumnya dilakukan mengenai konflik di Semenanjung Korea. Namun belum ada penelitian yang secara


(21)

9

khusus menjelaskan mengenai pencapaian dalam Six Party Talks periode 2003-2009 dan hambatan-hambatan yang dihadapai selama pembicaraan berlangsung. Untuk itu penelitian ini akan difokuskan mengenai apa saja pencapaian yang telah didapat dalam diplomasi multilateral Six Party Talks terhadap denuklirisasi Korea Utara periode 2003-2009 dengan menggunakan pendekatan Realisme, teori kebijakan luar negeri, dan konsep diplomasi multilateral. Pemilihan periode 2003-2009 dikarenakan Korea Utara mulai menjadi anggota Six Party Talks pada 2003 dan menyatakan pengunduran dirinya dari keanggotaan Six Party Talks tahun 2009.

B. Pertanyaan Penelitian

1. Apa pencapaian Six Party Talks dalam mewujudkan denuklirisasi di Korea Utara periode 2003-2009?

2. Apa faktor-faktor yang menghambat Six Party Talks dalam mewujudkan denuklirisasi di Korea Utara?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Dengan mengetahui pencapaian Six Party Talks, maka dapat memberikan gambaran mengenai kontribusi yang telah dihasilkan Six Party Talks dalam mewujudkan denuklirisasi di Korea Utara periode 2003-2009.

2. Menganalisa faktor-faktor penghambat Six Party Talks dalam denuklirisasi di Korea Utara.

3. Mengetahui peranan diplomasi Six Party Talks dalam mewujudkan denuklirisasi di Korea Utara periode 2003-2009.


(22)

10

4. Sebagai penambah wawasan bagi mahasiswa Hubungan Internasional, khususnya mengenai peranan sebuah diplomasi multilateral.

D. Kerangka Pemikiran

Dalam menjawab pertanyaan penelitian di atas, maka penelitian ini menggunakan perspektif Realisme, teori kebijakan luar negeri, dan konsep diplomasi multilateral.

1. Perspektif Realisme

Dalam perspektif Realisme, negara memiliki karakteristik yang sama dengan manusia. Dalam level internasional, negara direpresentasikan oleh States Men. Oleh karenanya, negara merupakan aktor utama dalam Hubungan Internasional. Politik domestik merefleksikan politik internasional. Asumsi dasar Realisme sebagaimana yang dikemukakan Morgenthau, bahwa dasar dari hubungan internasional yaitu struktur yang anarki, yang membuat posisi negara menjadi sejajar dalam struktur internasional (Burchill & Linklater 1996, h.104).

Negara juga bersifat egois, self help, dan kompetitif dalam mencari jaminan keamanan. Sifat negara yang kompetitif tersebut menciptakan pertarungan power untuk survival, yang merupakan national interest masing-masing dalam hubungan internasional. Oleh karena itu, tidak ada yang dapat menjamin keamanan setiap negara, sehingga setiap negara mencoba untuk meningkatkan power agar dapat bertahan dari serangan negara lain (Burchill & Linklater 1996, h.100).


(23)

11

Struktur yang anarki membuat setiap negara merasa terancam dari negara lainnya. Dalam keadaan anarki, setiap negara harus menolong dirinya sendiri (self help). Negara tidak dapat percaya begitu saja pada negara lain, sehingga setiap negara harus mencari cara sendiri untuk dapat bertahan, terutama meningkatkan kekuatan militernya (Hara 2011, h.36).

Jackson dan Sorensen (Suryadipura, terjemah 2005, h.112) menambahkan bahwa kompetisi yang anarki tersebut menyebabkan adanya distribusi kapabilitas. Dengan adanya distribusi kapabilitas ini, struktur bersandar pada major units yaitu great power. Oleh karena itu, setiap negara percaya bahwa semakin besar power negara, maka akan semakin besar potensinya memenuhi kepentingan nasional negaranya.

Konsep kepentingan nasional sangat penting untuk menjelaskan dan memahami perilaku internasional. Konsep kepentingan nasional merupakan dasar untuk menjelaskan perilaku luar negeri suatu negara (Perwita & Yani 2005, h.35). Menurut Morgenthau (1948, h.5), kepentingan nasional merupakan kemampuan minimum negara untuk melindungi dan mempertahankan identitas fisik, politik, dan budaya dari gangguan negara lain. Menurutnya, kepentingan nasional sama dengan usaha negara untuk mengejar power, dimana power adalah segala sesuatu yang bisa mengembangkan dan memelihara kontrol suatu negara terhadap negara lain.


(24)

12

2. Teori Kebijakan Luar Negeri

Politik Luar negeri suatu negara menentukan interaksi antarnegara dalam menentukan hubungannya dengan negara lain. Dalam mempelajari politik luar negeri, pengertian dasar yang harus kita ketahui yaitu politik luar negeri itu pada dasarnya merupakan “action theory”, atau kebijaksanaan suatu negara yang ditujukan ke negara lain untuk mencapai suatu kepentingan tertentu. Secara umum politik luar negeri (foreign policy) merupakan suatu perangkat formula nilai, sikap, arah, serta sasaran, untuk mempertahankan, mengamankan, dan memajukan kepentingan nasional di dalam ruang lingkup dunia internasional (Perwita & Yani 2005, h.47). Oleh karena itu kebijakan luar negeri (foreign policy) suatu negara merupakan elemen yang sangat penting dalam upaya pencapaian kepentingan nasional suatu negara.

Holsti menjelaskan bahwa kebijakan luar negeri adalah ide atau gagasan atau tindakan yang dirumuskan oleh pembuat keputusan untuk menyelesaikan suatu masalah, melakukan perubahan dalam kebijakan, sikap atau tindakan suatu negara, aktor non-negara atau lingkungan dunia (1992, h.82).

Faktor-faktor eksternal mempengaruhi substansi kebijakan luar negeri yang meliputi kondisi perekonomian dunia, struktur sistem internasional, kebijakan dan tindakan negara lain, hukum internasional, masalah global dan regional yang muncul dari kegiatan individual, serta opini global (Holsti 1992, h.271-288).

Sementara itu, faktor-faktor internal yang dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara yaitu kebutuhan sosio-ekonomi dan keamanan, struktur


(25)

13

pemerintahan, letak geografis, opini publik, pertimbangan etis, serta birokrasi (Holsti 1992, h.271-274).

Holsti dalam bukunya International Politics : A Framework of Analysis (1992, h.98) menyebutkan bahwa:

Orientasi dasar politik luar negeri ada tiga. Pertama disebut isolasi dimana untuk menjaga kepentingannya, negara memilih membatasi hubungannya dengan negara lain. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Korea Utara dalam setiap kebijakan luar negerinya. Kedua yaitu nonalignment atau non-blok dan sering juga disamakan dengan netralitas. Ketiga yaitu pembuatan koalisi dan pembangunan aliansi. Berbeda dengan isolasi, orientasi yang ketiga ini berangkat dari ketidakmampuan negara, baik dalam pertahanan maupun ekonomi, untuk berdiri sendiri. Jadi karena itulah mereka berusaha melakukan koalisi diplomatik dan melakukan aliansi militer untuk melinduungi pertahanan negaranya.

Kebijakan luar negeri suatu negara akan mempengaruhi hubungan antarnegara. Kebijakan luar negeri tersebut mencerminkan kepentingan dalam negeri nya yang akan dipromosikan ke luar negeri. Dengan kata lain kebijakan luar negeri suatu negara merupakan bagian dari politik dalam negerinya dan oleh karenanya kebijakan luar negeri dan politik dalam negeri memiliki tujuan yang sama (Dipoyudo 1989, h.47).

3. Konsep Diplomasi Multilateral

Instrumen dalam menjalankan suatu kebijakan luar negeri yaitu dapat berupa dengan melakukan suatu diplomasi. Kebijakan luar negeri mempengaruhi kegiatan diplomasi bagi negara-negara yang melakukannya. Maka diplomasi yang dilakukan negara-negara harus selalu sejalan dengan kebijakan luar negeri untuk mencapai kepentingan nasional sebuah negara. Menurut Bandoro (1991, h.47) ada dua elemen


(26)

14

dasar yang menyebabkan negara-negara melakukan diplomasi yakni adanya kepentingan bersama (common interest) dan adanya isu yang dipersengketakan (issues of conflict).

Hannah Slavik mendefinisikan istilah diplomasi sebagai sebuah seni dari praktek negosiasi yang dilakukan oleh wakil negara (2007, h.188). Adapun wakil negara yang dimaksud dapat berarti pejabat senior, menteri, kepala pemerintahan, diplomat, atau kedutaan besar. Pertemuan yang dilakukan antar wakil-wakil negara satu dengan wakil negara lainnya bertujuan untuk merundingkan suatu permasalahan agar dapat mencapai hasil yang bisa diterima oleh semua pihak.

Berdasarkan aktornya, diplomasi ada yang bersifat bilateral (dua negara), regional (negara-negara kawasan), dan multilateral (banyak negara). Maka dalam penelitian ini terjadi diplomasi multilateral yang melibatkan banyak negara. Diplomasi multilateral dapat didefinisikan sebagai negosiasi dan diskusi yang memungkinkan tindakan kolektif dan kerjasama antar negara ataupun aktor non-negara (Langhorne 2000).

Pada dasarnya diplomasi multilateral merupakan diplomasi yang dilakukan oleh lebih dari dua negara. Diplomasi multilateral ini berhasil menjadi cara yang paling bermanfaat untuk meningkatkan negosiasi antara banyak pihak, selain sebagai pendorong diplomasi bilateral (Djelantik 2008, h.142). Poin ini mengandung dua aspek, pertama diplomasi multilateral memberi kesempatan untuk membahas masalah-masalah di luar agenda formal dan yang menjadi perhatian bersama. Kedua,


(27)

15

mediator yang memiliki kekuasaan penuh dapat menyelenggarakan konferensi multilateral sebagai upaya memulai negosiasi bilateral untuk membahas masalah mendasar yang sebelumnya diselenggarakan di tempat lain .

Dalam diplomasi multilateral, komunikasi dilakukan secara verbal melalui diskusi dan perdebatan. Diplomasi semacam ini ditandai dengan adanya beragam masalah yang akan dibahas, ruang lingkup yang lebih luas, dan jumlah negara yang hadir (Rumintang 2008, h.31). Diplomasi multilateral memiliki berbagai keuntungan. Pertama, kemungkinan mengkonsolidasikan perpecahan. Suatu masalah dapat tetap diamati terus menerus. Kedua, memunculkan sebuah lobby untuk menyelesaikan masalah.Selanjutnya, negara-negara yang membutuhkan dapat diberikan bantuan teknis (Djelantik 2008, h.142).

E. Metode Penelitian

Metode dalam suatu penelitian dibutuhkan untuk menganalisis suatu kasus yang diangkat dalam penelitian. Hal ini bertujuan untuk memunculkan suatu hubungan antara fenomena dengan kesimpulan yang diambil. Pada penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti (Taylor dan Bogdan dikutip Suyanto 2004, h.166). Penelitian kualitatif digunakan untuk memahami fenomena tentang hal yang diteliti seperti perilaku, motivasi, tindakan,


(28)

16

yang secara utuh dan akan dijelaskan secara deskripsi dalam bentuk kata-kata (Moleong 1988, h.6).

Proses penyusunan dilaksanakan melalui beberapa langkah. Pertama, metode pengumpulan data. Sumber pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari objek yang diteliti (responden), seperti wawancara dengan salah satu ahli isu nuklir Korea Utara dan Six Party Talks (Moleong 1988, h.18). Sedangkan sumber data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung, melalui dokumentasi seperti buku, koran, jurnal, artikel, laporan resmi, arsip-arsip, dan data dari situs internet lembaga resmi atau institusi.

Kedua, setelah data terkumpul, lalu diadakan pemisahan terhadap data tersebut dengan mengklasifikasikannya. Dalam tahap ini, maka akan dipilih data sedemikian rupa sehingga hanya data yang berkaitan saja yang digunakan. Ketiga, pertanyaan penelitian akan dianalisa sesuai dengan kerangka pemikiran. Setelah tahap-tahap sebagaimana telah diuraikan tersebut, maka langkah selanjutnya adalah menyusun laporan.

F. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN G. Pernyataan Masalah H. Pertanyaan penelitian


(29)

17 I. Tujuan dan Manfaat Penelitian J. Kerangka Pemikiran

1. Perspektif Realisme

2. Teori Kebijakan Luar Negeri 3. Konsep Diplomasi Multilateral K. Metode Penelitian

L. Sistematika Penulisan

BAB II PERKEMBANGAN PROGRAM NUKLIR KOREA UTARA B. Sejarah Perkembangan Program Nuklir Korea Utara

1. Asal Mula Pembangunan Program Nuklir Korea Utara (Tahun 1959-1970)

2. Perkembangan Program Nuklir Korea Utara (Tahun 1970- 1994) 3. Peluncuran Uji Coba Nuklir Korea Utara

B. Krisis Nuklir di Korea Utara dan Upaya Penyelesaiannya

BAB III TUJUAN DAN PERKEMBANGAN SIX PARTY TALKS DALAM MEWUJUDKAN DENUKLIRISASI DI KOREA UTARA

C. Sejarah Pembentukan Six Party Talks

D. Tujuan Pendirian dan Perkembangan Six Party Talks

BAB IV IMPLEMENTASI TUJUAN-TUJUAN SIX PARTY TALKS DALAM MEWUJUDKAN DENUKLIRISASI DI KOREA UTARA

A. Pencapaian Six Party Talks dalam Mewujudkan Denuklirisasi di Korea Utara.

1. Pencapaian Six Party Talks

2. Implementasi hasil pencapaian Six Party Talks


(30)

18

b. Pembongkaran Program Nuklir Korea Utara

c. Normalisasi Hubungan antar Anggota Six Party Talks

d. Meningkatkan Kerjasama Negara Anggota Six Party Talks dengan Korea Utara

e. Menjaga Perdamaian dan Stabilitas Kawasan Semenanjung Korea

B. Faktor Penghambat Six Party Talks dalam Mewujudkan Denuklirisasi di Korea Utara

1. Konflik Kepentingan (Conflict of Interests) 2. Juche Idea dan Songun Policy

3. Ketiadaan Aturan yang Mengikat secara Hukum (Non- Legally Binding)

BAB V PENUTUP


(31)

19

BAB II

PERKEMBANGAN PROGRAM NUKLIR KOREA UTARA

A. Sejarah Perkembangan Program Nuklir Korea Utara

Perkembangan teknologi nuklir Korea Utara berawal sejak berakhirnya Perang Korea (1950-1953), sebuah perang yang digambarkan sebagai “Proxy War” pertama atau perang yang terjadi antara dua negara yang menggunakan pihak ketiga sebagai pengganti untuk berperang satu sama lain secara langsung pada masa Perang Dingin (Powell 1990, h.12). Keberpihakan Korea Utara dengan Blok Timur, membuat Korea merasa terancam dari serangan nuklir yang dilancarkan Amerika Serikat (AS). Ancaman tersebut memaksa Pyongyang untuk mengembangkan teknologi nuklir secara reaksioner (Pinkston 2008, h.5).

Michael J. Mazaar dalam bukunya North Korean and The Bomb: A Case Study in Nonproliferation (1995, h.19) lebih jauh menjelaskan bahwa terdapat lima motif dasar pengembangan nuklir Korea Utara seiring perjalanan waktu, yaitu: (1) Kebutuhan pentingnya memiliki senjata nuklir untuk melawan ancaman nuklir AS. (2) Untuk mendapatkan jaminan keamanan menyusul keunggulan konvensional Korea Selatan (3) Sebuah cara untuk memperoleh pengaruh diplomatik dari negara lain (4) Untuk mempromosikan pencapaian ilmiah dalam rangka mencari pengakuan internasional sehingga memperkuat legitimasi sebelum terjadi peralihan kekuasaan


(32)

20

dari Kim Sung Il kepada Kim Jong Il (5) Untuk mengurangi ketergantungan pada Cina dan Rusia.

Pendapat Mazaar di atas berbeda dengan pengakuan Korea Utara, sebagaimana yang disampaikan dalam pidato Kim Jong Un di depan petinggi partai pekerja Korea Utara menjelaskan bahwa motif pengembangan nuklir Korea Utara dilandasi oleh beberapa poin yaitu: (1) Terinspirasi oleh gagasan Juche dan Songun dimana militer memiliki prioritas khusus. Salah satu prioritas tersebut diantaranya bahwa senjata merupakan garis hidup negara dan sumber kemenangan revolusi. (2) Adanya ancaman serangan militer dan bom atom dari negara lain. (3) Memepertahankan warisan penting para leluhur berupa partai dan rakyat yang tidak terkalahkan serta terciptanya tentara revolusioner yang kuat (Foreign Languange Publishing House 2012).

Dalam menjelaskan secara rinci perkembangan program nuklir Korea Utara dari masa ke masa, maka penjelasan akan dibagi ke dalam beberapa fase, yaitu:

1. Asal Mula Pembangunan Program Nuklir Korea Utara (Tahun 1959-

1970)

Sebelum mengembangkan program nuklirnya lebih jauh, Korea Utara pada awalnya membiayai tambang uranium yang diperkirakan memanfaatkan empat juta ton bijih uranium berkualitas tinggi. Bijih uranium tersebut diperkirakan dapat diekstrak lebih banyak dari jumlah yang dihasilkan. Atas melimpahnya potensi


(33)

21

sumber daya alam yang dimiliki dan kebutuhan energi Korea Utara, maka mendorong Korea Utara untuk mencoba mengembangkan program nuklir (Pinkston 2008, h.15).

Program nuklir Korea Utara dibangun atas bantuan Uni Soviet. Kedua negara menandatangani sebuah perjanjian kerjasama nuklir pada 1959. Lebih dari 30 tahun selanjutnya, Moskow membantu Pyongyang dengan memberikan pelatihan dan pemanfaatan energi dalam mengembangkan dasar teknologi nuklirnya. Bantuan yang diberikan Uni Soviet tersebut merupakan bentuk pemberian bantuan selama berlangsungnya Perang Dingin. Dalam perjanjian tersebut, memungkinkan dilakukan berbagai pertukaran proyek, teknis dan ilmiah. Termasuk pembangunan Pusat Penelitian Nuklir Yongbyon, pelatihan teknisi Korea Utara, dan peninjauan teknis untuk penggunaan nuklir (Mazaar 1995, h.21).

Pelatihan teknisi Korea Utara oleh Soviet dilaporkan telah dimulai beberapa tahun sebelum 1959. Bantuan Soviet tersebut tidak secara spesifik berniat membantu perkembangan program senjata nuklir, akan tetapi memperbolehkan Pyongyang memiliki teknologi dasar yang dibutuhkan untuk memproduksi dan pemisahan plutonium. Untuk itu, pada tahap awal pembangunan program nuklir Korea Utara, Soviet fokus pada pada pelatihan dan penilitian sampai pada tahap transfer teknologi (Albright dan Kevin 2000).

Sebuah reaktor riset Soviet IRT-2M dipasang di pusat penelitian Yongbyon pada 1965. Reaktor IRT-2M tersebut didesain untuk menjadi acuan dasar penelitian nuklir Korea Utara yang menghasilkan sejumlah kecil isotop dari hasil radiasi dalam


(34)

22

IRT-2M. Reaktor IRT-2M memiliki kekuatan 2 Mega Watt (MW). Namun dalam perkembangannya, kekuatan IRT-2M ini ternyata mampu dikembangkan menjadi 4MW hingga 8MW. Selama tahun 1965-1970, sepuluh persen pengayaan bahan bakar untuk kebutuhan energi di Korea Utara dihasilkan dari reaktor IRT-2M (Kristensen 2006).

Para ahli nuklir Soviet terlibat langsung dalam membantu pembangunan sebuah fasilitas situs nuklir bawah tanah untuk menyimpan pembuangan radio aktif dari hasil isotop. Walaupun reaktor IRT-2M dan laboratorium radiokimia ditujukan untuk penelitian nuklir dasar dan produksi isotop, bahan-bahan serta peralatannya juga disediakan untuk Korea Utara sebagai sarana untuk melakukan percobaan dengan membuat dan mengekstrak sejumlah kecil plutonium. (Kristensen 2006).

Dibawah kerangka perjanjian Uni Soviet-Korea Utara tahun 1959, Soviet telah melatih lebih dari 300 insinyur dan fisikawan Korea Utara di lembaga Soviet. Termasuk Institut Bersama Penelitian Nuklir di Dubna dan Sekolah Tinggi Teknik Bauman. Sementara itu, berdasarkan survey geologi yang dilakukan Uni Soviet, bahwa Korea Utara memiliki banyak simpanan bijih uranium dan grafit yang kemudian dikembangkan Pyongyang untuk membentuk blok bangunan program pembuatan plutonium (Park dan Kim 2012 h.132).

2. Perkembangan Program Nuklir Korea Utara (Tahun 1970-1994)

Pada tahun 1970an Korea Utara mencapai teknologi nuklir tercanggihnya, terutama di bidang penyulingan, konversi, dan produksi. Ilmuwan Korea Utara


(35)

23

berhasil memodernisasi reaktor riset Soviet IRT-2M yang memiliki standar yang sama dengan Uni Soviet dan negara-negara maju lainnya. Selanjutnya teknisi Korea Utara mampu menghasilkan reaktor nuklir yang akhirnya menjadi inti dari program nuklir Korea Utara (Mazaar 1995, h.23). Pada fase ini, Korea Utara telah mampu melakukan penambangan dan penggilingan uranium secara mandiri, pengubahan uranium, serta pengolahan bahan bakar. Korea Utara juga mampu mengelola pabrik serta laboratorium radiokimia (Mazaar 1995, h.24).

Korea Utara mulai melakukan penambangan uranium dalam skala besar di berbagai lokasi dekat Sunchon dan Pyongsan pada awal tahun 1970. Bijih mentah uranium dikirim ke pabrik penggilingan uranium di Pakchon dan Pyongsan. Dalam proses ini, bijih uranium tersebut dihancurkan dan diproses secara kimia untuk menghasilkan U3O8 yang kemudian dikirim ke pusat penelitian nuklir Yongbyon untuk diproses lebih lanjut sehingga menghasilkan bahan bakar reaktor nuklir. Biasanya satu ton bijih uranium Korea Utara mengandung sekitar satu kilogram uranium, yang berarti bahwa sekitar 50.000 ton bijih harus ditambang dan diproses untuk memperoleh 50 ton uranium alam yang dibutuhkan untuk bahan bakar reaktor nuklir (Bermudez 1999, h.4).

Pada akhir 1970, Korea Utara telah menerima bahan pembuatan rudal kapal dan rudal udara dari Cina, disamping Pyongyang juga mencari bahan untuk membangun sendiri programnya dari negara lain. Pada September 1971, Korea Utara menandatangani perjanjian dengan Cina untuk memperoleh, mengembangkan, dan


(36)

24

memproduksi rudal balistik. Akan tetapi, kerjasama bilateral tersebut tidak juga dimulai hingga tahun 1977 ketika insinyur Korea Utara berpartisipasi dalam program pengembangan untuk DF-61 yang menjadi asal mula perkembangan bahan bakar rudal balistik Korea Utara dengan jarak sekitar 600km. Kemudian program ini dibatalkan pada tahun 1978 karena alasan politik dalam negeri Cina (Bermudez 1999, h. 4).

Pengubahan uranium serta pengolahan bahan bakar fasilitas nuklir di Yongbyon dirancang menghasilkan bahan bakar untuk seluruh reaktor grafit yang sedang dalam pembangunan di Korea Utara selama tahun 1980. Konstruksi reaktor grafit tersebut dimulai tahun 1980 dan mulai mendapatkan kritikan dari PBB pada Agustus 1985. Reaktor ini mulai dioperasikan pada tahun 1986-1994 hingga reaktor tersebut ditutup berdasarkan Kerangka Persetujuan antara AS dan Korea Utara (Bermudez 1999, h.5).

Pada tahun 1980, Korea Utara meluncurkan program nasional terpadu untuk membangun serangkaian fasilitas skala industri yang mampu memproduksi sejumlah besar plutonium untuk program senjata nuklir, disamping untuk industri tenaga nuklir negara tersebut. Program senjata nuklir Korea Utara dikembangkan kembali pada tahun 1980. Pada 1980an Korea Utara sangat fokus pada praktik penggunaan energi nuklir dan penyelesaian sistem perkembangan senjata nuklir (Pinkston 2008, h.18).

Korea Utara juga mulai mengoperasikan fasilitas untuk pembuatan uranium dan pengkonversiannya. Pada fase ini, Korea Utara memulai pembangunan reaktor


(37)

25

nuklir MWe 200 dan fasilitas pemrosesan ulang nuklir di Yongbyon dan Taechon (Kimball 2012). Kemudian Korea Utara melakukan tes peledakan ledak tinggi. Sejak pertengahan 1980, Korea Utara memang telah melakukan serangkaian tes daya ledak tinggi yang berkaitan dengan pengembangan sistem ledakan senjata nuklir (Russian Federation Foreign Intelligence Service, 1995).

Pada akhir tahun 1980, Korea Utara memulai pembangunan reaktor 50MW berskala besar di Taechon berbasis teknologi yang hampir sama dengan reaktor sebelumnya. Keunggulan reaktor tersebut yaitu memiliki model yang sama dengan reaktor G2 yang dimiliki Perancis. Reaktor ini mampu menghasilkan lebih dari 220kg plutonium sekelas senjata setiap tahunnya jika beroperasi penuh selama 300 hari per tahun (Dreicer 2000).

Pada tahun 1984, Korea Utara telah memproduksi Hwasong-5 yang diketahui memiliki jangkauan 320km. Perbaikan dalam sistem propulsi rudal membuat Hwasong-5 menjadi lebih unggul dibanding pendahulunya. Pada tahun yang sama, Korea Utara juga menambah pembangunan sebuah pabrik pengolahan skala industri untuk memisahkan plutonium dari bahan bakar nuklir di pusat penelitian nuklir Yongbyon. Pengoperasian pabrik ini berdasarkan proses ekstraksi uranium plutonium, yaitu sebuah prosedur standar penggunaan secara luas dalam industri nuklir, dimana uranium dan plutonium dipisahkan dari limbah nuklir dan kemudian satu sama lain dipisahkan melalui serangkaian proses kimia (Pinkston 2008, h.22).


(38)

26

Korea Utara juga mencoba menambahkan reaktor terbesar di Yongbyon yang pembangunannya dimulai akhir tahun 1984. Pembangunan reaktor tersebut menggunakan bahan dasar dan teknologi yang sama dengan reaktor 5MW sebelumnya. Walaupun secara konsep sama dengan reaktor G2 milik Perancis, namun proses dan cara pengoperasiannya berbeda. Reaktor ini hanya mampu menghasilkan 55kg plutonium (Dreicer 2000).

Korea Utara melaporkan memulai pengembangan Nodong pada tahun 1989. Sebagian besar literatur menegaskan bahwa Nodong tersebut dirancang dan dikembangkan oleh para insinyur Korea Utara dengan sedikit bantuan asing. Perkembangan pesat ini tanpa adanya uji coba yang signifikan selain penyebaran teknologi tersebut dan ekspor sistem teknologi dari Uni Soviet ke Korea Utara (Bermudez 1999, h.20).

3. Peluncuran Uji Coba Nuklir Korea Utara

Pembangunan dan perkembangan nuklir Korea Utara yang telah dibangun sejak 1959, mendorong Korea Utara untuk melakukan peluncuran uji coba program nuklir yang selama ini dikekembangkan negara tersebut. Pada 1998 Korea Utara berhasil mengembangkan misil Nodong dengan perkiraan jangkauan jelajah sejauh 900mil yang mampu mencakup wilayah Jepang dan Korea Selatan. Korea Utara dilaporkan mengerahkan produksi hampir 100 rudal Nodong pada tahun 2003 (Niksch 2003 h.6).


(39)

27

Untuk itu, pada 31 Agustus 1998 pertama kalinya Korea Utara meluncurkan sebuah roket tiga tingkatan, yang merupakan bentuk dasar dari roket Taepodong-1. Ketiga tingkatan roket tersebut rupanya merupakan usaha Korea Utara untuk meluncurkan sebuah satelit. Roket Taepodong-1 memiliki jarak jelajah 1.500-2.000km yang mampu mencapai Alaska, dan sempat terbang diatas perairan Jepang. Pyongyang mengumumkan bahwa roketnya tersebut berhasil ditempatkan pada sebuah satelit dalam orbit (Niksch 2003 h.6).

Merasa belum puas dengan uji coba nuklir pertamanya, Korea Utara kembali melakukan uji coba pada 5 Juli 2006 dengan menembakkan tujuh roket, termasuk roket terpanjang, Taepo Dong-2. Keenam roket lainnya termasuk gabungan dari roket jarak pendek dan menengah, Scud-C dan roket Nodong. Ketujuh roket tersebut diluncurkan dari tempat uji coba Kittaraeyong. Walaupun uji coba roket jarak pendek Korea Utara tersebut terlihat sukses, akan tetapi roket Taepo Dong-2 gagal meluncur dan jatuh kurang dari satu menit setelah peluncuran (Andrea 2006).

Korea Utara melakukan peluncuran nuklir selanjutnya pada 5 April 2009 dengan meluncurkan roket Unha-2. Roket tersebut diyakini menjadi versi modifikasi dari rudal balistik jarak jauh Taepo Dong-2 yang membawa misi penempatan satelit Kwangmyongsong-2 ke dalam orbit (KCNA 2009). Walaupun Korea Utara menyatakan roket tersebut menempati sebuah satelit dalam orbit, Komando AS melaporkan bahwa roket tingkat pertama mendarat di laut Jepang dan sisanya jatuh di lautan pasifik (Kimball 2012).


(40)

28

Berbagai aksi peluncuran uji coba nuklir didukung oleh rezim Kim Jong Il yang sudah pasti dapat meningkatkan perhatian dunia terhadap Korea Utara. Hal terebut tentu saja mengundang kritik dan sanksi yang sangat keras dari PBB. Aksi ini dinilai sebagai tindakan provokatif yang melanggar moratorium sukarela Korea Utara dalam uji coba peluncuran rudal jarak jauh.

Peluncuran beberapa roket di Semenanjung Korea itu kian mengkhawatirkan beberapa negara di kawasan karena dikhawatirkan mengganggu stabilitas keamanan regional yang dapat berujung pada konflik antar kedua Korea. Ketegangan antara kedua negara Korea tersebut menimbulkan dibentuknya zona demiliterisasi. Akan tetapi, pengaturan latihan militer bersama antara AS dan Korea Selatan ternyata semakin menambah masalah baru di kawasan tersebut (Branigan, 2010).

B. Krisis Nuklir di Korea Utara dan Upaya Penyelesaiannya

Keberhasilan Korea Utara dalam pengembangan nuklir, akhirnya tertangkap mata dunia internasional. Sehingga pada 1977 Korea Utara menandatangani perjanjian dengan Badan Energi dan Atom Internasional (IAEA) yang mengizinkan IAEA melakukan pemeriksaan terhadap reaktor riset yang dibangun atas bantuan Uni Soviet tersebut (Ceuster dan Melissen 2008, h.9).

Atas desakan dunia Internasional dan meningkatnya laporan intelijen AS mengenai pembangunan reaktor nuklir di negara tersebut, maka Pyongyang juga terpaksa mengabulkan Perjanjian Non-proliferasi Nuklir (NPT) pada 12 Desember


(41)

29

1985. NPT merupakan suatu perjanjian yang membatasi kepemilikan senjata nuklir. Dengan masuknya Korea Utara ke dalam NPT, maka mewajibkan Korea Utara melakukan proses denuklirisasi, yaitu proses terwujudnya penghapusan kepemilikan senjata nuklir (Kimball 2012).

Pada tahun 1992, ketika pemeriksa IAEA pertama kalinya diizinkan mengakses reaktor, Pyongyang mengklaim bahwa reaktor mengalami kesulitan dalam menghidupkan reaktor dan mengalami kesulitan kontrol yang mencegah pengoperasian daya secara penuh dan mengakibatkan mesin sering mati selama beberapa tahun pertama beroperasi (Pinkston 2008, h.24).

Sebelum tahun 1992, Korea Utara melakukan uji coba pengembangan terkait nuklir ledak tinggi di Pusat Penelitian Nuklir Yongbyon. Hal ini sebagaimana laporkan Komite Keamanan Rusia pada 22 Februari 1990 yang dibocorkan kepada media Rusia pada Maret 1992. Badan intelijen Soviet telah menyimpulkan bahwa Korea Utara telah berhasil mengembangkan bom nuklir di Pusat Penelitian Nuklir Yongbyon (Badan Intelijen Rusia, 1995). Padahal selama kunjungan inspeksi IAEA terhadap situs ini pada 1992, IAEA tidak menemukan bukti bahan nuklir.

Selanjutnya, IAEA terus berusaha mengakses dua terduga situs pembuangan untuk menentukan apakah limbah radioaktif yang diproduksi oleh aktivitas pemrosesan ulang yang tidak dilaporkan kepada IAEA disimpan di lokasi tersebut atau tidak. Pada September 1992, pengawas IAEA diizinkan untuk mengunjungi bangunan yang menjadi pusat pembuatan kendaraan militer Korea Utara (Mazaar


(42)

30

1995, h.79). Korea Utara menyatakan bahwa bangunan tersebut tidak memiliki ruang bawah tanah. Setelah Korea Utara berulang kali menolak tuntutan untuk pemeriksaan yang lebih luas, IAEA tetap meminta izin dilakukan pemeriksaan khusus pada Februari 1993 di situs yang diduga menjadi pembuangan uranium (Mazaar 1995, h.81).

Keikutsertaan Korea Utara dalam perjanjian NPT, ternyata tidak membuka jalan bagi terciptanya hubungan diplomatik yang lebih harmonis antara Korea Utara dan dunia internasional pada dekade berikutnya. Korea Utara berulang kali menjelaskan bahwa situs yang selama ini dicuriggai IAEA merupakan sebuah fasilitas militer non-nuklir diluar jangkauan pemeriksaan IAEA. Karena IAEA terus menerus mendesak, maka Pyongyang menanggapi desakan IAEA tersebut dengan mengajukan pengunduran diri dari Perjanjian Non-proliferasi Nuklir pada Maret 1993 (Kimball 2012).

Penolakan Korea Utara untuk bekerjasama dengan IAEA serta laporan jumlah produksi plutonium Korea Utara hingga pada mundurnya Korea Utara dari NPT tahun 1993 menyebabkan krisis nuklir yang terjadi tahun 1993-1994 (Mazaar 1995, h.102). Untuk mengakhiri krisis tersebut, maka pada 11 Mei 1993, Majelis Umum PBB segera mengeluarkan resolusi yang menghimbau Korea Utara untuk bekerjasama dengan IAEA dan mengimplementasikan persetujuan denuklirisasi. Resolusi itu juga menghimbau semua pihak mendorong Korea Utara untuk


(43)

31

menanggapi resolusi ini dan memfasilitasi penyelesaiannya (Ceuster dan Melissen 2008, h.10).

Amerika Serikat kemudian segera mengambil langkah cepat untuk menanggapi resolusi tersebut dan mencoba meredakan krisis nuklir yang terjadi. Amerika Serikat menggelar pembicaraan tingkat politik bersama Korea Utara pada awal Juni 1993. Pembicaraan tersebut menjadi asal mula perumusan “Agreed Framework” yang menjadi prinsip dasar untuk melanjutkan dialog AS-Korut. Akhirnya berkat pembicaraan tersebut, Korea Utara menunda pengunduran dirinya dari NPT (Niksch 2003 h.6).

Kemudian pembicaraan putaran kedua dilanjutkan pada 14-19 Juli 1993 di Geneva. Pembicaraan tersebut menentukan pedoman untuk menyelesaikan masalah nuklir, meningkatkan hubungan AS-Korut, dan memulai kembali pembicaraan kedua Korea. Namun, negosiasi ini menemukan jalan buntu (Lee 2004, h.107).

Pada Juni 1994 mantan Presiden AS, Jimmy Carter mengunjungi Pyongyang untuk membantu meredakan ketegangan dan mencoba bernegosiasi dengan Korea Utara agar Pyongyang bersedia menghentikan program senjata nuklirnya dan bersedia melanjutkan pembicaraan tingkat tinggi dengan AS. Kemudian pembicaraan putaran ketiga antara AS-Korut dibuka di Geneva pada 8 Juli 1994. Akan tetapi kematian Kim Il Sung pada 8 Juli 1994 menunda rencana pertemuan (Mazaar 1995, h.166).

Atas kematian Kim Il Sung tersebut, maka pembicaraan ditunda dan dilanjutkan pada bulan Agustus. Pembicaraan ini menghasilkan kesepakatan Agreed


(44)

32

Framework pada 21 Oktober 1994 (Park dan Kim 2012 h.76). Di bawah kerangka persetujuan tersebut, Korea bersedia menghentikan dan secepatnya membongkar keberadaan program nuklir yang dicurigai selama ini, termasuk reaktor grafit-moderat 50MW dan 200MW yang sedang dalam pembangunan, selain reaktor 5MW dan fasilitas pemrosesan ulang bahan bakar nuklirnya. Dalam Agreed Framework juga dibahas mengenai perbaikan hubungan bilateral secara bertahap antara AS-Korut dalam bidang politik serta ekonomi, dan memasukkan Korea Utara kedalam dialog Utara-Selatan (Lihat lampiran I).

Sebagai gantinya, Pyongyang akan disediakan energi alternatif, dalam bentuk minyak berat, kemudian secepatnya akan dibangun dua reaktor air ringan bertekanan udara masing-masing berkapasitas 1.000MW disertai dua alat pendingin. Dua reaktor nuklir air ringan 1.000MW tersebut lebih aman dan mampu menghasilkan cukup plutonium untuk membantu menambah pasokan listrik di Korea Utara, yang sedang mengalami krisis energi (Park dan Kim 2012 h.133).

Berdasarkan kesimpulan dari Agreed Framework, Korea Utara harus bekerjasama dengan AS dan IAEA. Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya bahwa hasil pokok dari Agreed Framework yaitu pembangunan reaktor air ringan yang akan dibiayai dan dibangun di bawah Organisasi Pengembangan Energi Semenanjung Korea (KEDO). Oleh karena itu, setelah penandatanganan Agreed Framework, maka AS, Korea Selatan, dan Jepang menyelenggarakan sebuah


(45)

33

konferensi di New York pada Maret 1995 yang menghasilkan pendirian KEDO secara resmi (Lee 2004, h.110).

KEDO menjadi sebuah organisasi internasional non-profit berbentuk badan konsorsium multinasional yang didirikan untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip pokok dari Agreed Framework. Dalam perjanjian KEDO tersebut dijelaskan bahwa KEDO bertugas mengirimkan energi sementara hingga reaktor air ringan pertama selesai dibangun. Sebagai tambahan, KEDO juga melaksanakan berbagai bentuk tindakan lainnya yang dianggap perlu demi tercapainya tujuan Agreed Framework (Lee 2004, h.110).

Selanjutnya IAEA melakukan pemeriksaan terhadap kandungan isotop radioaktif dalam limbah nuklir yang disampaikan Korea Utara bahwa pihaknya telah mengekstrak sekitar 24kg plutonium. Oleh karenanya, Korea Utara diperkirakan telah menghasilkan 0,9 gram plutonium per megawat setiap harinya dalam periode empat tahun dari 1987-1991. Jika dijumlahkan selama empat tahun dengan sebuah reaktor 30 megawat dan rasio pengoperasian sebesar 60% per tahun, maka Korea Utara telah berhasil menghasilkan 23kg plutonium (Leventhal dan Steven 1994).

Pada November 1994, IAEA mengumumkan bahwa pihaknya telah mengkonfirmasi pembangunan program nuklir Korea Utara dihentikan di fasilitas nuklir Yongbyon dan Taechon milik Korea Utara. IAEA juga menegaskan bahwa kedua fasilitas ini sudah tidak beroperasi (Kristensen 2006). Sesuai dengan ketentuan dari Agreed Framework antara AS-Korut tahun 1994, Pemerintah AS pada Januari


(46)

34

menanggapi keputusan Korea Utara untuk menghentikan program nuklirnya serta bekerjasama dengan Amerika Serikat dan upaya verifikasi IAEA dengan menghapus sanksi ekonomi terhadap Korea Utara (Mazaar 1995, h.175).

Dalam Kesepakatan Kuala Lumpur untuk Agreed Framework Geneva, Korea Utara setuju untuk bernegosiasi langsung dengan KEDO dalam isu yang berkaitan dengan proyek reaktor air ringan. Pada tanggal 15 Desember 1995, Korea Utara menandatangani Perjanjian Pasokan Reaktor Air Ringan. Tim KEDO telah melakukan sejumlah perjalanan ke Korea Utara untuk meninjau lokasi reaktor yang diusulkan. Pada musim semi 1996, KEDO dan Korea Utara memulai negosiasi pada pelaksanaan protokol Perjanjian Pasokan Reaktor Air Ringan (Lee 2004, h.112).

Sejak perjanjian pemasokan energi untuk Korea Utara disetujui pada bulan Desember 1995, maka enam protokol terkait telah mulai berlaku dan tiga putaran perundingan tingkat ahli telah menghasilkan keputusan penuh (Park dan Kim 2012, h.133). Korean Electric Power Corp (KEPCO), perusahaan listrik Korea Selatan menjadi kontraktor utama dalam proyek ini yang mengemban tugas menentukan bentuk, manufaktur, kontruksi, dan pengelolaan reaktor. Akhirnya pada 19 Agustus 1997, KEDO dan Korea Utara menggelar upacara peletakan batu pertama untuk memulai pembangunan dua reaktor air ringan (Lee 2004, h.113).

Akhirnya pembangunan reaktor air ringan Korea Utara telah selesai dan mulai beroperasi pada 1998. Namun, Korea Utara tidak menepai janjinya bahwa pihaknya akan menerima pemeriksaan umum dan khusus oleh IAEA. Korea Utara tetap


(47)

35

menolak pemeriksaan fasilitas nuklir yang tidak dilaporkan kepada IAEA. Pyongyang juga menolak untuk bergabung dalam Perjanjian Larangan Uji Komprehensif dan menolak berpartisipasi dalam konferensi tahunan PBB mengenai perlucutan senjata nuklir pada 25 Februari 1997 (Park dan Kim 2012, h.133).

Insiatif AS menginsiasi pembicaraan bilateral dengan Korea Utara yang menghasilkan Agreed Framework diatas ternyata tidak berjalan lancar sesuai yang diharapkan. Hal ini dikarenakan kurangnya sikap saling percaya antar kedua pihak. Oleh karena itu, Korea Utara mulai melangkah lebih jauh dengan mengembangkan kembali senjata nuklirnya yang ditandai dengan uji coba peluncuran roket Taepodong-1 pada tahun 1998.

Pada Oktober 2002, utusan khusus AS, James Kelly mengunjungi Korea Utara, dimana Kelly mencurigai program pengayaan uranium masih berlangsung. Sebagai tanggapannya, maka rezim Kim Jong Il menyatakan penundaan penghentian program nuklirnya dan menghidupkan kembali fasilitas nuklir negara tersebut pada 12 Desember 2002. Setelah itu, Korea Utara mengundurkan diri dari Perjanjian Non-proliferasi Nuklir pada 10 Januari 2003 (Park dan Kim 2012, h.133).

Ketika Amerika Serikat membahas presentasi mengenai isu nuklir Korea Utara di Dewan Keamanan PBB, juru bicara kementerian luar negeri Korea Utara mengeluarkan pernyataan pada 2 Oktober 2003 yang mengakui bahwa Korea Utara akan melakukan pengayaan uranium dan mengubah plutonium yang dieksktrak dari bahan bakar bekas dengan tujuan memperkuat pertahanan nuklir (KCNA 2003). AS


(48)

36

menganggap tindakan Korea Utara telah melanggar Kerangka Persetujuan dan perjanjian lainnya.

Setelah upaya pembicaraan bilateral antara AS-Korut tersebut mencapai kebuntuan, maka AS berusaha mencari cara yang tepat untuk membawa kembali Korea Utara ke dalam meja perundingan. Untuk itu, dibentuklah sebuah upaya multilateral yang melibatkan AS, Cina, Jepang, Rusia, Korea Selatan, dan Korea Utara yang dikenal dengan “Six Party Talks” pada tahun 2003.


(49)

37

BAB III

TUJUAN DAN PERKEMBANGAN SIX PARTY TALKS DALAM

MEWUJUDKAN DENUKLIRISASI DI KOREA UTARA

Pengunduran diri Korea Utara dari keanggotaan perjanjian non-proliferasi nuklir (NPT) pada Januari 2003 menambah deretan panjang aksi Korea Utara dalam uji coba nuklir yang dimilikinya. Keadaan ini dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas kemanan di Semenanjung Korea. Oleh karena itu, pada Agustus 2003 Amerika Serikat (AS) bersama Cina membentuk sebuah pembicaraan multilateral untuk menggandeng kembali Korea Utara ke dalam meja perundingan dengan melibatkan Rusia, Jepang, dan Korea Selatan. Pembicaraan multilateral tersebut yang saat ini kita kenal dengan nama Six Party Talks.

A. Sejarah Pembentukan Six Party Talks

Pada 16 Oktober 2002, AS dibawah kepemimpinan Presiden Bush menegaskan bahwa Korea Utara telah menyatakan jika negaranya memiliki sebuah program senjata nuklir rahasia berbasis pengayaan uranium. Laporan tersebut diterima langsung oleh Asisten Menteri luar Negeri AS, James Kelly di Pyongyang pada 5 Oktober 2002 (Park dan Kim 2012, h.133). Program nuklir tersebut ternyata dihasilkan dari proses pengayaan uranium, dimana proses ini jauh berbeda dengan program nuklir Korea Utara sebelum tahun 1995 yang hanya berbasis pemrosesan ulang plutonium (Zhongying 2009, h.12).


(50)

38

Sebelumnya, tugas AS hanyalah mengawasi keputusan Organisasi Perkembangan Energi Sememenanjung Korea (KEDO) untuk menyelesaikan pengiriman minyak ke Korea Utara yang telah dilaksanakan sesuai dengan Kerangka Persetujuan tahun 1994 (Niksch 2005). Oleh karena itu, para pejabat AS merasa terkejut atas meningkatnya intensitas Korea Utara pada akhir Desember 2002, dimana Korea Utara memulai kembali fasilitas nuklirnya berbasis plutonium di Yongbyon. Selain itu, Korea Utara juga mengusir para pejabat IAEA yang ditempatkan disana berdasarkankan Kerangka Persetujuan antara AS dan Korea Utara untuk mengawasi penghentian fasilitas nuklirnya tersebut.

Setelah mengusir pejabat IAEA yang ditempatkan disana, Korea Utara menghidupkan kembali reaktor nuklir lima megawatt yang sempat ditutup atas kesepakatan dengan AS di bawah “Agreed Framework”. Selanjutnya, Korea Utara menyatakan akan membuka kembali pabrik pengolahan plutonium yang pernah beroperasi hingga tahun 1994. Korea Utara juga akan memproses ulang 8.000 batang bahan nuklir yang telah disimpan sejak tahun 1994. Terakhir, Korea Utara menarik diri dari keanggotaan NPT pada Januari 2003 (Niksch 2005).

Ketika AS mengetahui aksi Korea Utara tersebut, maka AS langsung menghentikan pengiriman bahan bakar ke Korea Utara. Presiden Bush yang mengetahui hal itu merasa telah dipermainkan oleh Korea Utara dan Bush merencanakan sebuah penyerangan fasilitas nuklir Korea Utara sebagai upaya


(51)

39

pencegahan agar Korea Utara tidak mengambil langkah lebih jauh lagi (Mun 2009, h.115).

Merasa sudah tidak terikat lagi dengan aturan yang berlaku, Korea Utara mengancam akan menguji coba kembali rudal jarak jauh dengan melakukan proliferasi bahan-bahan nuklir ke berbagai negara, serta melakukan uji coba senjata nuklirnya. Pembukaan kembali fasilitas nuklir Yongbyon telah membuktikan bahwa Korea Utara benar-benar serius dalam mengembangkan program nuklir dengan memproduksi secara terbuka senjata nuklir melalui pemrosesan 8.000 batang bahan bakar. Dengan pemrosesan 8.000 batang bahan bakar tersebut, maka Korea Utara dapat menghasilkan 4 hingga 6 bom atom (Martin 2009, h.3).

Sebelum Six Party Talks dibentuk, Presiden Bush pada awal tahun 2003, mengajukan dibentuknya forum pembicaraan multilateral yang difokuskan membahas isu nuklir Korea Utara melalui jalur diplomatik. Kemudian diselenggarakanlah pertemuan tiga negara yang dikenal dengan forum Trilateral Talks, Forum pertemuan tiga negara tersebut melibatkan AS, Cina, Korea Utara pada April 2003 di Beijing (Mun 2009, h.118).

Pada awalnya Korea Utara tetap menginginkan pembicaraan bilateral dengan AS untuk mengatasi isu nuklir negaranya. Oleh karena itu, sejak awal Korea Utara menentang keras saran AS untuk membangun kerangka multilateral. Hal tersebut dikarenakan Korea Utara beranggapan bahwa melalui pembicaraan multilateral, AS berusaha meyakinkan komunitas internasional bahwa isu nuklir di Semenanjung


(52)

40

Korea merupakan sebuah isu internasional dan AS membentuk opini publik bahwa Korea Utara lah penyebab krisis nuklir tersebut (KCNA 2003).

Sikap Korea Utara mulai berubah ketika mengetahui aksi agresi AS ke Iraq pada 2003 serta melihat antusiasme Cina untuk aktif ke dalam pembicaraan. Akhirnya Korea Utara bersedia menerima pembahasan isu nuklirnya diselesaikan secara multilateral (Mun 2009, h.119). Pada 12 April 2003, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Korea Utara menyatakan bahwa Korea Utara mencari pembicaraan langsung yang bertujuan untuk memastikan apakah AS akan mengubah kebijakan politik untuk menghentikan kebijakan permusuhan terhadap Korea Utara atau tidak. Jika AS tidak siap mengubah kebijakan terhadap Korea untuk menyelesaikan isu nuklir, maka Korea Utara tidak akan lagi masuk ke dalam dialog bersama AS (KCNA 2003).

Oleh karena sikap multilateralisme AS yang kuat, kebijakan komitmen Cina untuk aktif dalam penyelesaian isu nuklir Korea Utara, serta sikap fleksibilitas yang diperlihatkan Korea Utara, maka pada akhirnya ketiga sikap tersebut mampu menghasilkan multilateralisasi isu nuklir Korea Utara melalui format dialog bersama (Mun 2009, h.120).

Selama pertemuan Trilateral Talks, Korea Utara berkali-kali menyuarakan bahwa dirinya memiliki bom nuklir yang siap diuji coba, serta akan mengekspor material-material nuklir ke berbagai negara jika AS tidak merespon permintaan Korea


(53)

41

Utara (Sanger 2003). Korea Utara mengajukan sebuah proposal yang berisi empat langkah aksi bersama untuk membongkar program nuklir milik Korea Utara.

Berdasarkan proposal tersebut, langkah pertama yang seharusnya dilakukan adalah melanjutkan pengiriman bahan bakar minyak untuk Korea Utara. Maka sebagai gantinya, Korea Utara bersedia untuk meninggalkan ambisi mengembangkan program senjata nuklir. Langkah kedua, yaitu Korea Utara akan bersikap terbuka atas pemeriksaan fasilitas nuklir negaranya dibawah pengawasan Badan Energi Atom Dunia (IAEA). Namun, sebagai gantinya AS harus menjamin keamanan Korea Utara dengan menandatangani sebuah kesepekatan non-agresi (Bluth 2005, h.98).

Pada langkah ketiga, isu-isu lainnya seperti normalisasi hubungan diplomatik antara AS-Korea Utara harus segera dibangun sebagai pengganti dari penerimaan Korea Utara atas pembatasan internasional terhadap program misil negaranya. Kemudian langkah terakhir yaitu Korea Utara berjanji akan membongkar program senjata nuklirnya jika pembangunan reaktor air ringan untuk keperluan pembangkit listrik di Korea Utara telah selesai dibangun (Bluth 2005, h.99).

Akan tetapi, proposal Korea Utara untuk menyelesaikan isu nuklir negaranya tersebut tidak diterima oleh AS. Ketua delegasi AS, James Kelly berulang kali menekankan opsi kebijakan dasarnya yaitu AS hanya ingin dilakukannya perlucutan senjata yang tidak dapat diubah dan dapat diverifikasi (CVID) terhadap Korea Utara. Jika telah mencapai tahap CVID, maka perjanjian politik dan ekonomi mungkin dapat dipertimbangkan (Bluth 2005, h.101).


(54)

42

Sejak penyelenggaraan Trilateral Talks di Beijing pada April 2003, AS memulai strategi tekanan dan dialognya terhadap Korea Utara. AS terus menyuarakan keinginannya untuk menghasilkan sebuah solusi diplomatik melalui format multilateral dengan melibatkan aktor regional lainnya. Hal ini dilakukan AS karena AS meyakini bahwa semua aktor regional memiliki perhatian yang besar terhadap isu perdamaian di Semenanjung Korea (Olsen 2003).

Pada saat bersamaan, AS juga meningkatkan kemampuan militer dan aksi diplomatiknya untuk mengisolasi Korea Utara. Bahkan, Presiden Bush sempat mengadakan pertemuan tingat tinggi dengan Presiden Korea Selatan, Perdana Menteri Jepang, serta Presiden Cina untuk memperoleh dukungan publik terhadap AS yang menuntut Korea Utara untuk meninggalkan program nuklirnya (TCOG 2003).

Korea Utara tetap menolak permintaan AS untuk meninggalkan program nuklirnya terlebih dahulu sebelum memulai kembali berbagai pembicaraan. Korea Utara menuduh desakan AS terhadap perlucutan nuklir Korea Utara, hanya untuk melemahkan Korea Utara. Terlebih, Korea Utara menyoroti haknya untuk memiliki sebuah kekuatan pertahanan nuklir sebagai pertahanan diri. Disamping itu, konfrontasi nuklir antara AS dan Korea Utara seharusnya diselesaikan melalui aksi bersama (Mun 2009, h. 123).

Berdasarkan pernyataan yang dikeluarkan oleh seorang Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Korea Utara, AS dan Korea Utara menyetujui dilakukannya pembicaraan bilateral dalam kerangka Six Party Talks (KCNA 2003). Adanya


(55)

43

kesepakatan tersebut memungkinkan Korea Utara untuk berharap bahwa forum tersebut memungkinkan dilakukannya diskusi masalah nuklir dengan AS secara bilateral ketika dibutuhkan. Dengan demikian, Six Party Talks memberikan kesempatan kepada Korea Utara tidak hanya sebagai forum untuk melakukan negosiasi bilateral, juga agar AS lebih mengerti dengan keinginan Korea Utara.

Isu perlucutan program nuklir Korea Utara memang tidak menandakan adanya kemajuan yang dihasilkan selama pembicaraan ketiga negara itu berlangsung. Hal ini disebabkan sebuah sistem kekuatan bersama seperti kesepakatan pembentukan forum Trilateral Talks berjalan tanpa membentuk institusi formal. Namun, sebuah forum kekuatan yang disepakati bersama tersebut dapat menjadi check & balance berbagai aktivitas dan kepentingan-kepentingan anggotanya melalui berbagai pola pertemuan yang teratur.

Pada pertemuan teakhir Trilateral Talks, tercapailah sebuah persetujuan untuk membentuk forum multilateral yang lebih luas, yaitu membentuk forum yang kita kenal saat ini sebagai Six Party Talks. Forum multilateral yang lebih luas tersebut melibatkan juga Rusia, Jepang, dan Korea Selatan. Sehingga anggota dari Six Party Talks ini berjumlah 6 negara yaitu AS, Korea Utara, Cina, Rusia, Jepang, dan Korea Selatan. Forum ini menjadi langkah penting terhadap sebuah forum kesepakatan bersama melalui jalur diplomasi.


(56)

44

Kekhawatiran AS akan pengembangan program nuklir Korea Utara sudah disampaikan AS sejak pengembangan program nuklir tersebut dimulai atas bantuan Uni Soviet. Seperti halnya negara-negara besar lain yang menggunakan berbagai cara untuk menghentikan aktivitas yang mengancam negaranya, maka AS pun terus menerus mencoba menghentikan program nuklir Korea Utara dengan cara membujuk Korea Utara untuk menghentikan program nuklirnya hingga memberikan sanksi ekonomi terhadap Korea Utara.

Salah satu cara AS untuk menghentikan program nuklir Korea Utara yaitu melalui jalur diplomasi, baik diplomasi bilateral maupun multilateral. Pendirian Six Party Talks berawal dari dibentuknya Trilateral Talks yang bertujuan untuk membahas peyelesaian isu nuklir yang terjadi di Korea Utara. Sejak pembentukannya, Six Party Talks bertujuan untuk mengakhiri program nuklir Korea Utara dan membongkar program nuklirnya melalui proses negosiasi. Pembicaraan dibangun sebagai respon terhadap pengunduran diri Korea Utara dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir pada Januari 2003 (Gershman 2005).

Pembicaraan Six Party Talks terbentuk bukan hanya karena adanya usaha AS semata, akan tetapi peran Cina juga sangat membantu dalam pembentukan forum Six Party Talks. Keterlibatan Cina dalam proses pembentukan forum Six Party Talks telah memberikan kontribusi bagi kemajuan forum tersebut. Beijing telah membujuk semua pihak terkait untuk tetap menyelesaikan isu nuklir Korea Utara secara damai melalui proses pembicaraan Six Party Talks. Kolaborasi Cina dan AS dalam isu


(1)

xxxiii

Keamanan di semenanjung Korea memang tidak pernah sepi dari berbagai aksi, namun aksi tersebut berjalan up & down. Korea Utara sebenarnya tidak terlalu menginginkan perang, akan tetapi bila itu terjadi maka Korea Utara memang sudah siap dengan skenario terburuk tersebut. Oleh karena itu Korea Utara terus menerus mengembangkan program nuklirnya.

Korea Utara hanya ingin menunjukan bahwa negaranya kuat dan menunjukkan keesksistensian mereka sehingga tidak dianggap remeh oleh negara lain. Di sisi lain, Korea Utara ingin negara-negara lain memperhatikannya dan tidak mengabaikannya (mencari perhatian). Ketika dilihat dari segi strategi Korut hingga saat ini, maka belum ada tanda-tanda kea rah sebuah peperangan yang sangat besar. Korea Utara juga sudah memperhitungkannya. Hanya terkadang AS terlalu berlebihan dalam menyikap tindakan Korea Utara.

3. Hal apa yang menjadi motivasi utama Korea Utara untuk mengembangkan program nuklirnya, khususnya dalam mengembangkan program senjata nuklir?

Motivasi utama penegembangan nuklir Korea Utara sudah pasti karena Korea Utara memiliki kepentingan dan ingin menunjukkan keeksistensian Korea Utara dibawah rezim komunis. Dapat dikatakan juga bahwa pengembangan program nuklirnya tersebut juga sebagai cara diplomasi bentuk berbeda dalam pandangan Korea Utara. Walaupun rakyat Korea Utara sangat miskin, tapi mereka tetap mempertahankan program nuklirnya khususnya senjata nuklir. Selain sebagai kebutuhan energi dan cadangan energi yang terbarukan, Korea Utara meyakini dengan kekuatan negaranya maka dapat mendapatkan apa yang ingin dicapainya. Jadi nuklir dijadikan sebagai alat untuk mencapai kepentingan nasional Korea Utara itu sendiri. Saya melihat bahwa Korea Utara ini tidak mau didikte oleh negara lain dan memiliki karkater sangat keras.


(2)

xxxiv

4. Dalam skripsi ini, saya mencoba untuk menjelaskan berbagai faktor yang mempengaruhi kebijakan LN Korea Utara dalam mengembangkan program nukllirnya. Sebagaimana yang dijelaskan Holsti bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara yaitu faktor internal dan eksternal seperti kebutuhan sosio ekonomi, struktur pemerintahan, kebutuhan sosio ekonomi, sistem internasional, kondisi perekonomian dunia, kebijakan dan tindakan negara lain. Jadi seberapa besar pengaruh faktor-faktor tersebut mempengaruhi kebijakan luar negeri Korea Utara dalam mengembangkan program nuklirnya?

Memang benar bahwa faktor internal dan eksternal yang dijelaskan oleh Holsti tersebut memang sangat berpengaruh dalam setiap kebijakan luar negeri sebuah negara, khususnya dalam hal ini kebijakan luar negeri Korea Utara dalam mengembangkan program nuklirnya. Contohnya struktur pemerintahan yang sangat hierarkis dan berlandaskan komunis tersebut mampu mempertahankan sikap Korea Utara yang tertutup dan provokatif. Para ahli menyatakan komunis di Korea Utara merupakan komunis terkejam yang pernah ada di dunia.

Kebutuhan sosio ekonomis juga telah membuat Korea Utara mengembangkan program nuklirnya dan ternyata sumber daya yang dimiliki Korea Utara sangat banyak dan kaya. Kondisi rakyat Korea Utrara memang sangat memperihatinkan, akan tetapi pemerintah tetap lebih memilih untuk mengembangkan program nuklir dari pada ekonomi rakyatnya, mengingat pentingnya keamanan sebuah negara.

5. Apakah Juche Idea dan Songun Policy muncul sebagai prinsip dasar untuk semua kebijakan Korea Utara?

Rakyat Korea Utara memang berada dibawah tekanan pemerintah dan kediktatoran pemimpinnya, Akan tetapi, Juche Idea dan Songun Policy yang


(3)

xxxv

menjadi prinsip rakyat Korea utara sangat mempengaruhi setiap kebijakan yang diambil Korea Utara. Rakyat Korea Utara juga dikenal sangat patuh dan mengagungkan pemimpinnya akibat dari ideologi Juche ini. Rakyat sudah diajarkan dan diperkenalkan pada ideologi Juche dan Songun ini ketika mereka mendapatkan pelajaran sekolah sejak usia dini. Sehingga hingga saat ini rakyat masih tetap bertahan pada ajaran tersebut.

6. Berbicara mengenai usaha diplomatik dalam mencipatakan zona bebas nuklir di Korea Utara atau proses denuklirisasi di Semenanjung Korea. AS, Jepang, Rusia, dan Cina telah ikut terlibat kedalamnya untuk mengakhiri masalah ini. Contohnya membentuk The Agreed Framework dan Six Party Talks antara AS, Jepang, Korea Selatan, Cina, Rusia, dan Korea Utara. Apa alasan Korea Utara bergabung ke dalam dialog seperti Six Party Talks ini jika pada akhirnya Korea Utara keluar dari dialog ini?

Setiap negara berdaulat tentu membutuhkan arena atau forum internasional untuk menujukkan keeksistensian negara tersebut di mata dunia internasional agar lebih dikenal dan diperhitungkan musuh Korea Utara yang mencoba menyerangnya. Alasan inilah yang mendorong Korea Utara mau diajak bergabung ke dalam forum-forum internasional seperti Six Party Talks, ASEAN Regional Forum, dan forum internasional lainnya.

Walaupun dalam Six Party Talks pada akhirnya Korea Utara mencabut dirinya, akan tetapi sebenarnya Korea Utara masih membutuhkan forum-forum tersebut untuk menunjukkan dan mengemukakan keinginan Korea Utara sebenarnya. Dengan dialog dalam forum tersebut, setiap negara memiliki hak untuk menyatakan pendapat dan dapat mempengaruhi negara lainnya agar mendukung setiap kebijakan yang akan diambilnya.


(4)

xxxvi

7. Bagaimana hubungan antara anggota-anggota Six Party Talks itu sendiri? Apakah ada masalah antar anggotanya sehingga Korea Utara sempat mengancam akan keluar dari forum tersebut pada 2006?

Sebenarnya masalah terbesar dalam Six Party Talks ini karena sudah tidak adanya sikap saling percaya antar anggotanya dan masing-masing negara selalu saling curiga dan tidak percaya satu sama lain (mistrust). Terlebih jika anggota-anggota nya sudah saling melabeli (labeling) satu sama lain, maka forum tersebut sudah tidak akan berjalan lancer. Terbukti Six Party Talks tidak bertahan lama dan ditengah perjalanannya diwarnai pengunduruan diri anggotanya seperti yang dilakukan Korea Utara pada tahun 2006 yang mengancam akan keluar dari forum tersebut hanya karena AS melabeli Korea Utara sebagai Axis of Evil dan mendaftar hitamkan Korea Utara dari negara pendukung terorisme.

8. Apakah Ibu percaya bahwa Six Party Talks ini merupakan alat negosisasi dan diplomasi yang cocok bagi penyelesaian masalah Korea Utara?

Untuk saat ini dan sejauh ini saya masih percaya bahwa Six Party Talks merupakan alat diplomasi dan negosiasi yang cocok bagi penyelesaian masalah Korea Utara karena jika dilihat sebelumnya, pembicaraan-pembicaraan dengan Korea Utara yang digagas AS tidak mampu bertahan lama. Namun sebenarnya tidak menutup kemungkinan terdapat cara diplomasi dan negosiasi yang lebih baik lagi. Intinya dalam setiap forum apapun, Korea Utara tidak pernah bersedia untuk didikte atau menjadi negara yang diperintah atau menjadi budak negara lain karena Juche Idea yang melekat dalam dirinya.

Seharusnya perlu juga dicoba untuk pembicaraan bilateral agar tidak terlalu banyak kepentingan yang masuk, karena dalam diplomasi multilateral sangat sulit untuk menyatukan kepentingan-kepentingan yang ada yang dimiliki masing-masing negara yang tidak mungkin sama satu sama lain. Sehingga


(5)

xxxvii

pembicaraan tidak akan fokus pada masalah utama karena terlalu banyaknya kepentingan yang bermain. Contohnya AS berkepentingan mengamankan kawasan. Adapun Cina, Rusia, dan Jepang berkepentingan memperluas ekonominya.

9. Seberapa besar Six Party Talks dapat mempengaruhi program nuklir Korea Utara?

Menurut saya Six Party Talks tidak memiliki efek yang cukup signifikan, maksudnya tidak ada efek yang signifikan karena biasanya sesuatu yang memiliki efek signifikan pasti berlaku long-term. Namun, sebenarnya pencapain terbesar dalam Six Party Talks ini yaitu mampu menghasilkan sebuah kesepakatan yang dinamakan Beijing Agreement yang kemudian dituangkan ke dalam sebuah perjanjian yang dinamakan Joint Statement yang mampu mengehentikan perkembangan program nuklir Korea Utara untuk sementara waktu. Akan tetapi kesepakatan tersebut memiliki efek yang berlaku short-term. Jadi saya melihatnya hanya terjadi sedikit pencapaian dan itu pun berlaku hanya jangka pendek saja, dimana setelah kesepakatan itu dianggap gagal maka Korea Utara tidak lagi terikat dengan kesepakatan tersebut dan menghidupkan serta melanjutkan kembali pengembangan program nuklirnya. Korea Utara juga terlihat sudah tidak ingin lagi melanjutkan forum tersebut, sehingga untuk apa dilanjutkan jika anggotanya sendiri sudah tidak merasa nyaman dalam forum tersebut.

10.Apa saja faktor penghambat dan pendukung Six Party Talks ini hingga bisa berhenti di tengah jalan tanpa ada keputusan yang berarti?


(6)

xxxviii

a. Faktor penghambat: Tidak adanya legally binding, tidak ada roadmap yang nyata, tidak ada mutual trust antar anggotanya.

b. Faktor pendukung: Terdapat dua kekuatan besar (AS dan Cina), Didukung oleh banyak negara.