sehingga situasi ini menciptakan guncangan mendadak yang tidak pernah diharapkan.
Istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan rasa kehilangan atas suatu kematian yakni dukacita grief. Dukacita adalah keadaan psikologis yang
bercirikan kondisi jiwa yang mengalami kesedihan yang mendalam. Dukacita merupakan respon kesedihan emosional terhadap kehilangan Backer, Hannon,
Russell, 1982. Turner Helms 1995 mengemukakan pendapat serupa tentang dukacita. Menurut mereka, dukacita merujuk pada kesedihan yang mendalam
akibat rasa kehilangan yang besar. Hal ini menggambarkan reaksi emosional seseorang terhadap kematian orang lain.
Realita kehilangan biasanya sangat sulit diterima oleh kebanyakan orang, dan ekspresi duka kadangkala menjadi sangat mengganggu dan menyakitkan.
Meskipun demikian, berduka merupakan suatu cara untuk memulihkan diri sendiri. Ketika seseorang membiarkan diri mereka untuk mengekspresikan
perasaan yang paling mendalam, rasa kehilangan biasanya lebih mudah dipahami Kinderknecht Hodges ; Wortman Silver dalam Turner Helms, 1995.
Seseorang yang sedang berduka merasakan rasa sakit. Rasa sakit ini merupakan mekanisme adaptasi yang efektif untuk kehidupan individu
selanjutnya Huffman, Vernoy Vernoy, 1997. Sebelum bisa beradaptasi, individu akan melewati beberapa beberapa fase dukacita sebelum akhirnya bisa
melanjutkan lagi kehidupannya dengan baik. Menurut Averill dalam Santrock, 1995, ada tiga fase dukacita yang akan dialami setelah kehilangan, yakni terkejut,
putus asa, dan pulih kembali. Seseorang tidak harus melewati fase ini secara PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
berurutan, namun disarankan agar individu mampu beradaptasi secara lebih efektif agar bisa melaluinya dengan baik Campbell, Swank Vincent dalam
Santrock, 1995. Suasana kemeriahan yang terlihat pada upacara kematian di Toraja
seakan-akan menjadi sebuah tameng bagi pihak keluarga untuk menyembunyikan perasaan sedih mereka. Orang yang baru pertama kali menghadiri upacara
kematian ini mungkin akan bertanya-tanya, apakah mereka tidak merasa sedih atau merasa kehilangan atas kematian orang yang dicintainya ? Perasaan
seseorang cenderung dapat dibentuk dan dilakukan secara sadar. Pihak keluarga terlihat mampu membentuk atau membangun karakter emosi mereka sendiri
sehingga kematian yang biasanya sarat dengan ekspresi kesedihan tidak terlihat disini. Gelak tawa yang terdengar di berbagai sudut lantang pondok-pondok
keluarga dan wilayah sekitar upacara seolah-olah menjadi suatu petunjuk bahwa pihak keluarga mampu mengendalikan dan mengatur ekspresi emosi dukacita
mereka sesuai dengan situasi yang sedang mereka hadapi T. Sampe, 2006. Karakteristik ekspresi dukacita yang muncul dalam upacara kematian di
Tana Toraja cukup beragam, hampir setiap orang terlihat mampu menunjukkan ekspresi sedih pada suatu waktu, lalu terlihat gembira beberapa saat kemudian.
Sehingga tidak bisa diketahui dengan pasti mereka berada pada fase dukacita yang mana.
B. RUMUSAN MASALAH
Suasana kesedihan tidak banyak terlihat pada upacara kematian di Tana Toraja. Kesan yang lebih mudah ditangkap oleh orang malah suasana kemeriahan
yang jauh berbeda dengan upacara-upacara kematian pada umumnya. Penjelasan tersebut membuat peneliti ingin mengetahui dengan lebih jelas lagi berada pada
fase manakah dukacita pihak keluarga dan kerabat yang ditinggalkan pada saat upacara tradisional Rambu Solo’ ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan berada pada fase mana dukacita pihak keluarga dan kerabat yang ditinggalkan pada saat upacara
tradisional Rambu Solo’.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat teoretis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu
Psikologi, khususnya Psikologi Budaya, dalam melihat fase dukacita yang dialami masyarakat Toraja pada saat upacara tradisional Rambu
Solo’. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2. Manfaat praktis.
Memberikan gambaran kepada masyarakat umum tentang fase dukacita yang dialami masyarakat Toraja pada saat upacara tradisional
Rambu Solo’. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II LANDASAN TEORI
A. DUKACITA
1. Konsep Dukacita
Konsep dukacita menjelaskan tentang emosi dan sensasi yang menyertai hilangnya seseorang yang disayangi. Kata grief itu sendiri
berasal dari bahasa Perancis kuno grève yang berarti beban berat. Sedangkan dalam bahasa Inggris, grief berarti sebuah pengalaman
penderitaan yang mendalam www.hospicenet.org, 2007. Chaplin 2003 mengatakan bahwa dukacita grief adalah satu
keadaan emosional yang sangat tidak menyenangkan, disertai rasa menderita atau rasa hilang hanyut, dan seringkali dibarengi sedu-sedan
serta tangisan. Ada dua teori yang berbeda tentang alasan orang berduka. Freud
dalam Backer, et al., 1982 mengatakan bahwa proses berduka memampukan kita dalam mematahkan pertalian dengan orang yang
meninggal. Energi jiwa kita harus ditarik kembali dari almarhum, meskipun sangat menyakitkan. Seseorang harus memusatkan perhatian
kepada almarhum sambil mengingat kembali kenangan-kenangan. Dalam membawa ingatan-ingatan tersebut kepada kesadaran, seseorang akan
memutuskan cintanya kepada almarhum. Pendapat kedua dikemukakan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
oleh Bowly dalam Backer, et al., 1982 yang mengatakan bahwa berduka merupakan suatu usaha untuk menghidupkan kembali ikatan dan bukannya
berusaha memutuskannya. Dalam berduka, kita terus berusaha menemukan sesuatu yang telah hilang, walaupun sangat membuat
frustrasi. Pada akhirnya, pencarian ini akan semakin berkurang sehingga rasa rindu dapat terlewati dan seseorang menjadi pulih kembali.
Dari beberapa teori di atas dapat disimpulkan bahwa dukacita merupakan respon emosional seseorang dalam menghadapi kematian
orang-orang yang dicintai. Di dalamnya terkandung kelumpuhan emosional, tidak percaya, kecemasan akan berpisah, putus asa, sedih, dan
kesepian yang menyertai di saat kita kehilangan orang yang kita cintai.
2. Jenis Dukacita
King dan Tellioglu dalam www.hospicenet.org 2007 mengemukakan bahwa ada empat jenis dukacita, yakni :
a. Dukacita yang normal Dukacita ini disebut juga dukacita yang tidak menyulitkan. Respon
terhadap kehilangan adalah normal dan sehat. b. Dukacita yang bersifat lebih dulu
Dukacita ini muncul sebelum adanya peristiwa kematian itu sendiri. Hal ini dimulai saat orang yang disayangi didiagnosa atas suatu
penyakit yang parah. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
c. Reaksi yang berulang Respon dukacita yang muncul mengikuti kejadian-kejadian yang
berhubungan dengan orang yang telah meninggal, misalnya tanggal lahir, hari libur, ataupun hari-hari tertentu dalam satu tahun.
d. Dukacita yang rumit Dukacita ini juga disebut dukacita yang traumatis. Hal ini muncul saat
dukacita menjadi kronis tidak mampu diatasi, dan menjadi sangat berpengaruh. Hal ini sering dilihat sebagai peningkatan dari dukacita
menjadi depresi, dengan ciri-ciri yang menunjukkan adanya stres setelah trauma seperti mimpi buruk dan ingatan akan masa lalu yang
terus-menerus.
3. Fase Dukacita
Terdapat berbagai macam fase dalam dukacita. Fase-fase di bawah ini merupakan fase yang biasa dialami oleh orang-orang yang berduka.
Meskipun demikian, tidak selamanya orang akan melalui fase pertama hingga terakhir secara berurutan. Beberapa orang biasanya akan kembali
ke fase sebelumnya dan kemudian melalui lagi fase yang sama. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk berpindah dari fase yang satu ke fase yang
lain juga bervariasi pada tiap individu. Parkes dalam Santrock, 1995 mengatakan bahwa ada empat fase
yang akan dialami, yakni : a. Kelumpuhan tidak bisa merasakan apa-apa