Gambaran fase dukacita saat upacara tradisional rambu solo pada keluarga dan kerabat yang ditinggalkan.

(1)

ABSTRAK

GAMBARAN FASE DUKACITA SAAT UPACARA TRADISIONAL RAMBU SOLO’ PADA KELUARGA DAN KERABAT

YANG DITINGGALKAN

Ratnawati Helen Karoma Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2008

Di daerah Tana Toraja, Sulawesi Selatan, terdapat sebuah upacara kematian yang berbeda dengan upacara-upacara kematian di daerah lain yang disebut Rambu Solo’. Kematian yang biasanya kental dengan suasana dukacita tidak terlihat pada upacara ini, melainkan berbagai ekspresi sukacita yang terlihat lewat gelak tawa pada upacara tersebut. Tujuan penelitian ini adalah melihat berada pada fase mana dukacita masyarakat Toraja pada saat upacara tradisional Rambu Solo’.

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, yang menggunakan metode pengumpulan data melalui wawancara terhadap subjek penelitian selama upacara kematian berlangsung. Subjek dalam penelitian ini berjumlah dua belas orang dewasa berusia 24-72 tahun yang berasal dari berbagai kasta masyarakat di Tana Toraja. Keduabelas subjek tersebut berasal dari empat sanak keluarga yang mengalami kematian anggota keluarganya.

Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa pihak keluarga dan kerabat almarhum/almarhumah, telah sampai pada fase terakhir dari dukacita. Penyimpanan jenazah di rumahnya serta persiapan upacara yang menyita banyak waktu dan tenaga membuat pihak keluarga masih memiliki waktu untuk melayani almarhum untuk terakhir kalinya, sehingga selama itu, dukacita yang dialami pihak keluarga dan kerabat semakin berkurang. Faktor lainnya adalah kedekatan subjek dengan almarhum/almarhumah, dimana subjek yang adalah keturunan langsung dari almarhum tidak menampakkan reaksi seperti subjek-subjek yang adalah kerabat saja. Kedekatan hubungan tersebut membuat pengaruh kematian berbeda di tiap subjek, sehingga menimbulkan fase dukacita yang berbeda pula. Pelaksanaan upacara kematian itu sendiri akhirnya menjadi suatu pesta rakyat yang membuat setiap orang untuk bersukacita dan menikmatinya. Pelaksanaan upacara kematian yang penuh dengan kemeriahan pesta menuntut keluarga untuk sibuk dengan segala hal yang berhubungan dengan upacara ini sehingga mereka tidak memiliki waktu untuk larut dalam kesedihan.


(2)

ABSTRACT

DESCRIPTION STAGES OF GRIEVING IN TRADITIONAL CEREMONY RAMBU SOLO’ ON THE FAMILY AND RELATIVES

THAT ARE LEFT

Ratnawati Helen Karoma Faculty of Psychology Sanata Dharma University

Yogyakarta 2008

In Tana Toraja, South Sulawesi, there is a funeral ceremony that is different from funeral ceremonies in other areas, called Rambu Solo’. Death is closed to the sense of grief. However, it is not seen in this ceremony, except the real happiness that is seen in peolple’s laugh in this funeral ceremony. This research was meant to see the description of stages of grieving of the family in this traditional ceremony Rambu Solo’.

This research used qualitative descriptive approach, that used data collecting method by interviewing the research subjects and observing subjects and the setting during the funeral ceremony. Subjects of this research were twelve adults who are 24-72 years old coming from various social-classes of Toraja society. Those twelve subjects were from four families and relatives that were left by one of their family.

The research finding showed that that the family and relative of the death person had come to the final stages of grieving. The process of laying death-body away at his/her house for long time and preparation of the ceremony that took a lot of time of the family made them still have time to serve his/her for the last time. While that, the grief that the family felt was decreased. Other factor is subject closeness with the deceased. This closeness made a different influence of death among the subjects, so it made a different stages of grieving too. The held of this ceremony finally become a society party that made everyone feel happy and enjoy it. This big and full of merriments ceremony made the family busy with all things that related to this ceremony, so they did’t have time to get into their sadness.


(3)

GAMBARAN FASE DUKACITA SAAT UPACARA

TRADISIONAL

RAMBU SOLO’

PADA KELUARGA DAN

KERABAT YANG DITINGGALKAN

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Ratnawati Helen Karoma NIM : 019114170

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2008


(4)

(5)

(6)

Dalam sgala perkara

Tuhan punya rencana

Yang lebih besar dari semua yang terpikirkan

Apapun yang Kau perbuat

Tak ada maksud jahat

Sbab itu kulakukan semua denganMu Tuhan

Ku tak akan menyerah

Pada apapun juga

Sebelum kucoba semua yang ku bisa

Tetapi kuberserah kepada kehendakMu

Hatiku percaya Tuhan punya rencana

(Jeffry S. Tjandra)

Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya

(Pengkhotbah 3 : 11a)


(7)

Your gentle guidance has immeasurably influence all that I’ve done, all that I do, and all that I will ever do

Your sweet spirit is indelibly imprinted on all that I have been, all that I am, and all that I will ever be

Thus, you are part of all that I accomplish and all that I become And so it is that when I help my neighbor,

your helping hand is there also

When I ease the pain of a friend, she owes a debt to you When I show a child a better way, either by word or by example,

you are the teacher once removed

Because everything I do reflects values learned from you, any wrong that I right, any heart I may brighten,

any gift that I share, or burden I may lighten, is in its own small way a tribute to you

Because you gave me life, and more importantly, lessons in how to live, you are the wellspring from which flows all good I may achieve in my time on earth

For all that you are and all that I am, thank you,

Mom and Dad

(David L. Weatherford)

Dedicated to…..

Titus Sampe dan Christina Natal Karoma


(8)

KATA PENGANTAR

Segala pujian , horm at, serta syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas begitu besarn ya kasih, hikm at, pen yertaan dan m ujizat yan g telah din yatakan Nya dalam kehidupan pen ulis. Tan paNya, pen ulis bukan lah apa-apa.

Terselesaikan n ya tulisan in i tak lepas dari peran serta dan ban tuan dari berbagai pihak yan g telah ban yak m em ban tu pen ulis, un tuk itu dalam kesem patan in i pen ulis in gin m en gucapkan terim a kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Paulus Eddy Suhartan to, S.Psi., M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Un iversitas San ata Dharm a Yogyakarta serta selaku dosen pem bim bin g akadem ik.

2. Ibu Sylvia Carolin a MYM., S.Psi., M.Si, selaku dosen pem bim bin g skripsi. Terim a kasih atas kesediaan waktu, perhatian , kesabaran dan ban tuan yan g am at berharga bagi pen ulis dari awal hin gga akhir pen ulisan sehin gga karya in i akhirn ya bisa terselesaikan .

3. Ibu Tan ti dan Ibu Ari selaku dosen pen guji. Terim a kasih atas segala pertan yaan dan m asukan yan g diberikan , terutam a un tuk kesem patan kedua yan g telah diberikan bagi pen ulis un tuk m em ben ahi karya in i sehingga m enjadi lebih baik.

4. Dosen -dosen Fakultas Psikologi yan g telah m en didik pen ulis selam a m en em puh ban gku perkuliahan .

5. Segen ap staf Fakultas Psikologi, m as Gan dun g, m bak Nan ik, m as Muji, m as Don i, dan pak Gi’, terim akasih atas ban tuan yan g telah diberikan , dan juga un tuk sen yum an dan sapaan yan g sem akin m em buat suasana kam pus m akin cerah dan bersem an gat.

6. Keduabelas subjek pen elitian di Tan a Toraja, terim a kasih atas waktu dan kesediaan ya m em ban tu pen ulis dalam pen elitian in i.

7. Yan g tercin ta : Papa-Mam a… Terim a kasih ban yak ya…akhirn ya Wati bisa m en yelesaikan sem ua in i. Terim a kasih buat papa yan g terus-m en erus m en gan tarkan pen ulis selam a pen carian data, juga buat m am a atas segala doa-doa dan n asehat yan g diberikan . Segala pen gorban an yan g begitu besar yan g telah diberikan sun gguh san gat Wati syukuri. Tuhan Yesus m em berkati selalu…


(9)

8 . Adik-adikku, Gabriel, Lider, dan Freddy, jan gan n akal, just be a n ice guyLov e y ou so m uch guy s…

9. Om a, om Karan gan , dan tan te Oktovin a. Terim a kasih atas segala dukun gan dan doa-doan ya, Tuhan m em berkati..

10 . Sahabat-sahabatku tercinta, Yola, Elfa, Ira, Nin a, Nism a. I’m so proud to hav e y ou as frien ds. Bertahun -tahun baren g kalian sungguh m en jadi berkat tersen diri buatku. M iz u all galz!!!!!!!

11. Tem an -tem an KIBAID J ogja, Eben , Nun in k “Laut”, Uthy, Abert “Bon a”, Yusli, An to, Ron i, Lisa, Von n y, Arlis, Aldon , Ady, Desy, Ope, Siska, Gerson , Don al, Dilles, J effry, Riyan ti, Ika, Nan i, Uren t, Novi, kak Payuk, Uthe, Osy, Maxi, m am a Tian , dan bpk. Yerahm el Bulun g (kapan kawin ??) Duuh…jalan m a kalian em an g ga ada m atin ya deh!!!! Thx abiezt atas cin ta, kebersam aan dan perhatian yan g selalu kalian berikan padaku. H idup di J ogja ga akan ada artin ya tan pa kalian (ciiee…)… Bless u all!!

12. Oran g-oran g yan g selam a in i ban yak m em berikan dukun gan , ada Sita, Yupha yan g (katan ya) can tik (awet selalu m a Ady ya kecil..), Icha, Elvin , Yosi, Oho, m bak Nia, kak Fon a, Grace, Fan ya, tem en -tem en di P3 UKDW. GBU alw ay s..

13. Tem an -tem an Ikapm ajaya, Im an, Ansi, Gita, daddy Aten k, Atta, all Pogun g kru, Babarsari, asram a, ev ery w here, banyak ban get kalo m au disebutin satu persatu. Ma kasih ban get buat kebersam aan kita selam a in i. H idup Sang Toray aan!

14. Tem an m ain , Cin ghe, Non i, Lin on g, Dody, Qn oy, H appy, Ady, Bram , Felix, Yoki, Riko (Mc D lagikah ???). GBU all.

15. Segala baran g, tem pat, yan g m en jadi saksi hidup perjuan gan ku n yelesein TA n iy, kam arkuw, lappykuw, lappy Un i m a Ben ga, kom pi Yupha, si Uu’, si pitung m a pem ilikn ya, H olland, dll.

16. Kam u………finally be w ith u………

17. Tak lupa pen ulis juga m en gucapkan terim a kasih pada pihak-pihak yan g tidak dapat disebutkan satu per satu. Terim a kasih ban yak…

….TUH AN MEMBERKATI KALIAN SEMUA….


(10)

(11)

(12)

ABSTRAK

GAMBARAN FASE DUKACITA SAAT UPACARA TRADISIONAL RAMBU SOLO’ PADA KELUARGA DAN KERABAT

YANG DITINGGALKAN

Ratnawati Helen Karoma Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2008

Di daerah Tana Toraja, Sulawesi Selatan, terdapat sebuah upacara kematian yang berbeda dengan upacara-upacara kematian di daerah lain yang disebut Rambu Solo’. Kematian yang biasanya kental dengan suasana dukacita tidak terlihat pada upacara ini, melainkan berbagai ekspresi sukacita yang terlihat lewat gelak tawa pada upacara tersebut. Tujuan penelitian ini adalah melihat berada pada fase mana dukacita masyarakat Toraja pada saat upacara tradisional Rambu Solo’.

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, yang menggunakan metode pengumpulan data melalui wawancara terhadap subjek penelitian selama upacara kematian berlangsung. Subjek dalam penelitian ini berjumlah dua belas orang dewasa berusia 24-72 tahun yang berasal dari berbagai kasta masyarakat di Tana Toraja. Keduabelas subjek tersebut berasal dari empat sanak keluarga yang mengalami kematian anggota keluarganya.

Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa pihak keluarga dan kerabat almarhum/almarhumah, telah sampai pada fase terakhir dari dukacita. Penyimpanan jenazah di rumahnya serta persiapan upacara yang menyita banyak waktu dan tenaga membuat pihak keluarga masih memiliki waktu untuk melayani almarhum untuk terakhir kalinya, sehingga selama itu, dukacita yang dialami pihak keluarga dan kerabat semakin berkurang. Faktor lainnya adalah kedekatan subjek dengan almarhum/almarhumah, dimana subjek yang adalah keturunan langsung dari almarhum tidak menampakkan reaksi seperti subjek-subjek yang adalah kerabat saja. Kedekatan hubungan tersebut membuat pengaruh kematian berbeda di tiap subjek, sehingga menimbulkan fase dukacita yang berbeda pula. Pelaksanaan upacara kematian itu sendiri akhirnya menjadi suatu pesta rakyat yang membuat setiap orang untuk bersukacita dan menikmatinya. Pelaksanaan upacara kematian yang penuh dengan kemeriahan pesta menuntut keluarga untuk sibuk dengan segala hal yang berhubungan dengan upacara ini sehingga mereka tidak memiliki waktu untuk larut dalam kesedihan.


(13)

ABSTRACT

DESCRIPTION STAGES OF GRIEVING IN TRADITIONAL CEREMONY RAMBU SOLO’ ON THE FAMILY AND RELATIVES

THAT ARE LEFT

Ratnawati Helen Karoma Faculty of Psychology Sanata Dharma University

Yogyakarta 2008

In Tana Toraja, South Sulawesi, there is a funeral ceremony that is different from funeral ceremonies in other areas, called Rambu Solo’. Death is closed to the sense of grief. However, it is not seen in this ceremony, except the real happiness that is seen in peolple’s laugh in this funeral ceremony. This research was meant to see the description of stages of grieving of the family in this traditional ceremony Rambu Solo’.

This research used qualitative descriptive approach, that used data collecting method by interviewing the research subjects and observing subjects and the setting during the funeral ceremony. Subjects of this research were twelve adults who are 24-72 years old coming from various social-classes of Toraja society. Those twelve subjects were from four families and relatives that were left by one of their family.

The research finding showed that that the family and relative of the death person had come to the final stages of grieving. The process of laying death-body away at his/her house for long time and preparation of the ceremony that took a lot of time of the family made them still have time to serve his/her for the last time. While that, the grief that the family felt was decreased. Other factor is subject closeness with the deceased. This closeness made a different influence of death among the subjects, so it made a different stages of grieving too. The held of this ceremony finally become a society party that made everyone feel happy and enjoy it. This big and full of merriments ceremony made the family busy with all things that related to this ceremony, so they did’t have time to get into their sadness.


(14)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ………. i

Halaman Persetujuan Pembimbing ………. ii

Halaman Pengesahan ………...……… iii

Halaman Persembahan …...……….……… iv

Kata Pengantar……..………. vi

Pernyataan Keaslian Karya………. viii

Lembar Pernyataan Persetujuan Publikasi....………...………. ix

Abstrak .….……… ………… x

Abstract ……….. xi

Daftar Isi .……… xii

Daftar Tabel ……… xv

Daftar Lampiran ……… ………. xvi

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

A. Latar Belakang Masalah ………. 1

B. Rumusan Masalah ………..……… 7

C. Tujuan Penelitian ……...………...…. 7

D. Manfaat Penelitian……….. 7

BAB II LANDASAN TEORI…..……… 9

A. Dukacita………... . 9

1. Konsep Dukacita………... 9


(15)

2. Jenis Dukacita……….. 10

3. Fase Dukacita……… 11

B. Masyarakat Toraja………..……… 16

1. Asal-usul Toraja………... 16

2. Masyarakat Toraja……… 17

C. Upacara Kematian Rambu Solo’……… 18

1. Upacara Kematian……… 18

2. Rambu Solo’………. 20

D. Gambaran Fase Dukacita saat Upacara Tradisional Rambu Solo’ pada Keluarga dan Kerabat yang Ditinggalkan.………….... 24

BAB III METODOLOGI PENELITIAN……… 27

A. Jenis Penelitian ….……… . 27

B. Batasan Istilah……… 28

C. Subjek Penelitian ………. 29

D. Metode Pengumpulan Data ……… 30

E. Analisis Data ……….………. 32

E. Pemeriksaan Keabsahan Data ………... 32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ………. … 35

A. Pelaksanaan ……….…. 35

1. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian……….. 35

2. Waktu dan Tempat Penelitian……….. 35

3. Subjek Penelitian………. 36

B. Hasil Penelitian……….. 36


(16)

1. Analisa Kasus I………...………. 36

2. Analisa Kasus II………... 44

3. Analisa Kasus III………. 52

4. Analisa Kasus IV………... 57

C. Pembahasan……… 64

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….. 71

A. Kesimpulan……… 71

B. Saran ……… 72

DAFTAR PUSTAKA ………. 73


(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Faktor-faktor yang diungkap dalam wawancara……… 31

Tabel 2 : Waktu dan tempat penelitian………. ……… 35

Tabel 3 : Data subjek………. 37

Tabel 4 : Data subjek ………..………. ……… 45

Tabel 5 : Data subjek ………..………. ……… 53

Tabel 6 : Data subjek ………..………. ……… 58


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A :

Hasil Wawancara Subjek 1 – 3 ……….. 75 Lampiran B :

Hasil Wawancara Subjek 4 - 6..………. 87 Lampiran C :

Hasil Wawancara Subjek 7 - 9. ……….. 95 Lampiran D :

Hasil Wawancara Subjek 10 - 12……… 103


(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Setiap etnis memiliki tradisi, bahasa, serta bentuk-bentuk kebudayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ini menunjukkan bahwa tiap suku bangsa di Indonesia memiliki kekhususan sendiri yang menjadi identitasnya. Propinsi Sulawesi Selatan memiliki empat suku yang mendiami wilayahnya, yakni suku Makassar, Mandar, Bugis, dan Toraja (T. Sampe, 1991). Salah satu suku yakni suku Toraja mempunyai kebudayaan yang khas dan unik serta mempunyai dasar-dasar budaya yang berbeda dengan daerah-daerah lain. Salah satu keunikan tersebut dapat kita lihat melalui upacara kematian Rambu Solo’.

Pada kebanyakan masyarakat, kematian tidak dipandang sebagai akhir dari eksistensi-walaupun tubuh biologis telah mati, namun spiritualitas tubuh dipercaya masih tetap hidup (Santrock, 1995). Hal tersebut seperti yang diyakini oleh masyarakat Toraja bahwa kematian bukanlah akhir dari segala kehidupan. Oleh karena itu, merupakan suatu kewajiban bagi keluarga untuk merayakan pesta terakhir sebagai bentuk penghormatan kepada arwah yang akan menuju ke alam puya atau alam baka (Naskah Upacara Tradisional Daerah Sulawesi Selatan, 1984).

Bagi masyarakat Toraja sendiri, konsep hidup dan mati menurut ajaran Aluk Todolo (agama dari nenek moyang) merupakan suatu kesinambungan proses


(20)

kehidupan, dimana tidak ada batas yang tajam antar keduanya. Dikatakan bahwa mati itu hanyalah merupakan peralihan bentuk, peralihan tempat operasi hidup, dan peralihan wujud. Hidup ini merupakan jembatan untuk sampai kepada alam gaib tanpa memutuskan hubungan dengan kehidupan di alam nyata. Alam nyata ini merupakan kesempatan yang harus dipergunakan sebaik-baiknya untuk mengumpulkan kebaikan, harta, kebenaran dan keadilan, serta membina hubungan dengan keluarga. Semuanya itu akan menjadi bekal dalam perjalanan ke kehidupan alam gaib. Bekal yang telah dipersiapkan pada masa hidup akan dikorbankan pada waktu matinya agar deata-deata (dewa-dewa) menyambutnya dengan senang hati (Naskah Upacara Tradisional Daerah Sulawesi Selatan, 1984).

Upacara kematian itu sendiri diadakan oleh anggota keluarga dilandasi oleh suatu anggapan bahwa kematian itu merupakan suatu perjalanan hidup yang beralih ke alam lain (Naskah Upacara Tradisional Daerah Sulawesi Selatan, 1984). Peralihan dari satu kehidupan ke kehidupan lain merupakan peristiwa yang harus diupacarakan. Melalui upacara ini, maka peristiwa-peristiwa kehidupan dapat dialihkan ke tahap berikutnya yang senantiasa diusahakan meningkat pada taraf yang lebih tinggi. Peningkatan kehidupan tersebut banyak ditentukan oleh kualitas upacara, yaitu mengenai jumlah hewan yang dikorbankan, ramainya orang yang berkunjung, sistem penyelenggaraan upacara yang mantap, serta peletakkan fungsi-fungsi simbol sesuai dengan makna yang mewakilinya, menurut sistem kepercayaan yang dihormati bersama (Naskah Upacara Tradisional Daerah Sulawesi Selatan, 1984).


(21)

Biasanya upacara Rambu Solo’ membutuhkan dua sampai tiga hari bahkan bisa sampai dua minggu bagi bangsawan, barulah mayat bisa dimakamkan atau dikuburkan (www.kompas.com). Tidak sedikit pula biaya yang harus dikeluarkan pihak keluarga untuk membiayai jalannya prosesi Rambu Solo’. Selama itu, jenazah disemayamkan dalam peti di rumah duka. Melalui hal tersebut, dapat kita lihat bahwa upacara Rambu Solo’ merupakan ritual yang sangat panjang dan melelahkan.

Prosesi Rambu Solo’ tidak seperti upacara-upacara kematian yang banyak dilakukan di berbagai tempat di Tanah Air yang biasanya kental dalam suasana dukacita, pada upacara kematian di Tana Toraja kesan kesedihan itu sama sekali tak muncul ke permukaan. Tak ada ratap tangis, tak ada wajah-wajah duka (www.kompas.com, 2005). Dalam upacara tersebut, kesedihan tampaknya cuma terucap lewat busana hitam dan lagu ratapan yang berisi puji-pujian bagi tokoh yang tengah diupacarai. Itu pun kalau orang yang mengikuti upacara tersebut mengerti makna kada-kada atau syair dari lagu-lagu yang dikidungkan. Kenyataannya, tak banyak orang yang paham makna dari untaian kata yang dilantunkan, baik dalam ma’badong maupun ma’katia ( tarian dan lagu daerah khusus untuk pemakaman) itu, bahkan di kalangan orang-orang Tana Toraja sekalipun. Hal itu bisa dimengerti karena kada-kada yang ada dalam nyanyian ma’badong dan ma’katia menggunakan bahasa tinggi, yang biasanya hanya dipakai oleh kalangan tominaa atau para penghulu adat (www.kompas.com, 2005).


(22)

Suasana yang menonjol pada upacara kematian di Tana Toraja diekspresikan melalui suasana kemeriahan pesta. Kain-kain yang berwarna merah menyala dengan ragam hias di sana-sini terentang di mana-mana mendominasi arena seputar lokasi upacara, mulai dari rumah tongkonan (rumah adat), pondok-pondok keluarga (lantang), pondok-pondok tamu VIP (biasanya dari kalangan pejabat), tempat penerimaan tamu, lakkian, hingga bangunan lumbung yang dibuat seperti miniatur rumah tongkonan (www.kompas.com, 2005). Oleh karena itu, bukan suatu kebetulan apabila upacara yang berkaitan dengan kematian itu diembel-embeli kata pesta. Hal tersebut didukung oleh pernyataan dari Mardiatmadja (2005) bahwa pesta kematian orang Toraja bukan sekadar ratapan pilu, melainkan juga pesta kegembiraan seluruh desa dan kerabat. Di sana terungkap kesatuan suku. Berkat pesta kematian, orang-orang Toraja tidak kehilangan persatuan abadi dengan saudara yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Dalam persatuan abadi itu cinta benar-benar tidak bisa lagi dibatasi oleh tempat, waktu, suku maupun status hidup.

Menurut Subagya (2005), kematian biasanya membawa suatu kedukaan yang amat besar bagi keluarga dan orang-orang terdekat yang ditinggalkannya. Kesedihan dan rasa kehilangan merupakan perasaan yang terbentuk oleh terputusnya hubungan sosial dan emosional akibat peristiwa kematian. Orang bisa sangat terpukul apabila yang meninggal adalah orang-orang yang sangat dicintai, seperti suami kehilangan istri, anak yang kehilangan orangtua ataupun sebaliknya. Kematian memutuskan hubungan setiap orang tanpa kompromi setiap saat


(23)

sehingga situasi ini menciptakan guncangan mendadak yang tidak pernah diharapkan.

Istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan rasa kehilangan atas suatu kematian yakni dukacita (grief). Dukacita adalah keadaan psikologis yang bercirikan kondisi jiwa yang mengalami kesedihan yang mendalam. Dukacita merupakan respon kesedihan emosional terhadap kehilangan (Backer, Hannon, Russell, 1982). Turner & Helms (1995) mengemukakan pendapat serupa tentang dukacita. Menurut mereka, dukacita merujuk pada kesedihan yang mendalam akibat rasa kehilangan yang besar. Hal ini menggambarkan reaksi emosional seseorang terhadap kematian orang lain.

Realita kehilangan biasanya sangat sulit diterima oleh kebanyakan orang, dan ekspresi duka kadangkala menjadi sangat mengganggu dan menyakitkan. Meskipun demikian, berduka merupakan suatu cara untuk memulihkan diri sendiri. Ketika seseorang membiarkan diri mereka untuk mengekspresikan perasaan yang paling mendalam, rasa kehilangan biasanya lebih mudah dipahami (Kinderknecht & Hodges ; Wortman & Silver dalam Turner & Helms, 1995).

Seseorang yang sedang berduka merasakan rasa sakit. Rasa sakit ini merupakan mekanisme adaptasi yang efektif untuk kehidupan individu selanjutnya (Huffman, Vernoy & Vernoy, 1997). Sebelum bisa beradaptasi, individu akan melewati beberapa beberapa fase dukacita sebelum akhirnya bisa melanjutkan lagi kehidupannya dengan baik. Menurut Averill (dalam Santrock, 1995), ada tiga fase dukacita yang akan dialami setelah kehilangan, yakni terkejut, putus asa, dan pulih kembali. Seseorang tidak harus melewati fase ini secara


(24)

berurutan, namun disarankan agar individu mampu beradaptasi secara lebih efektif agar bisa melaluinya dengan baik (Campbell, Swank & Vincent dalam Santrock, 1995).

Suasana kemeriahan yang terlihat pada upacara kematian di Toraja seakan-akan menjadi sebuah tameng bagi pihak keluarga untuk menyembunyikan perasaan sedih mereka. Orang yang baru pertama kali menghadiri upacara kematian ini mungkin akan bertanya-tanya, apakah mereka tidak merasa sedih atau merasa kehilangan atas kematian orang yang dicintainya ? Perasaan seseorang cenderung dapat dibentuk dan dilakukan secara sadar. Pihak keluarga terlihat mampu membentuk atau membangun karakter emosi mereka sendiri sehingga kematian yang biasanya sarat dengan ekspresi kesedihan tidak terlihat disini. Gelak tawa yang terdengar di berbagai sudut lantang (pondok-pondok keluarga) dan wilayah sekitar upacara seolah-olah menjadi suatu petunjuk bahwa pihak keluarga mampu mengendalikan dan mengatur ekspresi emosi dukacita mereka sesuai dengan situasi yang sedang mereka hadapi (T. Sampe, 2006).

Karakteristik ekspresi dukacita yang muncul dalam upacara kematian di Tana Toraja cukup beragam, hampir setiap orang terlihat mampu menunjukkan ekspresi sedih pada suatu waktu, lalu terlihat gembira beberapa saat kemudian. Sehingga tidak bisa diketahui dengan pasti mereka berada pada fase dukacita yang mana.


(25)

B. RUMUSAN MASALAH

Suasana kesedihan tidak banyak terlihat pada upacara kematian di Tana Toraja. Kesan yang lebih mudah ditangkap oleh orang malah suasana kemeriahan yang jauh berbeda dengan upacara-upacara kematian pada umumnya. Penjelasan tersebut membuat peneliti ingin mengetahui dengan lebih jelas lagi berada pada fase manakah dukacita pihak keluarga dan kerabat yang ditinggalkan pada saat upacara tradisional Rambu Solo’ ?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan berada pada fase mana dukacita pihak keluarga dan kerabat yang ditinggalkan pada saat upacara tradisional Rambu Solo’.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat teoretis.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Budaya, dalam melihat fase dukacita yang dialami masyarakat Toraja pada saat upacara tradisional Rambu Solo’.


(26)

2. Manfaat praktis.

Memberikan gambaran kepada masyarakat umum tentang fase dukacita yang dialami masyarakat Toraja pada saat upacara tradisional Rambu Solo’.


(27)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. DUKACITA

1. Konsep Dukacita

Konsep dukacita menjelaskan tentang emosi dan sensasi yang menyertai hilangnya seseorang yang disayangi. Kata grief itu sendiri berasal dari bahasa Perancis kuno grève yang berarti beban berat. Sedangkan dalam bahasa Inggris, grief berarti sebuah pengalaman penderitaan yang mendalam (www.hospicenet.org, 2007).

Chaplin (2003) mengatakan bahwa dukacita (grief) adalah satu keadaan emosional yang sangat tidak menyenangkan, disertai rasa menderita atau rasa hilang hanyut, dan seringkali dibarengi sedu-sedan serta tangisan.

Ada dua teori yang berbeda tentang alasan orang berduka. Freud (dalam Backer, et al., 1982) mengatakan bahwa proses berduka memampukan kita dalam mematahkan pertalian dengan orang yang meninggal. Energi jiwa kita harus ditarik kembali dari almarhum, meskipun sangat menyakitkan. Seseorang harus memusatkan perhatian kepada almarhum sambil mengingat kembali kenangan-kenangan. Dalam membawa ingatan-ingatan tersebut kepada kesadaran, seseorang akan memutuskan cintanya kepada almarhum. Pendapat kedua dikemukakan


(28)

oleh Bowly (dalam Backer, et al., 1982) yang mengatakan bahwa berduka merupakan suatu usaha untuk menghidupkan kembali ikatan dan bukannya berusaha memutuskannya. Dalam berduka, kita terus berusaha menemukan sesuatu yang telah hilang, walaupun sangat membuat frustrasi. Pada akhirnya, pencarian ini akan semakin berkurang sehingga rasa rindu dapat terlewati dan seseorang menjadi pulih kembali.

Dari beberapa teori di atas dapat disimpulkan bahwa dukacita merupakan respon emosional seseorang dalam menghadapi kematian orang-orang yang dicintai. Di dalamnya terkandung kelumpuhan emosional, tidak percaya, kecemasan akan berpisah, putus asa, sedih, dan kesepian yang menyertai di saat kita kehilangan orang yang kita cintai.

2. Jenis Dukacita

King dan Tellioglu dalam www.hospicenet.org (2007) mengemukakan bahwa ada empat jenis dukacita, yakni :

a. Dukacita yang normal

Dukacita ini disebut juga dukacita yang tidak menyulitkan. Respon terhadap kehilangan adalah normal dan sehat.

b. Dukacita yang bersifat lebih dulu

Dukacita ini muncul sebelum adanya peristiwa kematian itu sendiri. Hal ini dimulai saat orang yang disayangi didiagnosa atas suatu penyakit yang parah.


(29)

c. Reaksi yang berulang

Respon dukacita yang muncul mengikuti kejadian-kejadian yang berhubungan dengan orang yang telah meninggal, misalnya tanggal lahir, hari libur, ataupun hari-hari tertentu dalam satu tahun.

d. Dukacita yang rumit

Dukacita ini juga disebut dukacita yang traumatis. Hal ini muncul saat dukacita menjadi kronis tidak mampu diatasi, dan menjadi sangat berpengaruh. Hal ini sering dilihat sebagai peningkatan dari dukacita menjadi depresi, dengan ciri-ciri yang menunjukkan adanya stres setelah trauma seperti mimpi buruk dan ingatan akan masa lalu yang terus-menerus.

3. Fase Dukacita

Terdapat berbagai macam fase dalam dukacita. Fase-fase di bawah ini merupakan fase yang biasa dialami oleh orang-orang yang berduka. Meskipun demikian, tidak selamanya orang akan melalui fase pertama hingga terakhir secara berurutan. Beberapa orang biasanya akan kembali ke fase sebelumnya dan kemudian melalui lagi fase yang sama. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk berpindah dari fase yang satu ke fase yang lain juga bervariasi pada tiap individu.

Parkes (dalam Santrock, 1995) mengatakan bahwa ada empat fase yang akan dialami, yakni :


(30)

Fase awal yang dialami orang yang ditinggalkan biasanya terjadi sesaat setelah kematian dan berlangsung selama satu sampai tiga hari. Pada fase ini orang akan merasa terkejut, tidak percaya, sering menangis, dan mudah marah.

b. Kerinduan

Fase kedua ditandai dengan perasaan sakit yang berkepanjangan atas kematian, memori-memori, kesedihan, susah tidur, dan gelisah. Fase ini memuncak di minggu kedua hingga keempat setelah kematian dan biasanya mereda setelah beberapa bulan.

c. Depresi

Fase ketiga biasanya terjadi 1 tahun setelah kematian. Pada fase ini seseorang akan merasakan kekurangan tenaga untuk melakukan segala sesuatu. Sesorang akan menjadi pendiam, menolak bertemu orang lain, serta menghabiskan banyak waktunya untuk menangis.

d. Pulih kembali

Fase resolusi dukacita ini ditandai dengan mengingat aktivitas sehari-hari serta membangun hubungan baru dengan orang lain.

Dr. Roberta Temes (www.cancersurvivor.org, 2008) mengemukakan tentang tiga fase dalam dukacita, yakni :

a. Kematian rasa

Pada fase ini, orang yang baru saja mendengar kabar kematian akan merasa kebingungan, tidak mampu berpikir dengan jernih, dan tidak mampu merasakan apa-apa. Individu yang bersangkutan menunjukkan


(31)

penyangkalan, perasaan bersalah, dan merasa menderita. Fase ini biasanya berlangsung selama beberapa minggu hingga beberapa bulan. Namun Kubler-Ross (www.cancersurvivor.org, 2008) mengatakan bahwa reaksi ini akan muncul dalam jangka waktu tujuh sampai sepuluh hari setelah mendengar kabar dukacita tersebut.

b. Kekacauan

Beberapa gejala fisik yang dialami pada fase ini antara lain rasa sesak di tenggorokan dan pada pernafasan, sering menarik nafas panjang, dan merasakan kelelahan yang amat sangat. Gejala emosi yang muncul bahkan lebih menimbulkan stress, antara lain kemarahan atas kematian orang yang dikasihi dan rasa bersalah yang sangat besar. Hal yang paling menakutkan adalah perasaan kehilangan kendali atas emosi. Fase ini merupakan merupakan masa yang paling berat dari pergolakan emosi seseorang yang berduka, namun merupakan fase yang utama dan normal dalam proses berduka. Kebanyakan orang akan pulih dalam hitungan minggu, bulan, atau bahkan tahunan.

c. Reorganisasi

Akan tiba masanya dimana seseorang tidak lagi tinggal dalam kedukaannya dan kembali beraktivitas seperti biasa. Setelah melalui beberapa fase dalam dukacita, seseorang akan memperoleh pengetahuan baru akan berharganya hidup dan betapa bernilainya orang-orang yang berada di sekitar serta pengalaman-pengalaman


(32)

hidup yang telah dialaminya. Kondisi ini akan dialami setelah beberapa bulan hingga satu tahun setelah peristiwa kematian.

Sedangkan menurut Morycs ; Powers & Wampold dalam Santrock, 1995, ada beberapa ukuran dalam dukacita, antara lain :

a. Kerinduan atau harapan terhadap orang yang meninggal yang direfleksikan secara bergantian, serta kebutuhan terhadap kehadiran kembali seseorang yang telah meninggal.

b. Rasa cemas akan perpisahan yang tidak hanya berkaitan dengan kematian, tetapi juga dengan tempat dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan orang yang mati, yakni dengan cara menangis atau menarik nafas panjang untuk menahan tangis.

c. Reaksi yang bersifat tiba-tiba terhadap kehilangan, yakni ketidakpercayaan, kelumpuhan, dan ledakan kepanikan atau penuh dengan air mata yang berlebihan.

d. Keputusasaan dan kesedihan yang mengandung perasaan putus harapan dan penolakan, gejala depresif, apatis, kehilangan arti akan kegiatan yang melibatkan orang yang telah pergi, dan memunculkan kesunyian.

Batasan-batasan ini tidak menunjukkan adanya fase yang jelas, namun terjadi secara berulang-ulang dalam suatu situasi setelah kehilangan. Meskipun demikian, seiring dengan berjalannya waktu, kerinduan dan protes terhadap kehilangan cenderung berkurang (Morycs ; Powers & Wampold dalam Santrock, 1995).


(33)

Penulis kemudian membuat kesimpulan yang terdiri dari gabungan beberapa teori di atas, namun lebih didasarkan pada pendapat Temes. Kesimpulan ini nantinya akan digunakan untuk membuat analisis data. Hasilnya, fase dukacita terdiri dari :

a. Terkejut

Fase ini dimulai ketika seseorang baru mendengar kabar kematian kerabat atau orang yang disayanginya. Pada masa ini seseorang akan mengalami mati rasa, tidak percaya, tangisan yang terus-menerus, serta tidak mampu berpikiran jernih. Hal ini berlangsung selama beberapa jam setelah mendengar kabar tersebut hingga sepuluh hari ke depan. b. Kekacauan

Fase ini biasanya cukup menguras emosi, pikiran dan tenaga orang yang berduka. Pada tahap ini terdapat penyangkalan atas kematian, kerinduan, susah tidur, merasa tidak memiliki tenaga, dan seringkali merasa kesepian. Tahapan ini sangat penting bagi orang yang sedang berduka. Jika ia mampu melewati berbagai proses dengan baik, ia akan mampu menerima kenyataan kematian dengan baik. Pada umumnya, seseorang akan berada pada tahapan ini selama satu minggu hingga dua belas bulan setelah kematian.

c. Pulih kembali

Tahapan ini merupakan tahap akhir dari dukacita. Seseorang telah mampu keluar dari masa berdukanya. Hal-hal yang dialami dan dirasakan selama masa dukacita kemudian memberikan suatu


(34)

pengalaman dan pembelajaran hidup yang membuatnya lebih mampu bertahan dalam menjalani kehidupannya dan berinteraksi dengan orang lain. Kondisi ini akan dialami setelah beberapa bulan hingga 1 tahun setelah peristiwa kematian.

Tidak ada interval waktu yang pasti untuk setiap tahapan dalam dukacita. Seseorang juga mungkin saja melompati tahapan, misalnya tidak melalui tahapan ke dua melainkan langsung pulih kembali.

B. MASYARAKAT TORAJA

1. Asal-usul Toraja

Secara geografis, daerah Tana Toraja terletak di daerah pegunungan sekitar Gunung Lompobattang, berada pada ketinggian 150 m sampai 1500 m dari permukaan laut. Kabupaten Tana Toraja berbatasan sebelah utara dengan Kabupaten Mamuju, sebelah timur dengan Kabupaten Luwu, sebelah selatan dengan Kabupaten Enrekang, dan sebelah barat dengan Kabupaten Polmas. Luas seluruh daerah yakni 4223,60 Km2, yang dibagi menjadi 9 kecamatan dengan 65 desa. Ibukotanya adalah Makale yang terletak 62 Km dari Palopo dan 310 Km dari Kotamadya Makassar.

L. T. Tangdilintin dalam T. Sampe (1991) mengatakan bahwa sebelum kata Toraja digunakan sebagai namanya, daerah ini bernama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo, yang berarti negeri yang


(35)

bentuk pemerintahan dan kemasyarakatannya merupakan kesatuan yang bulat/bundar seperti bentuk bulan dan matahari. Nama atau kata Toraja mulai terdengar pada abad ke-17, yakni setelah Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo mulai mengadakan hubungan dengan daerah-daerah di sekitarnya, seperti kerajaan Bugis, Sidendreng, Bone, dan Luwu.

Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda tahun 1906, Tana Toraja dimasukkan ke dalam Afdeling (kecamatan) Luwu, kemudian sesudah kemerdekaan menjadi Daerah Tingkat II Tana Toraja (Bambang Suwondo dkk. dalam T. Sampe, 1991).

2. Masyarakat Toraja

Pada pemerintahan Raja Sangalla’ sekitar abad 13, Puang Palodang bersama Tomanurun lainnya di Tana Toraja bersepakat menetapkan pelapisan masyarakat Toraja sebagai berikut :

a. Tana’ Bulaan, ialah lapisan bangsawan tinggi sebagai pewaris yang dapat menerima sukaran aluk, yakni dipercayakan mengatur aturan hidup dan memimpin agama.

b. Tana’ Bassi, ialah lapisan bangsawan sebagai pewaris yang dapat menerima maluangan ba’tang yang ditugaskan mengatur kepemimpinan dan melakukan kecerdasan.

c. Tana’ Karurung, ialah lapisan rakyat kebanyakan yang merdeka, tidak pernah diperintah langsung, sebagai pewaris yang dapat menerima pande, yakni tukang-tukang dan orang-orang terampil.


(36)

d. Tana’ Kua-kua yang berasal dari lapisan hamba sahaya sebagai pewaris yang dapat menerima tanggung jawab sebagai pengabdi atau biasa disebut matutu inaa (Marrang/Dahlan dalam Paranoan, 1990).

Tana’ yang merupakan perwujudan lapisan masyarakat, dijadikan sebagai sendi kehidupan dalam perkembangan dan penyusunan kebudayaan Toraja serta banyak menentukan kehidupan manusia terutama dalam pergaulan masyarakat, antara lain :

a. Dalam menghadapi perkawinan

b. Dalam menghadapi upacara pemakaman.

c. Dalam menghadapi pengangkatan penguasa atau pemerintah adat. Sistem mata pencaharian masyarakat pada umumnya bertani, namun banyak juga yang memiliki usaha sampingan yang dilakukan pada waktu-waktu antara saat tidak ada kegiatan bertani.

C. UPACARA KEMATIAN RAMBU SOLO’

1. Upacara Kematian

Peranan upacara menurut Geertz dalam Naskah Upacara Tradisional Daerah Sulawesi Selatan (1984) adalah untuk mempersatukan sistem paralel dan yang berbeda tingkat hirarkinya dengan menempatkan pada hubungan normatif dan reflektif antara yang satu dengan yang lainnya dalam suatu cara yang dihubungkan dengan asal mula simboliknya dan asal mula pernyataannya.


(37)

Upacara kematian yang dibahas dalam tulisan ini merupakan satu rangkaian upacara dalam lingkaran hidup. Upacara diadakan oleh para anggota keluarga dengan dilandasi oleh suatu anggapan bahwa kematian itu merupakan suatu perjalanan hidup yang beralih ke alam lain. Peralihan ini harus senantiasa dilalui secara damai dan berhasil supaya kehidupan di alam lain itu tetap berlanjut sebagaimana adanya yang merupakan kelanjutan dari kehidupan di dunia (Naskah Upacara Tradisional Daerah Sulawesi Selatan, 1984).

Setiap orang yang meninggal dunia harus dimakamkan dengan suatu upacara yang sesuai dengan kedudukannya dan lapisan sosialnya di dunia semasa hidup. Hal ini mutlak untuk dapat mencapai suatu kehidupan yang baik di puya. Jika seseorang yang meninggal tidak diupacarakan sesuai dengan tingkatannya maka ia tidak akan dapat mencapai puya. Apabila seseorang telah berhasil mencapai puya, keadaannya di sana ditentukan pula oleh kualitas upacara pemakamannya. Makin sempurna upacara pemakaman, makin sempurnalah hidup di puya (Naskah Upacara Tradisional Daerah Sulawesi Selatan, 1984).

Nenek moyang orang-orang Toraja mengajarkan bahwa seseorang yang telah meninggal dapat menjadi setan yang gentayangan, bersemayam di sebelah selatan, serta selalu mengganggu turunannya, dapat menjadi setengah dewa yang bersemayam di barat, dan dapat menjadi dewa yang bersemayam di utara atau timur. Status yang dicapai oleh roh-roh tersebut tergantung pada kesetiaan dan kecintaan anak pada orangtuanya yang telah


(38)

meninggal. Membuat pesta dengan cara besar-besaran adalah satu-satunya jalan untuk meningkatkan arwah orangtua ke tempat yang lebih mulia. Sebagai imbalan, mereka akan mendapatkan berkat dan lindungan dari arwah tersebut (Mukhlis & Lucas, 1987).

2. Rambu Solo’

Upacara Rambu Solo’ adalah upacara yang ditujukan pada arwah, dilakukan pada sore hari di sebelah barat dan selatan rumah Tongkonan. Upacara ini dimulai pada saat matahari condong ke barat. Upacara kedukaan ini diatur oleh adat yang disebut Aluk Rampe Matampu yang mempunyai sistem dan tahap-tahapnya sendiri. Adat ini lebih banyak dinyatakan dalam upacara pemakaman (Naskah Upacara Tradisional Daerah Sulawesi Selatan, 1984).

Deskripsi tentang upacara ini akan dijelaskan melalui faktor-faktor pendorong sehingga upacara ini dilaksanakan serta tingkatan-tingkatan upacara.

a. Faktor-faktor pendorong upacara

Dalam Naskah Upacara Tradisional Daerah Sulawesi Selatan (1984), pelaksanaan upacara pemakaman di Tana Toraja yang memakan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit dilatarbelakangi oleh faktor-faktor sebagai berikut :


(39)

1) Faktor kepercayaan

Kepercayaan Aluk Todolo yang dianut oleh masyarakat Toraja mengajarkan bahwa seluruh isi alam ini masing-masing memiliki roh. Roh dari hewan dan harta benda yang dikorbankan pada saat upacara pemakaman akan menjadi harta benda dan kekayaan bagi roh manusia di alam gaib.

2) Faktor martabat

Hewan-hewan yang dikorbankan saat upacara dibagi-bagikan sebagai tindakan sosial bagi masyarakat, juga sebagai tanda penghargaan terhadap seseorang yang dinyatakan pada pesta kematian. Penghulu-penghulu adat, relasi-relasi dari Tongkonan, dan orang-orang terhormat lainnya menempati tempat duduk tersendiri di atas lumbung padi bagian depan. Kesemuanya itu mendapat pembagian daging korban yang telah ditentukan potongan demi potongan dan besar kecilnya telah disesuaikan dan diatur dengan penggolongan jabatan yang dipangkunya dalam adat dan dalam masyarakat. Masyarakat sekitar juga mendapatkan bagian dalam pemotongan daging tersebut. Sistem pembagian daging merupakan salah satu media komunikasi sosial di kalangan masyarakat Toraja. Penyelenggaraan upacara bagi orang yang meninggal berarti menjamin gengsi sosial serta menjunjung tinggi kehormatan dan martabat orang yang meninggal serta keluarganya.


(40)

3) Faktor ekonomi (warisan)

Seseorang akan mendapatkan warisan setelah ia menunjukkan pengabdian dan sumbangannya kepada upacara pemakaman. Jumlah warisan akan diperoleh menurut jumlah pengabdian dan jumlah sumbangannya.

b. Tingkatan-tingkatan Upacara

Dalam kepercayaan aluk todolo, seseorang yang baru saja meninggal tidak pernah dianggap mati, tetapi hanya dikatakan sakit dan tidak boleh langsung dikuburkan, namun terlebih dahulu harus melalui tingkat-tingkat upacara dalam tata cara yang telah digariskan oleh kepercayaan ini.

Setiap orang diupacarakan sesuai dengan strata sosialnya. Seseorang yang berasal dari lapisan yang lebih rendah tidak boleh dimakamkan menurut upacara pemakaman bagi kalangan bangsawan, begitu pula sebaliknya. Apabila hal ini dilanggar, mereka akan menerima sanksi sosial yakni dicela dan menjadi buah bibir masyarakat serta ditentang oleh seluruh pemuka adat di Tana Toraja. Semakin tinggi tingkatan upacara, waktu pelaksanaannya akan semakin lama dan semakin membutuhkan biaya yang sangat besar, khususnya dalam pengadaan hewan kerbau dan babi serta pembuatan pondok-pondok (Naskah Upacara Tradisional Daerah Sulawesi Selatan, 1984).


(41)

Upacara pemakaman di Tana Toraja dapat diklasifikasikan atas empat tingkatan, yakni :

1) Upacara di Silli’

Upacara ini khusus dilaksanakan pada malam hari atau sore hari dengan tidak melakukan pesta apapun. Upacara ini harus dikerjakan oleh orang yang mengadakan pekuburan jenazah ini. Mayatnya tidak boleh dibiarkan menginap. Upacara ini diperuntukkan bagi golongan hamba atau golongan yang tidak mampu.

2) Upacara di Pasangbongi

Upacara ini merupakan upacara yang hanya berlangsung satu malam. Jenazah hanya disimpan satu malam kemudian dikuburkan. Upacara ini adalah upacara pemakaman bagi tingkatan pelapisan dari orang-orang di Tana’ Karurung atau dilaksanakan oleh pihak dari Tana’ Bassi dan Tana’ Bulaan yang tidak mampu.

3) Upacara di Doya

Dalam upacara ini, orang-orang duduk dan menunggu dalam beberapa malam. Upacara ini diperuntukkan bagi strata menengah atau dari Tana’ Bassi dan Tana’ Bulaan. Sebelum dilangsungkan, terlebih dahulu dibuat tiang-tiang sebagai tempat mengikat kerbau pilihan yang akan dikorbankan.


(42)

4) Upacara di Rapai’

Di Rapai’ maksudnya ditunggu hingga jenazahnya telah kering. Selama upacara ini berlangsung, mayat disimpan dalam peti atau tempat penyimpanan lainnya. Upacara ini pertama kali diadakan di Tongkonan kediaman orang yang meninggal, kemudian diadakan di padang (tempat pelaksanaan pesta kematian). Upacara ini hanya diperuntukkan bagi kalangan Tana’ Bulaan atau bangsawan tinggi. Dalam upacara ini terdapat simbol-simbol sebagai tanda kebesaran yang membedakannya dengan strata sosial lainnya, antara lain : a) dibalun bulaan : kain kapannya dihiasi dengan emas yang telah

ditempa dan direkatkan membentuk motif tertentu sesuai golongannya.

b) dibuatkan lakkian : rumah bertingkat tiga sebagai tempat jenazah, tau-tau, dan keluarga terdekat orang yang meninggal. Jenazahnya disemayamkan pada lantai ketiga.

D. GAMBARAN FASE DUKACITA SAAT UPACARA TRADISIONAL

RAMBU SOLO’ PADA KELUARGA DAN KERABAT YANG

DITINGGALKAN

Bagi masyarakat Tana Toraja, kematian itu baru benar-benar tiba apabila upacara pemakamannya sudah berlangsung. Sebelum upacara itu dilangsungkan, statusnya masih dikategorikan sebagai to makula alias orang yang sakit (Sarira,


(43)

1996). Arti harfiah to makula itu adalah orang yang tubuhnya masih panas. Status orang yang sudah meninggal tadi masih sakit, oleh karena itu ia harus dirawat dan diperlakukan sebagai orang yang masih hidup.

Sebelum diupacarakan, jenazah biasanya disimpan selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan hingga bertahun-tahun agar pihak keluarga dapat mempersiapkan upacara pemakaman dengan sebaik-baiknya. Selama masa penyimpanan tersebut ada kemungkinan suasana kesedihan itu sedikit demi sedikit mulai terkikis.

Istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan rasa kehilangan atas suatu kematian yakni dukacita (grief). Dukacita merupakan respon emosional seseorang dalam menghadapi kematian orang-orang yang dicintai (Backer, Hannon, Russell, 1982). Di dalamnya terkandung kelumpuhan emosional, tidak percaya, kecemasan akan berpisah, putus asa, sedih, dan kesepian yang menyertai di saat kita kehilangan orang yang kita cintai.

Realita kehilangan itu sendiri biasanya sangat sulit diterima oleh kebanyakan orang. Meskipun demikian, berduka merupakan suatu cara untuk memulihkan diri sendiri. Ketika seseorang membiarkan diri mereka untuk mengekspresikan perasaan yang paling mendalam, rasa kehilangan biasanya lebih mudah dipahami (Kinderknecht & Hodges ; Wortman & Silver dalam Turner & Helms, 1995).

Setiap keluarga yang menyelenggarakan upacara kematian mengalami fase dukacita yang berbeda. Hal yang sama juga terjadi pada keluarga di Tana Toraja. Respon yang berbeda dan rentang waktu dukacita yang tidak sama pada tiap


(44)

individu ada kemungkinan disebabkan oleh faktor kedekatan mereka dengan individu yang meninggal serta rentang waktu dari meninggal hingga dikuburkannya almarhum/almarhumah. Menurut Santrock (1995), dukacita yang dirasakan muncul tidak lama setelah kematian dan memuncak di minggu kedua hingga keempat setelah kematian dan biasanya mereda setelah beberapa bulan, namun ada pula yang bertahan 1-2 tahun. Saat persiapan upacara sedang berjalan, ada kemungkinan pihak keluarga mulai bisa beradaptasi dengan ketidakhadiran almarhum dalam kehidupan mereka.

Meskipun suasana yang nampak bukan suasana dukacita melainkan kemeriahan sebuah pesta, tidak semua keluarga telah mencapai tahapan akhir dalam dukacita mereka saat upacara berlangsung. Oleh karena itu penulis ingin melihat fase dukacita yang mereka alami mulai dari saat pertama mendengar atau mengetahui kematian almarhum/almarhumah hingga pelaksanaan upacara Rambu Solo’ berlangsung.


(45)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Penelitian ini merupakan sebuah studi fenomenologi yang menggunakan pendekatan deskreptif kualitatif. Studi fenomenologi memberikan penjelasan tentang pengalaman hidup pada beberapa individu tentang sebuah fenomenologi (Creswell, 1998). Metode deskriptif adalah metode yang bertujuan untuk melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat. Penelitian deskriptif tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi, tapi hanya memaparkan situasi atau peristiwa (Isac & Michael dalam Paramyta, 2004). Penelitian deskriptif ditujukan untuk :

1. Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada.

2. Mengidentifikasikan masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku.

3. Membuat perbandingan atau evaluasi.

4. Menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.


(46)

Penelitian kualitatif menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkripsi wawancara dan catatan lapangan.

B. BATASAN ISTILAH

Istilah yang digunakan pada penelitian ini yakni fase dukacita. Fase dukacita adalah fase yang biasa dialami oleh orang-orang yang berduka. Fase dukacita yang dimaksud pada penelitian ini yakni :

a. Terkejut

Fase ini dimulai ketika seseorang baru mendengar kabar kematian Fase ini ditandai dengan mati rasa, tidak percaya, tangisan yang terus-menerus, serta tidak mampu berpikiran jernih. Hal ini berlangsung selama beberapa jam setelah mendengar kabar tersebut hingga sepuluh hari ke depan.

b. Kekacauan

Fase ini ditandai dengan adanya penyangkalan atas kematian, kerinduan, susah tidur, merasa tidak memiliki tenaga, dan seringkali merasa kesepian. Pada umumnya, seseorang akan berada pada tahapan ini selama satu minggu hingga dua belas bulan setelah kematian.

c. Pulih kembali

Fase ini merupakan fase akhir dari dukacita. Seseorang telah mampu keluar dari masa berdukanya. Kondisi ini akan dialami setelah beberapa bulan hingga 1 tahun setelah peristiwa kematian.


(47)

C. SUBJEK PENELITIAN

Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian kualitatif umumnya menampilkan karakteristik :

1. Diarahkan tidak pada jumlah sampel yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian.

2. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian (Sarantakos dalam Poerwandari, 2001).

Subjek penelitian ini dipilih berdasarkan lapisan masyarakat yang ada di Toraja yakni :

a. Tana’ Bulaan (bangsawan tinggi) : 3 orang b. Tana’ Bassi (bangsawan menengah) : 3 orang c. Tana’ Karurung (rakyat biasa) : 3 orang d. Tana’ Kua-kua (hamba) : 3 orang

Subjek-subjek tersebut masing-masing terdiri dari dua orang keluarga dekat (istri/suami dan anak) serta satu orang kerabat/bukan keluarga (teman, tetangga). Keluarga merupakan pihak yang paling dekat hubungan emosinya dengan almarhum. Perasaan yang timbul akibat terputusnya hubungan dengan almarhum diharap akan memberikan gambaran tentang pengalaman emosi mereka. Kerabat adalah pihak-pihak yang memiliki hubungan dengan almarhum tapi kurang begitu dekat secara emosi. Keberadaan mereka sebagai pihak luar


(48)

diharap akan menambah perolehan data sehingga akan semakin memperkaya gambaran tentang fase dukacita pada masyarakat Toraja.

Seluruh subjek merupakan subjek yang telah dewasa, dengan pertimbangan bahwa mereka telah lebih banyak melihat dan mengalami upacara kematian itu sendiri. Pemilihan subjek sebagai sampel penelitian berdasarkan variasi maksimum dan diharapkan dapat bersifat representatif terhadap fenomena yang diteliti. Proses pengambilan sampel dilakukan secara snowball / chain sampling (pengambilan sampel dilakukan secara berantai dengan meminta informasi pada orang yang telah diwawancarai / dihubungi sebelumnya) yang dilakukan sampai mendapatkan tiga subjek penelitian dalam setiap upacara.

D. METODE PENGUMPULAN DATA

Pengumpulan data penelitian menggunakan metode wawancara. Danandjaja (1988) mengemukakan bahwa wawancara adalah metode pengumpulan data dengan cara menanyakan sesuatu kepada seorang responden. Caranya adalah dengan bercakap-cakap secara tatap muka. Wawancara kualitatif dilakukan apabila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut (Banister dkk. dalam Poerwandari, 2001). Keunggulan metode wawancara adalah :

1. Peneliti bisa secara langsung mengamati pesan-pesan yang tampak dari ekspresi non verbal.


(49)

2. Responden dapat langsung melakukan probing (pemeriksaan), klarifikasi jawabannya, dan memberikan umpan balik.

3. Responden juga dapat berbicara lebih banyak dan lebih termotivasi karena hadirnya orang lain (Paramyta, 2004).

Metode wawancara yang digunakan adalah wawancara semi terstruktur dengan menggunakan pedoman umum. Peneliti tidak membuat pertanyaan secara eksplisit melainkan mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan. Metode pencatatan data yakni dengan narrative recording untuk memperoleh data yang luas dan komprehensif dari perilaku natural subjek. Metode pencatatan ini dilakukan dengan cara mengidentifikasikan perilaku yang akan diamati, mengidentifikasikan hal-hal yang akan mempengaruhi, mencatat ekspresi verbal dan non verbal, mencatat perilaku yang muncul, mencatat rangkaian kejadian, dan mendeskripsikan perilaku.

Faktor-faktor yang akan diungkap dalam wawancara adalah sebagai berikut :

Tabel 1

Faktor-faktor yang Diungkap dalam Wawancara

No. Faktor-faktor yang diungkap Deskripsi Pertanyaan

1 Identitas Identitas yang meninggal 1. Nama

2. Usia 3. Pendidikan 4. Pekerjaan 5. Agama 6. Tempat tinggal 7. Tingkatan sosial

2 Identitas Identitas diri subjek 1. Nama

2. Usia 3. Pendidikan 4. Pekerjaan 5. Agama 6. Tempat tinggal 7. Tingkatan sosial 3 Dukacita Fase-fase dukacita yang 1. Apa yang dilakukan /


(50)

dialami bagaimana reaksinya saat pertama kali mendengar kematian almarhum ? Apakah kematian itu dapat langsung diterima ?

2. Berapa lama tenggelam dalam kesedihan ? 3. Bagaimana pengaruh kematian ini terhadap kegiatan sehari-hari ? Apakah hingga saat ini masih merasa terpengaruh ?

4. Apakah kematian almarhum masih terus terbayang dalam

mempersiapakan upacara ? 5. Bagaimana perasaan bapak/ibu saat ini?

E. ANALISIS DATA

Pada penelitian ini, langkah-langkah analisis data yang digunakan adalah : 1. Membaca hasil wawancara secara keseluruhan.

2. Mengutip pernyataan-pernyataan yang signifikan dari tiap wawancara. 3. Pernyataan-pernyataan tersebut kemudian dirumuskan menjadi

makna-makna tertentu yang dikelompokkan ke dalam tema-tema.

4. Mengintegrasikan tema-tema tersebut ke dalam bentuk deskripsi narasi. (Creswell,1998).

F. PEMERIKSAAN KEABSAHAN DATA

Kredibilitas (credibility) adalah istilah yang dipilih untuk mengganti konsep validitas, dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian kualitatif. Kredibilitas dalam penelitian kualitatif terletak pada


(51)

keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial, atau pola interaksi yang kompleks. Deskripsi mendalam yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif. Oleh karenanya, peneliti perlu menguraikan secara jelas parameter (langkah-langkah, pedoman-pedoman, batasan, dan ukuran) penelitian : bagaimana desain dikembangkan, subjek penelitian dipilih, ataupun analisis dilakukan. Sarantakos (dalam Poerwandari, 2001) mengemukakan bahwa kredibilitas ini dapat dicapai melalui :

1. Deskripsi setting, proses, kelompok sosial, dan interaksi yang kompleks pada subjek terhadap ekspresi emosinya (validitas kumulatif).

2. Penelitian dilakukan pada kondisi alamiah dari subjek yang diteliti, dimana kondisi apa adanya menjadi konteks penting penelitian (validitas ekologis).

Dependability menggantikan istilah reliabilitas dalam penelitian kualitatif. Melalui konstruk dependability peneliti memperhitungkan perubahan-perubahan yang mungkin terjadi menyangkut fenomena yang diteliti, juga perubahan dalam desain sebagai hasil dari pemahaman yang lebih mendalam tentang setting yang diteliti (Poerwandari,1998). Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini guna mencapai dependability penelitian, antara lain :

a. Melakukan pencatatan fenomena secara rinci dan teliti.

b. Membuat interrelasi aspek-aspek yang terkait dalam penelitian.


(52)

penelitiannya sehingga memungkinkan orang lain melakukan penilaian (objektif).


(53)

BAB IV

PELAKSANAAN, HASIL PENELITIAN, DAN PEMBAHASAN

A. PELAKSANAAN

1. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian

Peneliti memulai penelitian ini dengan mengunjungi daerah Tana Toraja dan selanjutnya mencari informasi tentang waktu dan tempat pelaksanaan upacara-upacara kematian Rambu Solo’. Pemilihan upacara sebagai tempat penelitian ini didasarkan pada tingkatan masyarakat atau kasta dari keluarga yang melaksanakannya karena tiap kasta memiliki aturan dan tata cara pelaksanaan upacara yang berbeda. Pemilihan empat kasta yang berbeda akan memperkaya gambaran pelaksanaan upacara Rambu Solo’ di Tana Toraja. Peneliti kemudian memilih empat upacara kematian sebagai lokasi penelitian.

2. Waktu dan Tempat Penelitian

Tabel 2

Kasus I II III IV

Tanggal 5 Juli 2006 12 Juli 2006 20 Juli 2006 23 Juli 2006 Tempat Desa Patua,

Kec. Sangalla

Desa Lamunan, Kec. Makale

Desa Saluallo, Kec. Sangalla

Desa Tinore, Kec. Mengkendek


(54)

3. Subjek Penelitian

Pemilihan subjek penelitian dilakukan berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditentukan sebelumnya dan dipilih melalui rekomendasi subjek penelitian yang telah diwawancarai terlebih dahulu. Peneliti tidak menemukan upacara yang dilaksanakan oleh kasta tana’ kua-kua karena tidak adanya pelaksanaan upacara kematian oleh kasta ini.

B. HASIL PENELITIAN

Penjelasan tentang hasil penelitian ini akan dimulai dari penjelasan tentang data diri dan riwayat kematian almarhum/almarhumah, data responden yang terdiri dari keluarga dan kerabat almarhum/almarhumah, kemudian dilanjutkan dengan analisis data.

1. Kasus I

Data Almarhum

1. Nama : SLP

2. Jenis kelamin : Laki-laki 3. Usia : 88 tahun 4. Pendidikan : -

5. Pekerjaan : Tokoh adat

6. Agama : Alukta (kepercayaan nenek moyang) 7. Tempat tinggal : Sangalla


(55)

8. Tingkatan sosial : Tana’ Bulaan (bangsawan tinggi)

Riwayat Kematian Almarhum

Almarhum meninggal tahun 1999, jadi selama 7 tahun disimpan di rumahnya. Istri almarhum telah lebih dahulu meninggal beberapa tahun sebelum almarhum. Subjek tidak mengalami sakit yang berat sebelum meninggal, hal ini yang menimbulkan keterkejutan pihak keluarga saat beliau meninggal. Selama disimpan, almarhum diletakkan di kamarnya dan diperlakukan selayaknya orang sakit yang belum meninggal. Setiap hari disediakan makanan dan minuman bagi almarhum. Agar tidak membusuk, mayatnya diberi suntikan formalin dan ramuan-ramuan tradisional. Pihak keluarga yang tinggal bersamanya sama sekali tidak merasa takut akan kehadiran mayat di tengah-tengah mereka. Malahan, mereka senang masih diberi kesempatan untuk melayani almarhum untuk terakhir kalinya.

Di bawah ini adalah data subjek yang merupakan keluarga dan kerabat dari SLP.

Tabel 3 Data Subjek

Subjek 1 2 3

Nama SSB JLP R

Hubungan

kekerabatan Cucu Anak Tetangga

Usia 24 tahun 56 tahun 42 tahun

Pendidikan SMU SMU SMU


(56)

Agama Kristen Protestan Kristen Protestan Kristen Protestan

Tingkatan sosial Tana’ Bulaan (bangsawan tinggi)

Tana’ Bulaan (bangsawan tinggi)

Tana’ Bulaan (bangsawan tinggi)

Hasil Analisa

a. Reaksi saat pertama mendengar tentang kematian

Reaksi yang ditunjukkan ketiga subjek pada kasus pertama ini cukup beragam. Jika dilihat dari hubungan kekerabatan, SSB dan almarhum tergolong dekat karena ia adalah cucu almarhum. Namun, ia tidak kaget dengan kematian kakeknya. Hubungan mereka yang tidak dekat membuatnya tidak terlalu mengetahui kondisi kakeknya yang sebenarnya. Lain halnya dengan R yang adalah tetangga almarhum. Meskipun tidak punya hubungan keluarga, intensitas hubungan mereka cukup tinggi, sehingga R mengetahui bagaimana kondisi almarhum yang sebenarnya. Hal yang sama ditunjukkan oleh anaknya, JLP. Reaksinya sangat kaget, karena kematian almarhum ayahnya tidak disangka-sangka.

Saat SSB mendengar kabar kematian kakeknya, ia tidak merasakan kesedihan yang mendalam. Menurutnya, almarhum sudah tua dan hal tersebut memang sudah rencana Tuhan.

“Ya terima, karna maksudnya ee..ini yang almarhum ini kan juga sudah tua toh, alangkah baik kalo rencananya Tuhan kan, ya sudah waktunya begitu.” (W1.15.74)

Sedangkan bagi R, tetangga almarhum, saat pertama kali mendengar kabar kematian almarhum, ia merasa kaget dan langsung


(57)

menangis. Hal ini dikarenakan semasa hidupnya fisik almarhum masih kuat dan masih suka pergi kemana-mana. Kematian almarhum sangat tidak disangka-sangka.

“Biarpun hanya tetangga tapi boleh dikata kami itu, keluarga itu, dekatlah begitu. Tiap hari kan ketemu pasti toh, kalo ada apa-apa juga pasti kami saling kasih tau, jadi ya bisa dibilang kalo saya juga lumayan kenallah sama ini nenek.” (W3.1.81)

“Sedih pasti, langsung saya menangis waktu itu karena kagetnya toh, karna seingat saya, ini nenek memang sudah tua tapi dak kayak orang tua lain yang sudah sakit-sakit toh, masih sehatji dia.” (W3.22.83)

Reaksi yang lebih mendalam ditunjukkan oleh JLP. Ia menunjukkan reaksi kaget, kemudian menangis dan pingsan saat pertama kali mendengar kabar kematian ayahnya. Ia merasa terkejut dan tidak percaya atas kematian almarhum.

“Boleh dikata kita itu, orang bilang kita kaget, malah saya menangis………….. langsung saya pingsan disitu.” (W2.13.79)

“Ya seperti yang saya bilang tadi, ya sedihlah, ya kagetlah, karna kan tidak disangka-sangka toh? Karna saya juga belum lama itu ketemu sama bapak dan dia itu tidak sakit-sakitji, makanya tidak disangka-sangka skali kalo meninggal.” (W2.23.80)

b. Lama bersedih

Lamanya ketiga subjek tenggelam dalam kesedihan juga berbeda. Alasan yang terlihat disini yakni faktor kedekatan tiap subjek dengan almarhum.

SSB mengungkapkan bahwa dirinya tidak terlalu lama tenggelam dalam kesedihan.

“Ndak terlalu lama, semua orang akan pasti mengalami kematian, jadi ya ndak lama, berapa-berapa hari saja mungkin itu kemarin. Mungkin juga karna saya ndak terlalu dekat dengan nenek jadi ya…ndak terlalu sedih begitu.” (W1.16.74)


(58)

Sedangkan R tenggelam dalam kesedihan selama 3 bulan. Menurutnya, jangka waktu tersebut tidak lama.

“…… ya…mungkin 3 bulanlah (bersedih), dak terlalu lama pokoknya.” (W3.14.83)

Selama masa dukacitanya, SLP tenggelam dalam kesedihan selama satu tahun lebih, karena kepergian almarhum yang tidak disangka-sangkanya. Selama itu, subjek akan teringat pada almarhum bila melihat barang-barang ayahnya ataupun berkunjung ke rumah almarhum ayahnya.

“Saya pikir-pikir barangkali 1 tahun lebih saya sedih waktu itu. Soalnya memang tidak disangka-sangka skali meninggalnya.Saya ingat itu saya paling ingat sama bapak kalau saya lihat lagi itu apa-apanya bapak, kan ada toh itu bajunya yang disimpan di rumah. Apalagi kalau saya ke rumahnya bapak, biar berapa jam saya dikamarnya, duduk di bawah tempat tidurnya, kadang juga cerita apa saja ke bapak. …………..” (W2.14.79)

c. Pengaruh kematian terhadap diri subjek

Almarhum sendiri semasa hidupnya cukup berpengaruh pada kehidupan orang-orang di sekitarnya, sehingga ketika ia meninggal orang-orang yang dekat dengannya juga ikut terpengaruh, meskipun bukan keluarga dekatnya. Hal ini bisa dilihat dari penuturan R (tetangga) dan JLP (anak). Mereka menuturkan bahwa sejak kepergian almarhum, aktivitas-aktivitas yang biasa mereka lakukan bersama jadi terasa beda. Hal berbeda ditunjukkan oleh SSB (cucu). Ia jarang sekali berkomunikasi dengan kakekknya sehingga kematian almarhum tidak terlalu membawa pengaruh dalam kehidupannya.


(59)

Hubungan SSB dengan almarhum tidak terlalu dekat. Hal ini dikarenakan ia jarang mengunjungi almarhum. Semasa hidup almarhum, ketika ia bertemu almarhum, mereka jarang melakukan komunikasi. Oleh karena itu, kesedihan yang ia rasakan tidak mempengaruhi kegiatannya sehari-hari.

“…………pasti ada kesedihanlah. Tapi itupun dak terlalu berpengaruh sama kegiatanku sehari-hari.” (W1.17.74)

Sedangkan menurut R, kematian almarhum cukup berpengaruh pada dirinya. Hampir setiap hari ia bercerita tentang almarhum. Sedangkan bagi JLP, kematian almarhum berpengaruh pada dirinya. Subjek merasa sepi ketika almarhum meninggal. Semasa almarhum hidup, subjek dan almarhum sering pergi bersama ke acara-acara keluarga.

“Pasti berpengaruh. Bapak dulu kan masih kuat, masih sering kita sama-sama pergi ke orang mati ato acara-acara keluarga. Sejak meninggal, terasa skali bedanya karena bapak sudah tidak adami to? apalagi kalo ada lagi pertemuan-pertemuan keluarga, rasanya sepimi, tidak seperti dulu.” (W2.15.79)

d. Perasaan selama persiapan upacara

Semua subjek menyatakan bahwa mereka masih mengingat almarhum selama mempersiapkan upacara kematiannya. Perasaan bahwa subjek benar-benar akan segera dikuburkan membuat mereka terkenang kembali saat-saat bersama almarhum dulu.

Pada saat SSB mempersiapkan upacara kematian, ia masih mengingat-ingat almarhum, apalagi bila melihat atau berada dekat dengan jenazah almarhum.


(60)

“Oh, kalo ingat-ingat masih sempat………..kalo liat mayatnya saja di rumah baru ingat lagi…………” (W1.18.75)

R sendiri teringat kepada almarhum dalam beberapa aktivitas yang biasa ia lakukan, apalagi bila sedang mengurus jenazahnya. Selama 3 bulan ia berada pada tahapan ini. Saat mempersiapkan upacara, subjek kembali teringat akan almarhum. Terutama bila subjek hendak pergi ke sawah atau ke kebun. Semasa hidupnya, subjek sering pergi dengan almarhum.

“Waktu itu memang ada pengaruhnya, karna hampir tiap hari itu kita cerita-cerita terus tentang nenek, apa yang dia suka bikin, kemana dia terakhir, ya macam-macam. Jadinya kalo mo kerja saya masih suka ingat sama nenek.” (W3.15.83)

Awalnya, JLP menuturkan bahwa saat mempersiapkan upacara, ia masih mengingat almarhum tapi tidak terlalu sering. Meskipun demikian, perasaan sedihnya muncul lagi setelah mengingat bahwa ia akan berkumpul dengan keluarga lain untuk menyatukan pendapat mengenai penguburan almarhum ayahnya. Ia merasa bahwa almarhum ayahnya benar-benar akan diambil darinya padahal selama tujuh tahun ini berada di dekatnya.

“Sebelumnya kan kita sudah ndak sedihmi toh, nanti muncul lagi setelah mengingat bahwa kita sudah akan kumpul, menyatukan pendapat untuk menghadapi penguburan atau pestanya……….. Nanti kalo lagi tidak sibuk, kadangkala saya juga berpikir kalo bapak betul-betul sudah mo dikubur, padahal selama 7 tahun ini masih bisaki liatki.” (W2.24.80)

e. Perasaan selama upacara Rambu Solo’ berlangsung

Selama upacara kematian ini berlangsung, semua subjek mengemukakan bahwa mereka tidak lagi merasa sedih karena harus


(61)

mengurus segala hal sehubungan dengan upacara ini. Kesibukan yang dialami membuat perhatian mereka teralihkan dari kesedihan.

SSB merasa senang dengan penyelenggaraan upacara ini karena subjek mendapat kesempatan berkumpul dengan keluarga dan saling berbagi. Selain itu, berbagai kesibukan yang dikerjakannya membuatnya bisa mengalihkan perhatian dari kesedihannya. Hal yang sama dirasakan oleh R. Melalui penyelenggaraan upacara kematian ini, R merasa terbantu untuk melepas kepergian almarhum.

“Upacara ini membantu kita untuk apa ya…mmm.. seakan-akan mengalihkan perhatian kita dari kesedihan kepada kesibukan kerja ini. ……….. Waktu sebelum upacara kan mungkin karna tiap saat dekat nenek jadi sedih terus toh, ya kalo skarang kan sudah tidakmi.Banyakmi yang dikerjalah begitu.” (W1.25.75)

Sedangkan bagi JLP, kematian almarhum sudah tidak mempengaruhinya saat upacara berlangsung. Ia mengatakan bahwa tidak baik bila terlalu lama sedih, dengan alasan bahwa masih banyak hal yang harus diurus.

“Ya kalo sekarang sudah ndakmi, sudah hilanglah, kan sudah lewat 7 tahun lebih. Ndak baik juga toh kalo kita terlalu lama sedih.” (W2.16.79) “Ya iyalah, bagaimana mo selesai itu pekerjaan kalo kita mo sedih terus. Apa juga orang bilang nanti, apalagi kita sudah tuami juga toh, bagaimana mo urus anak-anak, keluarga yang lain kalo kita mo pikir dirita sendiri. Lagipula, di Alkitab juga ada dibilang kalo ndak baik itu terlalu lama merasa sedih.” (W2.17.79)


(62)

2. Analisa Kasus II Data Almarhum

1. Nama : RAS

2. Jenis kelamin : Perempuan

3. Usia : 88 tahun

4. Pendidikan : - 5. Pekerjaan : Petani

6. Agama : Kristen Protestan 7. Tempat tinggal : Lamunan

8. Tingkatan sosial : Tana’ Bassi (bangsawan menengah)

Riwayat Kematian Almarhumah

Almarhumah meninggal tanggal 9 Januari 2006. Terdapat selang waktu enam bulan sebelum almarhumah diupacarakan pada bulan Juli 2006. Kondisi kesehatan almarhumah memang sudah sakit-sakitan, namun penyakit itu muncul karena usianya yang sudah tua. Almarhumah diletakkan di rumahnya di daerah Tombang. Selama almarhumah disimpan, orang-orang hampir tiap malam mengadakan ibadah dan acara ma’badong di rumahnya. Selama enam bulan almarhumah disimpan di rumahnya, berada di tengah-tengah keluarganya. Setelah diupacarakan, almarhumah kemudian disemayamkan di patane (kuburan yang menyerupai rumah kecil) keluarga.


(1)

23

24

persiapan upacara mo dimulai, wah…kayaknya betul-betul ini bapak sudah mo diambil, dikubur begitu. Selama inikan ditaruh di rumah, jadi tiap hari bisa diliat. Kalo sudah dipestakan artinya sudah mo dikubur. Jadi ya…kayaknya benar-benar perpisahan dengan bapak. Itu rasa ndak rela muncul lagi, untungnya banyak keluarga sekarang yang kuatkan jadi ya saya bisa tabahlah. Ceritakan tentang apa yang dirasakan sekarang !

Sekarang sudah biasami, sudah rela. Kita juga tidak pernah diam ato duduk tenang, selalu kerja kesana-kemari, jadi ya sibuk, dak ada rasa mau menangis lagi, plong, lega. Senang juga ketemu orang banyak, terharu karna mereka perhatian sekali ke kami. Bagaimana pengaruh upacara ini terhadap kesedihan tante ?

Sangat menolong saya dalam mengurangi kesedihan. Terasa sekali itu, eh..jadi sepertinya masih ada waktu untuk sama-sama bapak walaupun cuma sebentar, jadi dak langsung dikuburkan. Kita juga ada kesempatan untuk mm..memberikan penghormatan terakhir buat bapak.

persiapan

Perasaan selama upacara

No. Hasil Wawancara 11 Koding

1

2 3

4

5

6

Ceritakan tentang hubungan om dengan almarhum !

Almarhum ini om saya. Kami itu paling sering kumpul-kumpul bersama, entah itu karna memang ada acara atau hanya minum-minum kopi di rumahnya. Aduh…rasanya itu seperti ada yang tidak lengkap kalo tidak ada beliau.

Apakah tiap ada keluarga yang meninggal pasti dipestakan ? Jadi tergantung dari ekonomi keluarga

Kalau ada keluarga yang tidak mampu bagaimana ?

Ya seperti yang saya katakan tadi, itu sangat tergantung kepada ee…keluarga terdekat yang bersangkutan. Kalo mampu ya diadakan, kalo tidak ya…tidak diadakan.

Apa yang mendorong dilaksanakannya upacara ini ?

Ee…saya kurang tau persis juga tapi yang disitu ee..dari yang terdekatkan kan dulu yang rapat kan anaknya, sebagai kemenakannya saya cuma mengikuti keputusan anak-anaknya itu, apapun yang diputuskan. Tapi yang pasti, karna ini kan sudah menjadi adat kebiasaan yang berlaku, jadi setiap orangtua yang meninggal, dengan catatan keluarganya mampu, ya sebisa mungkin diupacarakan dulu baru dilaksanakan itu penguburan. Kendala-kendala apa yang dialami selama mempersiapkan upacara?

Ow…banyak sekali kendala. Membuat pondok itukan membutuhkan biaya yang besar. Artinya mungkin biaya pondokan itu lebih besar daripada materi upacara itu sendiri. Tapi untung juga keluarga besar, jadi semuanya dapat diselesaikan dengan baik. Selain itu, saya rasa dak ada masalah yang terlalu berarti.

Berapa lama persiapan upacara ini ?


(2)

7 8 9

10

11

12

13

14

15

pembuatan pondok segala macam itu saya kira hanya 2 bulan itu.

Selama itu, almarhum disimpan dimana ? Disimpan di rumahnya di Tinore sana.

Termasuk dalam tingkatan manakah upacara ini ? Ya menengahlah, termasuk tana’ bassi.

Apakah upacara ini telah sesuai dengan tingkatan sosial almarhum?

Sudah sesuai saya kira, dilihat dari kerjanya almarhum waktu meninggal apa, ya memang sudah seharusnya pestanya diadakan seperti ini.

Bagaimana sikapnya terhadap kematian ?

Manusia kan akan kesitu semua, cuma waktu dan tempat yang kita tidak tau. Bukan hal yang wah, ato luar biasalah itu kematian, apalagi di Toraja sini, hampir mungkin tiap hari kita berhadapan sama yang namanya kematian.

Takutkah menghadapi kematian ?

Ya tidak takut. Apa yang harus ditakutkan ? Kalo Tuhan sudah berkehendak, tidak ada satupun yang dapat menghalangi, termasuk dalam menghadapi kematian. Kita hanya bisa berserah saja kepada Tuhan.

Menurut om, berada dimanakah roh almarhum sekarang ? Apakah almarhum puas dengan upacara ini ?

Adakan namanya, kalo orang Toraja, alam puya. Menurut kepercayaan, orang yang meninggal itu masuk ke alam puya dulu. Nanti kalo sudah saatnya, baru ditetapkan apakah dia masuk surga atukah masuk neraka. Saya beranggapan bahwa saat ini almarhum juga masih berada di alam puya menunggu saatnya.

Puas saya kira.

Bagaimana reaksinya saat pertama kali mendengar kematian almarhum ? Apakah kematian itu dapat langsung diterima ?

E..kaget karna hari Sabtu kan meninggal di sana toh, saya masih bercanda-canda itu, sama tetangganya masih sempat cerita sampai jam 7 malam, e..jam 8. Pagi-pagi sudah ada kabar meninggal bapak itu, saya bilang ah pasti bohong itu karna masih bercanda kemarin. Saya tidak percaya itu bilang sudah meninggal. Nanti saya telpon ulang baru betul-betul yakin kalo sudah meninggal. Ya, kaget skali memang, kurang dapat diterima awalnya.

Berapa lama tenggelam dalam kesedihan ?

Ah tidak lama itu, saya memang orangnya begini, tidak bisa itu lama-lama bersedih, pokoknya harus langsung bisa diatasi, karna masih banyak hal mo diurus setelahnya.

Bagaimana pengaruh kematian ini terhadap kegiatan sehari-hari? Apakah hingga saat ini masih merasa terpengaruh ?

Sudah tidak ada pengaruhnya lagi, sudah lama kok. Kemarin-kemarin juga tidak terlalu berpengaruh dalam kerja saya sehari-hari.

Reaksi pertama mendengar kabar

Lama bersedih


(3)

16

17

18

19

20

21

22

23

Apakah kematian almarhum masih terus terbayang dalam mempersiapkan upacara ?

Tidak, pokoknya saya cuma pikir bagaimana supaya acaranya ini lancar kan, apalagi banyak juga turis yang liput, ya bagaimana kita memberikan pelayanan yang terbaiklah buat mereka, utamanya buat keluarga dan kerabat kita.

Adakah seseorang yang selalu menghibur ?

Ndak ada itu, hibur diri sendiri saja, kan sudah tua begini masa mo dihibur-hibur kayak anak kecil saja, ya urus diri sendirilah. Usaha-usaha apa yang dilakukan untuk mengurangi kesedihan ?

Tidak ada, kerja saja seperti biasa, ke kantor, ke sawah, ya begitulah.

Menurut om, apakah dengan berduka dapat membuat om melupakan almarhum?

Bukan melupakan, tapi menjaga agar keberadaan almarhum tetap kita rasakan, tetap kita ingat, jangan sampai dilupakan, nanti kualat.

Bagaimana perasaannya saat pertama kali mendengar kematian almarhum?

Seperti tadi saya bilang, kaget, tidak percaya, setelah yakin betul baru ada rasa kehilangan sosok yang dihormati, teman bicara, sedih, sedih pastinya.

Selama mempersiapkan upacara bagaimana perasaannya ? Yang pasti tidak ada lagi rasa berduka, yang ada itu kesibukan terus hampir tiap hari, capek, lelah lah pokoknya.

Ceritakan tentang apa yang dirasakan sekarang !

Sekarang ya ? Hmm…mungkin lega ya, upacaranya sudah berjalan dengan lancar. Sempat ada rasa kesal kemarin, soalnya ada tugas yang sudah dipercayakan kepada beberapa orang, ternyata tidak bisa diselesaikan dengan baik. Untungnya langsung dilaporkan ke saya, jadi masalahnya bisa selesai dengan baik. Rasa senang juga kumpul-kumpul dengan keluarga-keluarga dari jauh juga teman-teman lama.

Bagaimana pengaruh upacara ini terhadap kesedihan bapak ? Bukan hanya saya ya mungkin, tapi untuk seluruh keluarga, khususnya anak-anak dan istrinya, upacara ini sangat membantu mereka, juga saya, untuk melepaskan almarhum dengan rela, tidak dengan tangisan lagi, tapi dengan penuh kerelaan ya karna memang sudah saatnya sekarang almarhum pergi.

Perasaan pertama mendengar kabar Perasaan selama persiapan Perasaan selama upacara

No. Hasil Wawancara 12 Koding

1

2

Ceritakan tentang hubungan kakak dengan almarhum !

Saya punya bapak. Ya mungkin karna saya dak terlalu sering datang ke rumah makanya jarang-jarang itu kami baku bicara, paling kalo adapi keperluan. Kan banyak juga urusannya ini bapak toh. Makanya dak terlalu dekat, biasa-biasa saja.

Apakah tiap ada keluarga yang meninggal pasti dipestakan ? Ndak, tergantung juga. Misalnya kan ada yang agama


(4)

3

4

5

6

7 8

9

10

11

12 13

Pantekosta, ada KIBAID kan, trus…bagaimana ya..tergantung dari situasi dan kondisi begitulah

Kalau ada keluarga yang tidak mampu bagaimana ?

Ya kalo umpamanya ndak mampu dalam soal materi ya tidak diharuskan.

Apa yang mendorong dilaksanakannya upacara ini ?

Pertama, adat itu, adat. Karna kebetulan kita punya bapak itu termasuk..bagaimana yah..kasta tinggi dari kasta biasa ya, jadi memang sudah seharusnya diupacarakan.

Kendala-kendala apa yang dialami selama mempersiapkan upacara?

Ee…begini ya, karna kebetulan bapak disini istrinya ada 9, jadi bahan dengan…pokoknya segala-galanyalah ndak begitu anu..ndak begitu… Karna yang satu kurang, yang satu bisa penuhi. Kalo masalah pertemuan keluarga juga ndak masalah karna dari…macam dari satu ibu bisa ada satu dua orang yang mewakili.

Berapa lama persiapan upacara ini ? Selama itu, almarhum disimpan dimana ?

Sekitar 2 bulanlah. Ya di rumahnya.

Termasuk dalam tingkatan manakah upacara ini ? Yah…sesuai kasta ya termasuk tana’ bassi.

Apakah upacara ini telah sesuai dengan tingkatan sosial almarhum ?

Ya sudah.

Bagaimana sikapnya terhadap kematian ?

Ya selaku kita orang beragama ya…biasa-biasa aja karna memang sudah takdir begitu kan. Apalagi sebagai orang Toraja yang…ya mungkin sering skali ya berhadapan dengan yang namanya kematian. Jadi kita biasa-biasa saja.

Takutkah menghadapi kematian ?

Tidak, kenapa musti takut ? Orang tidak beriman saja yang takut, kalo kita kan percaya sama Tuhan. Kalo memang sudah waktunya mati ya harus diterima. Kan biasa ada orang kalo sudah sakitmi trus dia rasa sudah mo mati begitu, biasanya dia bilang jangan dulu Tuhan, saya masih mo hidup. Kalo saya ya, terima saja langsung, itukan sudah kehendak Tuhan.

Menurut kakak, berada dimanakah roh almarhum sekarang ? Dimana ya ? Saya kurang tau juga kalo ini, tapi yang pasti belum masuk surga atau neraka, nanti ada waktunya itu. Sekarang masih di suatu tempat menunggu penghakiman terakhir dari Tuhan.

Apakah almarhum puas dengan upacara ini ?

Oh..puas pasti, ini sudah berjalan sesuai aturan yang berlaku. Bagaimana reaksinya saat pertama kali mendengar kematian almarhum? Apakah kematian itu dapat langsung diterima ?

Kebetulan saya kan tinggal di sekitar gunung Kandora, bapak meninggal disini pagi. Saya tau waktu itu sekitar jam 11 siang, jadi agak kaget begitu karna bapak disini ndak sakit. Jadi langsung datang kesini, belum percaya kan. Ya antara percaya

Reaksi pertama


(5)

14

15

16

17

18

19

20

21

dengan tidak karena bapak waktu itu masih sehat-sehat kan paginya. Orang bawa ke rumah sakit masih begitu kan. Ya karna dia masih sempat bicara, karna bapak disini dak sakit. Pas tiba disini baru benar-benar…. Saya ndak bisa terima awalnya, orang tidak sakit kok tiba-tiba meninggal… lama-lamapi baru saya yakin betul kalo betul-betul meninggalmi itu bapak.

Berapa lama tenggelam dalam kesedihan ?

Kalo yang tenggelam dalam kesedihan itu karna….begini ya, kita bersaudara itu ada sekitar 30an lebih. Jadi antara bersedih, antara dukacita dengan sukacita yang ada saat itu. Karna saudara kita yang jauh datang, ya datang menghibur jadi kita agak senang juga, karna kebetulan rasa rindu kita sama saudara kita kan timbul kembali. Ya jadi..antara..saat ini kita antara berdukacita dengan bersukacita.

Bagaimana pengaruh kematian ini terhadap kegiatan sehari-hari? Apakah hingga saat ini masih merasa terpengaruh ?

Ee…mungkin tidaklah karna kebetulan kita ndak kerja begitu kan. Sehari-hari mungkin teringatlah, tapi sebentar kok. Lagipula waktu itu saya terus juga yang dampingi mama sampai kayaknya dak ada itu waktu untuk urus diri sendiri.

Apakah kematian almarhum masih terus terbayang dalam mempersiapkan upacara ?

Sudah tidak. Kita memang selalu ingat sama bapak, tapi waktu persiapan kemarin yang kita pikirkan cuma ini acara saja. Kayaknya itu ndak ada waktu untuk mo bersedih terus.

Adakah seseorang yang selalu menghibur ?

Tidak ada 1 orang khusus ya, ya…semua kita keluarga saling menghiburlah. Termasuk juga dengan saudara-saudara dari lain ibu, kan banyak toh itu, jadi rame skali kalo kumpul, disitumi kita saling menghibur.

Usaha-usaha apa yang dilakukan untuk mengurangi kesedihan ? Setiap malam minggu kita kumpul begitu, adakan kebaktian, pertemuan-pertemuan keluarga, setiap malam minggu. Pokoknya setiap malam minggu dengan hari Minggu

Menurut kakak, apakah dengan berduka dapat membuat kakak melupakan almarhum ?

Oh tidak, berduka bukan brarti kila lupa sama bapak, tapi kita jaga, kita simpan kenangan-kanangan tentang bapak. Masa karna meninggal trus kita langung lupakan bapak kita sendiri ? Ya ndaklah..

Bagaimana perasaannya saat pertama kali mendengar kematian almarhum?

Kaget, tidak percaya, ya karna tadi itu, bapak itu ndak ada tanda-tanda sakit. Jadi waktu meninggal saya kaget sekali. Langsung saya duduk itu dirumah, menangis karena sedih toh.

Selama mempersiapkan upacara bagaimana perasaannya ? Ya senang karna ada kesibukan lain, selama inikan cuma tinggal saja di rumah urus anak. Jadi selama persiapan kemarin saya lumayan sibuk, urus sana-sini, ketemu-ketemu sama keluarga, ya…senanglah ada kegiatan. Walaupun cape kan, sempat saya

mendengar kabar

Lama bersedih

Pengaruh kematian

Pengaruh kematian

Perasaan pertama mendengar kabar Perasaan selama persiapan


(6)

22

23

sakit juga kemarin itu, tapi ya puaslah sudah kerja. Ceritakan tentang apa yang dirasakan sekarang !

Bagaimana ya ? Karna kita selama ini sibuk semua. Jadi ndak terasa kalo kita dalam masa berkabung. Yang ada di pikiran saya sekarang ya cuma bagaimana supaya itu tamu-tamu yang datang bisa dilayani semua. Kalo ada yang dilewati, wah…bisa malu kita nanti.

Bagaimana pengaruh upacara ini terhadap kesedihan kakak ? Ya dengan adanya upacara ini kita bisa sedikit melupakan kesedihan karna kematian bapak, ya karna banyaknya ini apa-apa yang mo diurus kan, jadinya kita dak terlalu sedih lagi.

Perasaan selama upacara