Hubungan Faktor Sanitasi Air dengan Kejadian Diare

2. Hubungan Faktor Sanitasi Air dengan Kejadian Diare

a Kondisi Sarana Air Bersih dengan Kejadian Diare Kondisi sarana air bersih merupakan kondisi fisik sarana air bersih di tempat tinggal balita meliputi pemeriksaan kualitas fisik air yang digunakan, persyaratan kontruksi dan jarak minimal dengan sumber pencemar. Hasil penelitian pada tabel 5.7 menunjukkan sebagian besar responden memiliki kondisi sarana air bersih yang buruk yaitu sebanyak 39 responden 78,8 dan responden dengan kondisi sarana air bersih yang baik sebanyak 13 responden 25. Berdasarkan hasil analisis hubungan diketahui responden yang lebih banyak mengalami kejadian diare pada balitanya adalah balita dengan presentase kondisi sarana air bersih yang buruk, yaitu sebanyak 21 responden 53,8. Sedangkan balita dengan presentase kondisi sarana air bersih yang baik dan menderita diare hanya sebanyak 2 responden 15,4. Hasil analisis bivariat menunjukkan Pvalue sebesar 0,023 artinya pada α 5 ada hubungan yang signifikan antara kondisi sarana air bersih dengan kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan di Kelurahan Sumurbatu kecamatan Bantargebang Kota Bekasi Tahun 2013. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Suhardiman 2007 di Kota Tangerang yang mendapatkan adanya hubungan yang signifikan anatara kondisi sarana air bersih dengan kejadian diare pada balita dengan Pvalue sebesar 0,047. Pada penelitian ini, balita yang tinggal di rumah dengan kondisi sarana air bersih yang buruk berisiko 1,8 kali dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan kondisi sarana air bersih yang baik. Hasil penelitian lain yang dilakukan Nurholis 2006 di Garut juga menunjukkan bahwa kondisi sarana sanitasi air bersih yang kurang baik dapat menyebabkan diare pada balita sebesar 2,1 kali. Kondisi sarana air bersih erat kaitannya dengan pencemaran yang dapat terjadi pada air bersih. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya pencemaran air bersih ini sarana air bersih yang digunakan harus memenuhi persyaratan Sukarni, 1994. Air dapat berperan sebagai transmisi penularan suatu penyakit melalui mikroorganisme yang ditularkan lewat jalur air water borne disease atau jalur peralatan yang dicuci dengan air water washed disease. Sebagian besar besar diare disebabkan oleh infeksi bakteri yang ditularkan melalui cara oro-fecal. Diare dapat ditularkan melalui cairan atau bahan yang tercemar dengan tinja seperti air minum, tangan atau jari- jari, makanan yang disiapkan dalam panci yang telah telah dicuci dengan air tercemar Suhardiman, 2007. Menurut Simatupang 2004, memperbaiki sumber air kualitas dan kuantitas dan keberhasilan perorangan akan mengurangi kemungkinan tertular dengan bakteri patogen tersebut. masyarakat yag terjangkau oleh penyediaan air yang bersih mempunyai risiko menderita diare lebih kecil dibanding dengan masyarakat yang tidak mendapatkan air bersih. Dari hasil wawancara peneliti, responden sebagian besar menggunakan sumur pompa listrik dan PDAM. Menurut Puspitasari 2012, jenis sarana air bersih sangat berpengaruh terhadap kebersihan peralatan makan dan minum yang digunakan. Sarana air bersih yang kurang saniter maka kualitas air bersihnya menjadi tidak terjamin bebas bakteriologis. Air bersih tersebut digunakan keluarga untuk aktivitas sehari-hari seperti mencuci peralatan makan dan minum. Jika sumber air bersih yang digunakan terkontaminasi bakteri patogen seperti E.Coli maka peralatan makan dan minum berisiko untuk terkontaminasi, terlebih jika perilaku mencucinya kurang baik. Akibatnya terjadi rantai penularan penyakit diare. Masyarakat dapat mengurangi risiko terhadap serangan diare dengan menggunakan air yang bersih dan air yang terlindungi dari kontaminasi mulai dari sumber sampai penyimpanan. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengingkatan pengawasan petugas kesehatan untuk melakukan inspeksi sanitasi sarana air bersih dan penyuluhan kepada masyarakat untuk memperhatikan sarana air bersih yang digunakan. Air bersih yang digunakan agar terlindungi dari kontaminasi yakni menjaga kebersihan sumur dengan memperbaiki kontruksi dan menjaga kebersihan bangunan sumur, pipa penyaluran dan tempat penyimpanan air bersih. b Pengolahan Air Minum dengan Kejadian Diare Pengolahan air minum dalam penelitian ini merupakan cara pengolahan air minum yang dikonsumsi balita. berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa responden yang tidak melakukan pengolahan air minum dan responden yang melakukan pengolahan air minum dengan cara merebus masing-masing sebanyak 26 reponden 50. Dari hasil analisis chai square menunjukkan bahwa 53,8 ibu yang tidak melakukan pengolahan air minum memiliki balita yang mengalami kejadian diare, sedangkan 34,5 ibu melakukan pengolahan air minum dengan merebusnya. Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengolahan air minum dengan kejadian diare pada balita dengan Pvalue sebesar 0,264. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Rosa 2011 pada balita di Puskesmas Cipayung Kota Depok yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara pengolahan air minum rumah tangga dengan kejadian diare pada balita. Namun penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Suprapti 2003 yang mendapatkan bahwa ada hubungan antara pemasakan air minum dengan kejadian diare pada balita. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa responden yang melakukan pengolahan air minum rumah tangga salah satunya merebus telah efisien dalam mematikan mikroorganisme sehingga tidak menimbulkan penyakit diare. Menurut Depkes RI 2008, air yang tidak dikelola dengan standar pengelolaan air minum rumah tangga dapat menimbulkan penyakit. Pengelolaan air minum rumah tangga dapat memperbaiki kualitas mikrobiologis air minum di rumah tangga dengan metode sederhana dan terjangkau serta, mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan oleh penyakit yang dibawa oleh air seperti diare Depkes RI, 2009 dalam Rosa, 2011. Memasak air merupakan cara paling baik untuk proses purifikasi air di rumah. Agar proses purifikasi menjadi lebih efektif, maka air dibiarkan mendidih antara 5-10 menit. Hal tersebut bertujuan agar semua kuman, spora, kista, dan telur telah mati sehingga air bersifat steril. Selain itu proses pendidihan juga dapat mengurangi kesadahan karena dalam proses pendidihan terjadi peguapan CO 2 dan pengendapan CaCO 3 Chandra, 2007 Tidak adanya hubungan yang bermakna antara pengolahan air minum dengan kejadian diare dapat disebabkan karena sebagian besar responden yang tidak mengolah air minumnya adalah responden yang mengonsumsi jenis air minum isi ulang dan air kemasan. Walaupun masyarakat yang menggunakan air isi ulang tidak merebus air minum terlebih dahulu, pada depot air minum isi ulang telah dilakukan proses pengolahan air minum mengggunakan sinar ultraviolet dan filtrasi Sandra, 2007 Proses pengolahan air baku menjadi air minum isi ulang pada prinsipnya adalah filtrasi penyaringan dan desinfeksi. Proses filtrasi dimaksudkan selain untuk memisahkan kontaminan tersuspensi juga memisahkan campuran yang berbentuk koloid termasuk mikroorganisme dari dalam air, sedangkan disenfeksi dimaksudkan untuk membunuh mikroorganisme yang tidak tersaring oleh proses sebelumnya Indirawati, 2009. Sehingga bakteri patogen yang ada pada air minum telah mati sebelum dikonsumsi. Walaupun demikian, pada tabel silang 5.11 mengenai persentase kejadian diare pada responden yang menggunakan sumber air dari sumur dan air isi ulang diperoleh hasil bahwa sebagian besar responden yang menggunakan air isi ulang mengalami kejadian diare pada balitanya. Terdapat 12 responden 50 yang menggunakan air minum isi ulang dan balitanya mengalami kejadian diare meskipun air isi ulang sebelum dikonsumsi masyarakat telah melewati berbagai proses di depot AMIU Air Minum Isi Ulang, masyarakat juga perlu melakukan pencegahan dengan memasak air terlebih dahulu. Seperti menurut Titik Wahyudjati, mengkonsumsi air minum isi ulang yang berumur lebih dari 2 jam harus dimasak terlebih dahulu, hal tersebut merupakan salah satu upaya kewaspadaan terhadap penyakit yang kemungkinan timbul akibat air yang tidak sehat Sandra, 2007 dalam Suyudhi, 2013. Selain itu, penyimpanan air isi ulang juga dapat berpengaruh pada keberadaan E.Coli dalam air isi ulang tersebut. Dalam penelitian Ekawati 2005 menunjukkan bahwa ada perbedaan jumlah E.Coli pada air minum isi ulang dengan lama penyimpanan. Air minum isi ulang biasanya tidak habis dalam sekali pakai melainkan dalam beberapa hari. Menurut Hidayati 2010, semakin lama penyimpanan memungkinkan adanya pertumbuhan mikroorganisme yang akan berkembang menjadi bakteri patogen dan menyebabkan kadar zat organik meningkat. Umumnya masyarakat menggunakan dispenser dalam penyajian air isi ulang. Rahayu 2008 mengungkapkan penggunaan dispenser memang membuat penyajian air minum menjadi praktis sesuai dengan kebutuhan penyajian tetapi kebersihan dispenser umumnya kurang diperhatikan oleh konsumen. Penggunaan dispenser berulang-ulang tanpa pembersihan bagian dalam dispenser memungkinkan tumbuhnya mikroba. Resiko pencemaran mikroba ini dapat terjadi baik pada keran bersuhu normal, dingin ataupun panas karena mikroba dapat tumbuh pada suhu dingin psikrofilik, normal mesofilik ataupun panas termofilik. Penelitian Rahayu 2008 membuktikan ada kemungkinan pencemaran air galon di dalam dispenser, hal ini berdasarkan pada hasil pemeriksaan awal terdapat 6 sampel yang tidak mengadung bakteri, tetapi setelah penyimpanan didapatkan sejumlah bakteri. c E. Coli dalam Air Minum dengan Kejadian Diare E.Coli dalam air minum merupakan salah satu variabel yang diduga berhubungan dengan kejadian diare pada balita. Berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi dan uji statistik pada tabel 5.11 didapatkan bahwa 23,1 responden yang memiliki balita yang diteliti terdapat E.Coli dalam air minumnya. Berdasarkan hasil analisis bivariat, dapat diketahui bahwa 75 responden yang terdeteksi ada E.Coli dalam air minumnya mengalami kejadian diare. Sementara 35 responden yang terdeteksi tidak ada E.Coli dalam air minumnya tidak mengalami kejadian diare pada balitanya. Berdasarkan hasil uji statistik chi square diketahui E.Coli dalam air minum memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian diare terlihat dari Pvalue sebesar 0,021. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Suhardiman 2007 di kota Tangerang terhadap 250 responden yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara E.Coli dalam air minum dengan kejadian diare pada balita. Kejadian diare berisiko 2,9 kali terjadi pada balita yang air minumnya positif E.Coli dibandingkan dengan balita yang air minumnya negatif E.Coli. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fardani 2013 di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas yang mendapatkan hasil bahwa kandungan E.Coli dalam air minum berhubungan sigifikan dengan kejadian diare pada balita. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 18 balita yang positif mengandung E.Coli dalam air minumnya mengalami kejadian diare sedangkan 8 balita sisanya tidak mengalami kejadian diare. Dalam peraturan menteri kesehatan nomor 492MENKESPERIV2010 tentang persyaratan kualitas air minum mensyaratkan E.Coli harus nol dalam 100 ml sampel air. Menurut Khairunnisa 2012, E.Coli yang merupakan bakteri coliform fecal adalah bakteri indikator adanya pencemaran bakteri patogen. Penentuan coliform fekal menjadi indikator pencemaran dikarenakan jumlah koloninya pasti berkorelasi positif dengan keberadaan bakteri patogen. Adanya E.Coli dalam air minum dapat menjadi penyebab terjadinya diare karena setelah air minum tersebut dikonsumsi oleh manusia, E.Coli bersama-sama air minum masuk ke dalam saluran pencernaan manusia. Di dalam saluran pencernaan, terutama di usus, E.Coli akan menghasilkan enterotoksin. Enterotoksin ini akan menginfeksi usus halus atau usus besar dan mengakibatkan terjadinya diare, baik disertai dehidrasi, maupun tidak Zein, 2004. E. Coli merupakan salah satu bakteri yang tergolong koliform dan hidup secara normal di dalam kororan manusia maupun hewan, oleh karena itu disebut juga koliform fekal Fardiaz, 1992. Menurut Wagner Lanoix 1985 jalur masuknya bakteri ini ke dalam tubuh manusia dapat melalui 4F dari fluids air, fields tanah, flies lalat, dan fingers tangan. Dalam hal ini, E.Coli dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui air. Tinja atau kotoran manusia mengandung agent penyakit E.Coli sebagai sumber penularan bila pembuangannya tidak aman maka dapat mencemari air bersih yang digunakan sebagai air minum. Adanya tempat pembuangan sampah juga dapat meningkatkan kejadian diare pada balita di daerah terssebut. Grent 1970 dalam Johar 2004 meyatakan bahwa kontaminasi mikroba yang diakibatkan oleh adanya timbunan sampah dapat terjadi hingga jarak beberapa ratus meter, bahkan lebih jauh lagi jika tanah yang dilalui mengandung rongga. Selain itu, adanya E.Coli dalam air minum dapat terjadi pada pengelolaan air minum yang berupa cara pengolahan dan penyimpanan air yang tidak sesuai dilakukan oleh masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengurangi risiko kejadian diare pada balita dapat dilakukan dengan melakukan pengelolaan air minum secara benar. Untuk mengurangi kontaminasi E.Coli pada air minum, cara yang paling mudah adalah dengan cara memasak air yang digunakan untuk minum dan dibiarkan mendidih antara 5-10 menit sebelum diberikan kepada balita. tujuannya adalah agar semua kuman, spora, kista dan telur telah mati termauk E.Coli. sehingga air bersifat steril Chandra, 2005. Menurut Rahayu 2006, Sifat E.coli adalah tidak tahan pada pemanasan dan akan mati pada suhu 100 o c, sehingga salah satu cara paling mudah menghilangkan E.coli dalam air minum adalah dengan memasak air hingga mendidih. Walaupun begitu, pada tabel 5.14 menunjukkan E. Coli lebih banyak ada pada sumber air isi ulang dibandingkan dengan air sumur. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan pengelolaan air minum rumah tangga yang baik dan benar. Oleh karena itu, berbagai upaya pencegahan dan tindak lanjut yang dapat dilakukan untuk meminimalisir kontaminasi E.Coli dalam air minum dan mengurangi angka kesakitan diare adalah dengan memberikan sosialisasi atau penyuluhan kepada masyarakat tertutama bagi mereka yang menggunakan sumber air minum berasal dari sumur dan air minum isi ulang. Menurut Depkes 2008 pengelolaan air minum yang benar antara lain; air untuk minum harus diolah terlebih dahulu dan wadah air harus bersih dan tertutup, jangan mengambil air dengan diciduk, sebaiknya simpan air minum di wadah yang berleher sempit atau memiliki kran. Selain itu, cara penanganan air yang telah dimasak, misalnya dengan tidak melakukan perebusan air minum dengan sistem tambah. Sistem tambah artinya ketika air minum yang telah dimasak lagi secara bersamaan. Kemudian juga dengan melakukan kerja sama lintas sektor misalnya antara Dinas Kesehatan, Puskesmas, atau pelayanan kesehatan lainnya, laboratorium, dan masyarakat agar air minum yang dikonsumsi bebas kontaminasi E.Coli sehingga dapat memenuhi syarat sesuai peraturan menteri kesehatan nomor 492MENKESPERIV2010. 109 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dokumen yang terkait

Hubungan Perilaku Gizi Ibu Dengan Kejadian Diare Pada Balita Di Kelurahan Kota Bangun Kecamatan Medan Deli Kota Medan Tahun 2002

1 57 78

Hubungan Sarana Sanitasi Air Bersih dan Perilaku Ibu Terhadap Kejadian Diare Pada Balita Umur 10-59 Bulan di Wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013

0 9 128

Hubungan antara Faktor Lingkungan dan Faktor Sosial Ekonomi dengan Kejadian Diare pada Balita di Kelurahan Pisangan Ciputat Timur Bulan Agustus 2010

2 21 84

Hubungan Sarana Sanitasi Air Bersih dan Perilaku Ibu Terhadap Kejadian Diare Pada Balita Umur 10-59 Bulan di Wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013

0 16 128

HUBUNGAN ANTARA SANITASI LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA

0 2 7

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI DESA PULOSARI KEBAKKRAMAT KECAMATAN Hubungan Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Diare Pada Balita Di Desa Pulosari Kebakkramat Kecamatan Kebakkramat Kabupaten Karanganyar.

0 1 13

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI DESA PULOSARI KEBAKKRAMAT KECAMATAN Hubungan Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Diare Pada Balita Di Desa Pulosari Kebakkramat Kecamatan Kebakkramat Kabupaten Karanganyar.

0 1 10

HUBUNGAN ANTARA SANITASI LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI KECAMATAN JATIPURO KABUPATEN KARANGANYAR.

0 0 82

HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR SANITASI LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI KELURAHAN ROWOSARI KECAMATAN TEMBALANG SEMARANG - UDiNus Repository

0 0 2

HUBUNGAN SANITASI MAKANAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI DESA GAYAMAN KECAMATAN MOJOANYAR KABUPATEN MOJOKERTO

0 1 7