Pola Komunikasi Nonverbal Penyandang Tuna Rungu Ringan dan Berat

Sebagaimana dari hasil analisis yang penulis lakukan selama dilapangan diketahui bahwa penyandang tuna rungu berat memilih komunikasi nonverbal sebagai salah satu fungsi sebagai subtitusi yakni dimana perilaku nonverbal dapat mengganti perilaku verbal jadi tanpa kita berbicara dengan orang lain maka kita dapat berinteraksi melalui pesan nonverbal. 1 Fungsi komunikasi nonverbal yang berbeda bagi penyandang tuna rungu ringan dan berat memberi pengertian akan fungsi komuniikasi nonverbal sebagaimana sesuai dengan hasil wawancara dengan Chairunisa mengatakan bahwa: “Kalau seperti kita yah pasti lebih gunain gerak tangan biar mudah, kalau sabrina nahh baru ngobrol lebih dari 4 meter ajah udah ga jelas, gak ngerti gitu apa yang diomongin”. 2 Seperti hasil wawancara diketahui bahwa pengguanaan ruang atau yang lebih dikenal dalam bahasa komunikasi proxemik dalam proses komunikasi nonverbal bagi penyandang tuna rungu berat sangat diperlukan karena jarak yang digunakan ketika berkomunikasi tidak boleh lebih dari 4 meter, agar proses komunikasi dapat berjalan dengan lancar. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan diketahui bahwa penyandang tuna rungu diyayasan tuna rungu Sehjira Deaf Foundation berkomunikasi dengan menggunakan komunikasi nonverbal sebagai bahasa untuk berkomunikasi. Dalam penelitian ditemukan bahwa penyandang tuna rungu ringan menggunakan kinesik dalam proses komunikasi atau yang lebih dipahami sebagai komunikasi nonverbal 1 Ekmen, P, dkk, Semiotiika, h. 47. 2 Wawancara Pribadi dengan Chairunisa Tuna Rungu Ringan, pada tanggal 06 April 2014, pukul 16.00. seperti gerak tangan dan ekpresi wajah sedangkan, penyandang tuna rungu berat lebih menggunakan kinesik dan ruang dalam proses komunikasi yang mereka lakukan. Sebab, tuna rungu berat lebih sulit memahami pesan yang disampaikan dengan jarak tertentu sehingga membutuhkan kedekatan jarak untuk berkomunikasi dan lebih memudahkan mereka dalam berkomunikasi dibandingkan berkomunikasi hanya mengandalkan bahasa verbal dan nonverbal sebagai alat komunikasinya. Secara teori komunikasi nonverbal sepeti jenis gerakan tubuh dan kinesik meliputi ruang dan vokalik hal ini sesuai dengan analisis peneliti yang dilakukan peneliti selama proses wawancara berlangsung. Pernyataan dari Rachmita Maun Harahap mengatakan bahwa: 3 “Kalau buat komunikasi tuna rungu lebih gampang dipahamin pake bahasa isyarat dari pada sekedar ucapan ajah, kan gak semua orang paham apa yang kita ucapin, seenggaknya kan kalo pake bahasa isyarat lebih jelas pesan yang dimaksud dan buat mereka yang dengar gak salah paham” 4 Dalam proses komunikasi antarpribadi nonverbal tuna rungu ini menggunakan tiga tahapan yang sesuai dengan teori interaksionisme simbolik yang digunakan dalam penelitian ini. Teori yang diperkenalkan oleh George Herbert Mead ini lebih menekankan pada pentingnya komunikasi. George memandang bagaimana seseorang tergerak dan bertindak sesuai makna yang diberikannya kepada orang lain melalui peristiwa tertentu melalui interaksi selama proses komunikasi itu berlangsung. Sebab teori ini muncul karena adanya interaksi dalam masyarakat, George Herbert Mead memandang bahwa sebuah interaksi 3 Ekmen, P, dkk, Semiotika, Jakarta: Kencana Prenada Group, 1969, h. 46. 4 Wawancara pribadi dengan Rachmita, pada tanggal 7 maret 2014, pukul 15.45. dapat memberikan makna tersendiri terhadap pesan yang disampaikan dan mereka terima. 5 Berdasarkan teori tersebut penulis memandang suatu proses informasi dan pesan yang disampaikan seseorang itu berdasarkan pemaknaan yang mereka buat sendiri. Dengan begitu akan mudah lawan bicara memberikan penekanan makna terhadap suatu objek tertentu. Bagi penyandang tuna rungu komunikasi bukan hanya saja berfungsi sebagai alat bantu dalam proses komunikasi akan tetapi dapat memberikan ruang dalam menyampaikan perasaan dan makna dibalik tujuan pesan. Bagaimana pesan dilakukan melalui konsep diri yang menjadikan diri sebagai pembentukan dari sebuah makna, bagaimana pesan dikemas dengan menggunakan bahasa verbal dan nonverbal bagi penyandang tuna rungu dengan menggunakan pikiran sebagai proses berpikir terhadap pesan yang disampaikan. Perbedaan jenis komunikasi nonverbal yang didapatkan dari hasil penelitian, penulis memberikan gambaran bahwa komunikasi nonverbal yang meliputi jenis kinesik dan vokalik hanya dilakukan bagi penyandang tuna rungu ringan. Dengan fungsi komunikasi nonverbal hanya sebagai repetisi. Sebab, tuna rungu ringan tidak memerlukan ruang atau jarak sebagai batasan dalam berkomunikasi. Hanya saja bagi penyandang tuna rungu ringan mimik wajah dan kontak mata diperlukan agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik melalui komunikasi antarpribadi 5 Richard West, dkk, Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi, Jakarta: Salemba Humanika, 2008, cet. Ke-3, h. 96. nonverbal. Yang dimaksud dengan komunikasi verbal bagi penyandang tuna rungu adalah kalimat atau ucapan yang terucap dari mulut mereka meski kalimat yang terucap tidak sejelas dengan komunikasi verbal yang dilakukan pada manusia normal pada umumnya yang tidak mempunyai kekurangan fisik dari segi pendengaran. Sehingga, bahasa verbal yang diucapkan dibantu dengan bahasa nonverbal sebagai pengganti dari bahasa verbal yang kurang dapat dipahami bagi lawan bicara pada penyandang tuna rungu. Yayasan tuna rungu Sehjira Deaf Foundation membantu penyandang tuna rungu dalam memberikan dukungan dan pelatihan khusus dalam hal keterampilan berbicara dengan menggunakan bahasa nonverbal yang disesuaikan dengan taraf Internasional. Bahasa simbol yang digunakan bagi penyandang tuna rungu memberikan kemudahan dalam proses komunikasi, sesuai dengan wawancara yang peneliti lakukan terhadap penyandang tuna rungu berat Amrina Lugina mengatakan bahwa: “Awalnya saya susah banget buat ngomong sama orang lain, karena mereka susah banget buat pahamin bahasa saya, itu saya ngomong tanpa gerak tubuh, tapi selama saya coba diajarkan sama bu mita bahasa simbol alhmdulillah sekarang lebih gampang buat komunikasinya, kadang kalo kesulitan sih masih ada.”. 6 Jelas sekali dalam wawancara yang dilakukan penulis, penyandang tuna rungu mengatakan bahwa komunikasi yang dibantu dengan bahasa isyarat atau simbol dapat memudahkan mereka memberikan umpan balik dan pemaknaan dengan benar dari pada harus menggunakan bahasa verbal 6 Wawancara Pribadi dengan Sabrina penyandang tuna rungu berat, pada tanggal 06 April 2014, pukul. 15. 43. saja. Sebab penyandang tuna rungu berbeda dari manusia normal pada umumnya, pendengaran mereka jauh dari kata normal sehingga terkadang jika berkomunikasi dengan mereka harus menggunakan bahasa isyarat tertentu dan jarak tentu lebih dekat. Kedekatan atau ruang yang diperlukan dalam berkomunikasi bagi penyandang tuna rungu memang dibutuhkan karena mereka membutuhkan kedekatan fisik atau bicara secara dekat sehingga pesan yang diterima maupun yang disampaikan dapat dipahami dengan baik. Keterbatasan yang dimiliki penyandang tuna rungu tidak memudarkan semangat dan kerja keras mereka dalam segi intelegensi, hal ini dapat dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan penulis bahwa penyandang tuna rungu ringan dan berat sama-sama melakukan hal yang sama seperti manusia normal pada umumnya, yakni belajar dan aktif dalam kegiatan apapun. Sebab, tuna rungu melakukan hal tersebut agar status mereka diakui oleh lingkungan hal ini sesuai dengan pernyataan Rachmita mengatakan bahwa: “Buat masalah diasingkan atau enggak dipeduliin sama orang lain, dianggap remeh itu udah pasti ada, tapi bagaimana kita menyikapinya ajah, kan enggak semua orang bisa terima kekurangan kita. Ya begitu juga kita harus bisa terima baik buruknya, sisi positif dan negatif lingkungan luar”. 7 Keterbatasan yang dimiliki penyandang tuna rungu tidak menghambat mereka dalam mengasah kemampuan yang dimilikinya, sebab dengan adanya keterampilan dan soft skill yang diberikan yayasan tuna rungu Sehjira Deaf Foundation menjadikan keterampilan tersebut 7 Wawancara Pribadi dengan Rachmita, pada tanggal 06 April 2014, pukul. 16.42. sebagai modal utama bagi penyandang tuna rungu untuk menyatu dengan masyarakat luas tanpa adanya kesenggangan. Sesuai dari hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan Rachmita mengatakan bahwa “Kita memberikan pelatihan khusus buat tuna rungu agar mereka bisa bersaing dalam bidang pekerjaan, masyarakat, sama menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada, seenggaknya kan kalau ada keterampilan mereka enggak minder, kalau yang saya tangkap dari beberapa anggota diyayasan ini yah” ujar bu mita selaku pimpinan yayasan sehjira deaf foundation” 8 Keterasingan dan diskriminasi dari lingkungan luar kerap kali dirasakan oleh penyandang tuna rungu karena keterbatasan mereka. Namun, Rachmita beranggapan bahwa sesuai dari pernyataan wawancara mengatakan bahwa “Buat masalah diasingkan atau enggak dipeduliin sama orang lain, dianggap remeh itu udah pasti ada, tapi bagaimana kita menyikapinya ajah, kan enggak semua orang bisa terima kekurangan kita. Ya begitu juga kita harus bisa terima baik buruknya, sisi positif dan negatif lingkungan luar” 9 Dalam hal ini penulis menyimpulkan bahwa adanya peran dari lingkungan sosial dalam pembentukan jati diri seorang penyandang tuna rungu, apabila lingkungan mengasingkan atau mendiskriminasikan keberadaan tuna rungu dengan segala keterbatasan mereka, maka disitulah mereka akan merasa terasingkan dan tidak diperdulikan. Sebab lingkungan sosial lah yang dapat membantu penyandang tuna rungu untuk mendapatkan kepercayaan diri untuk berinteraksi dan menyatu dengan masyarakat luas. Sesuai dengan konsep dari teori George Herbert Mead 8 Wawancara Pribadi dengan Rachmita, pada tanggal 06 april 2014, pukul. 16.42. 9 Wawancara Pribadi dengan Rachmita, pada tanggal 06 april 2014, pukul. 16.42. mengatakan bahwa adanya sebuah simbol dalam tatanan masyarakat karena adanya sebuah interaksi dalam suatu masyarakat. 10 . Komunikasi yang digunakan bagi penyandang tuna rungu melalui komunikasi antarpribadi nonverbal yang berupa kinesik atau semacam gerakan tubuh mereka, secara tidak langsung mereka mengisyaratkan bahwa komunikasi yang mereka lakukan dalam keseharian mereka lebih banyak melakukannya dengan pemahaman bagi pihak lawan bicara yakni pemahaman pesan dari makna yang disampaikan melalui pesan nonverbal mereka, baik pesan yang berbentuk gerak tubuh, tangan, mimik wajah, dan ekspresi selama proses komunikasi berlangsung. Seperti gerakan tangan yang tidak pernah berhenti dilakukan selama proses komunikasi berlangsung. Komunikasi dapat terbentuk karena adanya proses dan begitu pula proses terbentuk karena adanya pemahaman dari dalam diri. Sebab pesan komunikasi yang disampaikan akan mudah terbentuk apabila kita dapat memaknai maksud dan tujuan yang menjadi peran penting dalam proses komunikasi. Jika dilihat dari sisi sosial komunikasi menjadi sebuah aktivitas rutin yang dilakukan semua orang. Sebab tanpa adanya komunikasi seseorang akan merasakan ketidakbahagiaan karena mereka tidak dapat membagi rasa senang dan sedih. Jika dilihat dari pentingnya komunikasi, komunikasi bisa memberikan isyarat bahwa komunikasi penting dalam membentuk konsep diri, dan untuk kelangsungan hidup 10 Richard West, dkk, Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi, Jakarta: Salemba Humanika, 2008, cet. Ke-3, h. 96. seseorang dalam memperoleh kebahagiaan. Jadi lewat komunikasi kita dapat bekerjasama dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Sebab ada pepatah mengatakan bahwa jika seseorang tidak berkomunikasi dengan manusia lainnya dipastikan ia akan tersesat karena mereka tidak dapat menata dirinya dalam lingkungan sosial. oleh karena itu komunikasi menjadi penting apabila kita dapat menyesuaikannya dalam lingkungan sosial. Sesuai dengan karakteristik komunikasi, komunikasi mempunyai karakteristik sebagai suatu proses, yakni dimana komunikasi merupakan serangkaian tindakan atau peristiwa yang terjadi secara berurutan dan satu sama lainnya dalam kurun waktu tertentu. 11 Sesuai dengan karakteristik tersebut komunikasi dilakukan untuk proses pendekatan sosial dan interaksi yang dilakukan dalam kurun waktu yang lama. Karena komunikasi akan mengalami perubahan dan akan berlangsung secara terus menerus. Sebab manusia akan terus membutuhkan komunikasi sebagai alat penyalur perasaan dan pikiran seseorang. Proses komunikasi yang berlangsung melibatkan diri sebagai subjek yang terlibat dalam proses komunikasi tersebut. Sebab dari dirilah yang dapat memengaruhi lawan bicara dalam komunikasi. Begitu juga yang dilakukan penyandang tuna rungu, sebelum pesan yang terkirim melalui bahasa verbal dan gerak tubuh mereka meyakinkan bahwa diri 11 Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007, h. 20. mereka terlibat langsung dalam pemaknaan yang ditimbulkan dari pesan yang disampaikan dan direspon balik oleh lawan bicara mereka. Pola komunikasi tuna rungu menggunakan bahasa isyarat dan simbol menjadi keunikan tersendiri dari komunikasi pada umumnya, sebab komunikasi yang dilakukan penyandang tuna rungu diyayasan Sehjira Deaf Foundation menggabungkan antara bahasa verbal dan nonverbal sebagai sumber pemaknaan pesan yang disampaikan. Yang dimaksud dengan komunikasi verbal adalah segala bentuk kalimat yang terucap dari mimik mulut, meski kalimat yang terucap tidak jelas sebagaimana makna kalimat verbal menurut pengertiannya. Sebagaimana hasil wawancara yang peneliti lakukan kepada bu Rachmita, ia mengatakan bahwa: “Memang komunikasi isyarat ini sulit dipahami banyak orang tapi kita berusaha untuk bisa dipahamin orang lain dengan bahasa isyarat sama simbol, buat ngeyakinin lawan bicara kita sendiri harus benar-benar yakin sama pesan yang kita sampaikan” 12 Dari hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa komunikasi nonverbal dengan bahasa isyarat dan simbol tertentu tidak selamanya dapat membantu proses komunikasi. Fungsi dari diri sendiri menjadi penting dalam pembentukan makna terhadap pesan yang ingin disampaikan dalam proses interaksi yang sedang berlangsung. Diri menjadi fungsi yang melibatkan antara tindakan dan kata hati. Karena keduanya berjalan secara bersamaan dalam menjalankan fungsinya masing-masing. Sehingga pesan komunikasi yang berlangsung antara penyandang tuna rungu dapat berlangsung dengan baik. 12 Wawancaea Pribadi dengan Rachmita, pada tanggal 06 april 2014, pukul. 15.00. Bagi penyandang tuna rungu ada dua penggunaan bahasa isyarat yang diterapkan bagi penyandang tuna rungu, yakni SIBI dan BISINDO keduanya memiliki fungsi yang sama, yakni untuk berkomunikasi melalui gerak tangan serta bahasa tubuh yang digunakan. Namun, dalam penggunaan dan pemaknaan keduanya jelas berbeda. SIBI dalam penggunaan dan pemaknaan yang ada dalam gerakannya lebih memudahkan penyandang tuna rungu, sebab gerakan yang terlihat lebih mudah dipahami tanpa memakan waktu yang lama dalam menjelaskan pesan dengan gerakan tersebut. Sedangkan isyarat BISINDO penggunaan dan gerakan yang dilakukan lebih sulit dan memakan waktu yang lama. Tidak singat seperti SIBI. Penyandang tuna rungu ringan dan berat lebih memilih menggunakan bahasa isyarat SIBI sebab menurut Amrina Lugina dan Chairunisa bahwa: “Kalau kita cari yang mudah ajah, kaya SIBI semua tuna rungu juga pake isyarat SIBI ketimbang BISINDO, soalnya enggak lama buat kita pake gerakannya” 13 Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada dua penyandang tuna rungu ringan dan berat diketahui bahwa mereka lebih banyak menggunakan bahasa isyarat SIBI karena mudah dalam gerakan yang dilakukan tidak seperti BISINDO yang mempunyai makna sama dengan SIBI namun gerakannya sulit dilakukan dan memakan waktu. Keterbatasan yang dimiliki penyandang tuna rungu dalam melakukan komunikasi tidak memberikan batasan kepada mereka dalam 13 Wawancara Pribadi dengan Sabrina dan Chairunisa penyandang tuna rungu ringan dan berat, pada tanggal 19 April 2014, pukul. 16.00. melakukan kegiatan sosial. sebab diyayasan tuna rungu Sehjira ini memberikan arahan serta edukasi yang menjadikan penyandang tuna rungu dapat disetarakan dengan masyarakat lainnya, tanpa melihat sisi kekurangannya. Diketahui dari segi Intelegensi pada penyandang tuna rungu ringan seperti Chairunisa bahwa tingkat Intelegensi sangat baik sama dengan manusia normal pada umumnya yang tidak memiliki kekurangan fisik satu pun, ia adalah salah satu Alumni Universitas Mercu Buana Jakarta ini mengakui dalam wawancara mengatakan bahwa: “Pas waktu kuliah ya saya kalau dosen bicara emang ga dengar, tapi kan selalu pake slide bahan pelajaran, jadi saya sedikit banyaknya paham” 14 Menurut Chairunisa penyandang tuna rungu ringan sepertinya tidaklah mudah dalam melakukan komunikasi, seperti halnya selama ia kuliah mengatakan kesulitan dalam hal pendengaran membuatnya kesulitan dalam memahami materi yang diberikan oleh dosennya. Akan tetapi penggunaan alat bantu seperti slide show power point memudahkan ia dalam memahami pelajaran. Penggunaan bahasa nonverbal dalam interaksi yang dilakukan bagi penyandang tuna rungu akan lebih memudahkan mereka dalam berkomunkasi dengan komunitas yang lebih luas, bukan hanya kepada sesama penyandang tuna rungu saja, akan tetapi komunikasi yang dilakukan pada lingkungan sosial. 14 Wawancara Pribadi dengan Chairunisa penyandang tuna rungu ringan, pada tanggal 06 April 2014, pukul. 15.46. Bentuk dari sebuah proses adalah bagaimana seseorang penyandang tuna rungu dapat melakukan interaksi sebagai sebuah proses sosial, karena dengan adanya interaksi yang dilakukan penyandang tuna rungu mereka akan lebih mudah menyatu dengan masyarakat lainnya. bentuk dari interaksi sosial menurut perspektif sosiologi dapat dibangun melalui kerjasama dan bahkan dapat berbentuk semacam pertikaian. Oleh karena itu fungsi dari komunikasi antarpribadi yang dibangun akan mudah berlangsung dan dapat dipahami oleh satu sama lain antara penyandang tuna rungu. 15 Jika tuna rungu dilihat dari sisi intelegensi baik namun sisi emosi dan sosial tuna rungu dapat dilihat lebih mudah tersinggung apabila pesan yang mereka sampaikan tidak mudah dipahami dengan lawan bicara normal dengan baik. Akan tetapi jika dilihat dari segi sosial tuna rungu lebih banyak tertutup dengan masyarat luar. Berkomunikasi hanya dengan menggunakan alat bantu lainnya seperti handphone. Keterbatasan dalam hal pendengaran menjadi salah satu faktor penyandang tuna rungu merasa berbeda dengan manusia normal pada umumnya, seseorang yang mempunyai fakor hambatan fisik akan lebih mudah tersinggung dan tingkat emosi mereka jauh lebih tinggi dari pada manusia normal pada umumnya. Pemaknaan dari jati diri menjadi peran utama yang diungkapkan oleh George Herbert Mead dalam teori interaksionisme simbolik, Mead memandang bahwa tindakan sosial itu didasarkan pada proses umum yang 15 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005, h. 61. merupakan sebuah kesatuan tingkah laku yang tidak dapat dianalisis kedalam bagian-bagaian tertentu. 16 Pernyataan dari teori tersebut diketahui bahwa proses komunikasi yang berlangsung secara bersamaan melalui kata hati yang kemudian dibentuk dengan sebuah tindakan yang dapat menjadikan pesan disampaikan dengan makna yang berbeda-beda. Bahasa simbol dan pemaknaan menjadi dua alat penting dalam proses komunikasi yang dilakukan penyandang tuna rungu agar pesan yang disampaikan dapat dipahami dengan baik dan mendapatkan makna yang lebih luas. Teori interaksionisme simbolik dalam penerapan komunikasi antarpribadi verbal dan nonverbal bagi penyandang tuna rungu sangat dibutuhkan dalam pengkonsepan diri. Bagaimana penyandang tuna rungu mengembangkan pesan dan makna melalui bahasa nonverbal yang digunakan agar lawan bicara komunikan sesama penyandang tuna rungu dalam memahami pesan yang disampaikan oleh mereka dengan menggunakan bahasa isyarat. Makna yang terkandung dalam pesan nonverbal bagi penyandang tuna rungu akan muncul selama adanya proses interaksi berlangsung. Dengan menggunakan bahasa nonverbal tersebut maka lawan bicara akan memahami isi pesan yang ditujukan dengan gerakan tertentu seperti gerakan kinesik dan ekspresi wajah. Gerakan simbol yang dilakukan penyandang tuna rungu akan dapat diartikan melalui interaksi yang mereka lakukan seperti komunikasi antarpribadi. 16 Richard West, dkk, Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi, Jakarta: Salemba Humanika, 2008, h. 97. Dimana tuna rungu berinteraksi lebih banyak dengan teman mereka sesama penyandang tuna rungu dengan menggunakan bahasa isyarat mereka. Dengan demikian, pesan yang disampaikan dapat dipahami dengan sebagaimana mestinya dengan makna dari komunikasi itu sendiri. Menurut dari analisis yang penulis lakukan diketahui bahwa teori interaksionisme simbolik menjadi sumber utama sebagai pemaknaan yang dibuat dengan menggunakan bahasa nonverbal. dengan begitu penyandang tuna rungu dapat mengerti dan memahami dan memberikan feedback terhadap pesan yang disampaikan. Bagaimana penyandang tuna rungu memaknai pesan yang diterima serta disampaikan melalui konsep diri yang mereka buat sehingga dengan bahasa nonverbal yang ada dapat membantu mereka dalam memberikan makna dari setiap pesan yang diterima. Segala bentuk simbol yang dilihat dari bahasa tubuh dan segala bentuk tindakan yang digunakan dalam interaksi tuna rungu akan memiliki makna karena dengan simbol kita dapat mendengar dan memberikan umpan balik dengan kemampuan untuk menyuarakan simbol. Begitu pun penyandang tuna rungu dengan pemaknaan serta konsep diri yang dilakukan dengan baik akan menghasilkan respon yang positif dalam interaksi yang berlangsung. Proses yang selanjutnya digunakan dalam proses interaksi tuna rungu adalah dengan menggunakan pikiran sebagai alat bantu dalam merespon pesan yang disampaikan. dimana pikiran menjadi salah satu bentuk dalam proses komunikasi dan pengembangan dari makna yang tersirat melalui bahasa nonverbal. Ketika pesan yang disampaikan akan terdapat perubahan maka disitulah proses berfikir dilakukan oleh penyandang tuna rungu. Oleh karena itu analisis pada penelitian ini lebih menekankan pada tingkat pemaknaan dari setiap bahasa yang digunakan oleh penyandang tuna rungu. Karena semua tuna rungu tidak sama dalam menafsirkan sebuah simbol. Peneliti meneliti penyandang tuna rungu :

1. Chairunisa Eka A.R Penyandang Tuna Rungu Ringan atauHard Of Hearing

Bagi Chairunisa komunikasi menggunakan bahasa nonverbal sangat membantu dalam pesan yang disampaikan fungsi yang ada pada komunikasi nonverbal seperti repetisi sebagai pengganti perilaku nonverbal. Jika pesan tidak tersampaikan dengan baik maka pengulangan yang dilakukan hanya dua kali pengulangan bagi Chairunisa selaku penyandang tuna rungu ringan. Vokalik atau yang lebih dikenal sebagai paralanguage adalah salah satu unsur ucapan dalam cara berbicara. 17 Sebagai tuna rungu ringan Chairunisa menyadari bahwa kekurangannya dalam hal pendengaran untuk berkomunikasi yang mengharuskan ia menggunakan bahasa nonverbal sebagai repetisi dalam mengungkapkan sesuatu melalui perilaku yang dilakukannya. Gerakan kinesik yang lebih banyak digunakan pada penyandang tuna rungu ringan hanya sebagai alat bantu dari kalimat verbal yang kurang jelas dalam pengucapannya. Sebab 17 Ekmen, P, dkk, Semiotika, Jakarta: Kencana Prenada Group, 1969, h. 50. tuna rungu ringan seperti Chairunisa hanya membutuhkan kinesik dan kontak mata sebagai alat bantu dalam proses komunikasi. Pemaknaan pesan yang dilakukan bagi penyandang tuna rungu ringan Chairunisa memaknai pesan dengan diri sebagai konsep utama dalam memahami pesan. Yang kemudian peran bahasa nonverbal menjadi sebuah alat bantu dalam memahami isi pesan dengan gerakan tertentu yang kemudian diolah dengan pikiran sebagai proses dalam memahami makna melalui interaksi. Komunikasi yang dilakukan penyandang tuna rungu ringan seperti Chairunisatidak selamanya berjalan dengan baik dan sama, perbedaan dalam hal pendengaran juga memberikan efek yang berbeda dari pesan yang disampaikan serta pesan yang diutarakan. Bagi penyandang tuna rungu ringan dari hasil penelitian yang dilakukan dapat dilihat bahwa tuna rungu ringan lebih mudah berkomunikasi tanpa adanya alat bantu seperti gerakan tangan dan mimik wajah yang mengharuskan ekspresi secara jelas. Sesuai dengan wawancara yang dilakukan dengan bu Rachmita selaku pimpinan yayasan tuna rungu Sehjira Deaf Foundation mengatakan bahwa: “Komunikasi bagi penyandang tuna rungu ringan jelas beda, mereka tuna rungu ringan masih mudah dan bisa berkomunikasi meski enggak pakai bahasa isyarat, kan mereka masih bisa dengar jelas meski ada sedikit hambatan, mungkin bisa dua kali omongan diulang, itu juga seandainya ada yang enggak faham” 18 Bahasa isyarat dan simbol tertentu bagi penyandang tuna rungu ringan tidak harus dilakukan akan tetapi dalam berbicara perlu dua kali pengulangan agar memperjelas dari pesan komunikasi yang disampaikan. Menurut Rachmita mengatakan bahwa: “Ada dua gaya bahasa isyarat yang dipake tuna rungu buat komunikasi ada SIBI dan BISINDO, itu sama ajah bahasa isyarat-isyarat juga tapi beda dalam penggunaan gerak yang dilakukan, biasanya kalo tunarungu pake yang sibi keliatan lebih gampang enggak ribet, kalau bisindo biasanya banyak dipake buat tunarungu berat semacem tuli gitu lah” 19 Penggunaan isyarat tersebut tergantung masing-masing kebutuhan penyandang tuna rungu, bagi penyandang tuna rungu ringan seperti Chairunisa lebih banyak menggunakan bahasa isyarat SIBI yang lebih mudah dipahami dengan gerakan yang simpel dan tidak terlalu menunjukan ekspresi wajah. Seperti penjelasan yang peneliti paparkan diatas, ada dua penggunaan bahasa isyarat bagi tuna rungu yang memiliki kemudahan dan kerumitan tersendiri. Penyandang tuna rungu seperti Chairunisa menggunakan SIBI Sistem Isyarat Bahasa Indonesia dalam berkomunikasi sebab gerakan SIBI sangat mudah dan tidak rumit sehingga banyak digunakan oleh penyandang tuna rungu lainnya. 18 Wawancara pribadi dengan Rachmita, pada tanggal 06 April 2014, pukul 15.35. 19 Wawancara pribadi dengan Rachmita, pada tanggal 06 April 2014, pukul 15.35. Sesuai dengan pernyataan dari Chairunisa dalam wawancara mengatakan bahwa: “Kalau saya pake gerakan SIBI karna kan lebih mudah padahal artinya sama ajah, cuma gerakannya lebih mudah dari pada BISINDO” 20 Penggunaan gerak sebagai penunjang komunikasi penyandang tuna rungu dapat mempertegas dalam komunikasi yang disampaikan. oleh karena itu keefektifan komunikasi antarpribadi nonverbal sangat menunjang dalam proses komunikasi sehari-hari penyandang tuna rungu diyayasan tuna rungu sehjira. Dalam penelitian ini peneliti mengambil satu partisipan penyandang tuna rungu ringan sebagai objek riset yakni Chairunnisa Eka A.R, nisa adalah salah satu dari sekian banyak penyandang tuna rungu ringan diyayasan Sehjira yang berjumlah 70 orang. Kemampuan Chairunisa dalam mendengar masih sedikit berfungsi dengan normal. Tidak seperti penyandang tuna rungu berat yang tidak dapat mendengar sama sekali. Alumni Universitas Mercu Buana ini mengakui bahwa: “Kekurangan fisik yang saya punya sejak lahir emang susah banget buat saya komunikasi, enggak kaya orang lain ajah, tapi kan yahh gimana lagi saya terima kekurangan saya ini.” 21 Menurutnya hambatan dalam komunikasi dan sulitnya memahami apa yang dimaksudkan orang lain menjadi salah satu 20 Wawancara Pribadi dengan Chairunisa penyandang tuna rungu ringan, pada tanggal 19 April 2014, pukul 13.00. 21 Wawancara pribadi dengan Chairunisa penyandang tuna rungu ringan, pada tanggal 07 Maret 2014, pukul 16.48. masalah dalam dirinya. Akan tetapi mahasiswi ini tidak pernah putus asa. Sebab dengan komunikasi menggunakan bahasa nonverbal seperti gerak tangan, mimik wajah dan gestur tubuh semua dapat mendukung proses komunikasi. Nisa mengatakan dalam wawancaranya bahwa: “Mmm.. kalo bicara sama orang normal pastilah ada hambatan, kan gak semua orang ngerti apa yang kita omongin, lagian kalo tuna rungu kaya saya pasti beda harus pake isyarat tangan dan bahasa isyarat juga.” 22 Dari segi intelegensi penyandang tuna rungu tidak jauh berbeda dengan orang normal pada umumnya, akan tetapi setelah kita berkomunikasi dengan mereka, barulah kita tahu bahwa mereka memiliki hambatan dalam hal pendengaran. Oleh sebab itu, bahasa nonverbal yang digunakan dapat menunjang komunikasi yang dilakukan bagi penyandang tuna rungu. Penyandang tuna rungu diyayasan tuna rungu sehjira berjumlah sekitar 125 penyandang tuna rungu dengan perbedaan gangguan pendengaran yang berbeda-beda. Menurut bu Rachmita selaku pimpinan yayasan mengatakan bahwa: “Penyandang tuna rungu disini memang beda-beda tergantung gangguan pendengaran yang mereka alami, biasanya pelatihan bahasa isyarat juga beda, penyandang tuna rungu ringan ada sekitar 68 orang kalau penyandang tuna rungu berat 57 orang”. 23 22 Wawancara pribadi dengan Chairunisa penyandang tuna rungu ringan, pada tanggal 07 Maret 2014, pukul 16.40. 23 Wawancara Pribadi dengan Rachmita, pada tanggal 06 April 2014, pukul. 16.44. Sesuai dengan pernyataan diatas dari hasil wawancara, diketahui bahwa pelatihan bahasa nonverbal untuk tuna rungu berat lebih diintensifkan dalam hal penggunaan. Sebab, tuna rungu berat lebih sulit dalam memahami bahasa isyarat. Penggunaan bahasa isyarat yang digunakan dalam proses interaksi sehari-hari dapat membantu bagi penyandang tuna rungu dalam memaknai pesan yang mereka terima maupun pesan yang mereka sampaikan dapat dengan mudah mereka pahami. Dengan begitu komunikasi antarpribadi nonverbal menjadi salah satu bentuk komunikasi yang efektif yang mereka gunakan dalam interaksi.

2. Amrina Lugina Pagar Alam penyandang tuna rungu berat atau Deaf Of Hearing

Pola komunikasi nonverbal yang digunakan bagi penyandang tuna rungu berat seperti Amrina Lugina ini lebih banyak menggunakan bahasa nonverbal sebagai alat berkomunikasi. Sebab, menurut pengakuannya, kesulitan dalam pengucapan bahasa verbal menjadi penghambat dalam proses komunikasi. Baginya, fungsi komunikasi nonverbal selain sebagai alat bahasa nonverbal juga sebagai subtitusi atau pengganti kalimat verbal yang kurang jelas. Peneliti mengamati bahwa pola komunikasi nonverbal bagi penyandang tuna rungu berat seperti sabrina bahasa verbal tidak terlalu banyak digunakan dalam proses interaksi sebab sulit sekali dalam pengucapan yang mereka lakukan membuatnya memilih bahasa nonverbal dan gerak tubuh serta tangan yang dilakukan untuk menyampaikan pesan secara langsung. Penggunaan bahasa nonverbal bagi penyandang tuna rungu difungsikan dalam bentuk kinesik dan ruang. Kinesik atau gerak tubuh, serta kontak mata yang dilakukan penyandang tuna rungu berat memungkinkan untuk memahami dan memberikan pesan sesuai dengan pemahaman yang dilakukan mereka penyandang tuna rungu berat, sedangkan penggunaan ruang, dilakukan untuk memberikan jarak dalam berkomunikasi. Batas bagi penyandang tuan rungu berat sesuai analisis yang didapatkan dilapangan menunjukan bahwa tidak boleh lebih dari empat meter dalam melakukan interaksi agar dapat dipahami. Bagi penyandang tuna rungu berat tingkat emosional dan intelegensi yang ada, menjadi faktor hambatan dalam komunikasi, sebab menurut pengakuan bu Rachmita tentang Amrina selaku penyandang tuna rungu berat, diketahui bahwa: “Kalau Amrina kan sulit buat komunikasi, jadi dia jarang juga buat ngomong sama orang banyak”. 24 Kesulitan dalam interaksi dan menyampaikan serta mendengarkan pesan yang total membuat Sabrina kesulitan, sehingga terkadang emosi suka terlontar dari sikap dan ucapan ia. 24 Wawancara dengan Rachmita selaku pimpinan yayasan, pada tanggal 19 april 2014, pukul. 16.07. Karena lawan bicara tidak dapat memahami isi pesan yang ingin dia sampaikan. Seperti yang sudah peneliti jelaskan diatas, bahwa pola komunikasi penyandang tuna rungu diyayasan tuna rungu sehjira lebih menggunakan komunikasi antarpribadi nonverbal sebagai komunikasi yang digunakan dalam interaksi bagi penyandang tuna rungu. Karena bahasa nonverbal menjadi bahasa pengganti dari pesan verbal sehingga pesan yang disampaikan dapat dimengerti dan dipahami bagi lawan bicara yang sama-sama berinteraksi dengan penyandang tuna rungu tersebut. Salah satu penyandang tuna rungu berat adalah Amrina, hambatan dan kesulitan dalam berkomunikasi yang dilakukan bagi penyandang tuna rungu berat berbeda dengan tuna rungu ringan yang masih dapat mendengar meski bahasa nonverbal tidak digunakan. Sesuai pernyataan dalam wawancara peneliti dengan Amrina mengatakan bahwa: “Saya kalau bicara enggak bisa kalau enggak pake gerak sama mimik wajah, saya harus jelas melihat sama gerak yang digunain sama teman bicara saya, jarak pandang kalau saya enggak bisa lebih dari empat meter”. 25 Komunikasi yang digunakan penyandang tuna rungu berat memang harus lebih memfokuskan pada komunikasi nonverbalnya dengan menggunakan jenis komunikasi nonverbal kinesik dan ruang. 26 Sebagai 25 Wawancara Pribadi dengan Sabrina penyandang tuna rungu berat, pada tanggal 06 April 2014, pukul. 14.33. 26 Ekmen, P, dkk, Semiotika, Jakarta: Kencana Prenada Group, 1969, h. 50. bahasa penunjang karena pendengaran yang ada pada mereka tidak berfungsi dengan baik atau bisa dikatakan tuli. Sehingga jika mereka berbicara harus melihat mimik mulut dan ekspresi wajah. Komunikasi antarpribadi yang dilakukan seluruh penyandang tuna rungu diyayasan tuna rungu Sehjira Deaf Foundation dengan interaksi seperti berbicara dalam percakapan sehari-hari, sharing dan seluruh bentuk kegiatan lainnya yang dilakukan penyandang tuna rungu diyayasan. Penggunaan Meaning sebagai konsep diri sangat dibutuhkan oleh penyandang tuna rungu ringan, sebab diri menjadi hal utama untuk meyakinkan pesan yang ingin disampaikan karena keterbatasan pemahaman pesan yang terdapat pada penyandang tuna rungu berat seperti Amrina, language atau bahasa yang digunakan dalam proses komunikasi adalah alat yang sangat dibutuhkan bahasa yang bersifat verbal ataupun nonverbal sehingga komunikan dapat dengan baik memahami isi pesan. Kekurangan dalam hal pendengaran yang dimiliki Amrina menjadi hambatan dalam komunikasi yang ia lakukan. Sebab dalam mengutarakan pesan nonverbal pun Amrina masih terlihat sulit. Karena bahasa verbal yang terucap darinya sama sekali tidak jelas. Sebagaimana sesuai dengan pernyataan yang diutarakan oleh bu Rachmita mengatakan bahwa “Kalau Amrina kan memang pendengarannya total tidak bisa digunakan, nah jadi kalau ada orang lain bicara sama dia biasanya gunain buku sama pulpen kalau kurang jelas” 27 27 Wawancara pribadi dengan bu rachmita selaku pimpinan yayasan, pada tanggal 07 maret 2014, pukul 16.00. Komunikasi yang dilakukan Amrina Lugina Pagar Alam terkadang pun suka menggunakan alat bantu seperti buku dan pulpen jika kalimat dan bahasa isyarat yang ia gunakan kurang jelas dan sulit dipahami. Sehingga pesan komunikasi dan umpan balik dapat dengan mudah dilakukan. Dan menghasilkan makna yang sesuai dengan harapan Amrina sebagai pembicara. Kinesik dan ruang yang diperlukan bagi penyandang tuna rungu berat sangat dibutuhkan sebab jarak dari komunikasi tidak boleh lebih dari empat meter. Gangguan yang terdapat dalam pesan komunikasi atau yang lebih dikenal sebagai noise terkadang menghambat proses interaksi yang sedang berlangsung. Menurut Amrina mengatakan dalam wawancaranya bahwa: “Kadang kalau saya bicara yang saya maksud enggak sampai sama orang yang saya ajak bicara, kadang yang saya maksud A tapi dia anggapnya b. Kadang benda-benda disekitar saya buat tempat biar mereka paham sama pesan saya” 28 Terkadang pesan yang tersampaikan tidak sesuai atau yang lebih dikenal dalam komunikasi antarpribadi gangguan semantik, yakni dimana penafsiran makna pesan berbeda dari maksud pesan dan tujuan tersebut. Biasanya pesan yang disampaikan memiliki gangguan baik terhadap komunikator Amrina dan komunikannya lawan bicara. Dalam pesan komunikasi yang tersampaikan makna dan interaksi terus berjalan yang kemudian dipengaruhi adanya interaksi sosial. keterbatasan yang dimiliki Amrina tidak menghambat ia dalam mengaktualisasikan keterampilannya dalam kegiatan-kegiatan yang bermanfaat sebagai contoh Amrina 28 Wawancara pribadi dengan sabrina penyandang tuna rungu berat, pada tanggal 07 maret 2014, pukul 16.56. memegang peranan penting sebagai bendahara yayasan yang menjadi sebuah aktivitas kesenggangan waktu baginya. Kegiatan komunikasi yang dilakukan bagi penyandang tuna rungu diyayasan tuna rungu Sehjira Deaf Foundation memang terbilang lebih banyak berinteraksi lewat komunikasi antarpribadi nonverbal. dari pada komunikasi yang dilakukan lewat komunikasi media, hal ini terbukti dari hasil pengamatan yang peneliti lakukan selama proses penelitian. komunikasi yang dilakukan antara penyandang tuna rungu dengan tuna rungu lainnya dengan menggunakan bahasa nonverbal sebagai bahasa yang digunakan dalam proses interaksinya. Baik dengan ekspresi wajah, gerak tangan, gerak tubuh dan tangan. Proses analisis yang penulis lakukan dalam proses komunikasi agar dapat mengetahui apakah komunikasi yang dilakukan bersifat antarpribadi atau non-antarpribadi, analisis yang penulis lakukan dengan beberapa pendekatan seperti analisis pada tingkat kultural yang lebih dianalisis dalam komunikasi penyandang tuna rungu melalui kata-kata yang mereka gunakan dalam proses interakasi, melalui tindakan dari bahasa tubuh mereka, postur tubuh, gerak suara dan semua makna-makna yang tersirat dari komunikasi yang mereka lakukan. 29 Sehingga peneliti dapat mengetahui tingkat kedekatan komunikasi antarpribadi yang dilakukan penyandang tuna rungu diyayasan sehjira. Semua bentuk komunikasi nonverbal yang digunakan oleh penyandang 29 Muhammad Budyatna, dkk, Teori Komunikasi Antarpribadi, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2011, h. 5. tuna rungu tidak semuanya dapat berbentuk bahasa tubuh dan tanda saja, akan tetapi semacam tindakan dan perbuatan , atau objek sebagai komunikasi nonverbal. hal ini sesuai dengan wawancara dengan bu Rachmita mengatakan bahwa “Biasanya kita dalam bicara gak semua pake bahasa isyarat kadang bahasa yang kita gunakan dalam gerakan kita menggunakan tindakan atau barang mati seperti gelas, bangku atau pulpen gitu” 30 Dalam hal ini proses komunikasi menjadi penting karena pemaknaan dari konsep diri yang terkonstruk dengan baik akan menghasilkan komunikasi yang efektif bagi penyandang tuna rungu. Sebagaimana yang peneliti jelaskan diatas, bahwa seseorang akan membentuk kesadaran atas keterlibatannya dalam proses komunikasi akan menjadikan diri seseorang akan mudah terkonsep dalam perannya sebagai komunikator atau komunikan. Begitu pula dengan penyandang tuna rungu apabila mereka memahami isi pesan dengan menggunakan bahasa nonverbal dan komunikasi antarpribadi, tujuan dan harapan dari pesan akan tersampaikan dengan baik. Dari hasil penelitian yang peneliti lakukan bahwa diketahui proses komunikasi yang dilakukan bagi penyandang tuna rungu berat seperti Amrina lebih banyak menggunakan bahasa nonverbal sebagai penunjang dalam berkomunikasi dengan menggunakan jenis kinesik dan ruang sebagai proses interaksi dengan fungsi komunikasi nonverbal bagi penyandang tuna rungu sebagai subtitusi yakni dimana pesan nonverbal 30 Wawancaea pribadi dengan Rachmita, pada tanggal 06 april 2014, pukul 15.30. mewakilkan bahasa verbal yang kurang jelas dengan menggunakan bahasa isyarat sebagai bentuk komunikasi yang Amrina lakukan. Dari segi intelegensi yang memengaruhi proses komunikasi bagi penyandang tuna rungu berat menjadi sangat penting dengan pengetahuan dan pemahaman dari penggunaan bahasa simbol sebagai pemaknaan dari pesan tersebut. Meskipun bahasa menjadi faktor penghambat dalam komunikasi mereka, dengan adanya bahasa verbal dan nonverbal seperti bahasa isyarat memudahkan mereka dalam melakukan interaksi mereka. Jika dilihat dari segi emosional bagi penyandang tuna rungu berat sisi emosional mereka cenderung lebih tinggi. Karena penyandang tuna rungu berat lebih sulit untuk berinteraksi karena kekurangan pendengaran total yang mereka alami. Sehingga mereka membutuhkan kedekatan jarak dalam berkomunikasi dengan dua kali pengulangan kalimat. Jika dilihat dari sisi sosial penyandang tuna rungu berat memiliki perbedaan dengan penyandang tuna rungu ringan. Tuna rungu berat lebih tertutup dalam hal pergaulan dengan masyarakat yang luas. Sebab, menurut pengakuan dari Amrina mengatakan dalam wawancaranya bahwa: “Kalau saya lebih banyak diyayasan, enggak terlalu sering bergaul sama tetangga. Kecuali sama anggota yayasan juga” Hal ini dibuktikan karena adanya keterasingan yang dirasakan Amrina. Sehingga berkomunikasi hanya dengan lingkungan kelompok saja, tidak menyatu dengan masyarakat yang lebih luas.

B. Faktor Penghambat dan Pendukung dalam Proses Komunikasi Penyandang Tuna Rungu

1. Faktor Penghambat Proses Komunikasi Penyandang Tuna Rungu Dalam proses komunikasi penyandang tuna rungu tidak selamanya mengalami kelancaran, sebab komunikasi yang normal pada umumnya saja dapat mengalami hambatan, sudah tentu bagi penyandang tuna rungu yang memiliki kekurangan dalam hal pendengaran. Sudah tentu ada faktor yang dapat menghambat dalam proses komunikasi. Dalam penelitian yang peneliti lakukan terdapat beberapa faktor hambatan dalam proses komunikasi yang berlangsung bagi penyandang tuna rungu. Salah satunya adalah gangguan semantik yakni gangguan yang bisa saja terjadi dari komunikator dan komunikan biasanya pesan yang disampaikan penyandang tuna rungu ringan komunikator bisa berbeda makna jika pesan yang sudah tersampaikan ke lawan bicara komunikan penyandang tuna rungu berat. Dari analisis yang dilakukan penulis terhadap penyandang tuna rungu ringan dan berat terhadap faktor penghambat dan pendukung dapat dianalisis melalui beberapa segi yakni, segi intelegensi, segi bahasa dan bicara serta segi emosi dan sosial. Jika dilihat dari segi intelegensi penyandang tuna rungu mempunyai intelegensi yang berbeda-beda, tingkat intelegensi dapat memengaruhi sikap dan prilaku serta tingkat emosional mereka, semakin tinggi tingkat intelegensi yang mereka miliki maka akan semakin mudah penyandang tuna rungu bergaul dengan masyarakat luas seperti halnya ungkapan yang dinyatakan dari Rachmita selaku pimpinan mengatakan dalam wawancara bahwa: “Enggak semua tuna rungu itu kurang, bisa dilihat banyak tuna rungu yang potensinya diatas rata-rata, tetap kuliah dan kerja sama seperti orang lain. Cuma bedanya kan, kalau kita ini punya kekurangan dalam hal pendengaran”. 31 Tingkat intelegensi bagi penyandang tuna rungu menjadikan dirinya lebih dapat terkonsep dengan baik, baik dari segi bahasa dan bicara serta pengkontrolan emosi pada diri mereka sehingga mereka lebih dapat bersosialisasi dengan masyarakat luas. Kekurangan pendengaran bagi penyandang tuna rungu ringan seperti Chairunisa yang masih mempunyai daya tangkap terhadap suara dari interaksi manusia normal memungkinkan dirinya mampu melakukan interaksi dengan masyarakat luas. Faktor hambatan ini terjadi selama proses komunikasi berlangsung menurut ungkapan bu Rachmita dalam wawancaranya mengatakan bahwa: “Memang komunikasi isyarat ini sulit dipahami banyak orang tapi kita berusaha untuk bisa dipahamin orang lain dengan bahasa isyarat sama simbol, buat ngeyakinin lawan bicara kita sendiri harus benar-benar jelas sama pesan yang kita sampaikan” 32 Ada beberapa faktor penghambat dalam proses komunikasi yang berlangsung pada penyandang tuna rungu, peneliti menganalisis dalam beberapa proses diantaranya adalah: Selain dari faktor segi intelegensi, ada faktor pendukung dari segi bahasa dan bicara, hambatan yang ada pada penyandang tuna rungu pasti tidak jauh berbeda dengan pendengara, serta bahasa yang digunakan dalam 31 Wawancara Pribadi dengan Rachmita, pada tanggal 19 April 2014, pukul 15.00. 32 Wawancara pribadi dengan Rachmita, pada tanggal 07 Maret 2014, pukul 16.54. percakapan sehari-hari. Faktor hambatan jika dilihat dari segi bahasa adalah bahasa verbal dalam bahasa ilmu komunikasi bahasa verbal adalah semua kalimat yang terucap melalui kata-kata. Namun, bagi penyandang tuna rungu kalimat verbal tidak ubahnya dengan ucapan yang tidak jelas sehingga memaksakan penyandang tuna rungu menggunakan bahasa nonverbal sebagai alat bantu dalam berkomunikasi. Bahasa nonverbal yang dimaksud disini bagi penyandang tuna rungu yakni gerak tubuh yang meliputi gerak tangan, mimik wajah, ekspresi dan kontak mata. Hal tersebut termasuk kedalam bentuk kinesik. Yang digunakan selama proses komunikasi berlangsung. Bahasa nonverbal bagi penyandang tuna rungu adalah sebuah alat pendukung dalam proses komunikasi. Sebab tanpa bahasa nonverbal akan sulit bagi penyandang tuna rungu melakukan komunikasi. Faktor hambatan yang selanjutnya dapat dilihat dari segi emosi dan sosial. Penyandang tuna rungu atau lebih dikenal dengan tuli mempunyai tingkat emosi yang relatif tinggi hal ini dapat dilihat selama proses komunikasi berlangsung. Jika pesan yang mereka sampaikan tidak dapat dipahami dengan baik maka mereka akan mudah merasa kecewa karena ketidakpahaman lawan bicara terhadap pesan yang mereka berikan. Hal ini menjadi salah satu penghambat dalam proses komunikasi antarpribadi sebab komunikasi yang berlangsung dapat dihentikan secara langsung dengan adanya pemutusan.