menyerahkan diri seutuhnya. Demikianlah dalam komunitas kasih trinitas, yakni Bapa, Putra, dan Roh Kudus terjadi tindakan saling menyerahkan diri
satu sama lain. Tantangan dalam komunitas Kristiani ialah menghadirkan komunitas Tritunggal Mahakudus dalam lingkungan hidup kita dengan
mengupayakan hubungan yang saling menyerahkan diri satu sama lain. Relasi dalam komunitas murid ialah pola relasi yang mendapat hidup dan
maknanya dari relasi satu sama lain dengan Yesus Kristus. Berkat relasi kita dengan Yesus dan berkat Roh Kudus, kita dimasukan ke dalam relasi
Allah Tritunggal. Komunitas murid Yesus tentu mengikuti gerak kasih Kristus kepada Bapa-Nya Martasudjita, 2001:44-48.
Semua anggota komunitas biara akan menjadi pribadi yang utuh, bila mereka senantiasa bertumpu di atas landasan cintakasih Allah
Tirtunggal. Bahtera hidup komunitas biara haruslah merupakan pengejawantahan dari komunitas Allah Tritunggal. Allah Tritunggal adalah
asal dan citra asli serta penyempurnaan persekutuan hidup kita. Hubungan antar pribadi yang dalam dasar cintaksaih Allah Tritunggal, memainkan
suatu peranan yang bersifat membentuk. Pribadi Allah Tritunggal haruslah dipandang dalam daya gerak cinta yang saling berelasi, yang dinamis-cinta
Bapa kepada Dirinya terpancar keluar kepada cinta yang saling memberi dan menerima cinta Bapa kepada Putera tercinta dan dan cinta Putera
kepada Bapa, akhirnya kepada bersama membagi cinta dalam Roh Kudus. Setiap anggota komunitas hendaknya selalu berusaha untuk
menimba air kehidupan dari sumber dan kekuatan yakni Allah Tritunggal;
sebab di dalam satu Roh, dipermandikan dan diberi minum dari satu Roh bdk. 1 Kor 12:13, maka segala peselisihan harus kita jauhkan.
Membangun komunitas yang betumpu di atas basis Allah Tritunggal, akan membuat setiap anggota komunitas merasa
berada “di rumah”, dimana spontanitas serta kreativitas dapat berkembang dengan baik. Membina cinta
persaudaraan atas dasar cinta Allah Tritunggal akan membuat semakin yakin akan diri sendiri bahwa kini berada pada jalur yang benar dan tepat
sasar Peter, 1986:323-324.
3. Komunitas Yang Mampu Menjawab Kebutuhan
Untuk memperoleh gambaran yang memadai tentang penghayatan hidup berkomunitas, maka orang perlu mempunyai gambaran yang jelas
tentang bentuk atau model hidup berkomunitas di mana ia berada. Beberapa model hidup komunitas religius berdasarkan segi penghayatan, sikap
maupun pendekatan terhadap hidup komunitas meliputi; komunitas rasuli atau zaman para rasul Kis 2:41-47; 4:32-37, dan komunitas rasul yang
berjalan mengikuti Yesus merasul Luk 9:1-6; 10:12. Komunitas rasuli atau zaman para rasul Kis 2:42-47; 4:32-37, komunitas umat kristen di
Yerusalem; bersifat komunitas koinonia di mana setiap anggota menghayati hidup bersama, memecahkan roti bersama, membagi milik, sehingga tidak
ada orang yang merasa berkekurangan. Komunitas ini merelakan milik dan harta pribadi demi kepentingan bersama. Komunitas kesatuan, satu hati satu
jiwa, sebagai pujian kepada Allah. Komunitas inilah yang menjadi inspirasi
dasar bagi kongregasi religius monastik. Komunitas merupakan sarana penghayatan kemiskinan dalam persaudaraan. Komunitas rasul yang
berjalan mengikuti Yesus merasul Luk 9:1-6; 10:1-12. Komunitas ini merupakan kelompok murid yang dipanggil untuk hidup bersama dengan
Yesus dalam perjalanan Yesus mewartakan Kerajaan Allah. Kelompok ini hidup dalam kemiskinan sebagai orang yang selalu berjalan dalam merasul,
dan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, selalu pergi dari tempat yang satu ke tempat yang lain Mrk 1:13-39 kebersamaan lebih tertuju
untuk merasul. Cara hidup mereka ialah hidup yang selalu siap untuk diutus dan pergi. Kerasulan mereka diikat dan dipersatukan oleh Yesus dan kuasa
Yesus yang diberikan kepada mereka. Komunitas merupakan inspirasi dasar bagi para religius yang
muncul pada abad XII dan XIII dan dipertajam oleh kelompok religius yang mucul pada abad XV dan XVI dan abad-abad sesudahnya Darminta,
1983:90. Ciri-ciri komunitas yang disebutkan diatas ini memberikan bantuan
untuk menemukan model penghayatan konkret yang sesuai dengan tuntutan hidup Kristiani. Adapun ciri komunitas kristiani antara lain: doa bersama
dan persaudaraan kis 2:56; 4:32; 14:22, pewartaan sabda melalui kotbah Kis 2:14; 3:12, milik demi kepentingan bersama digerakan oleh Roh
Kudus Kis 4:32-35, mengadakan keputusan bersama, mujizat dan penyembuhan Kis 2:4; 5:16. Berdasarkan kesaksian komunitas para rasul,
dapat dilihat beberapa model hidup komunitas dengan ciri-ciri hidup
berkomunitas di mana orang itu berada dan hidup meliputi; komunitas tradisional, komunitas sosial-psikologis, komunitas pelayanan, komunitas
kesaksian hidup, komunitas kesaksian sabda, komunitas rohaniah, dan komunitas pneumatis Darminta, 1981:11-20.
a. Komunitas Tradisional Komunitas ini tempat tinggal sebagai pusat dari komunitas,
kehadiran secara fisik merupakan tuntutan bagi setiap anggota. Komunitas menyediakan setiap kebutuhan anggota. Komunitas menekankan penting
hidupnya hidup bersama yakni sebagai sarana untuk memupuk rasa kebersamaan dalam komunitas. Komunitas cenderung untuk mempunyai
karya apostolat yang satu dan sama. Keanekaragaman karya dialami gangguan hidup bersama keyakinan dasar hidup bersama berarti hidup
dalam komunitas. Tujunannya adalah untuk mempermudah pelaksanaan hidup komunitas supaya dapat berdoa, bekerja dan hidup bersama dalam
damai dan melaksanakan karya Kerajaan Allah Darminta, 1981: 14-15.
b. Komunitas Sosial-Psikologis
Dalam komunitas ini yang menjadi perhatian utama adalah perkembangan dan pertumbuhan masing-masing pribadi. Doa bersama
dirasakan sebagai suatu tantangan dalam membantu pribadi masing-masing untuk tumbuh dan berkembang. Doa bersama dihayati sebagai suatu
bantuan bagi pribadi masing-masing demi pertumbuhan dalam mengikuti
visi dan anugerah-anugerahnya serta bertahan hidup pada saat-saat sukar. Faktor penentu untuk mengadakan keputusan adalah bagaimana komunitas
dapat membantu anggota untuk merealisasikan potensi hidupnya sebagai seorang religius. Perubahan diterima sebagai proses pertumbuhan yang
normal. Pembinaan diarahkan untuk membantu masing-masing pribadi agar dapat menemukan, memperkembangkan dan mengarahkan bakat-bakat yang
dimiliki. Keyakinan dasar ini ialah melayani kebutuhan masing-masing anggota Darminta, 1981:15.
c. Komunitas Pelayanan Dalam komunitas ini tempat tidaklah menjadi penting bagi
mereka. Perjumpaan dan kebersamaan dalam hidup bersama juga kurang dipentingkan. Pelayanan kepada masyarakat luas sangat diutamakan
sehingga pelayanan keluar sangat diharapkan karena ini merupakan tugas pelayanan. Doa bersama jarang dilakukan hanya pada kesempatan-
kesempatan tertentu saja banyak waktu untuk doa pribadi. Keanekaragaman dalam kerasulan dapat diterima namun ada pembatasannya. Faktor yang
cukup untuk mengambil keputusan ialah bagaimana keputusan ini akan memberikan kesiapsiagaan dan efisiensi dalam pelayanan bagi orang lain.
Perubahan dipengaruhi oleh perubahan kebutuhan masyarakat yang dilayani. Yang menjadi keyakinan dasar bahwa komunitas merupakan
bagian dari anggota untuk melayani anggota masyarakat yang lebih luas. Komitmen kepada pelayanan kerasulan merupakan kriterium untuk
mengadakan evaluasi dan refleksi pribadi. Didasarkan pula atas harapan untuk membangun dunia yang lebih baik, di mana manusia dapat hidup
dengan lebih merdeka, adil dan manusiawi Darminta, 1981: 16-17.
d. Komunitas Kesaksian Hidup Komunitas ini merupakan cara dan penghayatan hidup sebagai
kesaksian dalam hidup berkomunitas kepada masyarakat. Komunitas dihayati sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Doa bersama merupakan
tempat untuk sharing pengalaman iman. Mengundang orang luar untuk berdoa bersama, pelayanan dipilih sejauh tidak merugikan kesaksian hidup
komunitas karena hidup komunitas itu merupakan kerasulan. Maka dapat dipahami jikalau terjadi ketegangan antara komunitas sebagai tujuan dan
komunitas sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Masa pembinaan merupakan masa mempersiapkan orang untuk menghayati hidup komunitas
sebagai yang bernilai dan komunitas sebagai kesaksian secara keseluruhan. Keyakinan dasar dari komunitas kesaskian adalah komunitas kristiani secara
keseluruhan saksi hidup bersama dalam masyarakat manusia yang lebih luas yang mengalami tindakan Allah Darminta, 1981: 17-18.
e. Komunitas Kesaksian Sabda Komunitas ini menekankan kesaksian sabda. Yang menjadi
komitmen pelayanan adalah menyampaikan sabda kepada masyarakat luas. Keputusan bersama dibuat dalam terang pelayanan sabda. Pembinaan dan
pembentukan anggota ialah memperoleh ketrampilan untuk menyampaikan dan memberikan kesaksian dengan efektif. Karya pelayanan lebih
diutamakan yang lebih berpautan dengan pewartaan sabda. Kesaksian dasar ialah bahwa komunitas membantu anggota-anggotanya untuk memberikan
kesaksian sabda dan ketekunan penyelamatan sabda dalam dunia masa kini. Keputusan bersama dibuat dalam terang pelayanan sabda. Harapan dari
komunitas ini ialah bahwa dengan memberi kesaksian sabda anggota komunitas membuat sabda hadir dan mempengaruhi masyarakat luas
Darminta, 1981:18
f. Komunitas Rohaniah Dalam komunitas ini tempat merupakan hal yang penting karena
tempat merupakan pusat hidup komunitas dan tempat untuk menemukan kekuatan. Komunitas ini mengingatkan akan para murid yang dahulu
bersama dan berkumpul di ruang perjamuan, bertekun dengan sehati berdoa bersama-sama. Namun yang lebih penting adalah ibadat sendiri, karena
setiap orang dan juga komunitas secara keseluruhan dipanggil ke kesucian, ke komitmen kepada doa, ke hidup cinta yang kaya bersama Allah.
Pelayanan kerasulan lebih tergantung pada bagaimana masing-masing maupun komunitas telah mengintegrasikan kerohaniannya dengan
kebutuhan hidup dan perhatian dunia. Doa menjadi pilihan yang utama. Faktor utama untuk mengadakan keputusan maupun perubahan ialah
“bagaimana keputusan akan mempengaruhi hidup doa masing-masing
maupun komunitas. Pembinaan dan pendidikan anggota lebih menekankan perkembangan, Pemupukan dan pertumbuhan hidup doa Darminta,
1981:18-19.
g. Komunitas Pneumatis Komunitas merupakan kesatuan hidup untuk mendengarkan Roh
. Doa merupakan penantian dan pencaharian akan bimbingan Roh dari hari ke
hari. Roh terus-menerus dirasakan memanggil komunitas dalam waktu dan tempat yang berbeda-beda. Roh menjadi faktor penentu dalam membuat
keputusan dan melaksanakannya. Dasar komunitas ini ialah keyakinan bahwa Roh meresapi seluruh hidup, dan dengan demikian komunitas berada
di mana-mana. Tuntutannya adalah masing-masing anggota menyerahkan diri kepada bimbingan Roh Darminta, 1981:20.
4. Komunitas sebagai Misio
Komunitas para murid Yesus bukan hanya komunitas dari orang- orang yang sama-sama dipanggil oleh Yesus, tetapi juga orang-orang yang
diutus. Injil Markus menceritakan: “Yesus memanggil orang-orang yang dikehendakinya dan mereka pun datang kepada-Nya. Ia menetapkan dua
belas orang untuk menyertai Dia dan untuk diutus-Nya memberitakan Injil” Mrk 3:13-14. Panggilan orang-orang dalam kelompok murid bersifat
misioner. Artinya, mereka dipanggil untuk diutus, yakni memberitakan Injil. Dalam komunitas biara, para warga datang dan berada di situ juga karena
tugas perutusan dari pimpinan. Masing-masing warga mempunyai tugas perutusan yang barangkali berbeda. Dengan demikian bahwa kebaikan dan
kebahagiaan komunitas akhirnya ditentukan bukan hanya apakah mereka dapat hidup rukun dan bersaudara, tetapi juga sejauh mana mereka dapat
melaksanakan tugas perutusan mereka dengan maksimal dan baik Martasudjita, 1999: 96-98.
Komunitas religius tidaklah Injili bila tidak universal. Seorang religius semestinya menjadi orang yang mampu menemukan pengalaman
hidupnya sebagai sarana untuk memperkembangkan relasi yang penuh persaudaraan dengan semua umat manusia. Seorang religius dipanggil untuk
memperkembangkan kemampuannya, menerima, solider dengan siapaun; untuk melayani semua yang tak diuntungkan dalam hidup ini dengan
kebesaran jiwa dan kesediaan, kegembiraan dan cinta; untuk merasakan bahwa kemanapun dirinya pergi, dia harus menciptakan ikatan-ikatan
persaudaraan, persahabatan, dan saling penghargaan, dengan menjadi saudara di antara saudara-saudara, terutama bagi mereka yang kurang
diperhitungkan dalam masyarakat Darminta, 2003: 28-29. Karena disatukan dalam komunitas, yang tak dapat ditawar dan
merupakan tempat konkret bagi pembaktian dan misinya, seorang religius menjadi tanda bahwa Kerajaan persaudaraan sudah hadir. Karakter khas
komunitas adalah persaudaraan Injili. Para religius, sebagai komunitas, mengenakan misi khusus untuk melanjutkan keselamatan yang dibawa oleh
Yesus Darminta, 2003: 49.
Seorang religius melaksanakan pelayanannya, dalam konteks “misi gerejawi” yang khas dan khusus, sesuai dengan karisma yang mendasarinya.
Digerakkan oleh “panggilan dan pembaktian: seorang religius melaksanakan pelayanan melalui dua model kegiatan yakni:
1. Menjawab kebutuhan manusia yang paling dasar dan karya-karya yang secara eksplisit diperuntukan bagi evangelisasi.
2. Kaum religius tidak ikut ambil bagian dalam pelayanan “tertahbis”, tetapi dia bertindak dalam pelayanan gereja yang dipercayakan kepada tarekatnya
dan ditegaskan oleh konstitusi yang disetujui oleh gereja. Melalui cara khas untuk ikut serta dalam pelayanan-pelayanan gerejawi, para religius
memberikan jaminan yang berkesinambungan, baik pada lingkup pribadi maupun pada kelembagaan Darminta, 2003:76.
Kaum religius dipanggil secara khusus untuk mengikuti lebih dekat dan menjadikan Dia segala-galanya bagi hidup mereka VC 72. Panggilan
ini mengandung misi menghadirkan Kristus bagi dunia melalui kesaksian pribadi sesuai cita-cita Tarekat masing-masing. Lebih khusus religius aktif
diutus menghadirkan Kristus melalui hidup dan karya pelayanan mereka di tengah-tengah dunia. Oleh karena itu, bagi merekaa hidup persaudaraan
dalam komunitas diarahkan demi perutusan tersebar agar semakin bisa memberikan diri secara utuh demi kerasulan. Demikian juga jika relasi
dengan Tuhan semakin personal, hidup berkomunitas semakin besrifat persaudaraan, dan kesadaran untuk terlibat ke dalam misi Tarekat pun
semakin kuat Darminta dkk, 2008:23.
B. PENGERTIAN HIDUP BERKOMUNITAS 1. Pengertian Komunitas Menurut Kitab Suci
Menurut teladan Gereja perdana, ketika golongan kaum beriman hidup sehati dan sejiwa lih. Kis 4:32, bertekun dalam ajaran Injil, dalam
liturgi suci dan terutama dalam perayaan Ekaristi, dalam doa serta persekutuan semangat yang sama lih. Kis 2: 42. Sebagai sesama anggota
Kristus para religius hendaknya dalam pergaulan persaudaraan bersaing dalam saling menghormati, saling menanggung beban mereka. Sebab berkat
cinta kasih Allah, yang karena Roh Kudus telah dicurahkan ke dalam hati mereka. Komunitas sebagai keluarga yang sejati, dihimpun dalam nama
Tuhan, menikmati kehadiran-Nya Konsli Vatikan II, Dekrit tentang pembaharuan dan penyesuaian HidupReligius, art. 15
Model komunitas yang sering digunakan untuk hidup bersama adalah gereja perdana Kis 2:41-47, 4:32-37. Dalam hidup mereka saling
membantu penuh persaudaraan. Mereka saling sehati, saling berbagi pengalaman; bahkan milik mereka menjadi milik bersama. Dalam hidup itu
mereka rela berbagi, baik berbagi hal rohani maupun jasmani; hidup spiritual dan hidup sehari-hari. Mereka dengan gembira saling berbagi hidup
rohani sehingga saling diperkuat; saling berbagi hidup sehari-hari seperti membantu secara ekonomi. Kerelaan berbagi itulah kiranyan yang membuat
persaudaraan mereka sungguh erat dan hidup masing-masing dikuatkan. Tidak mustahil bahwa hidup mereka itu menarik bagi orang-orang disekitar
mereka Suparno, 2002:32-33.
Komunitas Kristiani adalah komunitas yang disatukan dan dihidupi oleh iman akan Yesus Kristus berkat pencurahan Roh Kudus. Apa yang
dilakukan ialah bertekun dalam pengajaran para rasul pendalaman imanpewartaan, giat dalam persekutuan, bersemangat dalam pelayanan
satu sama lain dan sesama, serta berdoa yang puncaknya ada dalam perayaan Ekaristi Kis 2:41-47. Kebersamaan para murid dengan kata yang
amat menyentuh hati, yakni “mereka sehati dan sejiwa” cor unum et anima. Ketekunan dalam pola interaksi dan relasi yang sehati dan sejiwa.
Komunitas kristiani tentu harus berkembang ke dalam suatu pola interaksi yang sehati dan sejiwa. Kualitas kehidupan bersama para murid mendapat
ciri khasnya dalam relasi yang sampai pada tingkat sehati dan sejiwa. Tingkatan sehati dan sejiwa bukan mendapat perwujudannya dalam sekadar
kesamaan acara bersama, seperti makan bersama, doa bersama, rekreasi bersama, namun tingkatan sehati dan sejiwa itu pertama-tama soal batin atau
roh yang entah bagaimana membuat satu sama lain sudah saling “terpaut” jiwanya. Hanya dengan keterpautan hati dan jiwa itulah suatu komunitas
sungguh-sungguh menjadi komunitas yang hidup Martasudjita, 2001: 40- 42.
Hidup bersama yang dibangun atas teladan komunitas gereja purba, yaitu semua anggota sehati dan sejiwa untuk mewartakan Allah sesuai
dengan teladan-Nya melalui doa-Nya, amanat-Nya dan terutama wafat-Nya, sebagai sumber perdamaian Kis 4:32. Sebagai anggota dalam hidup
bersama dalam Kristus sebagai saudara, kaum religius hendaknya saling
menghargai dan dan saling menanggung hidup bersama. Sebagai komunitas keluarga sejati yang dikumpulkan atas nama Tuhan oleh cinta Allah yang
meliputi anggota-anggotanya melalui Roh Kudus hendaknya bergembira karena Dia hadir di tengah-tengah mereka. Dengan demikian hidup
berkomunitas memberikan kemungkinan konkret untuk penghayatan hidup berkaul dengan lebih jelas dan lebih menantang, bila hidup berkomunitas
dihayati dalam komunio rohaniah maupun lahiriah eksternal dengan sesama anggota maupun dihayati dalam ketergantungan kepada orang yang
memimpin komunitas. Yesus membentuk komunitas para murid, dengan tujuan agar
mereka dalam kelompok menjalankan misi Yesus Mat 10:1-8. Dalam kebersamaan pula para murid diutus untuk mewartakan oleh Yesus dalam
pesan akhir-Nya. Maka tujuan kesatuan dan persekutuan para murid ialah untuk merasakan kekuatan dalam membangun komunitas umat manusia
tanpa membedakan kaya dan miskin Luk 14:16-24. Yesus pun menanamkan jiwa pengabdian dalam komunitas para murid. Dari jiwa
pengabdian dan pelayanan itulah para murid akan menimba kekuatan untuk mengajar, mewartakan, menyembuhkan, dan menghadapi kejahatan dan
dosa dunia. Dalam kebersamaan dan solidaritas terhadap siapapun juga, para murid diharapkan menjadi bukan pribadi dengan kuasa yang mau menguasai
orang lain, melainkan pribadi yang sungguh merdeka agar mampu melayani, terutama melayani yang miskin, yang memerlukan, tersingkir dari
masyarakat, dan siap untuk memberikan hidup untuk mereka. Demikian
juga bahwa membangun komunitas religius diharapkan untuk memberikan kesaksian dalam melayani tanpa memilih siapapun seperti yang ditanamkan
oleh Yesus kepada para murid-Nya Darminta, 1981: 30-31. Hidup bersama yang dibangun atas teladan komunitas Gereja
purba, yaitu semua anggota sehati dan sejiwa Kis 4: 32 dengan kekuatan ajaran-ajaran Injil, liturgi dan terutama ekaristi, hendaknya dihayati dalam
doa dan komunio semangat yang sama. Sebagai anggota dalam hidup bersama dalam Kristus sebagai saudara, kaum religius hendaknya saling
menghargai Rom 12:10 dan saling menanggung hidup bersama. Sebab keluarga komunitas, keluarga sejati yang dikumpulkan atas nama Tuhan
oleh cinta Allah yang meliputi hati anggota-anggotanya melalui Roh Kudus Rom 5:5 hendaknya bergembira karena Dia hadir ditengah-tengah mereka
Darminta, 1981: 31-32. Hidup akan semakin religius, sejauh hidup itu lebih evangelis.
Tarekat-tarekat religius dan anggota-anggotanya haruslah mencari daya upaya dan sarana untuk kembali ke Injil, agar dapat dipahami dan dihayati
dalam kondisi jaman sekarang dibawah pimpinan Roh Kudus. Pembaharuan religius dapat diukur dan dilihat dari keterbukaannya terhadap Injil
Darminta, 1981: 50-51.
2. Gereja sebagai Communio
Yesus telah memberi Gereja sebagai lingkungan hidup manusia paguyuban tempat Ia hadir dan mengajar manusia menjadi putera-puteri
dan saudara-saudari. Yesus menjadikan Gereja sumber hidup-Nya, Tubuh- Nya, sakramnen keselamatan, Ibu dan Guru. Gereja melahirkan manusia
sebagai putera-puteri Allah yang hidup hanya untuk mengasihi dan dan dikasihi karena belaskasihan Allah yang mau menyelamatkan manusia dari
dosa. Gereja adalah Sakramen Kesatuan persaudaraan dalam Kristus. Di dalam Gereja manusia belajar menjadi yakin bahwa dicintai oleh Bapa
dalam Kristus. Diri manusia yang terdalam adalah Kristus yang hadir dan bersatu dengan Bapa Driscoll, 2002 : 38.
Pembaktian religius yang dihayati akan mencapai perkembangan penuh dalam komunitas. Dengan pembaktiannya, seorang religius sekaligus
dan menyanggupkan diri kepada Allah dan menjadi anggota tarekat religius. Dengan berbuat demikian dan dengan hidup di sebuah komunitas, seorang
religius memberi kesaksian akan kehadiran Kerajaan Allah, mewartakannya, dan berjuang untuk kedatangannya. Dengan hidup di sebuah komunitas
tentu dipersatukan dalam sabda Allah dan Ekaristi, para religius menyambut misi khas bersama untuk mengubah dunia dengan kerja sama dalam misi
penyelamatan Kristus. Dalam Gereja aspek komunitas religius merupakan ungkapan yang menunjukan kesamaan martabat masing-masing anggotanya,
kesamaan fundamental sebagai anak-anak Allah, sebagai pribadi yang dipanggil dan dibaktikan. Komunitas religius berdasarkan Sabda Allah,
yang memanggil anggota-anggotanya untuk mengikuti Yesus dengan meninggalkan gaya hidupnya dan dengan mengenakan gaya hidup religius
yang dimasuki: “hidup dalam kebersamaan”. Komunitas religius dibangun
atas dasar panggilan yang diterima oleh anggota-anggotanya untuk mengikuti Kristus. Ukuran dari suatu komunitas religius bukanlah demi
kegunaan atau keuntungannya, melainkan terutama demi kenabian. Dalam Gereja, komunitas persaudaraan religius mengungkapkan
tanggung jawab bersama dari semua anggotanya, sebagaimana mereka berbagi dalam organisasi internal dalam pelayanan-pelayanan, yang
diemban oleh tarekat untuk mewujudkan misinya. Hidup berkomunitas juga memberi kesaksian terhadap luasnya keanekaragaman anugerah dan
karisma, kebutuhan dan panggilan, peranan dan pelayanan. Hal itu menunjukan bahwa tidak ada komunitas Kristiani yang dari dirinya sendiri
merupakan sebuah “sel” Gereja. Oleh karena itu, komunitas harus masuk dalam totalitas Gereja dan menimba hidup dari totalitas Gereja. Ini berarti
bahwa komunitas religius hidup dalam kebersamaan dengan semua unsur Gereja baik pelayan-pelayan terthabis maupun awam Darminta, 2003:23-
27. Setiap anggota Gereja dipanggil Allah untuk mencapai kesucian
hidupnya. Mereka dipanggil Allah bukan berdasarkan perbuatan mereka melainkan karenanya, supaya dengan kesucian tersebut cara hidup di dunia
ini menjadi lebih manusiawi Lih. Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, art. 40.
Kesucian Gereja tersebut harus tampak dalam buah rahmat yang dihasilkan oleh Roh dalam hidup kaum beriman. Masing-masing anggota Gereja dapat