Indeks Kedalaman dan Indeks Keparahan Kemiskinan

Provinsi Papua sebesar 7,91 persen dan pada tahun 2004 meningkat menjadi 10.56 persen. Sementara Indeks Keparahan Kemiskinan di Papua Pada tahun 2002 sebesar 2.25 persen meningkat menjadi 5.01 persen, sedangkan Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan terkecil terjadi di provisi DKI Jakarta. Pada tahun 2002 Indeks Kedalaman Kemiskinan sebesar 0,39 persen dan pada tahun 2004 meningkat menjadi 0,42. Sementara Indeks Keparahan provinsi DKI Jakarta pada tahun 2002 sebesar 0,07 persen meningkat menjadi 0,09 persen. Hal yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa hampir sebagian besar provinsi mengalami peningkatan indeks kedalaman kemiskinan pada tahun 2003. Hal ini juga konsisten dengan peningkatan indeks kedalaman kemiskinan secara nasional. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2003 terjadi peningkatan rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan sehingga berdasarkan indikator ini terlihat bahwa kondisi kemiskinan pada tahun 2003 semakin memburuk. Secara umum . Pada tahun 2002 Indeks Kedalaman Kemiskinan sebesar 3,01 persen dan menurun sebesar 0,12 persen menjadi 2,89 persen. Sementara Indeks Keparahan Kemiskinan menurun sebesar 0,1 persen menjadi 0,78 persen pada tahun 2004 dari 0,79 persen tahun 2002. Ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin menyempit. Berdasarkan penurunan indikator Indeks Keparahan Kemiskinan ini mengindikasikan telah terjadi perbaikan kondisi kemiskinan di indonesia. Tabel.5.1. Indeks kedalaman Kemiskinan . Indeks Kedalaman Kemiskinan Persen Provinsi 2002 2003 2004 NAD 4,32 6,73 6,32 Sumatera Utara 2,63 2,63 2,32 Sumatera Barat 1,81 1,74 1,52 Riau 2,01 2,46 2,28 Jambi 2,38 2,09 2,04 Sumatera Selatan 3,60 4,16 3,98 Bengkulu 3,39 4,03 3,82 Lampung 4,18 4,26 4,12 Bangk a Belitung 1,44 1,53 1,35 DK I Jakarta 0,39 0,49 0,42 Jawa Barat 2,21 2,20 1,91 Jawa Tengah 4,00 3,93 3,58 DI Yogyakarta 3,81 3,91 3,52 Jawa Timur 3,88 3,80 3,42 Banten 1,27 1,49 1,26 Bali 0,95 1,05 0,92 Nusa Tenggara Barat 5,01 4,87 4,35 Nusa Tenggara Timur 6,48 5,61 5,12 Kalimantan Barat 2,39 2,62 2,28 Kalimantan Tengah 2,04 2,15 1,98 Kalimantan Selatan 1,11 1,22 1,04 Kalimantan Timur 1,90 2,27 2,06 Sulawesi Utara 1,54 1,81 1,80 Sulawesi Tengah 4,46 4,58 4,03 Sulawesi Selatan 2,78 2,73 2,42 Sulawesi Tenggara 4,81 4,13 3,80 Gorontalo 6,20 7,02 6,95 Maluku 6,78 6,76 6,32 Maluku Utara 2,63 2,08 2,06 Papua 7,91 10,69 10,56 Sumber : BPS, 2004 Berdasarkan Tabel 5.1 Pada tahun 2002, lima provinsi yang memiliki Indeks Kedalaman Kemiskinan terkecil adalah DKI Jakarta 0,39, Bali 0,95, Kalimantan Selatan 1,11, Banten 1,27, dan Bangka Belitung 1,44. Hal ini berarti bahwa kelima provinsi ini memiliki rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan terkecil. Sementara lima provinsi yang memiliki Indeks Kedalaman Kemiskinan terbesar adalah Papua 7,91, Maluku 6,78, Nusa Tenggara Timur 6,48, Gorontalo 6,20, dan Nusa Tenggara Timur 5,01. Hal ini berarti kelima provinsi tersebut memiliki rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan terbesar. Pada tahun 2003, lima provinsi yang memiliki Indeks Kedalaman Kemiskinan terkecil adalah DKI Jakarta 0,49, Bali 1,05, Kalimantan Selatan 1,22, Banten 1,49, dan Bangka Belitung 1,53. Hal ini berarti bahwa kelima provinsi ini memiliki rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan terkecil. Lima provinsi yang memiliki Indeks Kedalaman Kemiskinan terbesar pada tahun 2003 adalah Papua 10.69, Gorontalo 7,02, Maluku 6,76, NAD 6,73, dan Nusa Tenggara Timur 5,61. Hal ini berarti kelima provinsi tersebut memiliki rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan terbesar. Hal yang menarik untuk dicatat adalah bahwa hampir sebagian besar provinsi mengalami peningkatan Indeks Kedalaman Kemiskinan pada tahun 2003. Hal ini juga konsisten dengan peningkatan Indeks Kedalaman Kemiskinan secara nasional. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2003 terjadi peningkatan rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan sehingga berdasarkan indikator ini terlihat bahwa kondisi kemiskinan semakin memburuk. Sementara, pada tahun 2004, 5 lima provinsi yang memiliki Indeks Kedalaman Kemiskinan terkecil adalah DKI Jakarta 0,42, Bali 0,92, Kalimantan Selatan 1,04, Banten 1,26, dan Bangka Belitung 1,35. Hal ini berarti bahwa kelima provinsi ini memiliki rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan terkecil. Sementara lima provinsi yang memiliki Indeks Kedalaman Kemiskinan terbesar adalah Papua 10,56, Gorontalo 6,95, Maluku 6,32, NAD 6,32, dan Nusa Tenggara Timur 5,12. Berdasarkan hal ini berarti kelima provinsi tersebut memiliki rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan terbesar Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2002 memiliki indeks keparahan kemiskinan yang paling kecil, yaitu sekitar 0,07. Selanjutnya, empat provinsi lainnya yang memiliki Indeks Keparahan Kemiskinan terkecil adalah Bali 0,21, Kalimantan Selatan 0,23, Banten 0,29, dan Bangka Belitung 0,31. Hal ini berarti bahwa kelima provinsi ini memiliki intensitas kemiskinan yang relatif lebih kecil dibandingkan provinsi lainnya. Atau dengan kata lain, tingkat keparahan kemiskinan di lima provinsi relatif lebih kecil secara nasional. Sementara, lima provinsi yang memiliki indeks keparahan kemiskinan terbesar adalah Papua 2,25, Nusa Tenggara Timur 1,97, Maluku 1,96, Gorontalo 1,79, dan Sulawesi Tenggara 1,44. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kelima provinsi ini memiliki intensitas kemiskinan yang lebih parah dibandingkan provinsi lainnya. Pada tahun 2004 indeks keparahan kemiskinan secara nasional mengalami kenaikan, hal ini menunjukan bahwa secara nasional kondisi kemiskinan semakin memburuk. Secara regional, lima provinsi yang memiliki Indeks Keparahan Kemiskinan terkecil adalah DKI Jakarta 0,11, Bali 0,24, Kalimantan Selatan 0,28, Bangka Belitung 0,34, dan Banten 0,36. Sementara, lima provinsi yang memiliki Indeks Keparahan Kemiskinan terbesar adalah Papua 4,00, Gorontalo 2,43, NAD 2,12, Maluku 1,96, dan Nusa Tenggara Timur 1,64. Sementara, pada tahun 2004 secara nasional terjadi penurunan Indeks Keparahan Kemiskinan, bahkan lebih rendah dari kondisi pada tahun 2002. DKI Jakarta masih merupakan provinsi yang memiliki Indeks Keparahan Kemiskinan paling kecil di Indonesia, yaitu sekitar 0,09. Selanjutnya, empat provinsi lainnya yang memiliki Indeks Keparahan Kemiskinan terkecil adalah Bali 0,21, Kalimantan Selatan 0,24, Banten 0,30, dan Bangka Belitung 0,31. Sementara, lima provinsi yang memiliki Indeks Keparahan Kemiskinan terbesar adalah Papua 5,01, Gorontalo 2,32, NAD 1,98, Maluku 1,82, dan Nusa Tenggara Timur 1,48. Berdasarkan data, perkembangan kondisi intensitas kemiskinan sangat tergantung dari perkembangan ekonomi masing-masing daerah itu sendiri. Beberapa daerah yang secara konsisten memiliki indeks keparahan kemiskinan terkecil terbukti memiliki perkembangan ekonomi daerah yang cukup baik. Tabel.5.2. Indeks Keparahan Kemiskinan Indeks Keparahan Kemiskinan Persen Provinsi 2002 2003 2004 NAD 1 2,12 1,98 Sumatera Utara 0,65 0,66 0,59 Sumatera Barat 0,43 0,43 0,37 Riau 0,48 0,66 0,7 Jambi 0,71 0,55 0,54 Sumatera Selatan 0,95 1,16 1,09 Bengkulu 0,83 1,03 0,98 Lampung 1,12 1,17 1,12 Bangk a Belitung 0,31 0,34 0,31 DK I Jakarta 0,07 0,11 0,09 Jawa Barat 0,56 0,56 0,48 Jawa Tengah 1,05 1,07 0,97 DI Yogyakarta 1,07 1,09 0,96 Jawa Timur 1,03 1,02 0,92 Banten 0,29 0,36 0,3 Bali 0,21 0,24 0,21 Nusa Tenggara Barat 1,28 1,32 1,16 Nusa Tenggara Timur 1,97 1,64 1,48 Kalimantan Barat 0,6 0,71 0,6 Kalimantan Tengah 0,57 0,7 0,68 Kalimantan Selatan 0,23 0,28 0,24 Kalimantan Timur 0,46 0,63 0,6 Sulawesi Utara 0,36 0,56 0,54 Sulawesi Tengah 1,21 1,32 1,14 Sulawesi Selatan 0,75 0,73 0,63 Sulawesi Tenggara 1,44 1,08 0,98 Gorontalo 1,79 2,43 2,32 Maluku 1,96 1,96 1,82 Maluku Utara 0,75 0,5 0,45 Papua 2,25 0,5 5,01 Sumber : BPS, 2004

5.2. Hasil Estimasi Model

Dalam panel data ada tiga pemodelan yang dapat dipilih, yaitu pooled, fixed effect , dan random effect, untuk menentukan model yang terbaik dilakukan beberapa pengujian, untuk memilih antara pooled atau fixed effect digunakan uji Chow. Hasil uji Chow diperoleh nilai statistik sebesar 0.370424403 dan nilai F- tabel sebesar 1.673573833 yang berarti menolak hipotesis untuk menggunakan pooled dan menerima hipotesis untuk menerima fixed effect, untuk memilih antara model fixed effect atau model random effect digunakan uji Hausman. Hasil Uji Hausman diperoleh nilai statistik Hausman sebesar 0.728. karena nilai hausman lebih besar dari nilai α 0.05 yang artinya menerima hipotesis untuk menggunakan fixed effect dan menolak hipotesis untuk menggunakan random efect . Pengolahan dengan model fixed effect secara umum dilakukan dengan metode Panel Least Square PLS tanpa pembobotan atau Generalized Least Square GLS dengan pembobotan. Setelah dibandingkan antara model fixed effect PLS dengan model fixed effect GLS, dapat disimpulkan bahwa model fixed effect GLS menghasilkan nilai probabilitas t-statistik yang lebih baik dan nilai R- Squared R 2 yang lebih tinggi. Berdasarkan hasil estimasi menggunakan fixed effect pada Tabel 5.3 semua variabel penjelas yaitu TPT, PP, dan AMH signifikan secara statistik pada tingkat α = 5 persen. Tabel.5.3. Hasil Estimasi Panel Data dengan Menggunakan Model Fixed