2 Ranah Afektif al-Nahiyah al-Mauqifiyah Taksonomi untuk daerah afektif mula-mula dikembangkan oleh
David R. Krathwohl dan kawan-kawan 1974 dalam buku yang berjudul Taxonomy of Educational Objectives: Afective Domain.
Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan
perubahannya bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta
didik dalam berbagai tingkah laku. Ranah afektif ini oleh Krathwohl dan kawan-kawan ditaksonomi menjadi lebih rinci lagi kedalam lima
jenjang, yaitu: 1
receiving 2 responding 3 valuing 4 organization, dan 5 characterization by a value or value complex.
Receiving atau attending menerima atau memperhatikan,
adalah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan stimulus dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi,
gejala dan lain-lain. Termasuk dalam jenjang ini misalnya adalah kesadaran dan keinginan untuk menerima stimulus, mengontrol dan
menyeleksi gejala-gejala atau rangsangan yang datang dari luar. Receiving
atau attending juga sering diberi pengertian sebagai kemauan untuk memperhatikan suatu kegiatan atau suatu objek. Pada
tahap ini peserta didik dibina agar mereka bersedia menerima nilai- nilai yang diajarkan kepada mereka, dan mereka mau menggabungkan
diri kedalam nilai itu atau mengidentikkan diri dengan nilai itu. Responding menanggapi mengandung arti adanya partisispasi
aktif. Kemampuan menanggapi adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengikutsertakan dirinya secara aktif
dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya dengan salah satu
cara. Valuing menilai atau menghargai. Menilai atau menghargai
artinya memberikan nilai atau memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan atau objek, sehingga apabila kegiatan itu tidak
dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian atau penyesalan. Dalam kaitan dengan proses belajar mengajar, peserta didik disini tidak hanya
mau menerima nilai yang diajarkan tetapi mereka telah berkemampuan untuk menilai konsep atau fenomena, yaitu baik atau buruk. Bila
sesuatu ajaran telah mampu mereka nilai dan mereka telah mampu untuk mengatakan “itu adalah baik”, maka ini berarti bahwa peserta
didik telah menjalani proses penilaian. Nilai itu telah mulai dicamkan internalized dalam dirinya. Dengan demikian maka nilai tersebut
telah stabil dalam diri peserta didik. Organization
mengatur atau
mengorganisasikan artinya
mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang lebih universal, yang membawa kepada perbaikan umum. Mengatur
atau mengorganisasikan merupakan pengembangan dari nilai kedalam satu sistem organisasi, termasuk didalamnya hubungan satu nilai
dengan nilai lain, pemantapan dan prioritas nilai yang telah dimilikinya.
Characterization by a value or value complex karakterisasi dengan suatu nilai atau komplek nilai, yakni keterpaduan semua
sistem nilai yang telah dimiliki seseorang yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Disini proses internalisasi nilai telah
menempati tingkat tertinggi dalam suatu hierarki nilai. Nilai itu telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan telah mempengaruhi
emosinya. Ini merupakan tingkat afektif tertinggi karena sikap batin peserta didik telah memiliki sistem nilai yang mengontrol tingkah
lakunya untuk waktu yang cukup lama, sehingga membentuk karakteristik “pola hidup”; tingkah lakunya menetap, konsisten dan
dapat diramalkan.
3 Ranah Psikomotor Nahiyah al-harakah Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan
keterampilan skill atau kemampuan bertindak setelah seseorang
menerima pengalaman belajar tertentu. Hasil belajar ranah psikomotor dikemukakan oleh Simpson 1956 yang menyatakan bahwa hasil
belajar psikomotor ini tampak dalam bentuk keterampilan skill dan kemampuan
bertindak individu.
Hasil belajar
psikomotor ini
sebenarnya merupakan kelanjutan hasil belajar kognitif dan afektif. Hasil belajar kognitif dan afektif akan menjadi hasil belajar psikomotor
apabila peserta didik telah menunjukkan perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang terkandung dalam ranah kognitif
dan afektifnya. Dari ketiga ranah tersebut, ranah kognitif merupakan yang
paling banyak dinilai oleh guru di sekolah karena berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menguasai isi bahan pelajaran. Menurut
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zein, ketercapaian hasil belajar dapat dikategorikan menjadi beberapa kriteria, yaitu:
29
a Istimewamaksimal : apabila seluruh
bahan pelajaran
yang diajarkan itu dapat dikuasai oleh siswa.
b Baik sekalioptimal : apabila sebagian besar 76 s.d. 99 bahan
pelajaran yang
diajarkan dapat
dikuasai oleh siswa. c Baikminimal
: apabila bahan pelajaran yang diajarkan hanya 60 s.d. 75 saja dikuasai oleh
siswa. d Kurang
: apabila bahan pelajaran yang diajarkan kurang dari 60 dikuasai oleh siswa.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang dihasilkan dari proses perubahan
tingkah sehingga
menghasilkan perubahan-perubahan
dalam pengetahuan yang mereka miliki. Sedangkan hasil belajar matematika
adalah kemampuan yang dihasilkan dari proses perubahan tingkah
29
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2006, Cet.III, h. 107.
laku sehingga menghasilkan perubahan pengetahuan matematika serta ide dasar, aturan-aturan, dan prinsip-prinsip matematika dengan tujuan
siswa dapat membuat generalisasi terhadap matematika.
e. Faktor-faktor Yang
Mempengaruhi Hasil
Belajar Matematika
Menurut Ruseffendi,
faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan belajar siswa dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu:
30
1 Faktor internal faktor dari dalam siswa, meliputi kecerdasan, kesiapan belajar, bakat, kemauan belajar, dan minat.
2 Faktor eksternal faktor dari luar siswa, meliputi model penyajian materi, pribadi guru, suasana belajar, kompetensi guru, dan kondisi
luar
2. Pendekatan Pemecahan Masalah Matematika a. Masalah Matematika
Setiap hari bahkan setiap saat manusia dihadapkan pada berbagai masalah yang menuntut penyelesaiannya, mulai dari masalah
sederhana sampai
masalah yang
rumit dan
kadang-kadang pemecahannya tidak dapat diperoleh dengan segera. Krulik dan Rudnik
mendefinisikan masalah secara formal sebagai berikut: ”A problem is a situation, quantitatif or otherwise, that confront an individual or group
of individuals, that requires resolution, and for which the individual sees no apparent path to the solution.”
31
Definisi tersebut menjelaskan bahwa masalah adalah suatu situasi yang dihadapi oleh seseorang atau
kelompok yang memerlukan suatu pemecahan tetapi individu atau
30 30
Ruseffendi, Pengantar Kepada..., h.9-12.
31
Stephen Krulik dan Jesse A.Rudnik, Problem Solving, Massachusetts: Allyn and Bacon, 1992, h. 3.
kelompok tersebut
tidak memiliki
cara yang
langsung dapat
menentukan solusinya. Webster mendefinisikan masalah sebagai berikut:
32
Definition 1: in mathematics, anything required to be done, or requiring the doing of something.
Definition 2: a question… that is perplexing or difficult. Dari definisi pertama dapat dikatakan bahwa masalah dalam
matematika adalah segala sesuatu yang memerlukan pengerjaan atau dengan kata lain segala sesuatu yang memerlukan pemecahan.
Sedangkan dari definisi kedua, masalah merupakan pertanyaan yang membingungkan atau sulit.
Menurut Ruseffendi, masalah dalam matematika adalah sesuatu persoalan yang mampu diselesaikan tanpa menggunakan cara atau
algoritma yang rutin.
33
Selanjutnya Ruseffendi mengemukakan bahwa suatu persoalan itu merupakan suatu masalah bagi seseorang, pertama
bila soal itu tidak dikenalnya, maksudnya ialah siswa belum memiliki prosedur atau algoritma tertentu untuk menyelesaikannya. Kedua ialah
siswa harus mampu menyelesaikannya, baik secara mentalnya maupun kesiapan pengetahuannya, terlepas dari apakah akhirnya siswa sampai
atau tidak kepada jawabannya. Ketiga, sesuatu itu merupakan pemecahan masalah baginya, bila siswa ada niat menyelesaikannya.
34
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa masalah matematika adalah sesuatu persoalan yang memerlukan
pemecahan tanpa harus menggunakan cara atau algoritma yang rutin. Suatu masalah dapat dipandang sebagai “masalah”, merupakan hal
yang sangat relatif. Suatu soal yang dianggap masalah bagi seseorang, bagi orang lain mungkin hanya merupakan hal yang rutin belaka.
32
Alan H. Schoenfeld, ”Learning To Think Mathematically: Problem Solving, Metacognition,
and sense-making
In Mathematics”,
dari http:gse.berkeley.edufaculty
ahschoenfeldSchoenfeld_MathThinking.pdf, 21 Juni 2009, 10: 37 WIB, h.10.
33
Ruseffendi, Pengantar Kepada..., h.335.
34
Ruesffendi, Pengantar Kepada..., h. 336.
b. Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah merupakan bagian yang sangat penting, bahkan paling penting dalam belajar matematika. Krulik dan Rudnik
mendefinisikan pemecahan masalah sebagai berikut: ”it problem solving is the mean which an individual uses previously acquired
knowledge, skill, and understanding to satisfy the demand of an unfamiliar situation”.
35
Dari definisi tersebut pemecahan masalah adalah suatu usaha individu menggunakan pengetahuan, keterampilan,
dan pemahamannya untuk menemukan solusi dari suatu masalah. Sedangkan menurut Dahar, kegiatan pemecahan masalah merupakan
kegiatan manusia dalam menerapkan konsep-konsep dan aturan-aturan yang diperoleh sebelumnya. Dalam pembelajaran matematika, istilah
tersebut dapat diinterpretasikan sebagai menyelesaikan soal cerita atau soal yang tidak rutin dan mengaplikasikan matematika dalam
kehidupan sehari-hari. Berdasarkan
urain tersebut,
dapat disimpulkan
bahwa pemecahan masalah merupakan suatu upaya untuk menemukan
penyelesaian dari suatu masalah dengan menerapkan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman yang telah dimiliki.
c. Strategi Pemecahan Masalah
Berbicara pemecahan masalah tidak bisa dilepaskan dari tokoh utamanya yaitu George Polya. Dalam pemecahan suatu masalah
terdapat empat langkah yang harus dilakukan, yaitu:
36
1 Memahami masalah Pada langkah ini, para pemecah masalah siswa harus dapat
menentukan dengan jeli apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan. Namun, yang perlu diingat, kemampuan otak manusia
35
Stephen Krulik dan Jesse A.Rudnik, Problem Solving, h. 5.
36
Fadjar Shadiq, Pemecahan Masalah, Penalaran dan Komunikasi. Yogyakarta: Pusat Pengembangan Penataran Guru PPPG Matematika, 2004, h. 13 – 14.
sangatlah terbatas, sehingga hal-hal penting hendaknya dicatat, dibuat tabelnya, ataupun dibuat sketsa grafiknya.
2 Merencanakan pemecahannya Pada tahap ini suatu masalah yang berbentuk soal cerita dibuat
model matematikanya jika diperlukan, membuat beberapa
alternatif pemecahan, dan menyusun prosedur kerja untuk
dipergunakan dalam memecahkan masalah. Ada banyak cara atau strategi untuk menyelesaikan suatu masalah. Jika seseorang telah
menguasai berbagai cara untuk menyelesaikan suatu masalah maka ia akan semakin terampil dalam menentukan strategi yang tepat
dan cepat untuk menyelesaikan masalah tersebut. Beberapa
strategi pemecahan
masalah yang
mungkin diperkenalkan pada anak usia sekolah antara lain:
37
a Mencoba-coba Strategi ini biasanya digunakan untuk mendapatkan gambaran
umum pemecahan masalahnya dengan mencoba-coba trial and error. Proses mencoba-coba ini tidak akan selalu berhasil,
adakalanya gagal. Karenanya, proses mencoba-coba dengan suatu analisis yang tajamlah yang sangat dibutuhkan pada
penggunaan strategi ini. b Membuat diagram
Strategi ini berkaitan erat dengan pembuatan sket atau gambar untuk
mempermudah memahami
masalahnya dan
mempermudah mendapatkan
gambaran umum
penyelesaiannya. Dengan strategi ini, hal-hal yang diketahui tidak hanya dibayangkan di dalam otak saja namun dapat
dituangkan ke atas kertas.
37
Tim MKPBM Jurusan Pendidikan Matematika, Strategi Pembelajaran..., h. 92-94.