Penerimaan Produsen dan Preferensi Konsumen terhadap Penggunaan MOCAF sebagai Campuran Bahan Baku Mi Basah (Studi Kasus pada CV Taruna di Bogor)

(1)

BAHAN BAKU MI BASAH

(Studi Kasus pada CV Taruna di Bogor)

Oleh

FAAIZAH

H 24070022

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Penggunaan MOCAF sebagai Campuran Bahan Baku Mi Basah (Studi Kasus pada CV Taruna di Bogor). Di bawah bimbingan Budi Purwanto.

MOCAF (Modified Cassava Flour) berpotensi menjadi kombinasi bahan baku mi basah yang dapat mengurangi ketergantungan terhadap produk impor. Disisi lain juga dapat meningkatkan penggunaan produk lokal. Penggunaan kombinasi MOCAF dapat meningkatkan ketahanan pangan khususnya untuk produk yang berbahan baku mi.

Penggunaan produk baru biasanya mengalami kendala, di antaranya produsen tidak serta merta mau berpindah ke bahan baru. Hal ini disebabkan selera konsumen sudah terbentuk terhadap mi berbahan terigu. Penerimaan produsen terhadap penggunaan MOCAF dapat dianalisis secara teknis dan finansial sedangkan penerimaan konsumen dapat dianalisis melalui preferensi konsumen.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) Menganalisis apakah MOCAF dapat dijadikan sebagai kombinasi bahan baku pada mi basah, (2) Menganalisis apakah terdapat perbedaan proses produksi mi basah berbahan baku 100 persen terigu dengan mi kombinasi MOCAF, (3) Menganalisis apakah perubahan biaya produksi mi yang terjadi masih dapat diterima, (4) Menganalisis respon konsumen terhadap mi basah yang menggunakan bahan baku kombinasi.

Secara teknis, penggunaan kombinasi MOCAF hingga 25 persen untuk membuat mi basah tidak mengalami kendala. Dari aspek biaya, penggunaan kombinasi MOCAF pada produksi mi basah saat ini belum dapat digunakan karena dapat meningkatkan biaya produksi. Distributor tidak dapat membedakan mi basah kombinasi MOCAF, kecuali atribut kelembutan ketika kombinasi MOCAF 20 persen serta atribut warna ketika kombinasi MOCAF 20 persen dan kombinasi MOCAF 25 persen. Konsumen tidak dapat membedakan mi basah dengan kombinasi MOCAF, kecuali atribut kelembutan ketika kombinasi MOCAF 20 persen dan kombinasi MOCAF 25 persen.


(3)

CAMPURAN BAHAN BAKU MI BASAH

(Studi kasus pada CV Taruna di Bogor)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA EKONOMI

Pada Departemen Manajemen

Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut pertanian Bogor

Oleh :

FAAIZAH

H24070022

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(4)

Basah (Studi Kasus pada CV Taruna di Bogor)

Nama : Faaizah

NIM : H24070022

Menyetujui

Dosen Pembimbing,

(Ir. Budi Purwanto, ME)

NIP :196307051994031003

Mengetahui :

Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Jono M. Munandar, Msc)

NIP : 196101231986011002


(5)

v

Penulis lahir di Mekah, 27 Agustus 1988 sebagai anak kedua dari tiga orang bersaudara dari pasangan Bapak Suhaimi Nasir dan Ibu Nawarni Ilyas dengan nama lengkap Faaizah. Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SDN 01 Kototuo IV Angkat dan lulus tahun 2001, kemudian melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 3 IV Angkat sampai dengan lulus tahun 2004 dan pada tahun yang sama melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 IV Angkat sampai dengan lulus tahun 2007.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Tahap Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor (TPB IPB) melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007. Setelah selesai melalui program TPB, penulis melanjutkan pendidikan pada Mayor Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM). Masa studi diisi oleh penulis untuk aktif dalam kegiatan organisasi dan kepanitiaan internal kampus, antara lain divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) pada Forum Silaturahmi Mahasiswa (FOSMA) IPB 2007-2008, divisi Dana Usaha Shari’a Economics Student Club (SES-C) FEM IPB 2008-2009, serta divisi Public Relation (PR) pada Leadership and Entrepreneurship School (LES) IPB 2010.

Penulis menjadi salah satu peserta Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dengan judul Permen Tapak Dara sebagai Alternatif Untuk Mencegah Kangker pada tahun 2008. Selanjutnya pada kegiatan eksternal kampus penulis juga aktif dalam divisi Pendidikan dan Pengembangan Anggota Ikatan Pelajar Mahasiwa Minang (IPMM) Organisasi Daerah (OMDA).


(6)

vi

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul Penerimaan Produsen dan Preferensi Konsumen terhadap Penggunaan MOCAF sebagai Campuran Bahan Baku Mi Basah (Studi Kasus pada CV Taruna di Bogor) sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini membahas tentang peluang pemanfaatan bahan pangan lokal untuk mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan tepung terigu yang merupakan bahan pangan impor. Bahan ini dapat digunakan sebagai campuran untuk selanjunya akan dianalisis respon atau penerimaan produsen dan konsumen mi basah.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Bogor, Mei 2011

Penulis


(7)

vii

1. Ir. Budi Purwanto, ME. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan dukungan dan bimbingan agar dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi dengan baik.

2. Dr. Ir. Jono M. Munandar, MSc. selaku Ketua Departemen Manajemen Fakulas Ekonomi dan manajemen serta selaku Dosen Pembimbing Akademik.

3. R. Dikky Indrawan, SP, MM. dan Drs. Edward H. Siregar, SE, MM. selaku Dosen Penguji dalam ujian sidang dan telah memberikan banyak bimbingan dan masukan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.

4. Seluruh staf pengajar dan karyawan/wati di Departemen Manajemen, FEM IPB.

5. Ayah dan Ibu tercinta yang telah memberikan semangat, dukungan, dan motivasi untuk dapat menyelesaikan studi dan penulisan skripsi ini.

6. Keluarga tercinta: Uncu Yuruza Ilyas, Om Abel Tasman, kakakku tersayang Wafa, adikku Thalal, dan nenek tercinta yang senantiasa memberikan doa, kasih sayang, semangat, dan kebahagiaan dalam kehidupan penulis.

7. Sahabat-sahabat tercinta: RR. Nurul, Ita, Mita, Suci, Panta, Veranika, Eko Nugraha, Zulkariman, Afif Resta, Ari Musrizal, Duratul Baida, Dina Maryani, Devi Silvia, Zulfa Khairani, Siska Neri, alm. Rina Ristia, dan seluruh teman-teman Manajemen 44.

8. Teman-teman tersayang di kost Azzahra: Sandra amarilis, Zewita Maria, teh Santi, mbak Ocha, Ainur, Ririn, Iis, Alma, Tri, Ika, Fida, Widya, Aila, Lita, Cici, Desi, Dwi, dan Ezy yang sudah menemani penulis dalam susah maupun senang, yang selalu ada untuk penulis dan selalu memberikan keceriaan dan semangat hidup untuk terus berjuang tanpa putus asa.

9. Teman-teman satu bimbingan: Tio Panta, Ratih, Tuzi, dan Trijaya yang selalu memberikan semangat untuk terus berjuang bersama.

10. Bapak Eman Sula Eman sebagai pemilik CV Taruna dan seluruh pekerja pabrik yang telah bersedia membantu kelancaran proses penelitian.


(8)

viii

RINGKASAN

RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 5

1.4. Batasan Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Pangan ... 6

2.2. Ketahanan Pangan ... 8

2.3. Tepung Terigu dan Ketahanan Pangan ... 10

2.4. MOCAF ... 12

2.5. Mi Basah ... 14

2.6. Preferensi Konsumen ... 15

2.7. Penelitian Terdahulu ... 18

III. METODE PENELITIAN ... 21

3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 21

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22

3.3. Jenis dan Sumber Data ... 23

3.4. Metode Pengambilan Sampel ... 23

3.5. Pengumpulan Data ... 24

3.5.1. Aspek Teknis ... 24

3.5.2. Aspek Finansial ... 26

3.5.3. Preferensi Konsumen ... 27

3.6. Pengolahan dan Analisis Data ... 28

3.6.1. Penerimaan Teknis ... 28

3.6.2. Penerimaan Finansial ... 28

3.6.3. Penerimaan terhadap Preferensi Konsumen ... 38

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

4.1. Sejarah Singkat Perusahaan ... 30

4.2. Tujuan dan struktur Organisasi ... 31

4.3. Kegiatan Perusahaan ... 32

4.3.1. Kegiatan Produksi ... 32


(9)

ix

4.4.1. Produsen ... 36

4.4.2. Distributor ... 36

4.4.3. Konsumen Akhir ... 37

4.5. Analisis Teknis dan Finansial ... 38

4.5.1. Penerimaan Teknis ... 38

4.5.2. Analisis Benefit Cost Ratio ... 40

4.6. Preferensi Distributor dan Konsumen ... 44

4.6.1. Preferensi Distributor ... 44

4.6.2. Preferensi Konsumen Akhir ... 46

4.7. Impilikasi Manajerial ... 47

KESIMPULAN DAN SARAN ... 48

1. Kesimpulan ... 48

2. Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49


(10)

x

1. Syarat mutu mi basah ... 15

2. Perbandingan tingkat kesulitan teknis ... 25

3. Perubahan komposisi bahan pada produksi mi ... 26

4. Perbandingan biaya produksi mi basah ... 26

5. Perbandingan atribut masing-masing mi basah... 27

6. Karakteristik distributor pabrik mi basah ... 37

7. Karakteristik konsumen akhir mi basah ... 37

8. Frekuensi konsumsi mi basah ... 38

9. Waktu konsumsi mi basah ... 38

10. Perubahan komposisi bahan tambahan ... 40

11. Analisis Benefit Cost Ratio pada mi basah ... 41

12. Analisis Benefit Cost Ratio pengguna terigu Cakra Kembar ... 42

13. Analisis Benefit Cost Ratio pengguna terigu Segitiga Biru ... 43

14. Analisis Benefit Cost Ratio pengguna terigu Lencana Merah ... 43

15. Test Statistics terhadap distributor mi basah ... 45

16. Perbandingan atribut mi basah (distributor) ... 46

17. Test Statistics terhadap konsumen akhir mi basah ... 46

18. Perbandingan atribut mi basah (konsumen akhir) ... 47


(11)

xi

1. Struktur pengguna terigu nasional ... 10

2. Pasar terigu berdasarkan produk akhir ... 11

3. Kerangka pemikiran penelitian ... 22

4. Diagram alur pengambilan sampel... 24

5. Struktur organisasi CV Taruna ... 31

6. Diagram alir proses produksi mi terigu basah ... 33

7. Diagram alir proses produksi mi sagu basah ... 34

8. Diagram alur kegiatan pemasaran CV Taruna ... 36

9. Tingkat kesulitan pada produksi mi basah ... 39


(12)

xii

1. Kuesioner Penelitian terhadap Produsen Mi basah ... 50

2. Kuesioner Penelitian terhadap Distributor Mi basah ... 53

3. Kuesioner Penelitian terhadap Konsumen Akhir Mi basah ... 54

4. Uji Descriptive Statistics ... 56

5. Uji Frequencies Distributor ... 57

6. Uji Frequencies Konsumen... 59

7. Uji Kruskal Wallis pada Mi Basah... 61

8. Analisis Benefit Cost Ratio ... 63

9. Perhitungan Harga Pokok Produksi ... 64

10. Bahan Baku Mi Basah dan Rincian Biaya ... 65

11. Proses Produksi Mi Basah ... 68

12. Frekuensi Jawaban Distributor ... 70

13. Frekuensi Jawaban Konsumen ... 71

14. Tabel Tingkat Kesulitan pada Produksi Mi Basah ... 72

15. Photo Mi basah yang Disajikan kepada Distributor ... 73

16. Resep Olahan Mi Basah ... 74


(13)

I.

PENDAHULUAN

 

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris yang tanahnya subur dan dijuluki gemah ripah loh jinawi. Negara ini sering digambarkan sebagai daerah yang bisa ditumbuhi berbagai macam tanaman, tidak ditanam saja tanaman bisa tumbuh apalagi bila ditanam dan dipelihara dengan baik. Indonesia memiliki ekosistem dan sumber daya hayati yang beragam. Lahan yang dapat dikembangkan untuk pengembangan pertanian pangan masih luas. Hal ini tentu saja merupakan modal dasar dalam penyediaan bahan pangan.

Di Indonesia, beras merupakan bahan pangan utama. Biaya yang diperlukan untuk pengadaan beras adalah 23 persen dari total anggaran belanja untuk pangan. Berdasarkan Sensus Ekonomi Nasional (Susenas) angka konsumsi beras nasional turun dari 102,22 kg/kapita/tahun (2009) menjadi 100,76 kg/kapita/tahun (2010) atau turun 1,4 persen, hampir mencapai target yang ditetapkan pemerintah yakni bisa menurunkan konsumsi beras sebesar 1,5 persen per tahun berdasarkan Perpres No.22/2009.

Mi merupakan salah satu bahan pangan yang mulai meningkat konsumsinya menggantikan beras. Selain beras, masyarakat banyak menggunakan mi sebagai bahan pangan. Seiring dengan peningkatan konsumsi mi, konsumsi terigu terus meningkat. Konsumsi terigu rumah tangga Indonesia naik sebesar 0,2 persen dari sebesar 10,32 kg/kapita/tahun pada tahun 2009 menjadi 10,34 kg/kapita/tahun pada tahun 2010 (APTINDO, 2010).

Total kebutuhan terigu nasional saat ini mencapai 3,3 juta ton per tahun, 17 persen dipenuhi dari impor dan 83 persen dipasok produsen terigu dalam negeri (APTINDO, 2010). Sementara gandum yang merupakan bahan dasar tepung terigu itu sendiri tidak cocok tumbuh di Indonesia karena merupakan tanaman subtropis, sehingga Indonesia masih tergantung pada impor gandum. Mutu tanaman ini tergantung oleh faktor iklim, jenis gandum yang ditanam, dan tanah dimana gandum itu ditanam. Syarat tumbuh tanaman gandum yaitu, ketinggian


(14)

lebih dari 800 m dpl, curah hujan 254 mm hingga 762 mm pertahun, suhu optimum 20 sampai 25 derajat Celcius, dan pH enam sampai delapan (Anwar, 1992).

Ketidaksesuaian iklim Indonesia membuat harga tepung terigu semakin melonjak tinggi disebabkan oleh penggunaan tepung terigu yang semakin meningkat. Salah satu faktor penyebab naiknya konsumsi terigu adalah berkembangnya industri di dalam negeri, termasuk (UKM) Usaha Kecil dan

Menengah yang memproduksi mi1, roti, kue, martabak, dan aneka makanan

berbahan terigu lainnya. Bertumbuhkembangnya UKM yang menjual makanan berbahan terigu menunjukkan adanya peningkatan dalam daya beli masyarakat (APTINDO, 2010).

Impor gandum di atas lima juta ton per tahun telah memposisikan Indonesia sebagai salah satu negara pengimpor gandum terbesar di dunia (Aptindo, 2010). Upaya pemerintah untuk menekan angka impor gandum masih terbatas pada introduksi varietas dan uji coba penanaman gandum di dalam negeri. Kenyataan di lapangan, hasil gandum introduksi di beberapa lokasi pengujian jauh lebih rendah daripada di negara asalnya. Ketergantungan terhadap bahan pangan tertentu, misalnya beras dan terigu, berdampak terhadap kerapuhan ketahanan pangan. Di sisi lain, Indonesia kaya akan bahan baku alternatif dengan fungsi yang sama, salah satunya singkong.

Singkong merupakan hasil produksi pertanian kedua terbesar setelah padi. Pada tahun 2006, secara nasional tanaman singkong memiliki area penanaman seluas 1,22 juta hektar, dengan jumlah produksi 19,93 juta ton, sedangkan pada tahun 2007 jumlah produksi meningkat sebesar 19,98 juta ton, sehingga singkong ini mempunyai potensi sebagai sumber karbohidrat yang penting bagi bahan pangan (Badan Pusat Statistik, 2010).

Singkong termasuk tanaman tropis, tetapi dapat pula beradaptasi dan tumbuh dengan baik di daerah subtropis. Secara umum singkong ini tidak membutuhkan iklim yang spesifik untuk pertumbuhannya. Singkong dapat       

1 


(15)

tumbuh di lahan kering dan kurang subur, sehingga bisa ditanam pada lahan-lahan yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Daya tahan singkong terhadap penyakit relaif tinggi serta masa panen yang tidak diburu waktu, sehingga dapat dibiarkan beberapa minggu (Anwar, 1992).

Singkong segar dapat diolah menjadi 3 macam bentuk tepung, yaitu tepung singkong (cassava flour), tepung gaplek (cassava chip flour), dan tepung tapioka (tapioca starch). Pembuatan tepung tersebut bertujuan untuk memperpanjang umur simpan sekaligus meningkatkan nilai produk singkong. Selain ketiga tepung tersebut, saat ini telah dikenal turunan singkong yaitu MOCAF (Modified Cassava Flour). MOCAF merupakan tepung turunan singkong yang dibuat dengan menggunakan prinsip modifikasi sel secara fermentasi dengan Bakteri Asam Laktat. Modifikasi ini menghasilkan beberapa keunggulan antara lain, naiknya viskositas, kemampuan membentuk gel, daya dehidrasi, dan kemudahan larut. Selain itu, ketika tepung tersebut diolah, akan menghasilkan aroma dan cita rasa yang khas yang dapat menutupi aroma dan cita rasa singkong yang cenderung tidak disukai konsumen (Subagio, 2008).

Tepung MOCAF memiliki prospek pengembangan yang bagus. Pertama, dilihat dari ketersediaan singkong sebagai bahan baku yang berlimpah. Hal ini dapat meminimalisasi kemungkinan kelangkaan produk karena tidak tergantung dari bahan impor. Kedua, pasar lokal yang sangat prospektif karena banyak industri makanan yang menggunakan bahan baku tepung2.

Fakta menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara pengkonsumsi mi terbesar setelah Cina. Hal ini menyebabkan usaha pengembangan mi yang berbahan dasar tepung singkong fermentasi menjadi menarik. Konsumsi mi terus meningkat disebabkan berbagai keunggulan yang dimiliki mi. Keunggulan tersebut antara lain, dalam hal tekstur, rasa, penampakan, dan kepraktisan penggunaannya. Dengan demikian, peluang usaha industri pengolahan mi, baik dalam skala industri kecil maupun industri besar masih sangat terbuka luas (Astawan,1999).

      


(16)

Mi basah (fresh noodle atau wet noodle) merupakan salah satu jenis mi yang sudah dikenal luas dan menjadi makanan yang disukai masyarakat di Indonesia. Industri mi basah tersebar luas di banyak wilayah di Indonesia. Penyebarannya mencakup industri rumah tangga, industri kecil dan menengah hingga industri besar. Terdapat dua jenis mi basah yang dikenal masyarakat, yaitu mi mentah

(raw noodle) dan mi rebus (cooked noodle).

Kualitas, baik organoleptik, fisikokimia, mikrobiologi maupun daya awet dari mi basah dapat bervariasi. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya perbedaan proses pengolahan dan penggunaan bahan tambahan. Mi basah dijual dalam bentuk segar baik dalam keadaan terkemas maupun curah di pasar tradisional

maupun supermarket. Mi basah juga dijual dalam bentuk olahan oleh pedagang

makanan, seperti soto mi, taoge goreng, mi ayam, mi goreng, selain itu dapat juga diolah menjadi aneka makanan di tingkat rumah tangga (Astawan, 1999).

Berdasarkan uraian mengenai prospek perkembangan olahan pangan di Indonesia inilah penelitian yang berjudul Penerimaan Produsen dan Preferensi Konsumen terhadap Penggunaan MOCAF sebagai Campuran Bahan Baku Mi Basah ini dilakukan.

1.2. Perumusan Masalah

Dari paparan latar belakang diatas, pokok permasalahan dari penelitian ini adalah :

1. Apakah MOCAF dapat dikombinasikan dengan terigu untuk membuat mi

basah?

2. Apakah terdapat perbedaan pada proses produksi mi basah yang

menggunakan bahan baku terigu 100 persen dengan yang menggunakan campuran MOCAF?

3. Apakah perubahan biaya produksi mi dengan campuran MOCAF yang

terjadi masih dapat diterima?

4. Bagaimana respons konsumen terhadap mi basah yang bahan bakunya


(17)

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis apakah MOCAF dapat dijadikan sebagai kombinasi bahan

baku pada mi basah.

2. Menganalisis apakah terdapat perbedaan pada proses produksi pada mi

basah, yang menggunakan bahan baku terigu 100 persen dengan bahan baku kombinasi MOCAF.

3. Menganalisis apakah perubahan biaya produksi mi yang terjadi dengan

penggunaan campuran MOCAF masih dapat diterima.

4. Menganalisis respons konsumen terhadap mi basah yang menggunakan

bahan baku kombinasi. 1.4. Manfaat Penelitian

1. Membantu memperkenalkan tepung MOCAF pada produsen mi basah yang

ada di Bogor.

2. Memberitahukan melalui percobaan kepada produsen mi basah jumlah persentase MOCAF yang mampu dikombinasikan dengan terigu.

3. Melanjutkan penelitian terdahulu tentang peluang pengembangan MOCAF.

1.5. Batasan Penelitian

Penelitian ini menganalisis penerimaan teknis, finansial, dan preferensi konsumen terhadap kombinasi bahan baku mi basah. Analisis finansial dilakukan dengan menggunakan analisis Benefit Cost Ratio. Analisis kelayakan proyek atau usaha tidak tercantum dalam penelitian ini.

Pada penelitian ini dilakukan percobaan hingga penggunaan kombinasi MOCAF 25 persen. Berdasarkan referensi menunjukkan bahwa 25 persen MOCAF dapat mensubstitusi terigu pada mi berkelas rendah, baik dari mutu fisik maupun organoleptik. Secara teknis, proses pembuatan mi tidak mengalami kendala (Subagio, 2008).Keterbatasan waktu yang dimiliki oleh produsen mi juga melatarbelakangi dilakukannya percobaan hingga kombinasi MOCAF 25 persen untuk membuat mi basah ini.


(18)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pangan

Berdasarkan Undang-Undang (UU) No.7 Tahun 1996, Pasal 1 Ayat 1, “Pangan adalah sesuatu yang berasal darisumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan dan minuman”.

Pangan pokok adalah pangan yang muncul dalam menu sehari-hari, mengambil porsi terbesar dalam hidangan dan merupakan sumber enegi terbesar. Sedangkan pangan pokok utama ialah pangan pokok yang dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk serta dalam situasi normal dan tidak dapat digantikan oleh jenis komoditas lain (Khumaidi dalam Hessie, 2009).

Indonesia adalah negara yang kaya akan etnik, budaya, ras, dan agama. Oleh karena itu, tak mengherankan bila banyak sekali perbedaan antara suatu daerah dan daerah lainnya. Begitu pula dengan makanan yang dikonsumsi, setiap provinsi atau sebuah pulau biasanya memiliki makanan pokok tersendiri. Namun, makanan pokok orang Indonesia pada umumnya adalah nasi. Nasi berasal dari beras yang berasal dari padi. Masyarakat yang terbiasa mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok yakni penduduk di wilayah Indonesia bagian barat, seperti Pulau Jawa dan Sumatera. Jenis nasi di Indonesia pun berbeda-beda, setiap daerah mempunyai nasi atau padi khas masing-masing.

Selain nasi, makanan pokok Indonesia yang lain adalah sagu dan jagung yang biasanya dapat ditemui di wilayah bagian timur Indonesia, seperti Papua yang dominan dengan sagunya dan Sulawesi yang dominan dengan makanan menggunakan jagung. Selain ketiga makanan pokok itu, sebenarnya ada beberapa makanan lain yang dinilai berpotensi menjadi pilihan sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia yakni kentang, umbi garut, talas, singkong, beras merah, soun, dan bihun, roti, serta mi.


(19)

Menurut Tambunan (2003), keamanan pangan penting dalam menjamin pangan yang aman dan layak dikonsumsi. Suplai pangan yang aman tidak hanya melindungi kesehatan masyarakat Indonesia, tetapi juga meningkatkan kualitas generasi muda kita dengan pangan yang aman dan layak dikonsumsi. Pemerintah Indonesia berkeinginan untuk terus menerus meningkatkan mutu dan keamanan pangan dan menumbuhkan kesadaran di kalangan masyarakat mengenai pentingnya keamanan pangan, sehingga kasus keracunan yang sering terjadi di kalangan masyarakat dapat dihindari.

Kementerian Pertanian (periode 2010-2014) memiliki empat target keberhasilan, yaitu (1) Pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan. (2) Peningkatan diversifikasi pangan. (3) Peningkatan nilai tambah, daya saing, dan ekspor. (4) Peningkatan kesejahteraan petani. Pada rencana strategis Kementerian Pertanian (renstra Kementan) 2010-2014 disebutkan peningkatan diversifikasi pangan. Diversifikasi pangan merupakan salah satu strategi mencapai ketahanan pangan. Tujuannya adalah agar masyarakat tidak bergantung pada bahan pangan pokok tertentu karena dapat menyebabkan elastisitas ketersediaan bahan pangan pokok menjadi rendah sehingga mempengaruhi tingkat ketahanan pangan dalam negeri dan hal tersebut dapat berdampak secara ekonomi.

Menurut rekomendasi Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 2004, persentase konsumsi karbohidrat dari padi-padian cukup sebesar 50 persen dan untuk melengkapi kebutuhan karbohidrat dapat dicukupi dengan mengkonsumsi umbi-umbian. Kondisi tersebut sangat berbeda dengan kenyataan pola konsumsi masyarakat Indonesia. Berdasarkan data, masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras lebih banyak daripada asupan karbohidrat yang dibutuhkan, yakni mencapai 62,2 persen untuk tahun 2007 (renstra Kementan). Tingginya konsumsi beras menunjukkan bahwa ketergantungan masyarakat akan beras sebagai bahan pangan pokok masih sangat tinggi, sedangkan Indonesia memiliki bahan pangan sumber karbohidrat yang beraneka ragam, seperti singkong, ubi jalar, dan jagung.

Pemerintah Indonesia yang terdiri dari Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota pada berbagai dokumen pembangunan nasional menyatakan bahwa ketahanan pangan sebagai salah satu prioritas pembangunan. Membangun


(20)

ketahanan pangan merupakan hal yang seharusnya dilakukan oleh suatu negara, pembangunan ketahanan pangan memerlukan cakupan luas, keterlibatan lintas sektor, multidisiplin, dan penekanan pada basis sumberdaya lokal. Adapun operasionalisasi ketahanan pangan pada berbagai tingkat pemerintahan di Indonesia yaitu pada tingkat nasional dilakukannya swasembada pada komoditas strategis, pada tingkat propinsi, kabupaten/kota, dan desa dengan melakukan pemanfaatan potensi lokal dan pada tingkat masyarakat dilakukan peningkatan kemampuan fisik, sosial, politik, dan ekonomi (Departemen Pertanian, 2008). 2.2. Ketahanan Pangan

Di Indonesia, ketahanan pangan merupakan salah satu topik yang sangat penting bukan saja dilihat dari nilai-nilai sosial, tetapi masalah ini mengandung konsekuensi politik yang sangat besar. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi dengan kelangsulangan suatu kabinet pemerintah atau stabilitas politik di dalam negeri apabila Indonesia terancam kekurangan pangan atau kelaparan. Bahkan di banyak negara, ketahanan pangan sering digunakan sebagai alat politik bagi seorang presiden untuk mendapatkan dukungan dari rakyatnya (Tambunan, 2003). Ketahanan pangan menjadi tambah penting lagi terutama karena saat ini Indonesia merupakan salah satu anggota Organisasi perdagangan Dunia (WTO). Artinya, di satu pihak, pemerintah harus memperhatikan kelangsungan produksi pangan di dalam negeri demi menjamin ketahanan pangan, namun di pihak lain, Indonesia tidak bisa menghambat impor pangan dari luar. Dalam kata lain, apabila indonesia tidak siap, keanggotaan Indonesia di dalam WTO bisa membuat Indonesia menjadi sangat tergantung pada impor pangan, dan ini dapat mengancam ketahanan pangan di dalam negeri (Tambunan, 2003).

Konsep ketahanan pangan yang dianut Indonesia dapat dilihat dari Undang-Undang (UU) No.7 Tahun 1996 tentang pangan, pasal 1 ayat 17 berbunyi, “Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga (RT) yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”. Pengertian terjangkau di sini adalah dapat diperoleh pada harga yang cukup murah. UU ini sejalan dengan definisi ketahanan pangan menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan


(21)

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1992, yakni akses setiap RT atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat.

Konsep ketahanan pangan nasional yang tercantum pada UU No.17 tersebut memberi penekanan pada akses setiap RT terhadap pangan yang cukup, bermutu dan terjangkau, meskipun kata-kata RT belum berarti menjamin setiap individu di dalam RT mendapat akses yang sama terhadap pangan karena di dalam RT ada relasi kuasa. Implikasi kebijakan dari konsep ini adalah bahwa pemerintah, di satu pihak berkewajiban menjamin kecukupan pangan dalam arti jumlah dan mutu yang baik serta stabilitas harga, dan di pihak lain, peningkatan pendapatan masyarakat, khususnya dari golongan berpendapatan rendah (Tambunan, 2003).

Impor Indonesia yang besar atas sejumlah komoditas pertanian membuat nilai saldo dari neraca perdagangan (ekspor dan impor) pertanian Indonesia, khususnya tanaman pangan seperti beras, jagung, kedelai, gandum, kacang tanah, dan produk-produk peternakan seperti daging, ayam, dan susu, selalu negatif setiap tahunnya, seperti selama periode 1996-2000. Untuk meningkatkan ketahanan pangan perlu mengurangi jumlah impor dan meningkatkan penggunaan sumber daya lokal, salah satu strategi yang dapat digunakan adalah diversifikasi pangan (Tambunan, 2003).

Usaha diversifikasi pangan adalah usaha untuk menyediakan berbagai ragam produk pangan baik dalam jenis maupun bentuk, sehingga tersedia banyak pilihan bagi konsumen untuk menu makanan harian. Konsep diversifikasi pangan meliputi tiga hal, yaitu diversifikasi horizontal (usaha mengembangan usaha tani berbasis tanaman pangan lainnya), diversifikasi vertikal (pengembangan produksi setelah panen), dan diversifikasi regional (penganekaragaman pangan berdasarkan pendekatan wilayah dan keragaman sosial budaya). Mengacu kepada uraian di atas maka tujuan diversifikasi adalah mendorong terjadinya penganekaragaman pangan pokok yang sesuai dengan potensi setempat yang pada akhirnya akan berkontribusi dalam pengembangan daerah tersebut (Amang, 1995).

Arahan dalam kebijaksanaan diversifikasi pangan mempunyai beberapa aspek yang memerlukan pengkajian lebih lanjut. Selain aspek produksi dan


(22)

konsumsi, diversifikasi pangan tidak dimaksudkan untuk menggantikan beras, tetapi mengubah pola konsumsi masyarakat, sehingga masyarakat akan mengkonsumsi lebih banyak jenis pangan dan lebih baik gizinya. Dengan menambah jenis pangan dalam pola konsumsi, diharapkan konsumsi beras akan menurun (Amang, 1995).

Hal lain yang penting diperhatikan adalah menyangkut pembangunan dan pengembangan industri pengolahan transformasi bahan pangan nonberas. Hal ini diperlukan karena kebanyakan komoditas nonberas tidak siap untuk dikonsumsi secara langsung, seperti singkong harus diolah dulu untuk dijadikan tepung singkong (Amang, 1995).

2.3. Tepung Terigu dan Ketahanan Pangan

Tepung terigu merupakan bahan baku untuk industri makanan skala besar yang menghasilkan produk seperti mi instan, biskuit dan lain-lain. Terigu juga sebagai bahan baku industri kecil dan menengah yang menghasilkan antara lain mi basah, kue kering, roti tawar, dan lain-lain. Dalam industri pangan, tepung terigu merupakan salah satu bahan yang mempengaruhi proses pembuatan adonan dan menentukan kualitas akhir produk berbasis terigu. Struktur pengguna terigu nasional dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber : APTINDO, 2009


(23)

Industri tepung terigu merupakan salah satu bagian dari industri makanan yang telah menjadi komoditas makanan tambahan yang dari waktu ke waktu menjadi semakin penting di Indonesia karena semakin menguasai hidup orang banyak. Secara umum diketahui bahwa tepung terigu merupakan salah satu input untuk menghasilkan makanan seperti mi, roti, biskuit, dan berbagai jenis kue yang dikonsumsi hampir di setiap rumah tangga. Pengguna tepung terigu meliputi segala lapisan masyarakat, mulai dari kalangan atas sampai kalangan bawah. Selain itu, industri tepung terigu memiliki keterkaitan dengan industri nasional lainnya seperti industri makanan, sektor peternakan, industri kain belacu, dan kantong terigu yang melibatkan banyak tenaga kerja (APTINDO, 2005).

Menurut data yang dikeluarkan APTINDO (2009) pengguna tepung terigu terbesar adalah industri mi basah dan industri kecil sebesar 32 persen, diikuti dengan mi instan, roti, dan kue dengan penggunaan sebesar 20 persen, industri biskuit atau snack dan rumah tangga sebesar 10 persen, serta industri mi kering sebesar delapan persen. Pasar terigu atas dasar produk akhir disajikan pada Gambar 2.

Sumber : APTINDO, 2009

Gambar 2. Pasar terigu berdasarkan produk akhir

Berdasarkan konsumsi masyarakat Indonesia terhadap tepung terigu menyebabkan komoditas ini dijadikan sebagai salah satu bahan pangan alternatif yang dapat menggantikan beras, selain jagung dan sagu. Di samping itu, kandungan karbohidrat tepung terigu hampir setara dengan beras dan lebih berkualitas dibandingkan jagung dan sagu (APTINDO, 2005).


(24)

Setiap tahun pertumbuhan konsumsi tepung terigu bertambah antara lima hingga sepuluh persen. Meningkatnya pertumbuhan konsumsi terigu karena semakin besarnya minat masyarakat untuk mengkonsumsi makanan yang bukan nasi. Masalah pada lahan dan iklim di Indonesia yang tidak cocok dengan pembudidayaan gandum, membuat produsen tepung terigu Indonesia memiliki ketergantungan terhadap impor gandum. Maka fluktuasi yang terjadi pada harga gandum dunia ikut mempengaruhi harga tepung terigu nasional (APTINDO, 2009).

Impor gandum dan terigu dapat digunakan untuk menekan laju konsumsi beras. Namun di sisi lain tujuan tersebut menyebabkan ketergantungan pada pangan impor yang dapat menyebabkan terjadinya kerapuhan ketahanan pangan. Hal ini dapat dijadikan sebagai pembelajaran untuk mengembangkan tepung nonterigu. Apabila pada awalnya Indonesia menggunakan terigu untuk mengganjal konsumsi beras, saat ini sudah saatnya mengganjal terigu dengan tepung nonterigu dengan memanfaatkan sumberdaya lokal untuk memperlambat peningkatan impor gandum.

2.4. MOCAF

Teknologi penepungan umbi-umbian terus berkembang dan makin maju. Mutu tepung yang dihasilkannya tidak kalah dengan tepung terigu. Pasar tepung nonterigu pun terus tumbuh membesar. Teknologi penepungan singkong pun sudah berkembang dan tidak lagi konvensional. Cara konvensional (biasa) dalam pembuatan tepung singkong mulai dari pengupasan ubi kayu, lalu dikeringkan dan ditepungkan. Sementara kini sudah ada cara atau teknologi fermentasi atau modifikasi biologi (tepung MOCAF). Dengan teknologi ini tepung singkong yang dihasilkan bisa memiliki warna tepung yang putih (menyerupai warna tepung terigu), dengan bau dan rasa netral, serta bisa disimpan dalam jangka waktu hingga enam bulan. 3

Tepung MOCAF merupakan tepung yang terbuat dari singkong. Kata

MOCAF sendiri merupakan singkatan dari Modified Cassava Flour yang berarti

      

3 


(25)

tepung singkong yang dimodifikasi. Tepung MOCAF memiliki karakter yang berbeda dengan tepung singkong biasa dan tapioka, terutama dalam hal derajat viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi dan kemudahan melarut yang lebih baik.

Modified Cassava Flour (MOCAF) merupakan produk turunan dari tepung singkong yang menggunakan prinsip modifikasi sel singkong secara fermentasi (Subagio, 2008). Secara teknis, cara pengolahan MOCAF sangat sederhana, mirip degan cara pengolahan tepung singkong biasa, namun disertai dengan proses fermentasi. Singkong dibuang kulitnya, dikerok lendirnya, dan dicuci sampai bersih. Kemudian dilakukan pengecilan ukuran singkong dan dilanjutkan dengan fermentasi selama 12-72 jam. Setelah fermentasi, singkong tersebut dikeringkan kemudian ditepungkan, sehingga dihasilkan produk.

Subagio (2008) menyatakan bahwa mikroba yang tumbuh pada singkong akan menghasilkan enzim selulotik dan pektinolitik yang dapat menghancuran dinding sel singkong sedemikian rupa, sehingga terjadi pembebasan granula pati. Proses pembebasan granula pati ini akan menyebabkan perubahan karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan melarut. Selanjutnya granula pati tersebut akan mengalami hidrolisis mengasilkan monosakarida sebagai bahan baku untuk menghasilkan asam-asam organik. Senyawa asam ini akan bercampur dalam tepung, sehingga ketika tepung tersebut diolah akan menghasilkan aroma dan citarasa yang khas yang dapat menutupi aroma dan cita rasa singkong yang cenderung tidak disukai konsumen.

MOCAF dapat digunakan sebagai bahan baku dari berbagai jenis makanan, mulai dari mi, bakery, cookies, hingga makanan semi basah. Namun demikian, MOCAF tidak sama persis karateristiknya dengan tepung terigu, tepung beras atau tepung singkong. Sehingga dalam aplikasinya, diperlukan sedikit perubahan dalam formula atau prosesnya, sehingga dihasilkan produk dengan mutu optimal. Berdasarkan penelitian sebelumnya, produk-produk makanan yang dibuat dengan bahan baku 100 persen MOCAF mempunyai karakteristik yang tidak jauh beda dengan produk yang dibuat menggunakan tepung terigu berprotein rendah (pastry


(26)

flour). Selain itu, hasil uji coba yang telah dilakukan dengan mensubstitusi MOCAF terhadap tepung terigu menunjukkan bahwa MOCAF dapat mensubstitusi tepung terigu hingga tingkat substitusi 15 persen pada produk mi instan, dan hingga kombinasi 25 persen untuk mi bermutu rendah (Subagio, 2008).

2.5. Mi Basah

Astawan (1999) menyatakan bahwa hampir seluruh dunia mengenal produk mi, walaupun nama, bentuk, bahan penyusun, dan cara pembuatannya berbeda-beda. Mi diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu mi segar atau mi mentah, mi kering, mi basah, dan mi instan. Mi segar atau mi mentah adalah mi yang tidak mengalami proses tambahan setelah pemotongan dan mengandung 35 persen air. Mi kering adalah mi segar yang telah dikeringkan hingga kadar airnya mencapai 8-10 persen. Mi basah adalah jenis mi yang mengalami proses perebusan setelah tahap pemotongan sebelum dipasarkan. Mi instan umumnya dikenal sebagai

ramen dan dibuat dengan penambahan beberapa proses setelah diperoleh mi segar, yaitu pengukusan, pembentukan, dan pengeringan.

Di Indonesia, banyak makanan daerah yang menggunakan bahan baku mi, seperti soto mi (Bogor), taoge goreng (Jawa Barat), mi celor (Palembang), dan mi juhi (Jakarta). Jenis makanan lain yang terbuat dari mi seperti mi goreng, mi pangsit, mi ayam, ifu mi, dan lo mi. Agar asupan gizi yang diperoleh dari sebungkus mi lebih baik, dalam penyajian sebaiknya ditambahkan bahan-bahan lain untuk meningkatkan mutu gizinya. Bahan yang umum ditambahkan seperti telur, ayam, bakso, udang, ikan, dan tempe untuk meningkatkan kadar protein serta sayuran (wortel, tomat, sawi, mentimun, dan lain-lain) untuk meningkatkan kadar vitamin, mineral, dan serat (Astawan, 1999)

Badan Standarisasi Nasional (1992) mendefinisikan mi basah sebagai produk pangan yang terbuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan yang diizinkan, berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan. Kadar air mi basah dapat mencapai 52 persen sehingga daya simpannya relatif singkat, yaitu sekitar 40 jam pada suhu kamar. Bahan baku mi basah yang umum digunakan saat ini berasal dari tepung terigu (Astawan, 1999).


(27)

Syarat mutu mi basah menurut SNI-01-2987-1992 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Syarat mutu mi basah

No Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan :

2.1. Bau 2.2. Rasa 2.3. Warna

- Normal

2 Kadar air % b/b 20-35

3 Kadar abu (dihitung atas dasar

bahan kering)

% b/b Maks. 3

4 Kadar protein (Nx6,25)

Dihitung atas dasar bahan kering

% b/b Min. 3

5 Bahan tambahan pangan :

5.1. Boraks dan asam borat 5.2. Pewarna

5.3. Formalin

- Tidak boleh ada sesuai

SNI-0222-M dan peraturan MenKes. No. 722/Men.Kes/Per/IX/8 8

6 Cemaran logam :

6.1. Timbal (Pb) 6.2. Tembaga (Cu) 6.3. Seng (Zn) 6.4. Raksa (Hg)

mg/kg Maks. 1,0 Maks. 10,0 Maks. 40,0 Maks. 0,05

7 Arsen (As) mg/kg Maks. 0,05

8 Cemaran mikroba :

8.1. Angka Lempeng Total 8.2. E. Coli

8.3. Kapang

Koloni/g APM/g Koloni/g

Maks. 1,0 x 106 Maks. 10 Maks. 1,0 x 104 2.6. Preferensi Konsumen

Menurut Kotler dan Keller (2007) bahwa preferensi konsumen merupakan suatu pilihan suka atau tidak suka seseorang terhadap produk (barang dan jasa) yang dikonsumsi. Preferensi konsumen menunjukkan kesukaan konsumen dari berbagai pilihan produk yang ada. Teori preferensi digunakan untuk menganalisis tingkat kepuasan bagi konsumen. Terdapat aksioma yang digunakan untuk menerangkan tingkah laku individu dalam masalah penetapan pilihan. Menurut Nicholson dalam Putra (2009), hubungan preferensi biasanya diasumsikan

memiliki tiga sifat dasar, yaitu kelengkapan (completeness), transivitas


(28)

Sifat kelengkapan (completeness) memberikan asumsi bahwa setiap orang selalu dapat menentukan pilihan dengan dua alternatif. Sebagai contoh, jika A dan B merupakan dua kondisi, maka setiap orang harus selalu bisa menetukan salah satu dari tiga hal. Pertama, A lebih disukai daripada B. Kedua, B lebih disukai daripada A. Ketiga, A dan B sama-sama disukai.

Sifat transivitas (transivity) memberikan asumsi bahwa seseorang yang membandingkan beberapa kondisi yang saling berhubungan akan menunjukkan sikap yang sesuai dan konsisten. Sebagai contoh, jika seseorang mengatakan bahwa ia lebih menyukai A daripada B dan lebih menyukai B daripada C, maka ia harus lebih menyukai A daripada C.

Sifat berkelanjutan (continuity) memiliki asumsi dasar yang hampir sama dengan sifat transivitas, bahwa kesesuaian dan konsisensi sikap seseorang akan terjaga pada saat membandingkan dua kondisi pada situasi yang berbeda. Sebagai contoh, jika seseorang mengatakan A lebih disukai daripada B, maka kondisi lain yang serupa dengan A lebih disukai daripada B (Nicholson, 1995).

Menurut Stepherd dan Spark dalam Putra (2009), preferensi pangan adalah derajat kesukaan terhadap makanan yang akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi konsumen dapat dikelompokkan menjadi tujuh, yaitu faktor intrinsik, faktor ekstrinsik, faktor biologis, fisik, dan psikologis, faktor personal, faktor sosial dan ekonomi, faktor pendidikan, serta faktor kultur, agama, dan daerah. Faktor intrinsik merupakan faktor yang bersumber dari dalam produk yang meliputi penampakan, aroma, suhu, tekstur, kualitas, kuantitas, dan cara penyajian pangan. Faktor ekstrinsik meliputi lingkungan sosial, iklan produk, dan waktu penyajian.

Faktor yang mempengaruhi preferensi pangan selanjutnya adalah faktor biologis, fisik, dan psikologis meliputi umur, jenis kelamin, keadaan psikis, aspek psikologis, dan biologis. Faktor personal meliputi tingkat pendugaan, pengaruh dari orang lain, prioritas, selera, mood, dan emosi. Faktor sosial dan ekonomi meliputi pendapatan keluarga, harga pangan, status sosial, dan keamanan. Faktor pendidikan meliputi status pengetahuan individu dan keluarga serta pengetahuan


(29)

tentang gizi. Terakhir, faktor kultur, agama, dan daerah meliputi asal kultur, latar belakang agama, kepercayaan, tradisi, serta letak daerah.

Produk baru adalah barang, jasa, atau ide yang dianggap baru oleh sejumlah pelanggan potensial. Produk baru mungkin telah ada untuk beberapa waktu, tetapi ketertarikan terletak pada bagaimana konsumen mempelajari produk itu untuk pertama kalinya dan membuat keputusan untuk mengadopsinya. Proses adopsi didefinisikan sebagai proses mental yang harus dilalui seseorang untuk mempelajari sebuah inovasi untuk pertama kalinya sampai adopsi akhir, dan adopsi adalah keputusan seseorang untuk menjadi pengguna tetap sebuah produk (Kotler dan Amstrong, 2008).

Proses adopsi produk dikelompokkan menjadi lima tahap, yaitu kesadaran, minat, evaluasi, mencoba, dan adopsi. Pada mulanya, konsumen harus menyadari produk baru. Kesadaran menumbuhkan minat dan konsumen mencari informasi tentang produk baru. Setelah informasi dikumpulkan, konsumen memasuki tahap evaluasi dan mempertimbangkan untuk membeli produk baru. Berikutnya, dalam tahap mencoba, konsumen mencoba produk dalam skala kecil untuk meningkatkan estimasinya terhadap nilai produk. Jika konsumen puas dengan produk, ia memasuki tahap adopsi, memutuskan untuk menggunakan produk baru dengan skala lebih besar dan teratur.

Dengan memperhatikan difusi produk baru, konsumen merespons pada tingkat yang berbeda, bergantung pada karakteristik konsumen dan karakteristik produk. Konsumen bisa menjadi inovator (penemu), pengadopsi awal, mayoritas awal, mayoritas akhir, atau orang yang lambat. Penemu bersedia mencoba ide baru yang beresiko. Pengadopsi awal sering kali menjadi pemimpin opini komunitas, menerima ide baru lebih awal tetapi dengan cermat. Mayoritas awal jarang menjadi pemimpin, memutuskan untuk mencoba ide baru dengan banyak pertimbangan, dan melakukan pertimbangan itu sebelum kebanyakan orang melakukannya. Mayoritas akhir mencoba sebuah inovasi hanya setelah kebanyakan orang mengadopsinya, sementara orang yang lambat hanya mengadopsi sebuah inovasi setelah inovasi itu menjadi bagian dari tradisi itu sendiri. Produsen mencoba membawa produk mereka agar diperhatikan oleh


(30)

pengadopsi awal yang potensial, terutama mereka yang menjadi pemimpin opini (Kotler dan Amstrong, 2008).

Sesuai dengan pemikiran Kotler dan Amstrong, dalam proses difusi inovasi terdapat pengaruh karakteristik produk pada tingkat adopsi, yaitu (1) keunggulan relatif, tingkat di mana inovasi tampak mengungguli produk yang ada,

(2) kesesuaian, tingkat di mana inovasi memenuhi nilai dan pengalaman

konsumen potensial, (3) kompleksitas, tingkat di mana inovasi sulit dipahami atau digunakan, (4) dapat dibagi, tingkat dimana inovasi dapat dicoba pada basis terbatas, (5) kemampuan komunikasi, tingkat dimana hasil penggunaan inovasi dapat diteliti atau digambarkan orang lain.

2.7. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang tepung MOCAF ini masih belum banyak dilakukan dari segi manajemen, khususnya dari segi keuangannya. Sedangkan dari segi teknologi pangan telah banyak dilakukan penelitian, khususnya dari kandungan gizinya. Berdasarkan penelitian sebelumnya, produk-produk makanan yang dibuat dengan bahan baku 100 persen MOCAF mempunyai karakteristik yang tidak jauh beda dengan produk yang dibuat menggunakan tepung terigu berprotein rendah (pastry flour).

Selain itu, hasil uji coba yang telah dilakukan dengan mensubstitusi MOCAF terhadap tepung terigu menunjukkan bahwa MOCAF dapat mensubsti-tusi tepung terigu hingga tingkat substimensubsti-tusi 15 persen pada produk mi instan, dan hingga 25 persen untuk mi bermutu rendah baik dari segi mutu fisik maupun organoleptik (Subagio, 2008). Secara teknis pun, proses pembuatan mi tidak mengalami kendala yang berarti jika MOCAF digunakan sebagai bahan pencampur produk berbahan baku terigu.

Panikulata (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “Potensi Modified

Cassava Flour (MOCAF) sebagai Subtituen Tepung Terigu pada Produk Kacang Telur”. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik MOCAF dan terigu sebagai bahan baku pembuat kulit kacang telur dan menentukan tingkat substitusi MOCAF terhadap tepung terigu yang dapat diaplikasikan pada formula kacang telur, sehingga dapat diterima baik oleh konsumen. Berdasarkan hasil


(31)

penelitian, karakteristik bahan baku yang mempengaruhi tekstur kacang telur adalah kadar protein, lemak, kadar amilosa dan amilopektin. MOCAF memiliki kandungan protein yang sangat rendah bila dibandingkan dengan terigu. Kandungan protein MOCAF sebesar 0,53 persen sedangkan terigu sebesar 0,79 persen. Semakin tinggi kandungan protein dalam suatu bahan akan menyebabkan semakin keras tekstur produk yang dihasilkan. Maka, kacang telur yang disubstitusi dengan MOCAF akan menhasilkan tekstur yang tidak terlalu keras dan dapat diterima baik oleh konsumen dengan skor penerimaan minimum sebesar 3,50. Semakin tinggi tingkat substitusi MOCAF terhadap terigu pada formulasi kacang telur, akan menghasilkan tekstur produk yang masir, karena MOCAF memiliki kandungan amilosa yang tinggi dibandingkan terigu dan kadar lemak yang rendah. Kadar amilosa MOCAF sebesar 34,75 persen dan kadar lemak sebesar 0,54 persen sedangkan terigu memiliki kadar amilosa sebesar 29,78 persen dengan kadar lemak sebesar 1,03 persen. Selain itu, tekstur juga dipengaruhi oleh kandungan amilopektin. Semakin tinggi kandungan amilopektin suatu bahan maka semakin tinggi daya kembang produk. MOCAF memiliki kandungan amilopektin yang lebih tinggi dari terigu, yaitu sebesar 39,55 persen dan terigu sebesar 33,74 persen. Daya kembang MOCAF lebih tinggi daripada terigu. Berdasarkan analisis struktur secara subjektif, substitusi MOCAF dapat diterima baik oleh konsumen sampai tingkat substitusi 25 persen dengan perolehan skor preferensi konsumen sebesar 3,56. Hasil analisis tekstur

menggunakan Texture Analiser juga menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat

substitusi MOCAF terhadap terigu, maka tekstur kacang telur semakin renyah, sehingga nilai crispness yang terbaca oleh Texture Analiser semakin tinggi sedangkan gaya yang terbaca akan semakin rendah. Semakin rendah gaya yang dibutuhkan, menunjukkan bahwa semakin banyak rongga udara yang terdapat di dalam produk kacang telur. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat substitusi, maka akan menghasilkan tekstur produk yang semakin renyah.

Damanik (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Akseptasi Teknis, Finansial dan Preferensi Konsumen terhadap Substitusi Sebagai Bahan Baku Roti dan Pizza dengan Menggunakan MOCAF”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah MOCAF dapat dijadikan sebagai kombinasi bahan baku


(32)

Menganalisis apakah MOCAF dapat dijadikan sebagai kombinasi bahan baku pada pizza dan roti manis, menganalisis apakah terdapat perbedaan proses

produksi pada pizza dan roti manis, yang menggunakan bahan baku terigu 100

persen dengan bahan baku kombinasi MOCAF, menganalisis apakah MOCAF mampu menurunkan biaya produksi pizza dan roti manis, menganalisis respons

konsumen terhadap pizza dan roti manis yang menggunakan bahan baku

kombinasi. Berdasarkan hasil penelitian, proses produksi pada pizza dan roti manis yang memiliki kandungan MOCAF membutuhkan tambahan waktu 3-5 menit disebabkan karena MOCAF lebih lama mengembang, sehingga mengakibatkan adanya penambahan biaya produksi pada pemakaian gas. Nilai

Benefit Cost Ratio terhadap roti manis meningkat dari 1,3283 menjadi 1,324. Demikian juga dengan pizza, nilai Benefit Cost Ratio nya meningkat dari 1,7591 menjadi 1,7672. Karena nilai Benefit Cost Ratio terhadap roti manis dan pizza

meningkat, maka kombinasi 20 persen MOCAF dan 80 persen terigu dapat diterima. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa semakin tinggi persen kandungan MOCAF, semakin mampu menurunkan total biaya produksi. MOCAF dapat dikombinasikan dengan tepung terigu sebagai bahan baku pizza dan roti manis. Pada kombinasi 20 persen MOCAF dan 80 persen terigu, responden tidak dapat menemukan adanya perbedaan baik dari variabel, rasa, aroma, kelembutan, kekenyalan, manfaat yang dirasakan, dan warna pada pizza dan roti manis.

       


(33)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Komoditas pangan merupakan salah satu komoditas strategis berhubung dengan bobotnya yang cukup besar dalam komposisi pengeluaran rumah tangga. Kebutuhan pangan yang berkembang cepat memaksa pemerintah bersama petani, industri pangan, dan perguruan tinggi perlu merancang strategi untuk meningkatkan ketahanan pangan, sehingga mampu mencukupi kebutuhan pangan secara mandiri dengan berbasis pada keragaman sumberdaya bahan pangan dan budaya lokal.

Fakta menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara pengkonsumsi mi terbesar setelah Cina dan terus meningkat. Hal ini didukung oleh berbagai keunggulan yang dimiliki mi terutama dalam hal tekstur, rasa, penampakan, dan kepraktisan penggunaannya, sehingga peluang usaha industri pengolahan mi, baik dalam skala industri kecil maupun industri besar masih sangat terbuka luas.

Salah satu bahan utama pembuatan mi yang umum digunakan saat ini adalah mi dari tepung terigu. Mi jenis ini menggunakan bahan dasar gandum yang diimpor dari luar negeri. Padahal, di Indonesia terdapat sumber daya lokal yang dapat digunakan untuk fungsi yang sama yaitu singkong. Bahan ini dapat diolah

menjadi tepung singkong modifikasi yang disebut dengan Modified Cassava

Flour (MOCAF).

Pada penelitian ini, dianalisis mengenai penerimaan masyarakat terhadap penggunaan kombinasi MOCAF sebagai bahan baku untuk membuat mi. Analisis dilakukan terhadap produsen dan konsumen mi basah. Dari sisi produsen, dianalisis mengenai penerimaan aspek teknis melalui praktek dan finansial melalui praktek dan simulasi. Sementara, dari sisi konsumen dianalisis preferensi mereka terhadap produk tersebut. Untuk lebih memahami alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.


(34)

Gambar 3. Kerangka pemikiran penelitian

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada CV Taruna yang berlokasi di daerah Pancasan Baru, RT 04 RW 12 di kelurahan Pasir jaya, Bogor. Perusahaan ini memproduksi mi glosor (mi sagu) dan mi terigu basah. Penelitian dilakukan pada mi terigu basah. Perusahaan mempunyai 20 orang distributor. Distributor CV Taruna tersebar di beberapa lokasi yang berbeda yaitu di Pasar Leuwiliang, Pasar Ciampea, Pasar Bogor, Pasar Anyar, Pasar Cumpok, Pasar Ciawi, Cisarua, dan

Gandum

Ketahanan  Pangan 

Singkong

Terigu  MOCAF

Peningkatan mi sebagai   Pangan Pokok 

Impor  Lokal 

Teknik  Finansial  Penerimaan  Konsumen  Praktek  Simulasi

Penerimaan  Produsen 

Preferensi  Konsumen


(35)

Caringin. Distributor mi basah berjumlah 20 orang. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2011.

3.3. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari para responden. Responden di sini mencakup produsen mi basah (pemilik perusahaan), distributor CV Taruna, dan konsumen akhir mi basah. Distributor CV Taruna dipilih sebagai responden karena memiliki pengetahuan tentang mi basah yang disukai konsumen mereka dan bertanggung jawab untuk melakukan keputusan pembelian mi yang akan mereka jual. Responden konsumen akhir dipilih atas dasar kedekatan lokasi tempat tinggal dengan Kampus IPB untuk memudahkan proses analisis preferensi dilakukan.

Sedangkan data sekunder diperoleh dari buku-buku, artikel, internet, dan literatur-literatur yang dikeluarkan oleh lembaga terkait serta bahan pustaka yang diambil dari hasil penelitian sebelumnya. Pengumpulan data sekunder ini bertujuan untuk lebih memahami permasalahan yang diteliti lebih dalam.

3.4. Metode Pengambilan Sampel

Responden dipilih menggunakan teknik Non Probability Sampling berupa

metode Purposive Sampling. Dalam hal ini adalah satu orang produsen mi terigu basah yang ada di Bogor dan 20 orang distributor CV Taruna, serta konsumen mi basah di sekitar Kampus IPB Dramaga.

Sampel terdiri dari produsen dan konsumen. Produsen adalah satu orang pengusaha mi basah. Penerimaan produsen melakukan penilaian teknis dan finansial. Secara teknis pengusaha mi basah dapat mengetahui proses produksi dan keberhasilan percobaan yang dilakukan. Secara finansial, diteliti biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi mi terigu basah.

Sampel berikutnya adalah konsumen yang terdiri dari distributor dan konsumen akhir mi basah. Penilaian konsumen digunakan untuk mengetahui preferensi konsumen. Distributor merupakan pelanggan tetap CV taruna yang melakukan pemesanan mi terigu basah setiap harinya. Distributor CV Taruna berjumlah 20 orang. Dilakukan dua kali pengambilan data dari distributor namun


(36)

tidak semua distributor yang dapat melakukan dua kali penilaian hingga data berjumlah 30. Sedangkan sampel berikutnya berasal dari konsumen akhir yang menyukai mi basah. Jumlah sampel ditetapkan sebanyak 30 orang konsumen akhir. Untuk lebih memahami alur pengambilan sampel penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Diagram alur pengambilan sampel

3.5. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan menggunakan teknik wawancara langsung, kuesioner, dan observasi.

3.5.1 Aspek Teknis

Observasi dilakukan pada saat melakukan percobaan dalam proses produksi. Percobaan dimulai dari penggunaan 80 persen tepung terigu dengan campuran 20 persen tepung MOCAF. Apabila percobaan ini berhasil akan dilanjutkan dengan percobaan menggunakan campuran MOCAF yang lebih banyak (25 persen). Apabila gagal pada percobaan dengan campuran 20 persen MOCAF maka dilakukan percobaan menggunakan campuran 10 persen hingga ditemukan kombinasi ideal. Setelah itu, dilakukan satu kali percobaan ulangan untuk menguji keberhasilan penggunaan campuran MOCAF.

Kuesioner penilaian terhadap aspek teknis berisi pertanyaan mengenai tingkat kesulitan dan jenis kesulitan yang ditemui. Kuesioner ini dibagikan kepada produsen mi yang bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai kendala apa saja yang dilalui produsen selama proses produksi. Penilaian terhadap aspek teknis dapat dilihat pada tingkat kesulitan dan jenis kesulitan yang ditemui, yang disajikan dalam tabel. Perbandingan tingkat kesulitan pada masing-masing kombinasi MOCAF secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2.

Pengusaha (1)  Sampel 

Produsen 

Konsumen 

Distributor (20) 

Konsumen  Akhir (30)

Finansial 

Preferensi  Konsumen  Teknis 


(37)

Tabel 2. Perbandingan tingkat kesulitan teknis

No Campuran MOCAF Tingkat Kesulitan Jenis Kesulitan

1 10% ( ) Sangat lebih sulit

( ) Sedikit lebih sulit ( ) Sama

( ) Sedikit lebih mudah ( ) Sangat lebih mudah

2 15% ( ) Sangat lebih sulit

( ) Sedikit lebih sulit ( ) Sama

( ) Sedikit lebih mudah ( ) Sangat lebih mudah

3 20% ( ) Sangat lebih sulit

( ) Sedikit lebih sulit ( ) Sama

( ) Sedikit lebih mudah ( ) Sangat lebih mudah

4 25% ( ) Sangat lebih sulit

( ) Sedikit lebih sulit ( ) Sama

( ) Sedikit lebih mudah ( ) Sangat lebih mudah

Pada penelitian ini dilakukan dua jenis percobaan yaitu dengan modifikasi dan tanpa modifikasi, namun secara teknis percobaan tanpa modifikasi tidak dapat dilakukan karena adonan yang terbentuk terlalu kering sehingga tidak dapat dicetak. Mi tanpa modifikasi dibuat tanpa perubahan komposisi bahan tambahan sedangkan mi dengan modifikasi dilakukan dengan merubah jumlah bahan tambahan yang digunakan. Perubahan komposisi bahan tambahan yang digunakan pada percobaan dengan modifikasi meliputi jumlah air, campuran (pengenyal, tawas, soda asap), dan air abu. Perubahan penggunaan bahan pada proses produksi mi basah dapat dilihat pada Tabel 3.


(38)

Tabel 3. Perubahan komposisi bahan pada produksi mi

No Campuran MOCAF Nama Bahan Jumlah Perubahan Bahan

1 10% ( ) Air

( ) Pengenyal ( ) Soda asap ( ) Tawas ( ) Air abu

2 15% ( ) Air

( ) Pengenyal ( ) Soda asap ( ) Tawas ( ) Air abu

3 20% ( ) Air

( ) Pengenyal ( ) Soda asap ( ) Tawas ( ) Air abu

4 25% ( ) Air

( ) Pengenyal ( ) Soda asap ( ) Tawas ( ) Air abu 3.5.2. Aspek Finansial

Metode wawancara digunakan untuk mengetahui aspek finansial. Metode wawancara langsung dipilih untuk meminimalisir penyimpangan data karena bias persepsi dan faktor-faktor psikologis lainnya. Melalui metode ini diketahui biaya bahan baku yang digunakan untuk menghasilkan setiap kombinasi mi basah. Analisis meliputi biaya-biaya yang digunakan dalam proses produksi pada tiap tingkatan kombinasi MOCAF pada mi basah, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Perbandingan biaya produksi mi basah

No Campuran MOCAF Jenis Biaya Biaya Produksi

1 10% Rp

2 15% Rp

3 20% Rp


(39)

3.5.3.Preferensi Konsumen

Kuesioner penelitian berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai perbedaan rasa, aroma, kekenyalan, kelembutan, dan warna mi basah. Kuesioner diberikan kepada distributor dan konsumen akhir untuk mengetahui preferensi konsumen. Responden akan menilai produk dengan mencicipinya lalu mengisi kuesioner mengenai atribut rasa, aroma, kekenyalan, kelembutan, dan warna.

Tabel 5. Perbandingan atribut masing-masing mi basah

No Atribut Tingkat Perbandingan Mi Basah

Mi 1 Mi 2 Mi 3

1 Rasa ( ) Sangat enak

( ) Enak ( ) Cukup enak ( ) Kurang enak ( ) Tidak enak

( ) Sangat enak ( ) Enak

( ) Cukup enak ( ) Kurang enak ( ) Tidak enak

( ) Sangat enak ( ) Enak

( ) Cukup enak ( ) Kurang enak ( ) Tidak enak

2 Aroma ( ) Sangat Harum

( ) Harum ( ) Cukup harum ( ) Kurang harum ( ) Tidak harum

( ) Sangat Harum ( ) Harum

( ) Cukup harum ( ) Kurang harum ( ) Tidak harum

( ) Sangat Harum ( ) Harum

( ) Cukup harum ( ) Kurang harum ( ) Tidak harum 3

Keke-nyalan

( ) Sangat kenyal ( ) Kenyal ( ) Cukup kenyal ( ) Kurang kenyal ( ) Tidak kenyal

( ) Sangat kenyal ( ) Kenyal ( ) Cukup kenyal ( ) Kurang kenyal ( ) Tidak kenyal

( ) Sangat kenyal ( ) Kenyal ( ) Cukup kenyal ( ) Kurang kenyal ( ) Tidak kenyal 4

Kelem-butan

( ) Sangat lembut ( ) Lembut ( ) Cukup lembut ( ) Kurang lembut ( )Tidak lembut

( ) Sangat lembut ( ) Lembut ( ) Cukup lembut ( ) Kurang lembut ( )Tidak lembut

( ) Sangat lembut ( ) Lembut ( ) Cukup lembut ( ) Kurang lembut ( )Tidak lembut

5 Warna ( ) Sangat bagus

( ) Bagus ( ) Cukup bagus ( ) Kurang bagus ( ) Tidak bagus

( ) Sangat bagus ( ) Bagus

( ) Cukup bagus ( ) Kurang bagus ( ) Tidak bagus

( ) Sangat bagus ( ) Bagus

( ) Cukup bagus ( ) Kurang bagus ( ) Tidak bagus Penilaian mengenai perbandingan antara produk dengan mi basah dari 100 persen tepung terigu (mi 1), mi basah dari campuran 80 persen terigu dan 20 persen MOCAF (mi 2), dan mi basah dari campuran 75 persen terigu dan 25 persen MOCAF (mi 3). Responden akan menilai ketiga produk tersebut dengan mencicipinya lalu mengisi kuesioner yang telah disediakan, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 5.


(40)

3.6. Pengolahan dan Analisis Data 3.6.1. Penerimaan Teknis

Untuk menganalisis penerimaan teknis dilakukan wawancara langsung dengan menggunakan metode deskriptif untuk mengetahui mengenai kendala-kendala yang dilalui produsen mulai dari menyiapkan adonan hingga proses produksi disertai oleh pengisian kuesioner yang telah disiapkan, lebih lengkap dapat dilihat pada lampiran 1. Penilaian meliputi tingkat kesulitan dan jenis kesulitan yang ditemui pada proses produksi.

3.6.2. Penerimaan Finansial

Analisis finansial menggunakan metode Benefit Cost Ratio (BCR) atau

Rasio Manfaat Biaya, yaitu nilai perbandingan antara pendapatan dengan biaya produksi. Jika nilai BCR lebih besar dari satu maka suatu industri sudah memenuhi salah satu kriteria untuk dikatakan layak (Astawan, 1999).

Analisis bertujuan untuk mengetahui apakah kombinasi bahan baku mi basah dengan menggunakan MOCAF dapat diterima konsumen. Agar penggunaan kombinasi ini dapat diterima, maka nilai Benefit Cost Ratio pada bahan baku mi yang menggunakan MOCAF harus meningkat atau lebih besar daripada nilai

Benefit Cost Ratio mi terigu 100 persen tanpa penggunaan MOCAF .

Benefit Cost Ratio dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

BCR = Pendapatan/Biaya produk

3.6.3.Penerimaan terhadap Preferensi Konsumen

Untuk mengetahui preferensi konsumen teradap berbagai tingkat kombinasi bahan baku pada mi basah dilakukan dengan wawancara terstruktur dengan kuesioner terhadap responden. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan

metode Kruskal Wallis untuk mengetahui tingkat kombinasi MOCAF dengan

terigu yang dapat diterima konsumen dengan membandingkan atribut pada masing-masing mi basah.


(41)

Uji Kruskal Wallis dapat digunakan jika populasi data berdistribusi kontinyu, bertujuan untuk menganalisis data dalam tiga atau lebih sampel independen untuk menentukan apakah tiga atau lebih distribusi populasi data yang kontinyu memiliki rata-rata yang sama. Uji statistik Kruskal Wallis dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu: (1) mengurutkan data tanpa memperhatikan asal sampel, dimulai dari angka satu untuk nilai terkecil, (2) menjumlahkan urutan pada masing-masing sampel, (3) menghitung jumlah ukuran sampel dari seluruh sampel (N), dan (4) menghitung statistik H yang dirumuskan (Mulyono, 1991).

Membuat keputusan secara statistik dengan kriteria pengambilan keputusannya adalah :

H0 diterima apabila : H ≤ X2α , dengan derajat bebas k - 1

H1 diterima apabila : H > X2α , dengan derajat bebas k - 1

Keterangan:

H0 : tidak berbeda nyata

H1 : berbeda nyata

X2 : nilai kritis

α : tingkat signifikan k : banyaknya sampel


(42)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

 

4.1. Sejarah Singkat Perusahaan

Taruna merupakan sebuah CV yang didirikan oleh Bapak Wen Juendi pada tahun 1975 yang berlokasi di Pancasan Baru RT 04 RW 12 kelurahan Pasir Jaya, Bogor. Perusahaan mempunyai omset Rp 228.000.000 per tahun dan 18 orang pekerja pada tahun 2010, sehingga masih tergolong ke dalam usaha kecil. Kriteria usaha kecil menurut UU No. 9 tahun 1995 yaitu memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah), milik warga negara Indonesia, berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang tidak dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar.

Pada awal berdirinya, Taruna merupakan usaha yang hanya memproduksi mi sagu atau dikenal masyarakat dengan nama mi glosor yang merupakan makanan khas Jawa Barat. Namun selama 20 tahun perusahaan ini tidak berproduksi namun pada tahun 1998 mulai berproduksi kembali dibawah pimpinan anak Bapak Wen yang bernama Bapak Eman Sula Eman. Perusahaan ini kembali berproduksi karena tuntutan kebutuhan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Proses produksi pada awalnya hanya dilakukan oleh Bapak Wen sendiri. Namun semenjak 1998 perusahaan telah mempekerjakan tujuh orang karyawan untuk membantu proses produksi mi basah dan telah mampu membeli bangunan sebagai pabrik tempat berproduksi serta mobil untuk mengantar pesanan pelanggan pada tahun 2007. Seiring dengan perkembangan perusahaan, mulai berdatangan permintaan untuk mi basah yang berbahan baku tepung terigu, sehingga perusahaan juga memproduksi mi terigu basah.

Dalam menjalankan usaha terdapat beberapa kendala yang dialami oleh perusahaan yaitu dalam hal pesaing. Perusahaan ini mempunyai beberapa pesaing utama diantaranya perusahaan mi basah lain di Sukabumi dan Bandung karena


(43)

mereka menetapkan harga yang lebih rendah. Kesulitan lain yaitu keterbatasan dana untuk mengembangkan usaha dengan membuka kios sendiri.

Disamping itu, perusahaan juga mengalami kesulitan untuk memenuhi permintaan pelanggan yang meningkat terutama pada saat hari raya yang meningkat hingga dua kali lipat, sedangkan sumberdaya yang dimiliki kurang mencukupi pada saat hari raya, sehingga harus membeli dari pabrik pesaing di Sukabumi atau Bandung.

4.2. Tujuan dan Struktur Organisasi Perusahaan

Tujuan awal dari CV Taruna ini adalah untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga serta membuka lapangan pekerjaan yang berasal dari keluarga mereka sendiri. Namun, seiring berkembangnya usaha yang mereka jalankan, tujuan perusahaan juga untuk mengembangkan inovasi agar usaha lebih maju dan berkembang serta dapat bersaing di pasaran. Perusahaan bersedia untuk diliput acara televisi yang ingin mengetahui proses produksi serta para dosen dan mahasiswa yang ingin melakukan penelitian di pabrik ini.

Saat ini, Taruna memiliki 18 orang karyawan tetap termasuk pemilik usaha. Taruna tidak memiliki struktur organisasi formal, sehingga struktur organisasi masih tergolong sederhana. Gambaran struktur organisasi CV Taruna dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5.Struktur organisasi CV Taruna

Proses produksi diawasi langsung oleh Bapak Eman sedangkan produksi mi glosor dilakukan 10 orang pekerja, dan empat orang pekerja untuk produksi mi terigu, serta tenaga pemasar dan promosi yang berjumlah tiga orang. Semua

Pemilik CV Taruna

Tenaga Kerja Produksi (14 orang)

Tenaga Kerja Pemasaran (3 orang)

Pekerja Produksi Mi Sagu (10 orang)

Pekerja Produksi Mi Terigu (4 orang)


(44)

keputusan dan kebijakan usaha berada di tangan pemilik. Semua kegiatan produksi dan pemasaran yang dilakukan ditangani langsung oleh pemilik.

4.3. Kegiatan Perusahaan 4.3.1. Kegiatan Produksi

Perusahaan memproduksi dua jenis mi basah, yaitu mi yang berbahan dasar sagu dan terigu, dengan jumlah permintaan yang berbeda-beda.

4.3.1.1. Produksi Mi Terigu

Pabrik Taruna rutin memproduksi rata-rata 30 bal (satu bal sama dengan 25 kg) mi terigu setiap harinya. Perbandingan tepung yang digunakan untuk produksi dengan jumlah mi terigu yang dihasilkan adalah satu banding dua (dalam kg). Jenis mi terigu yang dipesan ada beberapa jenis, yaitu berdasarkan bentuknya adalah mi gepeng dan mi bulat sedangkan berdasarkan warna adalah mi tanpa warna dan yang berwarna. Permintaan terhadap mi yang diberi warna lebih tinggi.

Untuk menunjang proses produksi dibutuhkan beberapa peralatan penting seperti mesin pengaduk, mesin pencetak, tungku pemasak, wajan, sendok pengaduk, tirisan, kipas angin, wajan minyak kacang, timbangan, serta meja pendinginan dan pengemasan.

Bahan yang digunakan dalam produksi mi terigu yaitu tepung terigu, air, tawas, pengenyal, air abu, soda asap, pewarna, dan minyak kacang. Proses produksi mi terigu tersebut terdiri dari beberapa tahapan. Tahap pertama produksi adalah pencampuran air, tawas, pengenyal, air abu, soda asap, dan pewarna, lalu ditambahkan tepung terigu dan dilakukan pengadukan adonan dengan mesin pengaduk (molen) selama 15 menit. Selanjutnya adonan yang telah homogen dimasukkan ke dalam mesin cetak. Setelah adonan tersebut dibentuk menjadi lembaran, selanjutnya mi dicetak, dan direbus selama lima menit. Mi ditiriskan dan diberi minyak kacang agar tidak lengket, lalu didinginkan dengan menggunakan kipas angin. Proses produksi mi basah dapat dilihat pada Gambar 6.


(45)

       

Gambar 6.Diagram alir proses produksi mi terigu basah

Tepung terigu (25 kg)

Tawas  +  Pengenyal  +  soda  asap  +  Air  +  Pewarna + abu soda 

Adonan homogen 

Minyak kacang 

Mi terigu (50 kg)  Perebusan (5 menit)  Pencampuran dalam molen  

(15 menit) 

Pencetakan mi dengan mesin  pencetak mi 

Pengemasan  Penirisan 

Pencampuran 


(46)

4.3.1.2. Produksi Mi Sagu

         

Gambar 7. Diagram alir proses produksi mi sagu basah

Tawas + Air + Pewarna 

Tepung sagu (5 kg) +  air (6 liter)

Adonan awal  Tepung sagu (20 kg) 

Minyak kacang 

Mi sagu (100 kg)  Perebusan (5 menit) 

Pencampuran hingga   adonan homogen 

Perebusan (1 menit)  Pencampuran hingga adonan 

homogen

Pencetakan mi dengan pencetak  hidrolik

Pengemasan  Perendaman (1 jam) 

Penirisan 


(47)

Perusahaan memproduksi rata-rata 64 bal mi sagu setiap harinya. Perbandingan tepung yang digunakan untuk produksi dengan jumlah mi sagu yang dihasilkan adalah satu banding empat (dalam kg). Jenis mi sagu yang diproduksi hanya yang berbentuk bulat dengan dua jenis warna. Perusahaan memproduksi mi berwarna kuning dan merah kecoklatan sesuai dengan permintaan pelanggan.

Dalam proses produksi diperlukan beberapa peralatan yaitu meja tempat mengaduk adonan, alat pencetak manual, tungku pemasak, wajan, ember untuk penyiapan adonan, ember perendaman mi, sendok pengaduk, tirisan, kipas angin, wajan minyak kacang, timbangan, serta meja pendinginan, dan pengemasan.

Proses produksi terdiri dari beberapa tahap yaitu pembuatan binder (campuran air, tawas, pewarna, dan 20 persen tepung sagu yang direbus selama lima menit hingga homogen), selanjutnya tepung sagu ditambahkan ke dalam binder sambil terus diaduk. Pengadukan dilakukan secara manual hingga terbentuk adonan yang kalis (licin). Adonan mi tersebut kemudian dicetak dan direbus selama kurang lebih satu menit. Mi dipindahkan ke dalam bak berisi air dibiarkan selama satu jam. Mi ditiriskan dan dilimuri minyak kacang agar tidak lengket. Proses produksi mi sagu basah dapat dilihat pada Gambar 7.

4.3.2. Kegiatan Pemasaran

Promosi dilakukan untuk mendorong pembelian produk secara lebih cepat dan lebih besar. Selain itu, promosi bertujuan mengkomunikasikan produk kepada masyarakat agar lebih dikenal. Kegiatan promosi dilakukan dengan memajang produk di tempat penjual atau distributor di pasar dengan memberikan sampel dari produk. Perusahaan mempunyai tiga orang tenaga pemasar yang sekaligus menjadi pengantar pesanan mi basah.

CV Taruna hanya melakukan kegiatan penjualan di pabrik saja dengan mengantarkan pesanan kepada pedagang. Perusahaan memiliki 20 orang pelanggan. Pelanggan merupakan distributor yang menjual mi basah kepada pengecer. Mereka melakukan pemesanan mi basah setiap harinya. Selanjutnya, mi basah dijual kepada pedagang pengecer seperti pedagang bakso, soto bogor, dan pedagang makanan olahan mi basah lainnya. Pengecer kemudian menjualnya


(48)

kepada konsumen akhir yang mengkonsumsi makanan siap santap. Alur kegiatan pemasaran CV Taruna dapat dilihat pada Gambar 8.

Pedagang

Gambar 8.Diagram alur kegiatan pemasaran CV Taruna

4.4. Karakteristik Responden

Responden terdiri dari produsen mi basah, pedagang, dan konsumen. Produsen yang menjadi responden yakni pengusaha mi basah. Sedangkan pedagang mi basah yang menjadi responden pada penelitian merupakan distributor mi yang menjual mi kepada pengecer. Distributor terdiri dari 20 orang. Distributor tersebar di beberapa lokasi berbeda yaitu di Pasar Leuwiliang, Pasar Ciampea, Pasar Bogor, Pasar Anyar, Pasar Cumpok, Pasar Ciawi, Cisarua, dan Caringin. Sementara, konsumen yang menjadi responden terdiri dari 30 orang. 4.4.1.Produsen

Pengusaha mi basah bernama Bapak Eman Sula Eman, berusia 39 tahun. Beralamat di Pancasan Baru RT 01 RW 12 Kelurahan Pasir Jaya, Bogor. Sedangkan pabrik mi basah berlokasi di tempat yang berbeda yaitu di RT 04 RW 12 Kelurahan Pasir Jaya, Bogor.

4.4.2.Distributor

Distributor perusahaan untuk mi terigu terdiri dari 20 orang yang dilakukan dua kali penilaian dengan dua kali percobaan produksi mi basah. Tidak semua pengisian kuesioner tahap kedua dilakukan oleh distributor yang melakukan pengisian kuesioner pada tahap pertama percobaan. Karakteristik distributor berdasarkan usia dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 6.

Perusahaan/ Produsen 


(49)

Tabel  6. Karakteristik distributor pabrik mi basah

Usia (Tahun)

Jenis Kelamin Jumlah

Wanita Pria

17-22 0 1 1

23-28 1 3 4

29-34 2 1 3

35-40 0 2 2

41-46 1 6 7

47-52 0 0 0

53-58 2 1 3

Jumlah 6 14 20

Distributor mi basah tersebar dibeberapa lokasi yaitu di Pasar Leuwiliang, Pasar Ciampea, Pasar Bogor, Pasar Anyar, Pasar Cumpok, Pasar Ciawi, Cisarua dan Caringin. Distributor pada masing-masing daerah mempunyai kriteria yang berbeda dalam memilih mi untuk mereka jual yaitu warna, tekstur, dan kelembutan. Semua distributor lebih menyukai tekstur yang kasar dan keras sebagai tanda bahwa mi tahan lebih lama dibandingkan dengan mi yang dengan tekstur lembut.

4.4.3.Konsumen Akhir

Konsumen akhir terdiri dari 30 orang yaitu 15 orang wanita dan 15 orang pria. Semua responden (100 persen) menyukai makanan olahan dari mi basah. Responden melakukan penilaian terhadap mi basah yang telah diolah lebih lanjut menjadi mi goreng. Karakteristik konsumen dapat dilihat lebih jelas pada Tabel 7. Tabel 7. Karakteristik konsumen akhir mi basah

Usia (Tahun)

Jenis Kelamin Jumlah

Wanita Pria

17-22 12 10 22

23-28 3 5 8


(50)

Setelah pengolahan data konsumen akhir dapat diketahui frekuensi responden dalam mengkonsumsi mi basah sebagai makanan yang disukai, dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8. Frekuensi konsumsi mi basah

Jenis Kelamin Frekuensi Jumlah

1 2 3 4

Wanita 4 5 2 4 15

Pria 2 5 6 2 15

Jumlah 6 10 8 6 30

Sedangkan data mengenai waktu mengkonsumsi mi basah oleh konsumen dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Waktu konsumsi mi basah

Pagi Siang Sore Malam Jumlah

Wanita 2 9 3 1 15

Pria 1 7 1 6 15

Jumlah 3 16 4 7 30 Diketahui bahwa 50 persen responden pernah mendengar MOCAF namun 50 persennya mengaku belum pernah mendengar MOCAF. Sebanyak 26 orang responden (86,67 persen) tertarik untuk mengkonsumsi mi yang menggunakan bahan baku campuran MOCAF dengan terigu, sedangkan empat orang responden (13,33persen) tidak tertarik untuk mengkonsumsinya.

4.5. Analisis Teknis dan Finansial 4.5.1.Penerimaan Teknis

Percobaan dilakukan dengan bantuan tiga pekerja sesuai pembagian kerjanya. Satu pekerja bertanggung jawab dalam proses pembuatan, pengadukan adonan, dan pencetakan mi. Satu pekerja merebus mi sementara satu orang pekerja lagi memberi minyak kacang pada mi yang telah direbus. Pada tahap selanjutnya mi didinginkan menggunakan kipas angin. Secara teknis, proses produksi mi tersebut memiliki tingkat dan jenis kesulitan yang berbeda untuk tiap campuran MOCAF, dapat dilihat pada Gambar 9. (Tabel pada Lampiran 14)


(51)

 

 

Gambar 9.Tingkat kesulitan pada produksi mi basah

Semua jenis mi yang diproduksi diberi perlakuan sama melalui proses produksi dan waktu yang sama. Perbedaan masing-masing percobaan adalah dalam persentase penggunaan jumlah tepung terigu dan MOCAF serta jumlah campuran, air dan air abu. Penggunaan air yang lebih banyak pada adonan mi 20 persen MOCAF dan 25 persen MOCAF karena adonan yang dirasa sangat kering. Sedangkan pada campuran (pengenyal, tawas dan soda asap) yang digunakan mengalami pengurangan jumlah. Namun jumlah air abu yang digunakan mengalami kenaikan untuk dapat menghasilkan tekstur mi yang lebih keras dan tidak lembek. Perubahan jumlah bahan yang digunakan secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 10.

25 persen MOCAF  15 persen MOCAF  10 persen MOCAF 

20 persen MOCAF 

Sama  Sama 

Sedikit lebih   sulit 

Tidak terdapat kesulitan 

- pengadukan dengan bantuan tangan - lembaran tidak mulus/ada retakan - harus dipindah pelan-pelan untuk

dicetak jadi mi - warna kurang rata - sedikit lengket

Sedikit lebih   sulit 

Tidak terdapat kesulitan 

- pengadukan dengan bantuan tangan - lembaran tidak mulus/ada retakan - harus dipindah pelan-pelan untuk

dicetak menjadi mi - warna kurang rata - sedikit lengket


(52)

Tabel 10. Perubahan komposisi bahan tambahan

Jenis Mi Satuan Air Campuran*) Air Abu

Mi 1(100% terigu) Liter 1,36 0,360 0,14

Mi 2 (80% terigu, 20% MOCAF)

Liter 1,36+0,15 = 1,51 0,150 0,40

Mi 3 (75% terigu, 25% MOCAF)

Liter 1,36+0,15 = 1,51 0,230 0,40

Ket : *) Campuran tawas, pengenyal, dan soda asap Hasil wawancara yang diperoleh, produsen mi basah mengalami kesulitan dalam mempersiapkan adonan karena penakaran yang berbeda dari komposisi bahan yang biasa dilakukan. Hal ini menyebabkan persiapan bahan sedikit lebih sulit. Sedangkan dalam proses produksi terdapat kesulitan pada pengadukan bahan karena melakukan percobaan dengan jumlah bahan-bahan yang berbeda menyebabkan pengadukan adonan lebih lama. Dengan jumlah tepung yang digunakan saat percobaan sedikit yakni lima kg dibandingkan kapasitas mesin pengaduk 25 kg, sehingga perlu bantuan pengadukan manual dengan tangan agar adonan rata.

Produsen mengaku tertarik untuk menggunakan tepung MOCAF yang belum dijual di pasar tradisional. Produsen kurang sesuai dengan harga MOCAF yang lebih mahal dari harga tepung terigu yang biasa digunakan, serta kualitas mi basah yang dihasilkan dengan kombinasi MOCAF tidak sebagus mi terigu 100 persen.

4.5.2.Analisis Benefit Cost Ratio

Penggunaan campuran MOCAF pada produksi mi basah menyebabkan perubahan biaya yang dikeluarkan untuk beberapa bahan yang digunakan. Perubahan pada bahan baku tepung terigu, MOCAF, campuran (pengenyal, tawas, dan soda asap) menyebabkan perubahan pada biaya produksi mi. Perubahan jumlah air yang merupakan air ledeng tidak menyebabkan perubahan signifikan pada biaya produksi dikarenakan kapasitas produksi yang kecil dan hanya dua kali percobaan.


(53)

Diketahui bahwa dengan peningkatan persentase penggunaan tepung MOCAF menimbulkan peningkatan biaya, namun terdapat pula penurunan biaya disebabkan penurunan jumlah penggunaan bahan tambahan lain yaitu campuran tawas, pengenyal dan soda asap. Setelah dilakukan perhitungan nilai Benefit Cost Ratio maka dapat diketahui bahwa nilai B/C mi 1 sebesar 1,3144, B/C mi 2 sebesar 1,3019 dan B/C mi 3 sebesar 1,2832. Karena nilai B/C mi 2 dan mi 3 lebih kecil dari B/C mi 1 maka usaha ini belum dapat dipilih untuk dijalankan.

Dari hasil perhitungan laba/rugi menunjukkan bahwa perubahan biaya produksi yang terjadi pada produksi mi kombinasi MOCAF dapat mengurangi keuntungan dan menyebabkan kerugian bagi produsen mi basah. Setelah penghitungan biaya produksi masing-masing mi diketahui bahwa biaya produksi mi 1 sebesar Rp. 3.432,70, sedangkan mi 2 sebesar Rp. 3.456,20, dan mi 3 sebesar Rp. 3.506,90. Rincian perubahan biaya produksi pada proses produksi dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Analisis Benefit Cost Ratio pada mi basah

Akun Satuan Terigu 100% MOCAF 0% Terigu 80% MOCAF 20% Terigu 75% MOCAF 25%

Tepung Terigu Cap Payung Rp 25.000 20.000 18.750

Tepung MOCAF Rp 0 6.000 7.500

Bahan Bakar Rp 2.466,67 2.466,67 2.466,67

Campuran Bumbu Rp 1.156,20 481,75 738,70

Pewarna Rp 220 220 220

Minyak Kacang Rp 3.150 3.150 3.150

Air + Listrik Rp 444 444 444

Biaya tenaga kerja Rp 1.800 1.800 1.800

Total biaya Rp 34.237 34.562 35.069

Marjin Rp/kg 1.076 1.044 993

Biaya produksi Rp/kg 3.423,7 3.456,2 3.506,9

Harga jual mi Rp/kg 4.500 4.500 4.500

Total perolehan Rp 45.000 45.000 45.000

Benefit Cost = B/C 1,3144 1,3019 1,2832

Dari analisis raba/rugi dapat disimpulkan bahwa penggunaan kombinasi MOCAF untuk membuat mi basah belum dapat dipilih karena akan menyebabkan kerugian dikarenakan harga tepung terigu Cap Payung (Rp 5000) yang digunakan


(54)

untuk produksi biasanya jauh lebih murah daripada harga tepung MOCAF (Rp 6000) ini sendiri. Sebagai perbandingan, dilakukan simulasi penghitungan biaya produksi dan analisis Benefit Cost Ratio untuk pengguna jenis tepung terigu lain. Terigu yang digunakan untuk simulasi adalah terigu dengan harga lebih mahal daripada terigu Cap Payung, seperti terigu Cakra Kembar, Segitiga Biru, dan Lencana Merah.

Apabila menggunakan terigu Cakra Kembar dengan harga pasar Rp7.500/kg, maka penggunaan kombinasi MOCAF dapat menurunkan biaya

produksi dan meningkatkan marjin. Berdasarkan analisis Benefit Cost Ratio

diketahui bahwa penggunaan kombinasi MOCAF meningkatkan nilai Ratio B/C, sehingga dapat dikatakan bahwa kombinasi MOCAF secara finansial dapat dipilih untuk membuat mi basah, dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Analisis Benefit Cost Ratio pengguna terigu Cakra Kembar

Satuan Terigu

100%

Terigu 80% MOCAF

20%

Terigu 75% MOCAF

25%

Biaya total produksi Rp/ 5 kg 46.737 44.562 44.444

Biaya produksi Rp/ kg 4.673,70 4.456,20 4.444,40

Marjin Rp/ kg -174 44 56

Ratio B/C 0,9628 1,0098 1,125

Apabila menggunakan terigu Segitiga Biru dengan harga Rp 7.000/kg, maka penggunaan kombinasi 20 persen MOCAF dapat menurunkan biaya produksi dan meningkatkan marjin, namun biaya produksi meningkat pada penggunaan 25

persen MOCAF. Berdasarkan analisis Benefit Cost Ratio diketahui bahwa

penggunaan kombinasi MOCAF dan terigu Segitiga Biru meningkatkan nilai Ratio B/C, sehingga secara finansial kombinasi MOCAF dapat dipilih untuk membuat mi basah. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 13.

     


(1)

Lampiran 12. Frekuensi Jawaban Distributor Mi

Variabel Jawaban Jenis Mi

Mi 1 Mi 2 Mi 3

Y1 1 0 0 1

2 7 8 5

3 8 9 8

4 11 11 13

5 4 2 3

Skor 102 97 102

Y2 1 1 1 0

2 7 11 8

3 8 13 10

4 11 4 8

5 3 1 4

Skor 98 83 98

Y3 1 0 0 6

2 5 10 5

3 7 10 6

4 18 10 12

5 0 0 1

Skor 103 90 87

Y4 1 2 0 3

2 11 6 5

3 9 7 6

4 7 14 13

5 1 3 3

Skor 84 104 98

Y5 1 0 2 2

2 3 9 6

3 6 11 8

4 15 8 14

5 6 0 0


(2)

Lampiran 13. Frekuensi Jawaban Konsumen Mi

Variabel Jawaban Jenis Mi

Mi 1 Mi 2 Mi 3

Y1 1 0 2 0

2 2 7 6

3 20 7 11

4 7 12 11

5 1 2 2

Skor 97 95 99

Y2 1 0 2 1

2 8 6 6

3 11 13 13

4 10 7 9

5 1 2 1

Skor 94 91 93

Y3 1 0 0 0

2 5 9 2

3 11 11 11

4 11 8 13

5 3 2 4

Skor 102 93 109

Y4 1 1 0 2

2 12 3 4

3 13 14 10

4 4 10 10

5 0 3 4

Skor 80 103 100

Y5 1 0 0 0

2 4 7 7

3 7 10 8

4 15 12 14

5 4 1 1


(3)

Lampiran 14. Tabel Tingkat Kesulitan pada Produksi Mi Basah

No Campuran MOCAF

Tingkat Kesulitan Jenis Kesulitan 1 10% ( ) Sangat lebih sulit

( ) Sedikit lebih sulit ( x ) Sama

( ) Sedikit lebih mudah ( ) Sangat lebih mudah

Tidak terdapat kesulitan pada penyiapan adonan dan proses produksi, namun perbedaan takaran menyebabkan persi-apan yang lebih lama

2 15% ( ) Sangat lebih sulit ( ) Sedikit lebih sulit ( x ) Sama

( ) Sedikit lebih mudah ( ) Sangat lebih mudah

Tidak terdapat kesulitan pada penyiapan adonan dan proses produksi, namun perbedaan takaran menyebabkan persi-apan yang lebih lama

3 20% ( ) Sangat lebih sulit ( x ) Sedikit lebih sulit ( ) Sama

( ) Sedikit lebih mudah ( ) Sangat lebih mudah

Pengadukan dengan bantuan tangan, lembaran tidak mu-lus/ada retakan, dan harus pindah pelan-pelan untuk di-cetak, warna kurang rata, se-dikit lengket

4 25% ( ) Sangat lebih sulit ( x ) Sedikit lebih sulit ( ) Sama

( ) Sedikit lebih mudah ( ) Sangat lebih mudah

Pengadukan dengan bantuan tangan, lembaran tidak mu-lus/ada retakan, dan harus pindah pelan-pelan untuk di-cetak, warna kurang rata, se-dikit lengket


(4)

Lampiran 15. Foto Mi Basah yang Disajikan kepada Distributor

Mi 1 (0% MOCAF)

Mi 2 (20% MOCAF)


(5)

Lampiran 16. Resep Olahan Mi Basah

Mie Goreng

Bahan :

• Mie basah ½ kg • Bawang merah 6 siung

• Bawang putih 3 siung • Daun bawang dan seledri

• Merica 6 butir • Cabe merah 3 buah • Garam secukupnya

• Tomat ½ buah • Minyak goreng 1/8 kg • Kecap secukupnya

Penyajian :

1. Potong-potong bawang merah, bawang putih, daun bawang, seledri, cabe merah (sebagian), dan tomat serta haluskan cabe dan merica. 2. Tumis bawang merah, bawang putih, cabe dan merica halus. 3. Masukkan potongan daun bawang, seledri, cabe, dan tomat. 4. Masukkan mi, kecap, dan garam secukupnya.

5. Setelah masak, sajikan


(6)

Lampiran 17. Foto Mi Goreng yang Disajikan kepada Konsumen Akhir

Mi 1 (0% MOCAF)

Mi 2 (20% MOCAF)