Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
4
lain pertumbuhan ATMR BUS mencapai 27,9 yoy, sehingga CAR BUS meningkat dari 14,1 pada tahun 2012 menjadi 14,4 pada akhir 2013.
CAR tersebut mengindikasikan tingkat ketahanan risiko yang masih cukup memadai mengingat masih melebihi standar sebesar 8, terlebih lagi rasio
modal inti terhadap ATMR tergolong sangat memadai yaitu mencapai 11,8.
6
Selanjutnya dari sisi pembiayaan, pertumbuhan pembiayaan yoy pada BUS tercatat sebesar 22,1, melambat dibandingkan tahun sebelumnya
sebesar 34,2. Demikian pula halnya pertumbuhan pembiayaan pada kelompok UUS yang turun dari 85,3 menjadi 33,5, serta pertumbuhan
pembiayaan BPRS yang turun dari 32,8 menjadi 24,8 pada periode yang sama Grafik 1.1. Perlambatan yang terutama dialami sejak semester kedua
2013 antara lain dipengaruhi ketatnya likuiditas sumber dana pembiayaan seiring kontraksi moneter, ekspektasi kenaikan risiko kredit, dan
implementasi kebijakan prudensial seperti Financing To Value FTV dan down-payment pembiayaan konsumsi. Dilihat dari jenis akadnya, secara umum
penyaluran pembiayaan perbankan syariah masih didominasi oleh akad murabahah. Pada periode laporan pembiayaan murabahah tumbuh 25,6
yoy, sehingga menempati pangsa 60,0 dari total pembiayaan BUS dan UUS. Sementara pada pembiayaan BPRS pangsa akad murabahah mencapai
80,3. Pemanfaatan akad-akad lain dalam pembiayaan berkembang secara dinamis, khususnya pada kelompok BUS dan UUS. Pada periode laporan,
6
Ibid., h.14.
5
peningkatan preferensi penggunaan akad ijarah dalam pembiayaan BUS dan UUS masih berlanjut dengan pertumbuhan 42,7 yoy, lebih tinggi
dibanding peningkatan penggunaan akad lainnya. Sebaliknya pembiayaan berbasis qardh yang sejak tahun lalu mengalami perlambatan, pada periode
laporan tumbuh -25,6 yoy, sebagai dampak penyesuaian kebijakan terkait kehati-hatian dalam penjualan produk rahn emas.
7
Grafik 1.1 Perkembangan Pembiayaan Perbankan Syariah
Sumber: Laporan Perkembangan Keuangan Perbankan Syariah LKPS, 2013
Sementara itu dari sisi profitabilitas, laba bersih BUS dan UUS pada tahun 2013 tercatat sebesar Rp3,3 Triliun meningkat 29,0 dari tahun
sebelumnya. Namun demikian pertumbuhan tersebut melambat dari tahun sebelumnya yang mencapai 72,3 yoy. Dari sisi tingkat pengembalian aset
Return on Asset, pertumbuhan laba yang melambat juga tercermin dari penurunan ROA yaitu dari 2,1 pada tahun 2012 menjadi 2,0 pada tahun
laporan Grafik 1.2 . Dibandingkan dengan perbankan secara nasional yang memiliki ROA 3,1, tingkat profitabilitas perbankan syariah cenderung lebih
7
Ibid., h.9.
6
rendah mengingat kemampuan menghasilkan pendapatan selain dari kegiatan penyaluran dana masih relatif terbatas.
8
Grafik 1.2 Profitabilitas Perbankan Syariah
Sumber:Laporan Perkembangan Keuangan Perbankan Syariah LKPS, 2013
Meskipun mengalami perlambatan, laju pertumbuhan aset perbankan syariah tersebut tetap lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan aset perbankan
secara nasional. Selain itu, pertumbuhan aset tersebut tetap diikuti pelaksanaan intermediasi yang optimal. Hal ini tercermin pada tren
pertumbuhan dan nominal pembiayaan BUS dan UUS yang lebih tinggi dibandingkan dana pihak ketiga Grafik 1.3. Pada akhir 2013 pembiayaan
BUS dan UUS tercatat sebesar Rp188,6 triliun, sementara dana pihak ketiga yang dihimpun mencapai Rp187,2 triliun, sehingga financing to deposit
ratio perbankan syariah tetap relatif tinggi. Pada kelompok BUS misalnya, financing to deposit ratio tercatat sebesar 95,9 pada akhir periode laporan.
9
Grafik 1.3
8
Ibid., h.13.
9
Ibid., h.2.
7
Perkembangan Aset, DPK, PYD, dan FDR Perbankan Syariah
Sumber: Laporan Perkembangan Keuangan Perbankan Syariah LKPS, 2013
Dengan kondisi laju perkembangan perbankan syariah secara umum masih belum optimal khususnya pada BUS dan UUS di Indonesia dan mengingat market
share bank syariah di Indonesia masih sekitar 5 dari total asset bank secara nasional,
10
sehingga manajemen perbankan syariah beserta pihak-pihak terlibat di dalamnya dituntut untuk terus meningkatkan kinerja agar laju perkembangan
perbankan syariah semakin membaik di masa mendatang. Salah satu indikator untuk menilai kinerja keuangan suatu bank adalah
dengan melihat tingkat profitabilitasnya yang biasa diproksikan dengan Return On Asset ROA. ROA penting bagi bank karena ROA digunakan untuk
mengukur efektifitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan mamanfaatkan aktiva yang dimilikinya. ROA merupakan rasio antara laba
sebelum pajak terhadap total asset. Semakin besar ROA menunjukkan kinerja perusahaan semakin baik, karena tingkat pengembalian return semakin besar.
Hal ini terkait sejauh mana bank menjalankan usahanya secara efisien.
10
Ahmad Buchory, “OJK: Market Share Bank Syariah 5”, artikel diakses pada 10 April 2015 dari
http:ekbis.sindonews.comread96402034ojk-market-share-bank-syariah-5- 1423810057
8
Efisiensi diukur dengan membandingkan laba yang diperoleh dengan aktiva atau modal yang menghasilkan laba.
Kinerja keuangan suatu bank juga mencerminkan tingkat kesehatan bank tersebut yang lebih lanjut dalam pasal 3 PBI No. 91PBI2007 Tentang
Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah mencakup penilaian terhadap faktor-faktor sebagai berikut:
a. Permodalan capital; b. Kualitas aset asset quality;
c. Manajemen management; d. Rentabilitas earning;
e. Likuiditas liquidity; dan f. Sensitivitas terhadap risiko pasar sensitivity to market risk.
Penelitian yang membahas profitabilitas perbankan syariah sudah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya namun masih banyak dari mereka
menemukan hasil yang berbeda antara peneliti satu dengan peneliti lainnya dan hasil penelitian yang diperoleh tidak sesuai dengan teori yang ada.
Berdasarkan pubikasi statistik perbankan syariah 2014, telah ditemukan gap antara data dengan teori yang ada terkait rasio keuangan BUS dan UUS
khususnya pada rasio CAR, dan FDR yang tersaji dalam tabel dibawah ini:
11
Tabel 1.2 Rasio Keuangan BUS dan UUS 2010-2014
11
Bank Indonesia, Statistik Perbankan Syariah 2014 Jakarta: Bank Indonesia, 2014, h.38.
9
Rasio 2010
2011 2012
2013 2014
ROA 1,67
1,79 2,14
2,00 0,80
CAR
1
16,25 16,63
14,13 14,42
16,10 FDR
89,67 88,94
100,00 100,32
91,50
Sumber : Statistik Perbankan Syariah 2014 oleh OJK
1
Hanya data Bank Umum Syariah
Berdasarkan tabel 1.2, tampak bahwa terdapat data rasio keuangan yang apabila dikaitkan dengan teori yang bersangkutan maka telah terjadi gap antara
teori dengan data yang ada. Pada tahun 2012, ketika CAR mengalami penurunan 15yoy, ROA justru naik 19,55yoy sehingga ROA tahun 2012 menjadi
2,14, justru sebaliknya pada tahun 2013 dan 2014 ketika CAR sedang naik masing-masing sebesar 2,05yoy dan 11,65yoy, justru ROA turun masing-
masing sebesar 6,54yoy dan 60yoy, sehingga ROA tahun 2013 dan 2014 masing-masing menjadi 2,00 dan 0,80. Kemudian terkait pembahasan rasio
Ketika FDR turun di tahun 2011 sebesar 0,81yoy, justru yang terjadi ROA naik sebesar 7,18yoy, sehingga ROA tahun 2011 mejadi 1,79. Namun
sebaliknya pada tahun 2013 ketika FDR naik sebesar 0,32yoy namun ROA mengalami penurunan sebesar 6,54yoy, sehingga ROA tahun 2013 menjadi
2,00. Namun mengingat sampel yang digunakan dalam penelitian ini hanya
sebatas pada empat Bank Umum Syariah, maka alasan untuk membuktikan gap data dengan teori yang terjadi belum bisa sepenuhnya dianggap tepat karena
belum tentu keempat Bank Umum Syariah yang dijadikan sampel penelitian FDR pada tahun 2011 dan 2013 yang juga terjadi hal serupa dengan rasio CAR.
10
memberikan kontribusi banyak terhadap data pada tabel 1.2 di atas. Sehinga penulis perlu menyajikan data terkait rasio keuangan pada keempat Bank Umum
Syariah yang menjadi objek peneliitian agar mampu merepresentasikan alasan atas terjadinya gap antara teori dengan data yang terjadi. Berikut ini merupakan
data rasio keuangan pada empat Bank Umum Syariah diantaranya Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri, Bank BNI Syariah, dan Bank Syariah Mega
Indonesia yang tersaji pada tabel di bawah ini:
Tabel 1.3 Rasio Keuangan Bank Muamalat tahun 2010-2014
Rasio 2010
2011 2012
2013 2014
ROA 1,36
1,52 1,54
1,37 0,17
CAR 13,26
12,01 11,57
17,27 14,15
FDR 91,52
85,18 94,15
99,99 84,14
Sumber :
www.muamalatbank.co.id, diolah
Tabel 1.4 Rasio Keuangan Bank Syariah Mandiri tahun
2010-2014 Rasio
2010 2011
2012 2013
2014 ROA
2,21 1,95
2,25 1,53
0,17 CAR
10,60 14,57
13,82 14,10
14,76 FDR
82,54 86,03
94,40 89,37
82,13
Sumber :
www.syariahmandiri.co.id, diolah
11
Tabel 1.5 Rasio Keuangan Bank BNI Syariah tahun
2010-2014 Rasio
2010 2011
2012 2013
2014 ROA
0,61 1,29
1,48 1,37
1,27 CAR
27,68 20,67
14,10 16,23
18,42 FDR
68,92 78,60
84,99 97,86
92,58
Sumber :
www.bnisyariah.co.id, diolah
Tabel 1.6 Rasio Keuangan Bank Syariah Mega Indonesia
2010-2014 Rasio
2010 2011
2012 2013
2014 ROA
1,90 1,58
3,81 2,33
0,29 CAR
13,14 12,03
13,51 12,99
18,82 FDR
78,17 83,08
88,88 93,37
93,61
Sumber :
www.megasyariah.co.id, diolah Pada keempat tabel di atas, terlihat bahwa memang telah terjadi gap antara
teori dengan data seperti yang terjadi pada data Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah seperti pada tabel 1.2 sebelumnya dimana keterkaitan antara rasio
CAR dan FDR dengan rasio ROA belum sepenuhnya mengikuti teori yang ada. Seperti yang terjadi pada Bank Muamalat pada tahun 2010-2014 untuk rasio CAR
terhadap ROA, dimana pada periode tahun tersebut telah terjadi gap teori. Begitu pula pada rasio FDR terhadap ROA tahun 2010-2011 dan tahun 2012-1013 yang
telah terjadi hal serupa lihat tabel 1.4. Hal tersebut juga terjadi pada Bank Syariah Mandiri pada tahun 2010-2014 untuk rasio CAR terhadap ROA, dan pada
tahun 2010-2011 untuk rasio FDR terhadap ROA lihat tabel 1.5. Selanjutnya
12
pada Bank BNI Syariah juga terjadi hal serupa yaitu pada tahun 2010-2014 untuk rasio CAR terhadap ROA, dan pada tahun 2012-2013 untuk rasio FDR terhadap
ROA lihat tabel 1.6. Begitu pula hal serupa yang dialami Bank Syariah Mega Indonesia, pada tahun 2013-2014 untuk rasio CAR terhadap ROA, dan pada
periode tahun 2010-2011 dan 2012-2014 lihat tabel 1.6. Dengan hasil ini dapat dikatakan bahwa keempat bank umum syariah yang menjadi objek penelitian
dalam penelitian ini seperti Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri, Bank BNI Syariah dan Bank Syariah Mega Indonesia ikut andil dalam data publikasi statistik
perbankan syariah yang gap dengan teori yang semestinya, sehingga hal ini menjadi salah satu alasan penulis dalam memilih empat bank umum syariah
tersebut untuk dijadikan sampel penelitian. Pada sisi lain, harus diakui bahwa dalam kegiatan operasionalnya bank
tidak terlepas dari pengaruh kondisi perekonomian yang terjadi. Kondisi perekonomian akan mempengaruhi operasional perusahaan termasuk pada
industri perbankan syariah terkait keputusan pengambilan kebijakan yang akan dilakukan dalam jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang. Sehingga
kemungkinan akan berpengaruh terhadap kinerja keuangan dan profitabilitas perusahaan.
Inflasi dan BI rate merupakan contoh dari indikator makroekonomi suatu negara yang sangat mempengaruhi kondisi perekonomian dan dalam penelitian
ini akan dijadikan variabel independen atas profitabilitas Bank Umum Syariah. Inflasi dan BI rate merupakan indikator makroekonomi yang tidak
terpisahkan. Pada teori ekonomi makro, inflasi selalu berkaitan dengan jumlah
13
uang yang beredar dan kebijakan moneter yang diambil pemerintah melalui bank sentral. Pemerintah bisa mengendalikan jumlah uang yang beredar dengan
mempengaruhi proses penciptaan uang. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan kebijakan moneter melalui tingkat BI rate sehingga jumlah uang
yang beredar bisa dikontrol. Besar kecilnya laju inflasi akan mempengaruhi suku bunga dan kinerja
keuangan perusahaan khususnya dari sisi profitabilitas. Jika inflasi sedang meningkat maka harga-harga barang kebutuhan masyarakat akan ikut
meningkat dan akan menurunkan tingkat konsumsi masyarakat. Menurunnya tingat konsumsi masyarakat akan membuat para investor tidak mau untuk
berinvestasi di sektor riil. Sebagian besar dana investasi untuk sektor riil adalah dibiayai oleh bank. Hal ini menjadikan bank kesulitan menyalurkan dana serta
menanggung biaya dari modal yang ada. Dan pada akhirnya akan berdampak pada penurunan profitabilitas perbankan.
Kebijakan suku bunga diarahkan untuk menekan ekspektasi inflasi dan dampak lanjutan kenaikan harga melalui kenaikan BI rate berupa suku bunga
Deposit Facility, dan suku bunga Lending Facility. Oleh karena itu, Bank Indonesia juga perlu untuk menetapkan tingkat suku bunga BI Rate yang
sesuai sebagai dasar atau patokan bank umum dan swasta untuk menentukan BI rate mereka agar mereka dapat tetap menguntungkan. Besarnya tingkat BI rate
menjadi salah satu faktor bagi perbankan untuk menentukan besarnya suku bunga yang ditawarkan kepada masyarakat. Suku bunga berpengaruh terhadap
keinginan dan ketertarikan masyarakat untuk menanamkan dananya di bank
14
0.00 2.00
4.00 6.00
8.00 10.00
2010 2011
2012 2013
2014 Inflasi
BI Rate
melalui produk-produk yang ditawarkan. Dampak bagi bank itu sendiri, yakni dengan semakin banyaknya dana yang ditanamkan oleh masyarakat,
akan meningkatkan kemampuan bank dalam menyalurkan dana tersebut dalam bentuk kredit dimana dari kredit yang disalurkan tersebut, bank memperoleh
profit. Namun perkembangan tingkat suku bunga yang tidak wajar secara langsung dapat mengganggu perkembangan perbankan. BI rate yang tinggi, di
satu sisi akan meningkatkan hasrat masyarakat untuk menabung sehingga jumlah dana perbankan akan meningkat. Tingkat suku bunga menjadi
ukuran berapa biaya atau pendapatan sehubungan dengan penggunaan uang untuk periode jangka waktu tertentu.
12
Berikut ini pergerakan inflasi dan BI rate di Indonesia periode 2010-2014 sebagai berikut:
Grafik 1.4 Inflasi dan
BI rate di Indonesia Periode 2010-2014
Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia diolah
Grafik 1.4 merupakan data inflasi dan BI rate dari tahun 2010-2014. Inflasi mengalami penurunan pada tahun 2010-2011 yang disebabkan oleh
12
Loen dan Ericson, Manajemen Aktiva dan Pasiva Bank Devisa Jakarta: Grasindo, 2008, h. 70.
15
kenaikan harga pangan domestik dan sektor lainnya seperti beras, cabai, tarif listrik, dan perhiasan. Pada tahun 2012 inflasi mengalami peningkatan dan tetap
stabil karena penerapan kebijakan moneter dan makroprudensial yang tepat dan koordinasi kebijakan dengan pemerintah yang semakin solid dalam
mendorong kestabilan harga. Kemudian pada tahun 2013-2014 terjadi kenaikan inflasi yang cukup tajam dan diluar target inflasi pada dua tahun tersebut,
sehingga inflasi menembus angka 8,38 dari target inflasi sebesar 7,2 pada 2013.
13
Penyebab utamanya adalah kenaikan harga Bahan Bakar Minyak BBM bersubsidi, dengan premium menjadi Rp 6.500liter dan solar Rp 5.500liter. BBM
memberi andil atas inflasi sebesar 1,17. Paling besar penyebabnya adalah Bensin 1,17, Kenaikan harga BBM juga membuat harga beberapa komoditas
lainnya merangkak naik. Seperti dilaporkan tarif angkutan dalam kota memberikan andil inflasi 1,75, cabai merah 1,31, serta komoditas dan jasa
lainnya seperti bawang merah, beras, ikan segar, nasi lauk, rokok kretek filter, tarif listrik, hingga upah pembantu rumah tangga memberikan kontribusinya
terhadap inflasi meskipun masih dibawah 1.
14
Kemudian pada tahun 2014 inflasi masih tertahan pada angka 8,36 persen atau hanya turun sebesar 0,02yoy.
Padahal target di APBN-P 2014 nilai inflasi diperkirakan berada diangka 5,3. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik BPS nilai inflasi bulan Desember 2014
naik ke angka 2,46 dari 1,05 bulan sebelumnya. Tingginya inflasi tersebut penyebab utamanya adalah kenaikan harga Bahan Bakar Minyak BBM yang
13
http:www.indonesia investments.comidkeuanganangka-ekonomi-makroinflasi-di- indonesiaitem254
diakses pada 27 Desember 2014.
14
http:finance.detik.comread2014010214094024566644ini-penyebab-meroketnya- inflasi-2013-dari-bbm-hingga-rokok-kretek
diakses pada 27 Desember 2014.
16
terjadi pada pertengahan November 2014, selain kenaikan BBM juga akibat kenaikan tarif listrik dan angkutan dalam kota. Kemudian cabai merah juga
menyumbang inflasi hingga 0,43. Bahan Bakar Minyak BBM menyumbang inflasi hingga 1,04, lalu tarif listrik 0,64, dan angkutan dalam kota 0,63 dan
komoditas lainnya seperti cabe merah dan rawit, dan nasi dengan lauk.
15
Selanjutnya pergerakan BI rate akan serta-merta mengikuti pergerakan inflasi namun dengan tingkat yang berbeda, kebijakan menaikkan atau
menurunkan BI rate oleh pemerintah bertujuan untuk mengendalikan inflasi. Secara historis, tingkat dan volatilitas inflasi Indonesia lebih tinggi
dibanding negara-negara berkembang lain. Sementara negara-negara berkembang lain tingkat inflasinya mencapai sekitar tiga sampai lima persen per tahun dalam
periode 2005 sampai 2013, tingkat inflasi di Indonesia mencapai rata-rata 8.5 persen per tahun dalam periode yang sama.
16
Secara teori, perbakan syariah merupakan bank independen yang terpisah dari sistem bunga yang berlaku pada bank umum. Dengan begitu seharusnya
kondisi tingkat bunga tidak akan terpengaruh secara langsung kepada industri bank syariah. Hal ini terbukti ketika krisis ekonomi menghantam Indonesia pada
1997 Bank Muamalat sebagai satu-satunya bank syariah di Indonesia mampu bertahan dari krisis bahkan sekarang berkembang dengan pesat dengan semakin
banyaknya kantor cabang serta asset yang terus meningkat tiap tahunnya. Namun
15
http:bisniskeuangan.kompas.comread20150102102923526BPS.Inflasi.2014.Capai .8.36.Persen
diakses pada 2 Januari 2015.
16
http:www.indonesia investments.comidkeuanganangka-ekonomi-makroinflasi-di- indonesiaitem254
diakses pada 27 Desember 2014.
17
menurut hasil penelitian Liyana 2011, dan Sahara 2013 BI rate berpengaruh signifikan negatif terhadap ROA. Hal ini berarti, meskipun perbankan syariah
merupakan bank independen yang terpisah dari sistem bunga yang berlaku pada bank umum, namun kenyataan yang terjadi berbeda dengan teori yang ada.
Kemudian terkait pembahasan inflasi, juga telah dilakukan penelitian oleh Sahara 2013, menurut hasil penelitiannya inflasi mempunyai pengaruh positif terhadap
ROA. Namun pada penelitian yang dilakukan oleh Stiawan 2009, Liyana 2011, Kurniasari 2012, dan Ramadhan 2013, berdasarkan hasil penelitian
mereka menyatakan bahwa inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap ROA. Mengingat pembuktian oleh Bank Muamalat yang mampu bertahan dari krisis
moneter tahun 1997 lalu, seharusnya inflasi tidak berpengaruh terhadap ROA bank syariah. Namun beberapa hasil penelitian sebelumnya dan bahkan dari data
yang ada terkait inflasi dan BI rate juga masih yang belum konsisten membuat penelitian terkait pengaruh inflasi dan BI rate terhadap ROA bank syariah
menjadi menarik untuk dilakukan penelitian guna menjawab permasalahan yang terjadi dan guna mendapatkan hasil yang kompherensif dan mendalam.
Berikut ini data inflasi dan BI rate yang dihubungkan dengan ROA perbankan syariah di Indonesia selama tahun 2010-2014:
18
Tabel 1.7 ROA Perbankan Syariah dan Kondisi Makroekonomi
Rasio 2010
2011 2012
2013 2014
ROA 1,67
1,79 2,14
2,00 0,80
Inflasi 6,96
3,79 4,30
8,38 8,36
BI rate 6,50
6,00 5,75
7,50 7,75
Sumber : Badan Pusat StatistikIndonesia diolah
Dari tabel 1.3 terlihat bahwa masih terdapat gap teori terkait pengaruh Inflasi dan BI rate terhadap ROA perbankan syariah. Pada di tahun 2012 inflasi
naik sebesar 13,45yoy justru ROA naik sebesar 19,55yoy sehingga ROA tahun 2012 menjadi 2,14. Kemudian pada tahun 2014 dimana ROA mengalami
penurunan sebesar 60yoy sehingga menjadi 0,80 ketika inflasi hanya mengalami penurunan sebesar 0,23yoy. Begitu pula dengan BI rate yang terjadi
pada tahun 2011 dan 2012, ketika BI rate turun masing-masing sebesar 7,7yoy dan 4,16yoy, justru ROA naik sebesar 7,18yoy dan 19,55yoy sehingga
ROA tahun 2011 dan 2012 masing-masing menjadi 1,79 dan 2,14. Dengan berlandaskan data dan penelitian terdahulu, penulis tertarik untuk
meneliti pengaruh CAR, FDR, inflasi, dan BI rate terhadap ROA karena hubungan antara CAR, FDR, inflasi, dan BI rate terhadap ROA belum konsisten.
Kemudian ketika penulis menemukan keberagaman hasil penelitian yang dilakukan peneliti sebelumnya, maka tema penelitian ini menjadi semakin
menarik untuk dijadikan penelitian guna mendapatkan jawaban atas keberagaman hasil penelitian terdahulu yang tidak konsisten. Sehingga penulis mengangkat
tema ini untuk dijadikan penelitian.
19
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka penelitian ini
mengambil judul “Pengaruh Rasio Kecukupan Modal CAR, Rasio
Likuiditas FDR, Inflasi, dan BI rate Terhadap Profitabilitas Bank Umum
Syariah Di Indonesia Studi Pada Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri, Bank
BNI Syariah dan Bank Syariah Mega Indonesia Periode 2010-2014 ”.