Tinjauan Pustaka
7. Kinerja
Menurut Kamus Bahasa Indonesia dalam blog Hartono (2011), dikemukakan bahwa arti kinerja adalah sebagai: (1) sesuatu yang dicapai, (2) prestasi yang diperlihatkan, (3) kemampuan kerja. Menurut Fattah (1999), kinerja atau prestasi kerja (performance) diartikan sebagai: ”ungkapan kemampuan yang didasari oleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan dan motivasi dalam menghasilkan sesuatu”. Sementara menurut Sedarmayanti (2001) bahwa: “Kinerja merupakan terjemahan dari Menurut Kamus Bahasa Indonesia dalam blog Hartono (2011), dikemukakan bahwa arti kinerja adalah sebagai: (1) sesuatu yang dicapai, (2) prestasi yang diperlihatkan, (3) kemampuan kerja. Menurut Fattah (1999), kinerja atau prestasi kerja (performance) diartikan sebagai: ”ungkapan kemampuan yang didasari oleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan dan motivasi dalam menghasilkan sesuatu”. Sementara menurut Sedarmayanti (2001) bahwa: “Kinerja merupakan terjemahan dari
commit to user
performance yang berarti prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja, dan penampilan kerja”.
Menurut Bernardin dan Russel (1998) dalam blog Yustiono (2012), kinerja dapat didefinisikan sebagai berikut: “Performance is defined as the record of outcomes produced on a specified job function or activity during
a time period “. Berdasarkan pendapat Bernardin dan Russel, kinerja cenderung dilihat sebagai hasil dari suatu proses pekerjaan yang pengukurannya dilakukan dalam kurun waktu tertentu. Kinerja tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja. Adapun faktor-faktor tersebut menurut Armstrong (1998) adalah sebagai berikut:
a. Faktor individu (personal factors), yaitu faktor individu berkaitan dengan keahlian, motivasi, dan komitmen.
b. Faktor kepemimpinan (leadership factors), yaitu faktor kepemimpinan berkaitan dengan kualitas dukungan dan pengarahan yang diberikan oleh pimpinan, manajer, atau ketua kelompok kerja.
c. Faktor kelompok (team factors), yaitu faktor kelompok berkaitan dengan kualitas dukungan yang diberikan oleh kelompok.
d. Faktor sistem (system factors), yaitu faktor sistem berkaitan dengan sistem atau metode kerja yang ada dan fasilitas yang disediakan oleh organisasi atau suatu wilayah tertentu.
e. Faktor situasi (contextual/situational factors), yaitu faktor situasi berkaitan dengan tekanan dan perubahan lingkungan, baik lingkungan internal maupun eksternal.
8. Peranan dan Potensi Sektor Pertanian
Menurut Mubyarto (1994), pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya penduduk atau tenaga kerja yang hidup atau bekerja pada sektor pertanian atau dari produk nasional yang berasal dari pertanian. melihat bahwa sektor pertanian memiliki arti penting dalam pembangunan ekonomi, contohnya peranannya dalam pembentukan pendapatan nasional, Menurut Mubyarto (1994), pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya penduduk atau tenaga kerja yang hidup atau bekerja pada sektor pertanian atau dari produk nasional yang berasal dari pertanian. melihat bahwa sektor pertanian memiliki arti penting dalam pembangunan ekonomi, contohnya peranannya dalam pembentukan pendapatan nasional,
commit to user
penyedia lapangan pekerjaan dan kontribusinya dalam perolehan devisa. Dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi setiap sektor saling terkait termasuk antara sektor pertanian, sektor industri dan sektor jasa.
Menurut Ropingi (2004), dalam pembangunan ekonomi, peran sektor pertanian masih diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti dalam peningkatan pendapatan nasional terutama dalam penyediaan lapangan kerja dan penyediaan bahan pangan. Hal ini berarti sektor pertanian masih menjadi sektor yang memegang peranan yang cukup penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia, karena sektor pertanian menyerap tenaga kerja yang besar dan masyarakat masih membutuhkan produk-produk pertanian untuk bahan pangan.
9. Teori Ekonomi Basis
Menurut Budiharsono (2001), inti dari model ekonomi basis adalah bahwa arah dan pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh ekspor wilayah tersebut. Ekspor tersebut berupa barang-barang dan jasa. Untuk mengetahui apakah suatu sektor merupakan basis atau non basis digunakan metode langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung dapat dengan survai langsung, sedangkan metode tidak langsung dengan menggunakan metode Location Quotient yaitu merupakan perbandingan antara pangsa relatif pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada tingkat wilayah terhadap pendapatan (tenaga kerja) total wilayah dengan pangsa relatif pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada tingkat nasional terhadap pendapatan (tenaga kerja) nasional. Pendekatan asumsi yaitu bahwa semua sektor industri primer dan manufaktur adalah sektor basis, sedangkan sektor jasa adalah sektor non basis. Metode kombinasi yaitu antara pendekatan asumsi dengan metode Location Quotien. Metode kebutuhan minimum yaitu metode yang melibatkan penyeleksian sejumlah wilayah yang sama dengan wilayah yang diteliti dengan menggunakan distribusi minimum dari tenaga kerja regional.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Menurut John Glasson (1987) dalam Elmi (2002), perekonomian regional dapat dibagi menjadi dua sektor yaitu kegiatan-kegiatan basis dan kegiatan-kegiatan non basis. Kegiatan-kegiatan basis (basic activities) adalah kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa, dan menjualnya atau memasarkan produk-produknya keluar daerah. kegiatan-kegiatan ekonomi non basis adalah usaha ekonomi yang menyediakan barang-barang dan jasa-jasa untuk kebutuhan masyarakat dalam wilayah ekonomi daerah yang bersangkutan saja. Artinya kegiatan- kegiatan ekonomi non basis tidak menghasilkan produk untuk diekspor ke luar daerahnya. Oleh karena itu, luas lingkup produksi dan daerah pemasarannya masih bersifat lokal. Teori multiplier regional yang dikemukakan oleh John Glasson menerangkan saling berkaitan antara sektor-sektor ekonomi dalam suatu wilayah serta kekuatan-kekuatan pendorong salah satu sektor ke sektor yang lainnya secara langsung maupun tidak langsung adalah teori basis ekonomi.
Menurut Arsyad (2009), teori ekonomi basis menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah. Pertumbuhan industri-industri yang menggunakan sumber daya lokal termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk diekspor akan menghasilkan kekayaan daerah dan menciptakan peluang kerja. Arti basis disini dapat diartikan bahwa kebutuhan didalam suatu daerah sudah terpenuhi dan kelebihannya akan di ekspor keluar daerah lain.
10. Analisis LQ (Location Quotient)
Menurut Tarigan (2009), Location Quotient (LQ) adalah suatu perbandingan tentang besarnya peranan suatu sektor atau industri di suatu daerah tehadap besarnya sektor atau industri tersebut secara nasional. Secara umum variabel yang dapat dibandingkan adalah nilai tambah (tingkat pendapatan) dan jumlah lapangan kerja. Analisis LQ yang dilakukan dalam bentuk time series digunakan untuk melihat Menurut Tarigan (2009), Location Quotient (LQ) adalah suatu perbandingan tentang besarnya peranan suatu sektor atau industri di suatu daerah tehadap besarnya sektor atau industri tersebut secara nasional. Secara umum variabel yang dapat dibandingkan adalah nilai tambah (tingkat pendapatan) dan jumlah lapangan kerja. Analisis LQ yang dilakukan dalam bentuk time series digunakan untuk melihat
commit to user
perkembangan suatu sektor tertentu pada kurun waktu yang berbeda, apakah terjadi kenaikan atau terjadi penurunan.
Menurut Widodo (2006), logika dasar LQ adalah teori basis ekonomi yang intinya adalah karena industri basis menghasilkan barang-barang dan jasa untuk pasar di daerah maupun di luar daerah yang bersangkutan, maka penjualan keluar daerah akan memberikan pendapatan bagi daerah tersebut. Selanjutnya adanya arus pendapatan dari luar daerah ini akan mengakibatkan terjadinya kenaikan konsumsi dan investasi di suatu daerah. Hal tersebut selanjutnya akan meningkatkan pendapatan dan menciptakan kesempatan kerja baru. Peningkatan pendapatan tersebut tidak hanya meningkatkan permintaan terhadap industri basis tetapi juga meningkatkan permintaan terhadap industri non basis (lokal). Kenaikan permintaan ini akan mendorong kenaikan investasi pada industri yang bersangkutan dan industri lainnya.
Menurut Hendayana (2003) terdapat tiga kemungkinan nilai LQ yang dapat dihasilkan dalam sebuah penelitian yang kemudian dapat diformulasikan sebagai berikut:
1. Nilai LQ di sektor i =1. Hal ini berarti bahwa sektor i tersebut merupakan sector non basis di daerah tersebut. Hal ini didasarkan pada jumlah produksi sektor i yang hanya mampu memenuhi kebutuhan di daerah sendiri dan tidak mampu mengekspor keluar daerah yang lain.
2. Nilai LQ di sektor i >1. Hal ini berarti bahwa sektor i merupakan sektor basis di daerah tersebut, karena hasil produksinya tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan dalam daerahnya tapi juga mampu mengekspor keluar daerah.
3. Nilai LQ di sektor i <1. Hal ini berarti bahwa sektor i merupakan sektor non basis di daerah tersebut, karena jumlah produksi sektor ini belum mampu untuk memenuhi kebutuhan di dalam daerahnya sendiri.
11. Analisis DLQ (Dynamic Location Quotient)
Menurut Yuwono (1999) dalam Suyatno (2000), menyatakan kelemahan LQ adalah bahwa kriteria ini bersifat statis. Sifat statis tersebut Menurut Yuwono (1999) dalam Suyatno (2000), menyatakan kelemahan LQ adalah bahwa kriteria ini bersifat statis. Sifat statis tersebut
commit to user
hanya dapat memberikan gambaran pada satu titik waktu. Artinya, bahwa sektor basis (unggulan) tahun ini belum tentu akan menjadi sektor unggulan di waktu yang akan datang, sebaliknya sektor yang belum unggul pada saat ini mungkin akan unggul (menjadi sektor basis) di masa yang akan datang.
Menurut Suyatno (2000), menjelaskan bahwa untuk mengatasi kelemahan sehingga dapat diketahui reposisi sektoral digunakan varians dari LQ yang disebut Dynamic Location Quotient (DLQ), yaitu dengan mengintroduksikan laju pertumbuhan dengan asumsi bahwa setiap nilai tambah sektoral maupun PDRB mempunyai rata-rata laju pertumbuhan per tahun sendiri-sendiri selama kurun waktu tahun awal dan tahun berjarak. Tafsiran atas DLQ pada dasarnya masih sama dengan LQ, kecuali perbandingan ini lebih menekankan pada laju pertumbuhan dengan angka 1 sebagai patokan. Apabila DLQ <1, berarti proporsi laju pertumbuhan sektor (i) terhadap laju pertumbuhan PDRB daerah (n) lebih rendah dibandingkan proporsi laju pertumbuhan sektor yang sama pada PDRB daerah himpunan.
12. Analisis Shift Share
Menurut Budiharsono (2001), analisis shift share digunakan untuk mengidentifikasi sumber atau komponen pertumbuhan wilayah, analisis ini pertama kali diperkenalkan oleh Perloff et al (1960), yang telah menggunakan analisis ini untuk mengidentifikasi sumber pertumbuhan ekonomi di wilayah Amerika Serikat. Lucas (1979) juga menggunakan analisis ini untuk mengidentifikasi pertumbuhan sektor-sektor atau wilayah yang lamban di Indonesia dan Amerika Serikat. Disamping itu digunakan untuk analisis yang menduga dampak kebijakan wilayah ketenagakerjaan.
Menurut Suyatno (2000), analisis shift share digunakan untuk menganalisis dan mengetahui pergeseran dan peranan perekonomian di daerah. Metode itu dipakai untuk mengamati struktur perekonomian dan pergeserannya dengan cara menekankan pertumbuhan sektor di daerah, yang dibandingkan dengan sektor yang sama pada tingkat daerah yang lebih tinggi atau nasional. Metode ini menganalisis pergeseran struktur Menurut Suyatno (2000), analisis shift share digunakan untuk menganalisis dan mengetahui pergeseran dan peranan perekonomian di daerah. Metode itu dipakai untuk mengamati struktur perekonomian dan pergeserannya dengan cara menekankan pertumbuhan sektor di daerah, yang dibandingkan dengan sektor yang sama pada tingkat daerah yang lebih tinggi atau nasional. Metode ini menganalisis pergeseran struktur
commit to user
perekonomian wilayah perencanaan dalam hubungannya dengan perekonomian yang lebih tinggi tingkatannya.
Menurut Widodo (2006), analisis shift share merupakan salah satu teknik kuantitatif yang biasa digunakan untuk menganalisis perubahan struktur ekonomi wilayah administratif yang lebih tiggi sebagai pembanding atau referensi. Untuk tujuan tersebut, analisis ini menggunakan tiga informasi dasar yang berhubungan satu sama lain, yaitu: Pertama, pertumbuhan ekonomi referensi provinsi atau nasional (national growth effect) , yang menunjukkan bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi nasional terhadap perekonomian daerah. Kedua, pergeseran proporsional (proportional shift), yang menunjukkan perubahan relatif kinerja suatu sektor di daerah tertentu terhadap sektor yang sama di referensi provinsi atau nasional. Pergeseran proporsional (proportional shift) disebut juga pengaruh bauran industri (industry mix). Pengukuran ini memungkinkan kita untuk mengetahui apakah perekonomian daerah terkonsentrasi pada industri-industri yang tumbuh lebih cepat ketimbang perekonomian yangn dijadikan referensi. Ketiga, pergeseran differensial (differential shift) yang memberikan informasi seberapa jauh daya saing industri daerah (lokal) dengan perekonomian yang dijadikan referensi. Apabila pergeseran diferensial dari suatu industri adalah positif, maka industri tersebut relatif lebih tinggi daya saingnya dibandingkan industri yang sama pada perekonomian yang dijadikan referensi. Pergeseran diferensial juga disebut pengaruh keunggulan kompetitif.
Menurut Suyatno (2000), metode LQ maupun DLQ hanya menunjukkan posisi dan reposisi sektoral dalam pertumbuhan ekonomi daerah tanpa membahas sebab perubahan tersebut. Pemahaman untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya reposisi sektoral adalah sangat penting karena merupakan kunci dasar untuk mengetahui kemampuan daerah untuk mempertahankan sektor unggulan dalam persaingan. Analisis shift share digunakan untuk mengetahui penyebab perubahan sektor, dengan langkah-langkah sebagai berikut: Menurut Suyatno (2000), metode LQ maupun DLQ hanya menunjukkan posisi dan reposisi sektoral dalam pertumbuhan ekonomi daerah tanpa membahas sebab perubahan tersebut. Pemahaman untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya reposisi sektoral adalah sangat penting karena merupakan kunci dasar untuk mengetahui kemampuan daerah untuk mempertahankan sektor unggulan dalam persaingan. Analisis shift share digunakan untuk mengetahui penyebab perubahan sektor, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
commit to user
a. Menentukan Indeks Total Keuntungan Daerah (ITKD) sebagai selisih dari laju pertumbuhan PDRB daerah bagian dengan pertumbuhan PDRB daerah himpunan yang mewakili rata-rata laju pertumbuhan PDRB dari seluruh daerah bagian, yang diformulasikan sebagai berikut:
ITKD = (g n -G)
b. Berdasarkan keunggulan daerah secara total di atas, kemudian dapat dihitung keuntungan yang diperoleh oleh daerah bagian jika dibandingkan daerah bagian mempunyai laju yang sama dengan daerah himpunan, yaitu dengan mengalikan ITKD dengan PDRB daerah bagian yang disebut Total Shift Share, dengan formulasi sebagai berikut:
TSS = (g n -G) Y no
Persamaan di atas (TSS) dapat diuraikan gin dan Gi dan ditambahkan untuk sektor tersebut menjadi :
TSS = ∑(g n -g in )X ino + ∑(G i -G)X ino + ∑(g in -G i )X ino
Berdasarkan analisis di atas menurut Suyatno (2000), ∑(gn-gin)Xino + ∑(Gi-G)Xino adalah Structural Shift Share yaitu perbedaan laju pertumbuhan PDRB daerah bagian dengan daerah himpunan yang terjadi karena perbedaan pangsa sektoral kendati laju pertumbuhan sektoralnya tepat sama. Sedangkan ∑(gin-Gi)Xino adalah Locational Shift Share yaitu perbedaan laju pertumbuhan PDRB suatu daerah bagian dengan daerah himpunan yang terjadi karena perbedaan laju pertumbuhan sektoral kendati pangsa sektoral daerah bagian tepat sama. Nilai 0 menyatakan bahwa pangsa sektoral daerah bagian tepat sama dengan daerah himpunan, dengan laju pertumbuhan sektoral tepat sama. Nilai positif atau negatif menunjukkan keuntungan atau kerugian yang di derita daerah bagian atas keunggulan atau kelemahan struktur atau lokasi daerah terhadap daerah lain dalam daerah himpunan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user