Dalam bahasa, tuturan patut dilandasi oleh konteks. Mengenai hal ini, Baryadi 2002 dalam Dasar-dasar Analisis Wacana Dalam Ilmu Bahasa-nya,
perihal wacana dan konteks, mencantumkan apa yang pernah Hymes kemukakan, yakni: SPEAKING. Setiap huruf pada akronim tersebut bila dipanjangkan satu
persatu, ialah: S setting and scene, P participants, E end, A act sequences, K key, I instrumentalities, N norms, dan G genres. Baryadi menyatakan
2002: 40, “Dari delapan butir konteks tersebut, sebenarnya yang mendasar hanyalah tiga jenis, yaitu pembicara speakeraddresserwriter, isi bicara
topicinformation, dan mitra bicara listenerhearerreaderaddressee .” Begitu
pula peribahasa juga membutuhkan setidaknya tiga butir kontesk yang mendasar tersebut.
Aminuddin 2002: 36 mengutarakan, “Konteks ujaran merupakan konteks pertuturan berupa situasi, lokasi, persona yang terlibatkan, kondisi saat pertuturan
berlangsung dan berbagai situasi dan kondisi pada umumnya yang memungkinkan terjadinya peristi
wa tuturan.” Apa yang dinyatakan oleh Hamid Hasan Lubis, Baryadi, dan Aminuddin memacu kerangka pikir peneliti dalam memandang
konteks tuturan. Dalam hal ini, konteks bersifat luas dan dinamis.
1.6.4 Makna
Makna ialah hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa sehingga dapat saling mengerti
Aminuddin, 1988: 53. Dari batasan pengertian itu dapat diketahui adanya tiga unsur pokok yang tercakup di dalamnya., yakni 1 makna adalah hasil hubungan
antara bahasa dengan dunia luar, 2 penentuan hubungan terjadi karena kesepakatan para pemakai, serta 3 perwujudan makna itu dapat digunakan untuk
menyampaikan informasi sehingga dapat saling mengerti. Harimurti 2008: 148 berpendapat makna meaning, linguistic meaning,
sense yaitu: 1 maksud pembicara, 2 pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia, 3
hubungan, dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di luar bahasa, atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjuknya, 4 cara
menggunakan lambing-lambang bahasa. Hubungan antara bentuk dan makna bersifat arbitrer dan konvensional. Sifat
arbitrer mengandung pengertian tidak ada hubungan klaisal, logis, alamiah ataupun historis, dsb. antara bentuk dan makna itu. Sementara itu, sifat
konvensional menyarankan bahwa hubungan antara bentuk dan kebahasaan dan maknanya terwujud atas dasar konvensi atau kesepakatan bersama Wijana, 2011:
3. Makna bersifat umum dan tidak tertentu. Makna juga bersifat internal, jadi unsur ini ada di dalam bahasa. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan
bahwa makna merupakan arti dari suatu kata atau maksud pembicara yang membuat kata-kata tersebut berbeda dengan kata-kata lain.
1.6.5 Maksud
Chaer 1989: 35, dalam bukunya yang berjudul Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, menjelaskan maksud adalah suatu gejala yang ada di luar
ujaran. Maksud dapat dilihat dari segi si pengujar, orang yang berbicara, atau