Orientasi Konsumen Dalam Pola Konsumsi

22 hidup puritan itu hadir pada kelahiran manusia ekonomi modern.” Weber, 2006 : 314 Sudah jelas bahwa justru kelas-kelas dan golongan-golongan status yang baru muncul itu, yaitu yang kepentingan-kepentingan materialnya terletak dalam cara-cara produksi kapitalis, juga melihat dalam pendapat-pendapat Calvinistis itu suatu pembenaran bagi cara hidup mereka dan karenanya juga bagi pemenuhan kepentingan-kepentingan ideal mereka. Karena itu terdapat suatu afinitas selektif antara kepentingan-kepentingan kelas-kelas serta golongan-golongan status ini dengan ajaran Calvinis, dan dapatlah Reformasi berakar justru diantara golongan- golongan sosial ini. Layendecker, 1983 : 339-341

2.2. Orientasi Konsumen Dalam Pola Konsumsi

Parsons mengembangkan kerangka A-G-I-L untuk menganalisa persyaratan fungsional dalam semua sistem sosial. Adapun kerangka A-G-I-L yaitu : A-Adaptation, menunjuk pada keharusan bagi sistem-sistem sosial untuk menghadapi lingkungannya. Lingkungan, seperti yang sudah kita ketahui, meliputi yang fisik dan yang sosial. Untuk suatu kelompok kecil, lingkungan sosial akan terdiri dari satuan institusional yang lebih besar dimana kelompok itu berada. Untuk sistem-sistem yang lebih besar, seperti misalnya masyarakat keseluruhan, lingkungan akan meliputi sistem-sistem sosial lainnya dan linkungan fisik. G-Goal attainment, merupakan persyaratan fungsional yang muncul dari pandangan Parsons bahwa tindakan itu diarahkan pada tujuan-tujuannya. Namun perhatian yang diutamakan disini bukanlah tujuan pribadi individu melainkan tujuan bersama Universitas Sumatera Utara 23 anggota dalam suatu sistem sosial. Dalam salah satu dari kedua hal itu, pencapaian tujuan merupakan sejenis kulminisasi tindakan yang secara intrinsik memuaskan, dengan mengikuti kegiatan-kegitan penyesuaian persiapan. Menurut skema alat tujuan pencapaian maksud ini adalah tujuannya sedangkan kegiatan penyesuaian yang sudah terjadi sebelumnya merupakan alat untuk merealisasi tujuan ini. I-integration, merupakan persyaratan yang berhubungan dengan interalasi antara para anggota dalam sistem sosial itu. Supaya sistem sosial itu berfungsi secara efektif sebagai satu satuan, harus ada paling kurang suatu tingkat solidaritas diantara individu yang termasuk didalamnya. Masalah integrasi menunjuk pada kebutuhan untuk menjamin bahwa ikatan emosional yang cukup yang menghasilkan solidaritas dan kerelaan untuk bekerjasama dikembangkan dan dipertahankan. Ikatan-ikatan emosional ini tidak boleh tergantung pada keuntungan yang diterima atau sumbagan yang diberikan untuk tercapainya tujuan inidividu atau kolektif. L-latent pattern maintenance. Konsep latensi menunjukan ada berhentinya interaksi. Para anggota dalam sistem sosial apa saja bisa letih dan jenuh serta tunduk pada sistem sosial lainnya dimana mungkin mereka terlibat. Karena itu, semua sistem sosial harus berjaga-jaga bilamana sistem itu sewaktu-waktu kocar-kacir dan para anggotanya tidak lagi bertindak atau berinteraksi sebagai anggota sistem. Teori Parson yang umum sifatnya mengenai tindakan sosial menekankan orientasi subyektif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu. Pilihan-pilihan ini secara normatif diatur atau dikendalikan oleh nilai dan standar normatif bersama. Hal ini berlaku untuk tujuan-tujuan yang ditentukan individu serta alat-alat yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Prinsip-prinsip dasar ini menurut Parson Universitas Sumatera Utara 24 bersifat universal dan mengendalikan semua tipe perilaku manusia, tanpa memandang konteks sosial budaya tertentu. Sebagian besar analisa yang terdapat dalam buku Toward A General Theory of Action meliputi pengembangan pelbagai kategori dan sistem klasifikasi untuk menganalisa orientasi subjektif individu. Diantara sistem-sistem klasifikasi ini, variabel-variabel berpola mungkin yang paling banyak dikenal dan paling sering dikutip. Tetapi, variabel-variabel ini harus dilihat dalam konteks kerangka Parson yang lebih umum sifatnya. Dalam kerangka umum itu, orientasi yang bertindak itu terdiri dari dua elemen dasar : orientasi motivasional dan orientasi nilai. Orientasi motivasional menunjuk pada keinginan individu yang bertindak itu untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi kekecewaan. Satu segi dari permasalahan ini adalah ikhtiar untuk menyeimbangkan kebutuhan-kebutuhan langsung yang memberikan kepuasan dengan tujuan-tujuan jangka panjang. Orientasi nilai menunjuk pada standar-standar normatif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu alat dan tujuan dan prioritas sehubungan dengan adanya kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan yang berbeda. Masing-masing elemen dalam orientasi individu selanjutnya dibagi lagi ke dalam tiga dimensi yang berbeda-beda, masing-masing ada dalam setiap orientasi individu. Dimensi-dimensi itu adalah sebagai berikut : 1. Orientasi motivasional 2. Orientasi Nilai a. dimensi kognitif a. dimensi kognitif b. dimensi katektik b. dimensi apresiatif c. dimensi evaluatif c. dimensi moral Universitas Sumatera Utara 25 Dimensi kognitif dalam orientasi motivasional pada dasarnya menunjuk pada pengetahuan orang yang bertindak itu mengenai situasinya, khususnya kalau dihubungkan dengan kebutuhan dan tujuan-tujuan pribadi. Dimensi ini mencerminkan kemampuan dasar manusia untuk membedakan antara rangsangan- rangsangan yang berbeda dan membuat generalisasi dari satu rangsangan dengan rangsangan lainnya. Dimensi katetik dalam orientasi motivasional menunjuk pada reaksi afektif atau emosional dari orang yang bertindak itu terhadap situasi atau pelbagai aspek di dalamnya. Ini juga mencerminkan kebutuhan dan tujuan individu. Umumnya, orang memiliki suatu reaksi emosional positif terhadap elemen-elemen dalam lingkungan itu yang memberikan kepuasan atau dapat digunakan sebagai alat dalam mencapai tujuan; dan reaksi yang negatif terhadap aspek-aspek dalam lingkungan itu yang mengecewakan. Dimensi evaluatif dalam orientasi motivasional menunjuk pada dasar pilihan seseorang antara orientasi kognitif atau katektif secara alternatif. Ketiga dimensi yang terdapat dalam orientasi nilai tampaknya sama dengan ketiga dimensi dalam orientasi motivasional. Tetapi Parson tetap berpendirian untuk tetap mempertahankan ketiga pembedaan itu dengan mengatakan bahwa meskipun ada saling ketergantungan, dimensi-dimensi itu bisa berdiri sendiri. Perbedaan yang prinsipil adalah bahwa komponen-kompenen dalam orientasi nilai menunjuk pada standar normatif umum, bukan keputusan dengan orientasi tertentu. Jadi dimensi kognitif dalam orientasi nilai menunjuk pada standar-standar yang digunakan dalam menerima atau menolak pelbagai interpretasi kognitif mengenai situasi, dimensi apresiatif menunjuk pada standar yang tercakup dalam pengungkapan perasaan atau Universitas Sumatera Utara 26 keterlibatan afektif. Yang terakhir, dimensi moral dalam orientasi nilai menunjuk pada standar-standar abstrak yang digunakan untuk menilai tipe-tipe tindakan alternatif menurut implikasinya terhadap sistem itu secara keseluruhan baik individu maupun sosial dimana tindakan itu berakar. Orientasi nilai keseluruhan mempengaruhi dimensi evaluatif dalam orientasi motivasional. Johnson, Paul Doyle, 1990 : 113-115 Konsumsi dipandang dalam Sosiologi bukan sebagai sekedar pemenuhan kebutuhan yang bersifat fisik dan biologis manusia tetapi berkait kepada aspek-aspek sosial budaya. Konsumsi berhubungan dengan masalah selera, identitas atau gaya hidup. Sosiologi memandang selera sebagai sesuatu yang dapat berubah, difokuskan pada kualitas simbolik dari barang, dan tergantung pada persepsi tentang selera dari orang lain. Dalam Sosiologi paling tidak terdapat dua sudut pandang dalam melihat selera, yaitu pandangan Weber dan pandangan Veblen. Menurut pandangan Weber selera merupakan pengikat kelompok dalam in group. Aktor-aktor kolektif atau kelompok status, berkompetisi dalam penggunaan barang-barang simbolik. Keberhasilan dalam berkompetisi ditandai dengan kemampuan untuk memonopoli sumber-sumber budaya, akan meningkatkan prestise dan solidaritas kelompok dalam. Sedangkan Veblen memandang selera sebagai senjata dalam berkompetisi. Kompetisi tersebut berlangsung antar pribadi, antara seseorang dengan orang lain. Jika dalam masyarakat tradisional, keperkasaan seseorang sangat dihargai; sedangkan dalam masyarakat modern, penghargaan diletakkan atas dasar selera dengan mengkonsumsi sesuatu yang merupakan refleksi dari pemilikan. Universitas Sumatera Utara 27 Konsumsi dapat dilihat sebagai pembentuk identitas. Barang-barang simbolis dapat juga dipandang sebagai sumber dengan mana orang mengkonstruksi identitas dan hubungan-hubungan dengan orang lain yang menempati dunia simbolis yang sama. Seperti yang disebut oleh Simmel ego akan runtuh dan kehilangan dimensinya jika ia tidak dikelilingi oleh objek eksternal yang menjadi ekspresi dari kecenderungannnya, kekuatan dan cara individualnya karena mereka mematuhinya, atau dengan kata lain, miliknya. Menurut Weber konsumsi terhadap suatu barang, merupakan gambaran gaya hidup tertentu dari kelompok status tertentu. Konsumsi terhadap barang merupakan landasan bagi penjenjangan dari kelompok status. Dengan demikian ia dibedakan dari kelas yang landasan penjenjangannya adalah hubungan terhadap produksi dan perolehan barang-barang. Juga ditegaskan oleh Weber jika situasi kelas ditentukan secara murni ekonomi sedangkan situasi status ditentukan oleh penghargaan sosial terhadap kehormatan. Sedangkan Veblen, seperti pembahasan tentang selera di atas, melihat dalam masyarakat luas penghargaan sosial diletakkan atas dasar keperkasaan. Keperkasaan ditunjukkan dengan aktifitas agresif secara fisik, seperti perang. Sedangkan dalam masyarakat industri diperlukan penghargaan lain sebagai pengganti keperkasaan yaitu simbol-simbol yang tampak dari pemilikan kesejahteraan seseorang. Dengan meningkatnya urbanisasi, penggunaan waktu luang tidak lagi tepat sebagai indikator dari status. Dalam masyarakat seperti ini, konsumsi yang menyolok lebih tepat daripada penggunaan waktu luang sebagai indikator dari gaya hidup kelompok status. Universitas Sumatera Utara 28 Dalam perkembangan studi tentang gaya hidup, menurut Hans-Peter Mueller 1989 terdapat empat pendekatan dalam memahami gaya hidup yaitu : 1. Pendekatan psikologi perkembangan. Pendekatan ini berasumsi bahwa tindakan sosial tidak hanya disebabkan oleh teknik, ekonomi, dan politik tetapi juga dikarenakan perubahan nilai. Pendekatan ini melihat gaya hidup, atas nilai dan kebutuhan yang dimiliki. 2. Pendekatan kuantitatif sosial struktur. Pendekatan ini mengukur gaya hidup berdasarkan konsumsi yang dilakukan seseorang : sangat berhasil visible success, pemeliharaan maintenance, sedang high-life, dan konsumsi rumah tangga Home life. Pendekatan ini menggunakan sederetan daftar konsumsi yang mempunyai skala nilai. Dengan membuat skala nilai maka pengukuran kuantitatif dapat dilakukan. 3. Pendekatan kualitatif dunia kehidupan. Pendekatan ini memandang gaya hidup sebagai lingkungan pergaulan miliu. Ia meletakkan seseorang pada miliu yang ditentukan oleh keadaan hidup dan gaya hidup subyektif yang dimiliki.

4. Pendekatan kelas. Pendekatan ini mempunyai pandangan bahwa gaya hidup

merupakan rasa budaya yang direproduksi bagi kepentingan struktur kelas. Damsar, 1997 : 121-123 . Eduard Spranger, tokoh utama aliran ini adalah guru besar ilmu filsafat dan ilmu pendidikan di Universitas-Universitas Leipzig, Berlin, Tubingen. Karya Universitas Sumatera Utara 29 utamanya yang mempersoalkan kepribadian manusia ini ialah : Lebensformen, Geistewissenschaft-liche Psychologie und Ethic der Personlichkeit. Kebudayaan kultur oleh Spranger dipandang sebagai sistem nilai-nilai karena kebudayaan itu tidak lain adalah kumpulan nilai-nilai kebudayaan yang tersusun atau diatur menurut struktur tertentu. Kebudayaan sebagai sistem atau struktur nilai-nilai ini oleh Spranger digolong-golongkan menjadi enam lapangan nilai. Keenam lapangan hidup ini masih dikelompokkan lagi menjadi dua kelompok yaitu : a Lapangan-lapangan yang bersangkutan dengan manusia sebagai individu, yang meliputi empat lapangan nilai yaitu :  Lapangan pengetahuan ilmu, teori  Lapangan ekonomi  Lapangan kesenian  Lapangan keagamaan b Lapangan-lapangan nilai yang bersangkutan dengan manusia sebagai anggota masyarakat. Lapangan ini menyangkut manusia dengan kekuatan cinta dan cinta akan kekuasaan. Kelompok ini menyangkut dua nilai yaitu :  Lapangan kemasyarakatan  Lapangan politik Jadi menurut Spranger dalam kebudayaan itu terdapat adanya enam macam lapangan nilai, atau yang disebut juga bentuk-bentuk kehidupan. Tipe-tipe manusia menurut Spranger itu secara singkat dapat diikhtisarkan dalam tabel berikut ini : Universitas Sumatera Utara 30 Nilai kebudayaan yang dominan Tipe Tingkah laku dasar Ilmu pengetahuan Manusia teori Berpikir Ekonomi Manusia ekonomi Bekerja Kesenian Manusia estetis Menikmati keindahan Keagamaan Manusia agama Memuja kemasyarakatan Manusia sosial berbakti Politik Manusia kuasa Ingin berkuasa memerintah Dalam bukunya lebensformen, Spranger memberikan pencandraan deskripsi masing-masing tipe itu secara luas. Secara garis besar dapatlah dikemukakan hal yang berikut ini. Seseorang itu corak sikap hidupnya ditentukan oleh nilai kebudayaan mana yang dominan, yaitu nilai kebudayaan mana yang olehnya dipandang sebagai nilai yang tertinggi. Ia akan memandang segala sesuatu, jadi juga nilai-nilai kebudayaan yang lain, dengan kacamata nilai yang dihargainya paling tinggi itu, yaitu dari kacamata nilai-nilai yang dominan itu. Sehingga nilai-nilai kebudayaan yang lain itu akan diwarnai juga oleh nilai yang dominan itu. 1 Manusia teori Seorang manusia teori adalah seorang intelektualis sejati, manusia ilmu. Cita- cita utamanya ialah mencapai kebenarannya dan hakikat daripada benda-benda. Banyak sekali motifnya mengusahakan ilmu pengetahuan itu hanya semata-mata untuk ilmu pengetahuan tersebut tanpa mempersoalkan faedah atau hasilnya. Tujuan yang dikejar manusia teori adalah pengetahuan yang objektif, sedangkan segi lain misalnya seperti soal-soal moral, keindahan dan sebagainya terdesak ke belakang. Ia adalah ahli pikir yang logis dan memiliki pengertian-pengertian yang jelas serta Universitas Sumatera Utara 31 membenci segala bentuk kekaburan. Dalam kehidupan sehari-hari ia adalah seorang pecinta kebenaran dan konsekuen. 2 Manusia ekonomi Orang-orang yang termasuk golongan manusia ekonomi ini selalu kaya akan gagasan-gagasan yang praktis, kurang memperhatikan bentuk tindakan yang dilakukannya, sebab perhatiannya terutama tertuju kepada hasil daripada tindakan itu, hasilnya bagi dirinya sendiri. Manusia golongan ini akan menilai segala sesuatu hanya dari segi kegunaannya dan nilai ekonomisnya; dia bersikap egosentris, hidupnya dan kepentingannya sendirilah yang penting, dan orang-orang lain hanya menarik perhatiannya selama mereka masih berguna baginya, penilaian yang dikemukakannya terhadap orang lain, yang dikenakannya terhadap sesama manusia terutama didasarkan kepada kemampuan kerja dan prestasinya. 3 Manusia estetis Manusia estetis menghayati kehidupan seakan-akan tidak sebagai pemain, tetapi sebagai penonton, dia selalu sebagai seorang impresionis, yang menghayati kehidupan secara pasif, disamping itu dapat juga dia sebagai seorang ekspresionis, yang mewarnai segala kesan yang diterimanya dengan pandangan jiwa subjektifnya. Juga manusia estetis itu berkecenderungan ke arah individualisme; hubungan dengan orang-orang lain kurang kekal. 4 Manusia agama Menurut Spranger inti daripada hal keagamaan itu terletak dalam pencarian terhadap nilai tertinggi daripada keberadaan ini; siapa yang belum mantap akan hal ini belumlah mencapai apa yang seharusnya dikejarnya, dia belum mencapai dasar Universitas Sumatera Utara 32 yang kuat dalam hidupnya. Sebaliknya siapa yang sudah mencapai titik tertinggi itu akan merasa bebas, tenteram dalam hidupnya. Bagi seorang yang termasuk golongan tipe ini segala sesuatu itu diukur dari segi artinya bagi kehidupan rohaniah kepribadian, yang ingin mencapai keselarasan antara pengalaman batin dengan arti daripada hidup ini. 5 Manusia sosial Sifat utama daripada manusia golongan tipe ini adalah besar kebutuhannya akan adanya resonansi dari sesama manusia, butuh hidup diantara manusia-manusia lain dan ingin mengabdi kepada kepentingan umum. Nilai yang dipandangnya sebagai nilai yang paling tinggi adalah “cinta terhadap sesama manusia“ baik yang tertuju kepada individu tertentu maupun yang tertuju kepada kelompok manusia. 6 Manusia kuasa Manusia kuasa bertujuan untuk mengejar kesenangan dan kesadaran akan kekuasaannya sendiri, dorongan pokoknya adalah ingin berkuasa, semua nilai-nilai yang lain diabdikan kepada nilai yang satu ini. Kalau manusia ekonomi mengejar akan penguasaan benda-benda, maka manusia kuasa mengejar penguasaan atas manusia. Suryabrata, 1998 : 84-92 Universitas Sumatera Utara 33 BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian