Keberadaan Swalayan Syari’ah dan Orientasi Nilai Konsumen Berbelanja di Swalayan Syari’ah.

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

KEBERADAAN SWALAYAN SYARI’AH DAN

ORIENTASI NILAI KONSUMEN BERBELANJA DI

SWALAYAN SYARI’AH

( St u di D e sk r ipt if pa d a Sw a la y a n M a din a h Sy a r i’a h y a n g Be r lok a si di Pla z a M ile n iu m M e da n )

SKRIPSI

Diajukan Oleh :

H a r u W in a r di 020901036

SOSIOLOGI

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh :

Nama : Haru Winardi

NIM : 020901036

Departemen : Sosiologi

Judul : Keberadaan Swalayan Syari’ah dan Orientasi Nilai Konsumen

Berbelanja di Swalayan Syari’ah

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Dra. Lina Sudarwati, M.Si Dr. Badaruddin, M.Si NIP. 131 837 037 NIP. 131 996 175

Dekan

Prof. Dr. Arief Nasution, MA NIP. 131 757 010


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di depan

Panitia Penguji Skripsi Sosiologi

Hari : Selasa

Tanggal : 03 April 2007

Pukul : 12.00 WIB

Tempat : Ruang Sidang

Tim Penguji

Ketua Penguji : DR. Badaruddin, M.Si ( )

Penguji I (Pembimbing) : Henri F. Sitorus, S.Sos, M.Sc ( )


(4)

Abstraksi

Saat ini begitu banyak lembaga-lembaga ekonomi yang beroperasional dengan memakai sistem syari’ah. Pada saat terjadinya krisis yang melanda negri ini dimana pada saat itu bank-bank konvensional kehilangan keseimbangan akibat inflasi, hanya bank yang memakai sistem syari’ah yang mampu bertahan pada situasi sulit saat itu. Umat Islam yang mayoritas di Indonesia seharusnya menjadi lahan yang subur bagi perkembagan sistem syari’ah akan tetapi justru perkembangan sistem syari’ah di Indonesia jauh tertinggal oleh negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Lembaga-lembaga ekonomi yang memakai sistem syari’ah diantaranya adalah bank, leasing, asuransi, perhotelan dan swalayan. Untuk yang terakhir ini swalayan Madinah Syari’ah adalah satu-satunya swalayan di Indonesia yang memakai sistem syari’ah dalam operasionalisasinya. Kehadirannya di tengah-tengah menjamurnya swalayan konvensional dengan membawa isu halal serta alasan orang berbelanja disana membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan kombinasi antara dua pendekatan penelitian yaitu kualitatif dan kuantitatif. Dengan memakai pendekatan studi deskriptif yaitu untuk menggambarkan apa yang peneliti temukan di lapangan. Adapun alasan penulis memakai dua metode penelitian disini adalah untuk lebih dapat melihat lebih jauh gambaran tentang keberadaan swalayan syari’ah dan orientasi konsumen berbelanja di swalayan syari’ah. Lokasi penelitian yaitu di swalayan Madinah Syari’ah yang terletak di Plaza Millenium jalan Kapten Muslim, Medan. Dengan unit analisis pemilik dari swalayan Madinah Syari’ah dan juga para konsumen yang berbelanja di swalayan Madinah Syari’ah.

Dari hasil penelitian di swalayan Madinah Syari’ah diketahui bahwa swalayan ini didirikan bukan hanya karena sebagai salah satu strategi pemasaran akan tetapi dengan usaha pemiliknya melakukan rebranding Macan syari’ah dari Macan group dan merubah namanya menjadi Madinah Syari’ah membuktikan keseriusan pemiliknya untuk menjalankan operasionalisasi swalayannya secara menyeluruh sesuai dengan ajaran Islam. Dimana mereka hanya menjual produk yang bersertifikasi halal dan yang mereka yakini bahwa produk itu adalah halal. Sedangkan bagi para konsumen yng memilih berbelanja di sini karena produk yang dijual halal, karena ajaran agama, karena sistem bagi hasil dan juga karena suasana Islami yang mampu dihadirkan oleh swalayan Madinah Syari’ah ini.


(5)

DAFTAR ISI

Halaman BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ……… 1

1.2. Perumusan Masalah ……… 9

1.3. Tujuan Penelitian ………... 9

1.4. Manfaat Penelitian ………... 10

1.5. Definisi Konsep ………... 10

BAB II. KAJIAN PUSTAKA ……… 15

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ……… 33

3.2. Lokasi Penelitian ………. 33

3.3. Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ………... 34

3.4. Teknik Pengumpulan Data ……….. 36

3.5. Teknik Analisa Data ………. 37

3.6. Jadwal Kegiatan ……….. 39

3.7. Keterbatasan Penelitian ……….. 40

BAB IV. DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ………. 41

4.1.1. Perkembangan Bisnis Ritel Modern ……….. 41

4.1.2. Gambaran Umum Swalayan Madinah Syariah ……… 44

4.1.2.1. Sejarah dan Perkembangan Swalayan Madinah Syariah ……… 44

4.1.2.2. Struktur Organisasi dan Manajemen Swalayan Madinah Syariah .……….. 47

4.2. Karakteristik Responden dan Profil Informan ………. 49

4.2.1. Karakteristik Responden ……… 49

4.2.2. Profil Informan ………... 55

4.3. Tujuan dan Faktor Berdirinya Swalayan Madinah Syariah ………. 59

4.4. Kelebihan dan Keunggulan ………... 62

4.5. Strategi Menjaring Konsumen ……….. 63

4.6. Alokasi Keuntungan Perusahaan ……….. 68

4.7. Pemahaman Ekonomi Syariah di Masyarakat ……….. 71

4.8. Orientasi Nilai Konsumen Berbelanja di Swalayan Madinah Syariah 72 4.9. Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Konsumen Berbelanja di Swalayan Madinah Syariah ……… 76

4.10. Harga dan Pelayanan ………... 84


(6)

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ………... 90 5.2. Saran ………. 92

DAFTAR PUSTAKA


(7)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Gambar Siklus Tahapan Analisis Data …..……….. 32

2. Gambar Struktur Organisasi & Manajemen ……..……….. 42

3. Gambar Tingkat Pendidikan Informan ….……….. 47


(8)

Abstraksi

Saat ini begitu banyak lembaga-lembaga ekonomi yang beroperasional dengan memakai sistem syari’ah. Pada saat terjadinya krisis yang melanda negri ini dimana pada saat itu bank-bank konvensional kehilangan keseimbangan akibat inflasi, hanya bank yang memakai sistem syari’ah yang mampu bertahan pada situasi sulit saat itu. Umat Islam yang mayoritas di Indonesia seharusnya menjadi lahan yang subur bagi perkembagan sistem syari’ah akan tetapi justru perkembangan sistem syari’ah di Indonesia jauh tertinggal oleh negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Lembaga-lembaga ekonomi yang memakai sistem syari’ah diantaranya adalah bank, leasing, asuransi, perhotelan dan swalayan. Untuk yang terakhir ini swalayan Madinah Syari’ah adalah satu-satunya swalayan di Indonesia yang memakai sistem syari’ah dalam operasionalisasinya. Kehadirannya di tengah-tengah menjamurnya swalayan konvensional dengan membawa isu halal serta alasan orang berbelanja disana membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan kombinasi antara dua pendekatan penelitian yaitu kualitatif dan kuantitatif. Dengan memakai pendekatan studi deskriptif yaitu untuk menggambarkan apa yang peneliti temukan di lapangan. Adapun alasan penulis memakai dua metode penelitian disini adalah untuk lebih dapat melihat lebih jauh gambaran tentang keberadaan swalayan syari’ah dan orientasi konsumen berbelanja di swalayan syari’ah. Lokasi penelitian yaitu di swalayan Madinah Syari’ah yang terletak di Plaza Millenium jalan Kapten Muslim, Medan. Dengan unit analisis pemilik dari swalayan Madinah Syari’ah dan juga para konsumen yang berbelanja di swalayan Madinah Syari’ah.

Dari hasil penelitian di swalayan Madinah Syari’ah diketahui bahwa swalayan ini didirikan bukan hanya karena sebagai salah satu strategi pemasaran akan tetapi dengan usaha pemiliknya melakukan rebranding Macan syari’ah dari Macan group dan merubah namanya menjadi Madinah Syari’ah membuktikan keseriusan pemiliknya untuk menjalankan operasionalisasi swalayannya secara menyeluruh sesuai dengan ajaran Islam. Dimana mereka hanya menjual produk yang bersertifikasi halal dan yang mereka yakini bahwa produk itu adalah halal. Sedangkan bagi para konsumen yng memilih berbelanja di sini karena produk yang dijual halal, karena ajaran agama, karena sistem bagi hasil dan juga karena suasana Islami yang mampu dihadirkan oleh swalayan Madinah Syari’ah ini.


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kalau bicara soal jumlah penduduk muslim, Indonesia jelas berada di atas

Malaysia apalagi kalau dibandingkan dengan Singapura. Dengan komposisi

penduduk muslim sekitar 80 % bila dihitung dari 220 juta orang, berarti jumlah

penduduk muslim Indonesia mencapai 176 juta orang. Bandingkan dengan jumlah

penduduk muslim Malaysia sekitar 14 juta orang dan penduduk muslim Singapura

yang tak lebih dari 1 juta orang. Semestinya jumlah penduduk muslim yang besar itu

menjadi basis yang kuat bagi pengembangan bisnis syari’ah tapi faktanya sampai saat

ini peran bisnis syari’ah di Indonesia masih sangat kecil, bahkan jauh tertinggal

dibandingkan Malaysia dan Singapura. (komang Darmawan dalam Menanti Geliat Si

Macan Tidur, 2006)

Bagi masyarakat, pemahaman akan ekonomi syari’ah belum tersosialisasi

dengan baik. Kalaupun ekonomi syari’ah dikenal, masyarakat lebih banyak mengenal

bank syari’ah. Padahal ekonomi syari’ah tidak hanya kegiatan bisnis perbankan berbasis syari’ah, tetapi juga sudah merambah sektor lain, seperti reksadana,

perhotelan, asuransi (takaful/social protection), bursa efek, multilevel marketing

hingga penyiaran (broadcast). Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa


(10)

Pimpinan Bank Indonesia (BI) Medan, Dr. Romeo Rissal Pandjialam MA,

menjelaskan ada beberapa pemikiran yang dinilai cukup cocok dengan struktur,

kultur dan kondisi masyarakat. Pertama filosofi ekonomi syari’ah untuk

mensejahterakan rakyat, jelasnya. Kedua, ekonomi syari’ah bertujuan menggerakkan

perekonomian rakyat, mengingat ajarannya yang mengingatkan untuk meningkatkan

taraf hidup. Ketiga, ekonomi syari’ah tidak diperuntukkan hanya kepada umat Islam

semata, tapi berlaku universal sepanjang tidak melanggar koridor akidah. Kemudian

keempat, salah satu tujuan ekonomi syari’ah adalah untuk membangun kemampuan

umat. Kelima, konsep ekonomi ini tidak harga mati dan tetap dapat disesuaikan

dengan kondisi lokal. Keenam, yang cukup penting dan patut disadari bahwa

ekonomi syari’ah tidak bisa secara serta merta diadu dengan sistem ekonomi lain.

Ketujuh, bank syari’ah bukanlah ekonomi syari’ah sebab hanya salah satu alat utama

untuk menjalankan roda ekonomi berdasarkan syari’ah. Kedelapan, Islam memerangi

segala bentuk riba secara sungguh-sungguh, walaupun begitu harus ada kajian

mendalam untuk membangun bank dengan dasar memerangi praktik pembungaan

uang tersebut. (Waspada Online dalam Ekonomi Syariah Utamakan Rakyat Bawah,

2006 )

Berada di posisi yang tanggung seringkali memang sulit untuk bisa meraih

keuntungan. Bahkan, bisa terjepit pada posisi yang semakin sulit. Kondisi itulah

yang kini dihadapi oleh kalangan pengelola swalayan (supermarket). Supermarket

dicirikan sebagai tempat usaha yang menyediakan barang kebutuhan rumah tangga,

termasuk sembilan bahan pokok eceran dengan cara swalayan. Biasanya, lantai ritel


(11)

primadona dengan menawarkan kenyamanan belanja, harga yang bersaing, serta

produk beragam dengan kualitas yang relatif terjamin. Berikut adalah hasil survei

pertumbuhan pasar swalayan di beberapa negara.

Pangsa pasar swalayan (%)

Negara 2002 2003 2004

Indonesia 18 16 15

Taiwan 24 22 19

Filipina 48 45 42

Jepang 62 62 61

Korea 30 28 27

Hongkong 72 68 70

Singapura 52 54 57

Sumber : AC Nielsen, 2005.http://www.sajadah.net

Banyak berdirinya pusat-pusat perbelanjaan modern semisal mal, supermarket

atau hypermarket, menjadi daya tarik konsumen untuk berbelanja di tempat-tempat

tersebut. Dulu, tempat-tempat seperti ini masih dianggap sebagai tempat belanja

orang-orang dari kalangan ekonomi berkecukupan. Namun, lama-kelamaan tempat

ini juga diminati oleh semua kalangan. Selain harga yang ditawarkan tidak terlalu

berbeda dengan harga-harga di pasar tradisional, sarana dan prasarana yang ada di

tempat belanja seperti ini juga lebih lengkap. Misalnya, tersedianya sarana bermain

untuk keluarga, restoran, bioskop, dan sebagainya.

Seiring perkembangan zaman, keberadaan pasar modern bahkan mampu

menggeser keberadaan pasar tradisional. Data dari Dinas PD Pasar Jaya menyebutkan

pertumbuhan pasar tradisional pada 1985 sekitar 78,24 %, sementara pasar modern

21,76 %. Tapi apa yang terjadi sepuluh tahun kemudian, pertumbuhan pasar


(12)

37,75 %, sementara pasar modern 62,25 %. Bahkan pada 2004, pertumbuhan pasar

tradisional hanya 24,66 %, sementara pasar modern 75,34 %.

Menurut Direktur Utama PD Pasar Jaya, Drs H Prabowo, banyak faktor

penyebab terjadinya pergeseran peran pasar tradisional tersebut, salah satunya

perubahan gaya hidup konsumen (lifestyle) perkotaan. "Konsumen bukan sekadar

ingin membeli barang, tapi juga ingin mendapatkan pelayanan dan kenyamanan saat

berbelanja," Tak dipungkiri, mengunjungi pusat-pusat perbelanjaan modern, seperti

mall, supermarket, atau hypermarket memang memberi kepuasan tersendiri. Selain merasa nyaman, hampir semua kebutuhan hidup bisa diperoleh di sana, asalkan ada

uang. ( Syarifuddin dalam Geliat Psk Mall, 2007 )

Supermarket adalah pilihan bagi mereka yang ingin berbelanja dalam kenyamanan dan menentukan pilihan produk berdasarkan keinginan sendiri. Tapi,

harga sebuah produk yang sama pasti lebih mahal apabila dibeli di supermarket

daripada di pasar tradisional. Bila yang jadi prioritas adalah harga, maka perlu rela

sedikit berpeluh atau terkena becek di musim hujan untuk belanja di pasar tradisional.

Namun, sejak booming hypermarket yang ditandai oleh fenomena perkembangan ritel

hipermarket Carrefour (angkatan pertama era hipermarket di Indonesia adalah Walmart dan Mega M), dinding segmentasi antara kenyamanan pasar modern dan harga murah pasar tradisional mulai runtuh. Hal ini terjadi karena hipermarket mulai

bersaing dengan harga produk yang lebih murah daripada di pasar tradisional.

Akibatnya segmentasi pengunjung pasar tradisional yang merupakan pencari harga


(13)

Saat ini ada begitu banyak supermarket yang berdiri, belum lagi dengan

munculnya raksasa hipermart yang menawarkan suasana dan kenyamanan dalam

berbelanja. Strategi baru dalam menghadapi persaingan dengan sesama peritel

modern tidak bisa dielakkan, pengelola supermarket memang tidak memiliki pilihan

lain kecuali harus mengatur strategi baru agar bisa bertahan. Pengelola swalayan

tidak bisa lagi bertumpu pada strategi klasik, tetapi sudah saatnya meracik strategi

marketing mix yang lebih jitu, mulai product, price, place, hingga promotion. Bila sekadar bertumpu pada daya tarik persaingan harga, mengutip pernyataan Ketua

Umum Aprindo Handaka Santosa, maka, "pada satu titik tertentu swalayan akan

kehabisan nafas juga." Pengelola swalayan, menurut dia, harus mampu meningkatkan

layanan dan berpromosi, serta juga menyediakan produk-produk yang eksklusif.

Artinya, produk yang hanya tersedia di toko swalayan itu. Apalagi, saat ini

konsumen cenderung semakin memilih belanja produk segar di pasar modern

dibandingkan di pasar tradisional. Alasannya, pasar modern dirasakan ada jaminan

kualitas keamanan makanan. Barangkali disinilah celah mendongkrak daya saing

swalayan. (Linda Tety dan Fakhlul Mansur dalam Ketika Pasar Swalayan Semakin

Terjepit, 2006)

Salah satu swalayan yang menawarkan konsep lain dalam berbelanja adalah

swalayan syari’ah. “Assalamu'alaikum.'' Itulah sapaan awal para pramuniaga kepada

seluruh pengunjung Madinah Syari’ah Supermarket yang berlokasi di Millenium

Plaza di Jl. Kapten Muslim, Medan. Dengan ramah, para pramuniaga berjilbab, akan

menuntun dan menemani pengunjung berbelanja di swalayan berlantai dua dan


(14)

Suasana Islami yang nyaman muncul, apalagi di bagian depan pengunjung langsung

disergap dengan berbagai kaligrafi dan atribut lain yang menghiasai setiap sudut

swalayan. Kekuatan nilai Islam semakin terasa ketika selesai melakukan transaksi.

''Kami jual ya, Pak..." ujar kasir, sebagai tanda akad yang diharuskan Islam dalam hal

jual-beli. Keindahan dan ketenangan batin menyergap pengunjung. Suasana itu

terekam dan terpancar saat setiap pengunjung memasuki Madinah Syari’ah

Supermarket, sebuah tempat perbelanjaan pertama di Indonesia yang menawarkan konsep syari’ah. Sebenarnya konsep yang ditawarkan di Madinah Syar’iah

Supermarket adalah kegiatan transaksi bisnis yang memiliki nilai-nilai Islam,'' kata M Fendi Leong, Direktur Madinah Syari’ah Supermarket. Ia menunjuk, sekian ribu item

barang yang diperdagangkan, diupayakan terjamin nilai kehalalannya. Fendi menilai

ajaran Islam sangat sesuai dengan diterapkan dalam kegiatan bisnis supermarket,

yang sudah digeluti orangtuanya. Lewat brand Macan Yaohan yang dirintis orang

tuanya sejak 20 tahun lalu, ia pun memberanikan diri membuka bisnis syari’ah ini

pada 9 Februari 2006 atau bertepatan dengan 10 Muharram 1427 sama ketika ia

memilih Islam sebagai agama baru setelah terlahir sebagai Budha (Iwan muhari

dalam Macan Syariah Supermarket Bisnis Sambil Dakwah, 2006).

Nilai merupakan sesuatu yang abstrak sehingga sulit untuk dirumuskan ke

dalam suatu pengertian yang memuaskan. Beberapa ahli merumuskan pengertian nilai

dari beberapa perspektif yakni perspektif antropologis, filsafat dan psikologis. Secara

antropologis, Kluckhon (1962) mengemukakan nilai merupakan suatu konsepsi yang

secara eksplisit dapat membedakan individu atau kelompok, karena memberi ciri khas


(15)

nilai dengan perhatian hidup yang erat kaitannya dengan kebudayaan karena

kebudayaan dipandang sebagai sistem nilai, kebudayaan merupakan kumpulan nilai

yang tersusun menurut struktur tertentu. Nilai hidup adalah salah satu penentu

kepribadian, karena merupakan sesuatu yang menjadi tujuan atau cita-cita yang

berusaha diwujudkan, dihayati, dan didukung individu. Menurut Sprangger corak

sikap hidup seseorang ditentukan oleh nilai hidup yang dominan, yaitu nilai hidup

yang dianggap individu sebagai nilai tertinggi atau nilai hidup yang paling bernilai.

Bagi umat Islam yang menjalankan ajaran agamanya dengan taat tentunya dia akan

menyandarkan segala sesuatu dalam sendi kehidupannya yang sesuai dengan ajaran

agamanya dalam hal ini setiap kegiatan yang dia lakukan harus bersandarkan dengan

nlai-nilai syari’ah.

Nilai adalah suatu pengertian atau pensifatan yang digunakan untuk

memberikan penghargaan terhadap barang atau benda. Manusia menganggap sesuatu

bernilai, karena ia merasa memerlukannya atau menghargainya. Dengan akal dan

budinya manusia menilai dunia dan alam sekitarnya untuk memperoleh kepuasan diri

baik dalam arti memperoleh apa yang diperlukannya, apa yang menguntungkannya,

atau apa yang menimbulkan kepuasan batinnya. Ketika seseorang telah memilih

untuk menjalankan kehidupan dengan berlandaskan nilai-nilai dari agamanya dia

akan merasa puas karena disini dia telah menganggap dirinya telah menjalankan apa

yang diperintahkan oleh Tuhan.

Orientasi nilai menunjuk kepada standar-standar normatif yang

mempengaruhi dan mengendalikan pilihan-pilihan individu terhadap tujuan yang


(16)

berorientasinya seseorang berdasarkan nilai-nilai agama dapat mempengaruhi

pikirannya dalam menentukan pilihan-pilihan yang sesuai dengan ajaran agama.

Hadirnya swalayan Madinah Syari’ah yang membawa label syari’ah secara langsung

maupun tidak langsung telah mempengaruhi pilihan-pilihan masyarakat agar

menjalankan ajaran agamanya yang telah ditentukan.

Negara Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya adalah umat

Islam. Agama Islam sebagai agama yang universal telah mengatur semua sisi

kehidupan manusia mulai dari hal-hal yang besar sampai sekecil-kecilnya, dimana

salah satunya adalah di bidang konsumsi. Dalam Islam masalah konsumsi ini sangat

penting karena menyangkut halal atau haram yang mana segala sesuatu yang

diharamkan adalah sangat dilarang dalam agama. Halal tidak hanya menyangkut apa

yang kita konsumsi akan tetapi juga terkait dengan proses kita mendapatkannya.

Saat ini begitu banyak bentuk lembaga-lembaga syari’ah di Indonesia. Mulai

dari bank, leasing, hotel, asuransi, sampai juga kepada bentuk swalayan. Akan tetapi

umat Islam yang sangat mayoritas di negara ini masih sangat sedikit yang memilih

model-model ekonomi yang berbentuk syari’ah ini. Dimana sebenarnya mereka

inilah yang menjadi target utama dalam kemunculan lembaga-lembaga ekonomi yang

berbentuk syari’ah ini.

Berangkat dari kenyataan ini peneliti merasa tertarik untuk melakukan

penelitian mengapa adanya ketertarikan mendirikan lembaga ekonomi yang memakai

model syari’ah dan juga melihat kepada faktor apa yang mendorong orang untuk ikut

dalam sistem ekonomi syari’ah ini pada khususnya konsumen yang berbelanja di


(17)

1.2. Perumusan masalah

Guna meningkatkan arah jalannya penelitian maka terlebih dahulu

dirumuskan permasalahan yang ada, dengan itu Suharsini Arikunto mengatakan

bahwa : “agar penelitian dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka penulis

harus merumuskan masalah sehingga jelas dari mana harus dimulai, kemana harus

pergi, dan dengan apa.”

Berdasarkan uraian diatas maka yang menjadi perumusan masalah adalah :

1. Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi Munculnya swalayan Madinah Syari’ah ?

2. Faktor-faktor apa yang melatar belakangi konsumen berbelanja di swalayan

Madinah Syari’ah?

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok permasalahan yang telah dirumuskan diatas, maka yang

menjadi tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah

1. untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi latar belakang munculnya

swalayan Madinah Syariah.

2. serta untuk mengetahui orientasi nilai yang menjadi keputusan konsumen

untuk memilih berbelanja di swalayan Madinah Syariah yang terletak di


(18)

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat menambah wawasan keilmuan

khususnya yang berkaitan dengan bidang kajian sosiologi agama dan

motivasi sosial.

1.4.2. Secara praktis hasil penelitian ini juga diharapkan dapat :

 Menambah referensi bagi hasil-hasil penelitian lainnya.

 Dapat dijadikan bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya.

 Juga sebagai informasi bagi umat Islam bahwa nilai nilai agama mampu menjadi roda penggerak perekonomian.

1.5. Definisi Konsep

1.5.1. Orientasi : menurut kamus bahasa Indonesia pengertian dari orientasi yaitu

Peninjauan, melihat-lihat akan tetapi yang dimaksudkan orientasi dalam

penelitian ini adalah menunjuk kepada standar-standar normatif yang

mempengaruhi dan mengendalikan pilihan-pilihan individu terhadap tujuan

yang dicapai dan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu.

1.5.2. Nilai : Harga, angka atau mutu akan tetapi dalam penelitian ini Dari uraian di

atas maka nilai dapat diartikan sebagai sesuatu yang dianggap baik, berguna

atau penting, dan diberi bobot tertinggi oleh individu atau kelompok dan

menjadi referensi dalam bersikap serta berperilaku dalam hidupnya.

1.5.3. Swalayan Syari’ah : Tempat usaha yang menyediakan barang kebutuhan rumah


(19)

dalam swalayan ini semua karyawan dan karyawatinya menggunakan seragam

berbusana muslim. Di dalam swalayan ini juga terpajang dan terpampang

berbagai bentuk kaligrafi dan hiasan-hiasan yang bernuansa Islami.

1.5.4. Konsumen : orang yang membeli barang atau produk-produk yang telah

disediakan di swalayan.

1.5.5. Halal : Pengertian halal ialah perkara atau perbuatan yang dibolehkan,

diharuskan, diizinkan atau dibenarkan syari’at Islam.

Sebuah riset yang dilakukan pengamat perbankan syari’ah Adiwarman A.

Karim dari Karim Business Consultant menunjukkan bahwa pasar loyalis syari’ah

sesungguhnya sangat terbatas. Dia membagi potensi pasar menjadi tiga kelompok

besar yaitu :

1. Pasar loyalis syari’ah.

2. Pasar mengambang yang tidak terlalu fanatik dengan sistem perbankan.

3. Pasar loyalis konvensional. Kelompok ini mempunyai ciri sangat fanatik terhadap

bank bersistem konvensional.

1.6. Operasionalisasi Variabel

Operasionalisasi variabel :

Berdasarkan dari teori Spranger peneliti membuat operasionalisasi variabel sebagai

berikut :

Ilmu pengetahuan

 Jaminan kualitas keamanan produk.


(20)

Adanya nilai tambah terhadap pengetahuan antara swalayan yang syari’ah dan konvensional.

 Mengetahui promosi produk/acara yang infomatif. Kesenian

 Musik bernuansa Islami.

 Dekorasi yang penuh dengan kaligrafi.

 Busana muslim dari para karyawan.

 Lantunan ayat-ayat suci Al-Quran. Keagamaan

 Adanya jaminan kehalalan.

 Kesempatan untuk sekaligus berinfak.

 Mengharap ridho Allah.

 Menjalankan nilai-nilai agama Islam. Kemasyarakatan

 Aspek toleransi (memperlakukan orang lain dengan setara)

 Menolong kaum lemah.

 Pergaulan dengan sesama.

 Rasa persaudaraan/kekeluargaan. Ekonomi

 Faktor jarak.

 Diskon.


(21)

 Hadiah. Politik

 Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

 Menggerakkan roda perekonomian masyarakat.

 Meningkatkan kelas sosial.

 Berlaku universal.

1.7. Skala orientasi nilai

Skala orientasi nilai merupakan suatu skala yang terdiri dengan lima pilihan

yang terdiri dari pilihan sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak bisa menentukan dengan

pasti (N), tidak sesuai (TS), sangat tidak sesuai (STS). Aspek-aspek yang digunakan

untuk membuat skala orientasi nilai didasarkan pada teori orientasi nilai budaya oleh

Edward Spranger. Adapun aspek-aspek tersebut adalah :

(a) Lapangan-lapangan yang bersangkutan dengan manusia sebagai individu, yang

meliputi 4 lapangan nilai yaitu :

a. Lapangan pengetahuan (ilmu, teori)

b. Lapangan ekonomi

c. Lapangan kesenian

d. Lapangan keagamaan

(b) Lapangan-lapangan nilai yang bersangkutan dengan manusia sebagai anggota

masyarakat. Lapangan ini menyangkut manusia dengan kekuatan cinta dan cinta akan


(22)

 Lapangan kemasyarakatan

 Lapangan politik

Skala orientasi nilai merupakan sebuah alat ukur yang dirancang oleh peneliti

untuk melihat kecenderungan orientasi nilai. Peneliti membuat 24 buah item untuk

skala kecenderungan orientasi nilai berdasarkan aspek dari orientasi nilai budaya oleh

Edward Spranger. Item-item ini dibuat dalam bentuk yang favorable (sesuai) skor

yang diberikan adalah STS (sangat tidak sesuai) TS (tidak sesuai) N (antara sesuai

dan tidak sesuai/netral) S (sesuai) SS (sangat sesuai) dimana untuk STS diberi nilai =

1, TS diberi nilai = 2, N diberi nilai = 3, S diberi nilai = 4 dan SS diberi nilai = 5.

Adapun distribusi item skala orientasi nilai dapat dilihat pada tabel berikut ini.

No aspek Nomor item jumlah

1 Ilmu pengetahuan 1,7,13,9 4

2 Ekonomi 4,10,16,22 4

3 Kesenian 2,8,14,20 4

4 Agama 3,9,15,21 4

5 Politik 5,11,17,23 4


(23)

Bab II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Pasar Kapitalis dan Swalayan Syariah

Ciri ekonomi Kapitalisme merupakan sebuah sistem organisasi ekonomi

kepemilikan privat (individu) atas alat-alat produksi dan distribusi (tanah,

pabrik-pabrik, jalan-jalan, kereta api, dan sebagainya) dan pemanfaatannya untuk mencapai

laba dalam kondisi-kondisi yang sangat kompetitif. Perusahaan milik swasta

merupakan elemen paling pokok dari kapitalisme. Hal tersebut sangat mempengaruhi

distribusi kekayaan serta pendapatan karena individu-individu diperkenankan untuk

menghimpun aktiva dan memberikannya kepada para ahli waris secara mutlak

apabila mereka meninggal dunia. Ini memungkinkan laju pertukaran yang tinggi oleh

karena orang memiliki hak pemilikan atas barang-barang sebelum hak tersebut dapat

dialihkan kepada pihak lain. Kapitalisme sangat erat hubungannya dengan pengejaran

kepentingan individu. Menurut Smith, setiap individu seharusnya diperbolehkan

mengejar kepentingannya sendiri tanpa adanya campur tangan pihak pemerintah

untuk mencapai yang terbaik di masyarakat maka ia seakan-akan dibimbing oleh

tangan yang tak nampak (the invisible hand).

Kebebasan ekonomi tersebut juga diilhami paham “laissez nous faire“ (jangan

mengganggu kita) kata ini kemudian dikenal sebagai laissez faire. Prinsip ini

diartikan sebagai tiadanya intervensi pemerintah dalam perekonomian sehingga

timbullah kebebasan ekonomi dan sifat individualisme. Dalam sistem ekonomi


(24)

memegang peranan utama. Siapa yang mempunyai, menguasai dan mampu

menggunakan kekuatan modal (Capital) secara efektif dan efisien akan dapat

memenangkan pertarungan dalam bisnis.

Prinsip dasar, kebaikan dan keburukan sistem kapitalis dapat dilihat pada tabel

berikut:

No Prinsip dasar Kebaikan Keburukan

1 Kebebasan memilki harta secara perorangan

Kebebasan ekonomi akan meningkatkan produktifitas masyarakat yang nantinya dapat meningkatkan kekayaan negara Persaingan bebas mengganggu kapasitas kerja dan sistem ekonomi karena mengakibatkan banyak keburukan dalam masyarakat

2 Kebebasan ekonomi dan persaingan bebas

Persaingan bebas akan mewujudkan produksi dan tingkat harga pada tingkat yang wajar

Menyebabkan ketidak selarasan karena semangat persaingan

3 Kekuatan modal untuk menikmati hak kebebasan dan mendapatkan hasil yang sempurna Motivasi mendapatkan keuntungan maksimum menyebabkan orang berusaha bekerja keras

Hilangnya nilai-nilai moral kemanusiaan, seperti kasih sayang, persaudaran, kerjasama

4 Menghalalkan segala cara

untuk keuntungan individu

5 Perbedaan mencolok

antara majikan (pemilik modal/kaum borjuis) dan pekerja (buruh)

6 Mengesampingkan

masalah kesejahteraan masyarakat banyak

Ketidakmerataan yang diakibatkan oleh sistem kapitalisme laissez faire telah


(25)

harapan pada horizon kapitalis. Bagaimanapun juga, negara kesejahteraan tidak

didasarkan pada pandangan dunia yang berbeda dari kapitalisme. Apa yang dilakukan

oleh negara kesejahteraan hanyalah mengkombinasikan antara mekanisme harga dan

peranan negara yang lebih besar dalam ekonomi untuk menjamin pertumbuhan

ekonomi dan stabilitas serta pemerataan yang lebih besar.

Tetapi sekarang pertumbuhan ekonomi melambat sementara pengangguran

telah menjadi kronis dan problem jangka panjang. Ketidakstabilan ekonomi juga terus

memburuk dan secara terus-menerus direfleksikan dalam pasar komoditi, saham, dan

pertukaran nilai mata uang. Masyarakat dunia masih diperciki oleh inflasi dan

ketidakseimbangan ekonomi makro yang memburuk dan ketidakstabilan ekonomi.

Lebih-lebih, pengeluaran sektor pemerintah untuk menyediakan layanan

kesejahteraan bagi si kaya dan si miskin. Satu-satunya pilihan yang masih dapat

dilakukan dalam kerangka kerja netralitas nilai, justru malah membantu si kaya lebih

banyak daripada membantu si miskin sebab pengeluaran si kaya ternyata begitu besar

sementara mereka juga memiliki kemudahan untuk mendapatkan fasilitas.

Kesenjangan pendapatan dan kekayaan menjadi makin melebar kendatipun telah

diberlakukan pajak progresif dan pelayanan negara kesejahteraan. Hal ini

menunjukkan bahwa strategi menambah peran pemerintah lebih besar ke dalam

kapitalisme laissez-faire untuk mewujudkan tujuan-tujuan telah terbukti tidak efektif.

Ketidakmerataan kapitalisme laissez faire telah menaikkan bukan saja kepada

munculnya negara kesejahteraan, tetapi juga kepada sosialisme. Kendatipun

sosialisme telah mengajukan sebuah strategi yang berbeda, tetapi didasarkan pada


(26)

sekuler lagi dalam pandangannya tentang kehidupan. Meskipun demikian, terdapat

perbedaan yang tajam dengan sistem pasar. Ia memiliki suatu ketidakpercayaan

implisit tentang kemampuan manusia untuk berbuat demi kepentingan masyarakat.

Karena itu ia sangat bergantung pada pembelengguan kebebasan individu dan motif

memperoleh keuntungan serta eleminasi hak memiliki properti. Karenanya,

kepemilikan negara atas semua sarana produksi dan perencanaan sentral menjadi

instrumen utama strateginya untuk mendorong efisiensi dan pemerataan penggunaan

sumberdaya-sumberdaya. Penghapusan keuntungan sebagai imbalan langsung bagi

usaha individu, betapapun, telah mengikis inisiatif dan efisiensi yang merupakan

keharusan bagi pertumbuhan. Pembuatan keputusan yang terpusat juga menyebabkan

seluruh mesin ekonomi tidak efisien. Lebih-lebih, suatu hal yang tidak realistis adalah

bahwa jika manusia pada tataran individu saja tidak dapat dipercaya untuk mengelola

bisnis pribadi mereka dalam keseluruhan batas-batas kesejahteraan sosial, maka

bagaimana mungkin mereka dapat dipercaya mengelola alat-alat produksi seluruh

bangsa untuk tujuan ini. Sosialisme telah gagal di semua negara yang

mempraktekkannya. Ia tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok atau

mengurangi secara substansial ketidakmerataan sosio-ekonomi kendati negara-negara

yang mengadopsi sistem ini memiliki sumberdaya yang melimpah ruah. Lebih lanjut

ekonomi sosialis mengalami stagnasi disebabkan oleh kurangnya motivasi di

kalangan pekerja dan para eksekutif serta ketidakmampuan sistem ini untuk

merespons realitas yang tengah berubah. Utang luar negeri negara sosialis ini juga

terus melejit dan diramalkan akan terus melangit dengan percepatan yang tinggi.


(27)

Kenyataan menunjukkan bahwa kedua model ekonomi kapitalis dan sosialis,

telah membawa manusia memperbudak manusia lain, mengelola kekayaan alam

dengan mengenyampingkan peranan Tuhan. Akibat selanjutnya dari keadaan ini ialah

terjadinya dekadensi nilai antara manusia dan Tuhan, dehumanisasi antara manusia

dengan manusia, dan disharmonisasi antara manusia dan alam. (Agustianto, 2002 :

16). Diantara dua mode ekonomi dunia yang dipakai saat ini serta diakibatkan oleh kelemahan masing-masing mode muncullah ekonomi Islam sebagai suatu alternatif.

Sebagai suatu pedoman hidup, ajaran Islam terdiri atas aturan-aturan mencakup

keseluruhan sisi kehidupan manusia. Secara garis besar, aturan-aturan tersebut dapat

dibagi dalam tiga bagian yaitu aqidah, akhlak, dan syari’ah. Dua bagian pertama

bersifat konstan. Sedangkan syari’ah senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan

dan perkembangan kehidupan manusia. Syari’ah terdiri atas bidang muamalah

(sosial) dan bidang ibadah (ritual). Ibadah merupakan sarana manusia untuk

berhubungan dengan sang penciptanya. Sedangkan muamalah digunakan sebagai

aturan main manusia dalam berhubungan dengan sesamanya. (Supriyatno, 2003 : 1)

Menurut At-Thahanawi syari’ah diartikan sebagai hukum-hukum yang

disyariatkan Allah Ta’ala untuk hamba-hamba-Nya yang disampaikan oleh salah

seorang Nabi diantara Nabi-Nabi yang lain, baik hukum-hukum tersebut mengenai

amal perbuatan maupun mengenai akidah. (Makhalul, 2002 : 6). Dari beberapa

definisi disimpulkan bahwa ekonomi Islam itu mempelajari aktifitas atau perilaku

manusia secara aktual atau empirikal, baik dalam produksi, distribusi maupun

konsumsi berlandaskan syari’ah Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah


(28)

10)

Calvinisme dan Kapitalisme. Keadaannya berubah sebagai akibat dari

reformasi. Luther menolak kontras antara religiusitas-massa dan religiusitas-virtuoso.

Tuntutan-tuntutan keras harus dibebankan kepada setiap orang. Dalam pendapat ini

kehidupan kebiaraan kehilangan maknanya; askese “luar-dunia” digantikan oleh

askese “dalam-dunia”. Lain-lainnya berpandangan bahwa pelaksanaan profesi merupakan kesibukan manusia yang terpenting, dan karenanya karya profesi

memperoleh penghargaan yang tinggi. Kemuliaan pribadi harus diusahakan dalam

profesi. Selain itu unsur-unsur magis dihilangkan, sejak itu hanya keyakinan pribadi

sajalah yang penting. Ini lebih kuat lagi di dalam calvinisme, yang juga menggarap

sifat askese di dunia ini secara sistematis.

Titik tolaknya ialah ajaran mengenai kedaulatan Tuhan yang mutlak dan

predestinasi. Tuhan, di dalam otonominya yang mutlak, secara abadi telah

mentakdirkan seseorang untuk memperoleh keselamatan abadi dan mentakdirkan

seseorang lain untuk memperoleh kutukan abadi, tetapi Tuhan tidak memberitahukan

keputusan abadi ini kepada manusia. Selain itu Tuhan telah menyerahkan dunia ini

kepada manusia, bukannya sebagai milik pribadi yang dapat digunakan sekehendak

hati, melainkan sebagai suatu tugas. Manusia dapat dianggap sebagai petugas Tuhan

yang harus mengelola harta benda Tuhan seefektif mungkin, tetapi tidak boleh

memanfaatkan harta benda itu untuk dirinya sendiri. Jadi manusia harus bekerja keras

dan berdisiplin, dan hidup sederhana serta hemat, sebagaimana sepantasnya bagi


(29)

hanya diharapkan dari para biarawan, oleh Calvin diwajibkan bagi umat Kristen

biasa.

Pola hidup ini diperkuat oleh dua faktor. Pertama-tama ketidakpastian

mengenai nasib abadi secara psikolgis sukar tertahankan, maka dapat dipahami

mengapa orang mencari pertanda-pertanda mengenai terpilih tidaknya seseorang itu.

Berangsur-angsur timbullah pendapat bahwa justru kerja yang tiada kenal henti dan

sikap hidup yang asketis dapat berlaku sebagai pertanda-pertanda itu. Tetapi karena

cara hidup demikian itu tentu saja juga mempunyai akibat-akibat di bidang ekonomi.

Khususnya peningkatan kekayaan pribadi, maka sukses pekerjaan itu juga dipandang

sebagai pertanda kesenangan hati Tuhan. Siapa pun yang menghendaki kepastian,

akan dapat memperolehnya melalui jalan itu.

Sikap hidup keagamaan di atas mempunyai akibat-akibat penting terhadap

perkembangan kapitalisme. Pertama-tama, akibat kerja keras dan hidup sederhana,

tersedialah modal yang dapat ditanam untuk dapat berproduksi dengan lebih baik.

Namun ini bukanlah akibat yang terpenting. Akibat terpenting ini berupa peningkatan

kecenderungan rasional yang merupakan syarat kunci bagi perkembangan

kapitalisme. Weber menyatakannya dengan sangat tegas “suatu pengaturan yang kuat

dan secara tak sadar begitu pandai seperti itu bagi pemupukan individu-individu

kapitalis, tidak pernah ada dalam gereja atau agama lain manapun, dan jika

dibandingkan dengannya maka mengecillah lain-lainnya itu.” dan “sejauh kekuasaan

sikap hidup puritan dapat menjangkau, maka sikap hidup ekonomis-rasional golongan

menengah; sikap hidup puritan itu adalah pendorong yang paling penting, dan di atas


(30)

hidup puritan itu hadir pada kelahiran manusia ekonomi modern.” (Weber, 2006 :

314)

Sudah jelas bahwa justru kelas-kelas dan golongan-golongan status yang baru

muncul itu, yaitu yang kepentingan-kepentingan materialnya terletak dalam cara-cara

produksi kapitalis, juga melihat dalam pendapat-pendapat Calvinistis itu suatu

pembenaran bagi cara hidup mereka dan karenanya juga bagi pemenuhan

kepentingan-kepentingan ideal mereka. Karena itu terdapat suatu afinitas selektif

antara kepentingan-kepentingan kelas-kelas serta golongan-golongan status ini

dengan ajaran Calvinis, dan dapatlah Reformasi berakar justru diantara

golongan-golongan sosial ini. (Layendecker, 1983 : 339-341)

2.2. Orientasi Konsumen Dalam Pola Konsumsi

Parsons mengembangkan kerangka A-G-I-L untuk menganalisa persyaratan

fungsional dalam semua sistem sosial. Adapun kerangka A-G-I-L yaitu :

A-Adaptation, menunjuk pada keharusan bagi sistem-sistem sosial untuk menghadapi lingkungannya. Lingkungan, seperti yang sudah kita ketahui, meliputi

yang fisik dan yang sosial. Untuk suatu kelompok kecil, lingkungan sosial akan

terdiri dari satuan institusional yang lebih besar dimana kelompok itu berada. Untuk

sistem-sistem yang lebih besar, seperti misalnya masyarakat keseluruhan, lingkungan

akan meliputi sistem-sistem sosial lainnya dan linkungan fisik.

G-Goal attainment, merupakan persyaratan fungsional yang muncul dari pandangan Parsons bahwa tindakan itu diarahkan pada tujuan-tujuannya. Namun perhatian yang


(31)

anggota dalam suatu sistem sosial. Dalam salah satu dari kedua hal itu, pencapaian

tujuan merupakan sejenis kulminisasi tindakan yang secara intrinsik memuaskan,

dengan mengikuti kegiatan-kegitan penyesuaian persiapan. Menurut skema alat

tujuan pencapaian maksud ini adalah tujuannya sedangkan kegiatan penyesuaian yang

sudah terjadi sebelumnya merupakan alat untuk merealisasi tujuan ini.

I-integration, merupakan persyaratan yang berhubungan dengan interalasi antara para anggota dalam sistem sosial itu. Supaya sistem sosial itu berfungsi secara efektif

sebagai satu satuan, harus ada paling kurang suatu tingkat solidaritas diantara

individu yang termasuk didalamnya. Masalah integrasi menunjuk pada kebutuhan

untuk menjamin bahwa ikatan emosional yang cukup yang menghasilkan solidaritas

dan kerelaan untuk bekerjasama dikembangkan dan dipertahankan. Ikatan-ikatan

emosional ini tidak boleh tergantung pada keuntungan yang diterima atau sumbagan

yang diberikan untuk tercapainya tujuan inidividu atau kolektif.

L-latent pattern maintenance. Konsep latensi menunjukan ada berhentinya interaksi. Para anggota dalam sistem sosial apa saja bisa letih dan jenuh serta tunduk pada

sistem sosial lainnya dimana mungkin mereka terlibat. Karena itu, semua sistem

sosial harus berjaga-jaga bilamana sistem itu sewaktu-waktu kocar-kacir dan para

anggotanya tidak lagi bertindak atau berinteraksi sebagai anggota sistem.

Teori Parson yang umum sifatnya mengenai tindakan sosial menekankan

orientasi subyektif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu. Pilihan-pilihan ini

secara normatif diatur atau dikendalikan oleh nilai dan standar normatif bersama. Hal

ini berlaku untuk tujuan-tujuan yang ditentukan individu serta alat-alat yang


(32)

bersifat universal dan mengendalikan semua tipe perilaku manusia, tanpa memandang

konteks sosial budaya tertentu.

Sebagian besar analisa yang terdapat dalam buku Toward A General Theory

of Action meliputi pengembangan pelbagai kategori dan sistem klasifikasi untuk menganalisa orientasi subjektif individu. Diantara sistem-sistem klasifikasi ini,

variabel-variabel berpola mungkin yang paling banyak dikenal dan paling sering

dikutip. Tetapi, variabel-variabel ini harus dilihat dalam konteks kerangka Parson

yang lebih umum sifatnya. Dalam kerangka umum itu, orientasi yang bertindak itu

terdiri dari dua elemen dasar : orientasi motivasional dan orientasi nilai. Orientasi

motivasional menunjuk pada keinginan individu yang bertindak itu untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi kekecewaan. Satu segi dari permasalahan ini

adalah ikhtiar untuk menyeimbangkan kebutuhan-kebutuhan langsung yang

memberikan kepuasan dengan tujuan-tujuan jangka panjang. Orientasi nilai

menunjuk pada standar-standar normatif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu

(alat dan tujuan) dan prioritas sehubungan dengan adanya kebutuhan-kebutuhan dan

tujuan-tujuan yang berbeda.

Masing-masing elemen dalam orientasi individu selanjutnya dibagi lagi ke

dalam tiga dimensi yang berbeda-beda, masing-masing ada dalam setiap orientasi

individu. Dimensi-dimensi itu adalah sebagai berikut :

1. Orientasi motivasional 2. Orientasi Nilai

a. dimensi kognitif a. dimensi kognitif

b. dimensi katektik b. dimensi apresiatif


(33)

Dimensi kognitif dalam orientasi motivasional pada dasarnya menunjuk pada

pengetahuan orang yang bertindak itu mengenai situasinya, khususnya kalau

dihubungkan dengan kebutuhan dan tujuan-tujuan pribadi. Dimensi ini

mencerminkan kemampuan dasar manusia untuk membedakan antara

rangsangan-rangsangan yang berbeda dan membuat generalisasi dari satu rangsangan-rangsangan dengan

rangsangan lainnya. Dimensi katetik dalam orientasi motivasional menunjuk pada

reaksi afektif atau emosional dari orang yang bertindak itu terhadap situasi atau

pelbagai aspek di dalamnya. Ini juga mencerminkan kebutuhan dan tujuan individu.

Umumnya, orang memiliki suatu reaksi emosional positif terhadap elemen-elemen

dalam lingkungan itu yang memberikan kepuasan atau dapat digunakan sebagai alat

dalam mencapai tujuan; dan reaksi yang negatif terhadap aspek-aspek dalam

lingkungan itu yang mengecewakan. Dimensi evaluatif dalam orientasi motivasional

menunjuk pada dasar pilihan seseorang antara orientasi kognitif atau katektif secara

alternatif.

Ketiga dimensi yang terdapat dalam orientasi nilai tampaknya sama dengan ketiga

dimensi dalam orientasi motivasional. Tetapi Parson tetap berpendirian untuk tetap

mempertahankan ketiga pembedaan itu dengan mengatakan bahwa meskipun ada

saling ketergantungan, dimensi-dimensi itu bisa berdiri sendiri. Perbedaan yang

prinsipil adalah bahwa komponen-kompenen dalam orientasi nilai menunjuk pada

standar normatif umum, bukan keputusan dengan orientasi tertentu. Jadi dimensi

kognitif dalam orientasi nilai menunjuk pada standar-standar yang digunakan dalam

menerima atau menolak pelbagai interpretasi kognitif mengenai situasi, dimensi


(34)

keterlibatan afektif. Yang terakhir, dimensi moral dalam orientasi nilai menunjuk

pada standar-standar abstrak yang digunakan untuk menilai tipe-tipe tindakan

alternatif menurut implikasinya terhadap sistem itu secara keseluruhan (baik individu

maupun sosial) dimana tindakan itu berakar. Orientasi nilai keseluruhan

mempengaruhi dimensi evaluatif dalam orientasi motivasional. (Johnson, Paul Doyle,

1990 : 113-115)

Konsumsi dipandang dalam Sosiologi bukan sebagai sekedar pemenuhan

kebutuhan yang bersifat fisik dan biologis manusia tetapi berkait kepada aspek-aspek

sosial budaya. Konsumsi berhubungan dengan masalah selera, identitas atau gaya

hidup. Sosiologi memandang selera sebagai sesuatu yang dapat berubah, difokuskan

pada kualitas simbolik dari barang, dan tergantung pada persepsi tentang selera dari

orang lain.

Dalam Sosiologi paling tidak terdapat dua sudut pandang dalam melihat

selera, yaitu pandangan Weber dan pandangan Veblen. Menurut pandangan Weber

selera merupakan pengikat kelompok dalam (in group). Aktor-aktor kolektif atau

kelompok status, berkompetisi dalam penggunaan barang-barang simbolik.

Keberhasilan dalam berkompetisi ditandai dengan kemampuan untuk memonopoli

sumber-sumber budaya, akan meningkatkan prestise dan solidaritas kelompok dalam.

Sedangkan Veblen memandang selera sebagai senjata dalam berkompetisi. Kompetisi

tersebut berlangsung antar pribadi, antara seseorang dengan orang lain. Jika dalam

masyarakat tradisional, keperkasaan seseorang sangat dihargai; sedangkan dalam

masyarakat modern, penghargaan diletakkan atas dasar selera dengan mengkonsumsi


(35)

Konsumsi dapat dilihat sebagai pembentuk identitas. Barang-barang simbolis

dapat juga dipandang sebagai sumber dengan mana orang mengkonstruksi identitas

dan hubungan-hubungan dengan orang lain yang menempati dunia simbolis yang

sama. Seperti yang disebut oleh Simmel ego akan runtuh dan kehilangan dimensinya

jika ia tidak dikelilingi oleh objek eksternal yang menjadi ekspresi dari

kecenderungannnya, kekuatan dan cara individualnya karena mereka mematuhinya,

atau dengan kata lain, miliknya.

Menurut Weber konsumsi terhadap suatu barang, merupakan gambaran gaya

hidup tertentu dari kelompok status tertentu. Konsumsi terhadap barang merupakan

landasan bagi penjenjangan dari kelompok status. Dengan demikian ia dibedakan dari

kelas yang landasan penjenjangannya adalah hubungan terhadap produksi dan

perolehan barang-barang. Juga ditegaskan oleh Weber jika situasi kelas ditentukan

secara murni ekonomi sedangkan situasi status ditentukan oleh penghargaan sosial

terhadap kehormatan.

Sedangkan Veblen, seperti pembahasan tentang selera di atas, melihat dalam

masyarakat luas penghargaan sosial diletakkan atas dasar keperkasaan. Keperkasaan

ditunjukkan dengan aktifitas agresif secara fisik, seperti perang. Sedangkan dalam

masyarakat industri diperlukan penghargaan lain sebagai pengganti keperkasaan yaitu

simbol-simbol yang tampak dari pemilikan kesejahteraan seseorang. Dengan

meningkatnya urbanisasi, penggunaan waktu luang tidak lagi tepat sebagai indikator

dari status. Dalam masyarakat seperti ini, konsumsi yang menyolok lebih tepat


(36)

Dalam perkembangan studi tentang gaya hidup, menurut Hans-Peter Mueller

(1989) terdapat empat pendekatan dalam memahami gaya hidup yaitu :

1. Pendekatan psikologi perkembangan. Pendekatan ini berasumsi bahwa

tindakan sosial tidak hanya disebabkan oleh teknik, ekonomi, dan politik

tetapi juga dikarenakan perubahan nilai. Pendekatan ini melihat gaya hidup,

atas nilai dan kebutuhan yang dimiliki.

2. Pendekatan kuantitatif sosial struktur. Pendekatan ini mengukur gaya hidup

berdasarkan konsumsi yang dilakukan seseorang : sangat berhasil (visible

success), pemeliharaan (maintenance), sedang (high-life), dan konsumsi rumah tangga (Home life). Pendekatan ini menggunakan sederetan daftar

konsumsi yang mempunyai skala nilai. Dengan membuat skala nilai maka

pengukuran kuantitatif dapat dilakukan.

3. Pendekatan kualitatif dunia kehidupan. Pendekatan ini memandang gaya

hidup sebagai lingkungan pergaulan (miliu). Ia meletakkan seseorang pada

miliu yang ditentukan oleh keadaan hidup dan gaya hidup subyektif yang dimiliki.

4. Pendekatan kelas. Pendekatan ini mempunyai pandangan bahwa gaya hidup

merupakan rasa budaya yang direproduksi bagi kepentingan struktur kelas.

(Damsar, 1997 : 121-123) .

Eduard Spranger, tokoh utama aliran ini adalah guru besar ilmu filsafat dan


(37)

utamanya yang mempersoalkan kepribadian manusia ini ialah : Lebensformen,

Geistewissenschaft-liche Psychologie und Ethic der Personlichkeit.

Kebudayaan (kultur) oleh Spranger dipandang sebagai sistem nilai-nilai

karena kebudayaan itu tidak lain adalah kumpulan nilai-nilai kebudayaan yang

tersusun atau diatur menurut struktur tertentu. Kebudayaan sebagai sistem atau

struktur nilai-nilai ini oleh Spranger digolong-golongkan menjadi enam lapangan

nilai. Keenam lapangan hidup ini masih dikelompokkan lagi menjadi dua kelompok

yaitu :

(a) Lapangan-lapangan yang bersangkutan dengan manusia sebagai individu,

yang meliputi empat lapangan nilai yaitu :

 Lapangan pengetahuan (ilmu, teori)

 Lapangan ekonomi

 Lapangan kesenian

 Lapangan keagamaan

(b) Lapangan-lapangan nilai yang bersangkutan dengan manusia sebagai anggota

masyarakat. Lapangan ini menyangkut manusia dengan kekuatan cinta dan

cinta akan kekuasaan. Kelompok ini menyangkut dua nilai yaitu :

 Lapangan kemasyarakatan

 Lapangan politik

Jadi menurut Spranger dalam kebudayaan itu terdapat adanya enam macam

lapangan nilai, atau yang disebut juga bentuk-bentuk kehidupan. Tipe-tipe manusia


(38)

Nilai kebudayaan yang dominan Tipe Tingkah laku dasar

Ilmu pengetahuan Manusia teori Berpikir

Ekonomi Manusia ekonomi Bekerja

Kesenian Manusia estetis Menikmati keindahan

Keagamaan Manusia agama Memuja

kemasyarakatan Manusia sosial berbakti

Politik Manusia kuasa Ingin berkuasa /

memerintah

Dalam bukunya lebensformen, Spranger memberikan pencandraan (deskripsi)

masing-masing tipe itu secara luas. Secara garis besar dapatlah dikemukakan hal yang

berikut ini. Seseorang itu corak sikap hidupnya ditentukan oleh nilai kebudayaan

mana yang dominan, yaitu nilai kebudayaan mana yang olehnya dipandang sebagai

nilai yang tertinggi. Ia akan memandang segala sesuatu, jadi juga nilai-nilai

kebudayaan yang lain, dengan kacamata nilai yang dihargainya paling tinggi itu, yaitu

dari kacamata nilai-nilai yang dominan itu. Sehingga nilai-nilai kebudayaan yang lain

itu akan diwarnai juga oleh nilai yang dominan itu.

(1) Manusia teori

Seorang manusia teori adalah seorang intelektualis sejati, manusia ilmu.

Cita-cita utamanya ialah mencapai kebenarannya dan hakikat daripada benda-benda.

Banyak sekali motifnya mengusahakan ilmu pengetahuan itu hanya semata-mata

untuk ilmu pengetahuan tersebut tanpa mempersoalkan faedah atau hasilnya. Tujuan

yang dikejar manusia teori adalah pengetahuan yang objektif, sedangkan segi lain

misalnya seperti soal-soal moral, keindahan dan sebagainya terdesak ke belakang. Ia


(39)

membenci segala bentuk kekaburan. Dalam kehidupan sehari-hari ia adalah seorang

pecinta kebenaran dan konsekuen.

(2) Manusia ekonomi

Orang-orang yang termasuk golongan manusia ekonomi ini selalu kaya akan

gagasan-gagasan yang praktis, kurang memperhatikan bentuk tindakan yang

dilakukannya, sebab perhatiannya terutama tertuju kepada hasil daripada tindakan itu,

hasilnya bagi dirinya sendiri. Manusia golongan ini akan menilai segala sesuatu

hanya dari segi kegunaannya dan nilai ekonomisnya; dia bersikap egosentris,

hidupnya dan kepentingannya sendirilah yang penting, dan orang-orang lain hanya

menarik perhatiannya selama mereka masih berguna baginya, penilaian yang

dikemukakannya terhadap orang lain, yang dikenakannya terhadap sesama manusia

terutama didasarkan kepada kemampuan kerja dan prestasinya.

(3) Manusia estetis

Manusia estetis menghayati kehidupan seakan-akan tidak sebagai pemain,

tetapi sebagai penonton, dia selalu sebagai seorang impresionis, yang menghayati

kehidupan secara pasif, disamping itu dapat juga dia sebagai seorang ekspresionis,

yang mewarnai segala kesan yang diterimanya dengan pandangan jiwa subjektifnya.

Juga manusia estetis itu berkecenderungan ke arah individualisme; hubungan dengan

orang-orang lain kurang kekal.

(4) Manusia agama

Menurut Spranger inti daripada hal keagamaan itu terletak dalam pencarian

terhadap nilai tertinggi daripada keberadaan ini; siapa yang belum mantap akan hal


(40)

yang kuat dalam hidupnya. Sebaliknya siapa yang sudah mencapai titik tertinggi itu

akan merasa bebas, tenteram dalam hidupnya. Bagi seorang yang termasuk golongan

tipe ini segala sesuatu itu diukur dari segi artinya bagi kehidupan rohaniah

kepribadian, yang ingin mencapai keselarasan antara pengalaman batin dengan arti

daripada hidup ini.

(5) Manusia sosial

Sifat utama daripada manusia golongan tipe ini adalah besar kebutuhannya

akan adanya resonansi dari sesama manusia, butuh hidup diantara manusia-manusia

lain dan ingin mengabdi kepada kepentingan umum. Nilai yang dipandangnya

sebagai nilai yang paling tinggi adalah “cinta terhadap sesama manusia“ baik yang

tertuju kepada individu tertentu maupun yang tertuju kepada kelompok manusia.

(6) Manusia kuasa

Manusia kuasa bertujuan untuk mengejar kesenangan dan kesadaran akan

kekuasaannya sendiri, dorongan pokoknya adalah ingin berkuasa, semua nilai-nilai

yang lain diabdikan kepada nilai yang satu ini. Kalau manusia ekonomi mengejar

akan penguasaan benda-benda, maka manusia kuasa mengejar penguasaan atas

manusia. (Suryabrata, 1998 : 84-92)


(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan

kuantitatif dan kualitatif. Tujuan dari sistematis, faktual dan akurat, mengenai

fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Menurut Whitney

dalam Moh. Nazir, metode deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam

masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat, serta situasi-situasi

tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap

pandangan-pandangan, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu

fenomena.

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan diadakan di Swalayan Madinah Syari’ah yang terletak di

jalan Kapten Muslim Medan. Dan karena swalayan ini juga satu-satunya swalayan

yang pertama yang menawarkan konsep syari’ah. Di swalayan ini tidak hanya dijual

berbagai macam kebutuhan bahan makanan, tetapi ada juga menjual buku dan

pakaian muslim. Swalayan yang terdiri dari dua lantai ini memberi kesan yang

mendalam terhadap suasana Islami karna didalamnya terpampang berbagai atribut

Islam mulai dari kaligrafi, hiasan-hiasan, sampai dengan musik-musik yang bernada

Islami. Juga pada saat melakukan transaksi pembayaran adanya akad jual beli yang

sebenarnya sangat dianjurkan oleh Islam sehingga membuat swalayan ini berbeda


(42)

3.3. Populasi dan Teknik Penarikan Sampel

3.3.1. Teknik Penarikan Sampel Secara Kuantitatif

Populasi adalah keseluruhan gejala/satuan yang ingin diteliti (Prasetyo, 2005 :

119). Sementara itu sampel merupakan bagian dari populasi yang ingin diteliti. Oleh

karena itu, sampel harus dilihat sebagai suatu pendugaan terhadap populasi dan bukan

populasi itu sendiri. (Bailey,1994 : 83). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh

pengunjung yang berbelanja di swalayan Madinah Syari’ah di Jalan Kapten Muslim

Medan. Dalam penelitian ini populasi yang akan diteliti tidak memilki sifat homogen,

tetapi heterogen. Yaitu karakteristik yang dimilki bervariasi. Teknik penarikan

sampel dalam penelitian ini dilakukan secara insidential sampling, dengan

mempertimbangkan beberapa alasan diantaranya populasi yang menjadi objek

penelitian bukan populasi yang diam akan tetapi populasi yang berganti-ganti dan

berubah, juga lokasi rumah para pengunjung yang tersebar sehingga mengakibatkan

tidak bisanya dilakukan penarikan sampel berdasarkan wilayah, serta kerahasiaan

perusahaan dalam memberikan data tentang pengunjung yang telah memiliki kartu

anggota berbelanja di swalayan Madinah Syariah. Adapun dengan menggunakan

teknik tersebut diperoleh responden sebanyak 108 orang untuk dijadikan sample

dalam penelitian ini.

3.3.2. Untuk Metode Kualitatif Data Diperoleh Dengan Cara

Menentukan Informan.

Informan dalam penelitian ini adalah para konsumen yang berbelanja di


(43)

meliputi beberapa macam, seperti : (1) informan kunci yaitu mereka yang mengetahui

dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian; (2)

informan utama yaitu mereka yang terlibat langsung dalam interaksi sosial yang

diteliti; (3) informan tambahan yaitu mereka yang dapat memberikan informasi

walaupun tidak langsung terlibat dalam interaksi sosial yang diteliti.

Informan kunci dalam penelitian ini adalah pemilik Swalayan Madinah

Syari’ah. Adapun informan utama adalah para konsumen yang berbelanja di Madinah Syari’ah lebih kurang selama 6 bulan.

Karakteristik informan utama yang ditetapkan oleh peneliti adalah sebagai

berikut :

1. Pengunjung ataupun konsumen yang telah berbelanja di swalayan ini

kurang lebih sekitar 6 bulan, mengingat swalayan ini baru berdiri sekitar

bulan Februari tahun 2006.

2. Pengunjung ataupun konsumen yang memilki kartu anggota berbelanja di

swalayan Madinah Syari’ah.

Sedangkan yang menjadi informan tambahan di dalam penelitian ini

diantaranya :

2. Para Karyawan yang bekerja di swalayan Madinah Syari’ah.


(44)

3.4. Teknik Pengumpulan Data

3.4.1. Dengan Metode Kuantitatif

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

Kuesioner yang merupakan teknik pengumpulan data melalui daftar pertanyaan yang

tertulis yang disusun dan disebarluaskan untuk mendapatkan informasi atau

keterangan dari sejumlah subjek.

3.4.2. Dengan Metode Kualitatif

1. Studi Pustaka

Dilakukan dengan mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan masalah

yang diteliti melalui buku-buku, artikel, majalah dan sebagainya. Penelitian

kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan landasan teori yang kuat dan

konsep-konsep yang relevan.

2. Studi Lapangan

a. Observasi adalah proses pengamatan untuk memahami fenomena sosial

yang diteliti, dilakukan dengan mengamati langsung tentang keadaan

dilapangan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan dalam

penelitian. Dimana dalam peneltian ini peneliti menggunakan observasi

non partisipasi, dimana dalam hal ini penelti tidak terlibat langsung dalam

penelitian.

b. Wawancara mendalam adalah teknik pengambilan data dengan cara

mengadakan pertanyaan, percakapan atau tanya jawab secara lisan pada


(45)

direncanakan dan yang tidak direncanakan dapat diperoleh seluruhnya.

c. Dokumentasi, adalah teknik yang digunakan untuk menelusuri data

historis. Data historis dapat ditemukan dalam bentuk surat-surat, catatan

harian, laporan, buku, memorial, dokumen dan foto.

3.5. Teknik Analisis Data

3.5.1. Dalam bentuk Kuantitatif

Dari kegiatan ini, penulis menggunakan metode analisis deskriptif, dimana

hanya menjabarkan hasil penelitian dan memberikan gambaran dari masalah yang

diteliti. Peneliti sengaja menggambarkan dan meringkaskan berbagai kondisi dan

situasi serta gejala yang timbul dalam penelitian dan tidak bertujan menghasilkan

hipotesis. Metode analisis yang dimaksud yaitu menggunakan metode statistik

deskriptif. Pengolahan data secara statistik deskriptif dapat dilakukan dengan

distribusi frekuensi.

3.5.2. Dalam bentuk Kualitatif

Data yang diperoleh terlebih dahulu dievaluasi untuk memastikan objektivitas

(kesesuaian dengan keadaan sebenarnya) dan relevansi dengan masalah yang diteliti.

Temuan dalam penelitian tersebut kemudian direduksi (diedit), diinterpretasikan atau

ditafsirkan, dan diorganisasikan. Kemudian dianalisis secara sistematis untuk


(46)

Gambar 1

Siklus Analisis Data

(Sumber : Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, hal.256, 1995) Display Data

Pengumpulan Data

Reduksi Data

Penggambaran Kesimpulan


(47)

(48)

3.7. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini termasuk pembuatan surat izin penelitian;

terbatasnya data sekunder atau tambahan melalui buku, dokumen dan jurnal yang

mendukung terhadap penelitian yang telah dilaksanakan; dan adanya keterbatasan

waktu dari para informan. Keterbatasan dalam pengurusan dan pembuatan surat izin

penelitian adalah begitu banyaknya rentetan jalur pengurusan surat izin penelitian

yang harus peneliti jalani sehingga menyebabkan lamanya waktu yang peneliti

habiskan untuk mengurus surat baik di lingkungan fakultas, birokrasi pemerintahan

maupun perusahaan tempat peneliti melakukan penelitian yang terlalu berhati-hati

dalam memberikan izin penelitian.

Keterbatasan data sekunder atau tambahan berupa buku, dokumen, jurnal

maupun yang lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini menyebabkan peneliti

mengalami kesulitan di dalam melakukan penganalisisan data lapangan dan

memerlukan waktu cukup lama. Keterbatasan di dalam melaksanakan penelitian

antara lain disebabkan oleh kesibukan para informan dan responden ketika dimintai

kesedian waktu untuk wawancara dan mengisi kuesioner sehingga mengakibatkan

sedikitnya waktu yang dimiliki oleh peneliti ketika mengadakan proses wawancara.

Namun penelitian ini berjalan dengan lancar karena adanya kerjasama yang baik dan


(49)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1. Perkembangan Bisnis Ritel Modern

Dalam beberapa tahun terakhir ini bisnis ritel modern mulai menunjukkan

pemulihan dan mengalami perkembangan pesat sejalan dengan membaiknya

perekonomian Indonesia. Meningkatnya daya beli masyarakat dan penerapan otonomi

daerah telah mendorong pertumbuhan bisnis ritel modern dan membuka peluang bagi

pengusaha ritel modern melakukan ekspansi di sejumlah daerah potensial. Ditambah

lagi dengan kebijakan pemerintah tentang globalisasi di sektor ritel dimana investor

asing diperbolehkan melakukan investasi langsung, ikut mendorong pertumbuhan

sektor ritel. Berbagai kondisi tersebut telah mendorong pasar ritel modern mengalami

pertumbuhan di atas 20 % sejak tahun 2000.

Walau krisis belum begitu reda, situasi perekonomian dapat dikatakan mulai

membaik sejak tahun 2000. Meskipun ekonomi Indonesia masih tumbuh hanya

sekitar 3 %. Keadaan ini dilihat oleh kalangan pebisnis terutama para pengusaha ritel

sebagai prospek yang patut dipertimbangkan untuk melanjutkan investasi yang sangat

tertunda. Sampai Februari 2005, gerai ritel di Indonesia mencapai 2.720 unit yang

dioperasikan oleh 62 perusahaan yang berhimpun dalam Aprindo (Asosiasi

Pengusaha Ritel Indonesia). Di sisi lain kehadiran sejumlah ritel raksasa global juga

membawa implikasi semakin ketatnya persaingan bisnis ritel modern yang pada


(50)

menengah. Membaiknya kondisi ekonomi makro juga berimbas terhadap

perkembangan bisnis ritel di dalam negeri khususnya ritel modern (department store,

pasar swalayan, mini market, hipermarket, dan pusat perkulakan). Bangkitnya bisnis

ritel telah mendorong sejumlah pengusaha ritel modern baik lokal maupun asing

untuk melakukan ekspansi dengan membuka sejumlah gerai baru di daerah-daerah

potensial.

Kesediaan untuk berubah semakin dibutuhkan mengingat saat ini

kecenderungan perubahan situasi bisnis dalam lingkungan bisnis meningkat sangat

pesat. Perubahan di dalam lingkungan bisnis diantaranya dipengaruhi oleh kompetisi

bisnis dan pasar yang semakin dewasa, mengindikasikan intensitas persaingan yang

semakin cepat dan ketat. Perubahan dalam lingkungan bisnis ini membawa

konsekuensi meningkatnya kebutuhan untuk perubahan menuju prestasi yang lebih

tinggi (lebih produktif, lebih inovatif, dan pendekatan-pendekatan baru dalam

pemasaran dan distribusi).

Dalam konsep competitive setting-nya Hermawan Kartajaya (2000),

disebutkan bahwa perubahan situasi bisnis akan melewati satu tipe yang disebut

Complicated. Dalam situasi bisnis ini, terjadi persaingan sengit untuk merebut, mempertahankan dan menguasai customer. Masing-masing pemain harus dapat

membuat strategi bersaing yang tepat. Charles Handy menyarankan perlunya

pemikiran upside-down thinking (berfikir terbalik dari kelaziman) dalam menyikapi

situasi bisnis yang berubah.

Pada bagian lain dalam konsepnya tersebut, Kartajaya menyebutkan bahwa


(51)

bisa lagi berjualan pada mereka. Yang dapat dilakukan oleh sebuah company

hanyalah berinteraksi dengan dia untuk kepentingan bersama. Pada titik inilah,

sebuah company hanya dapat survive jika bisa mengusahakan suatu situasi win-win

bersama customer.

Hal yang disebut terakhir diyakini akan dapat diwujudkan dengan penerapan

prinsip-prinsip syari’ah dalam operasional perusahaan. Keyakinan ini cukup

beralasan, karena dalam sistem ini prinsip-prinsip seperti keadilan, kejujuran,

transparancy, accountable ditegakkan. Sebut saja satu contoh dalam dunia perbankan. Bank-bank yang menerapkan sistem syari’ah dalam perjalanannya

mampu bertahan di tengah krisis ekonomi yang melanda Indonesia.

Lebih jauh lagi bahwa prinsip-prisip ini tidak hanya diterapkan kepada

customer tetapi juga kepada stakeholder karena proses produksi atau jasa secara langsung atau tidak langsung merupakan mata rantai yang tidak mungkin dipisahkan

dari fungsi dan peran masing-masing stakeholder jika dalam rangkaian proses

tersebut terdapat sesuatu yang mencederai nilai keadilan, kejujuran, transparansi,

pertanggungjawaban maka dapat diyakini bahwa dalam mata rantai yang lainpun

nilai-nilai tersebut akan sangat sulit direalisasikan. Kalau logika berfikirnya

demikian maka yang memperoleh situasi win-win tidak hanya customer tetapi

stakeholder secara keseluruhan. Dari pemikiran ini muncullah swalayan Madinah Syari’ah yang dalam operasionalisasinya memakai dan menggunakan prinsip-prinsip syari’ah.


(52)

4.1.2. Gambaran Umum Swalayan Madinah Syari’ah`

4.1.2.1. Sejarah dan Perkembangan Perusahaan

Lewat brand Macan Yaohan yang dirintis orang tuanya sejak 20 tahun lalu,

Muhammad Fendi Leong memberanikan diri membuka bisnis syari’ah pada 9

Februari 2006 atau bertepatan dengan 10 Muharram 1427 sama ketika ia memilih

Islam sebagai agama baru setelah terlahir sebagai Budha.

Awalnya swalayan ini bernama Macan Syari’ah. Yang berada dibawah PT

Macan Group. Namun karena tidak ingin setengah-setengah menerapkan konsep

syari’ah dalam mengoperasionalkan swalayan ini, juga karena alasan utama ingin melaksanakan ajaran Islam ini secara kaffah (menyeluruh) akhirnya swalayan yang

awal mula namanya Macan Syari’ah berganti nama menjadi Madinah Syari’ah.

Pemisahan diri dan mandiri supermarket syari’ah ini dari Macan Group sudah

dilakukan sejak juni 2007 lalu. PT Macan Berkat International (MBI), perusahaan

yang mengelola supermarket Macan Syari’ah, dengan bantuan Bank Mualamat

Indonesia (BMI) melakukan re-finance atau membeli Macan Syari’ah dari Macan

Group untuk menjadikannya sebagai supermarket yang benar-benar bisa dijalankan

dengan prinsip-prinsip syari’ah, sesuai dengan komitmen MBI dari awal yang ingin

berpartisipasi dalam kemajuan ekonomi umat Islam.

Selain re-branding yaitu mengganti nama Macan Syari’ah menjadi Madinah

Syari’ah, beberapa perubahan dilakukan. Diantaranya pembentukan manajemen baru, pemantapan konsep syari’ah dengan membuat kebijakan-kebijakan yang mendukung


(53)

Setiap perusahaan, di dalam menjalankan aktivitas bisnisnya mempunyai visi,

misi dan motto untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Begitu juga halnya dengan

Swalayan Madinah Syar’iah memiliki visi, misi dan motto dalam menjalankan

bisnisnya.

Visi Madinah Syari’ah yaitu :

menjadi swalayan syari’ah terbaik dan terdepan di Indonesia menuju terbentuknya

tatanan ekonomi syari’ah yang di ridhoi Allah SWT.

Misi Madinah Syari’ah yaitu :

Menjadi role model swalayan syari’ah di Indonesia dengan penekanan pada semangat ekonomi yang berkeadilan, jujur, dan profesional.

Memperkuat dan memperbanyak jaringan sumber daya ekonomi syari’ah untuk kesejahteraan umat.

Menciptakan spiritual based community dimana Al-Quran dan as-sunah sebagai landasannya.

Motto Madinah Syari’ah yaitu :

Bersatu dalam jamaah, berhijrah menuju berkah, mengubah mimpi jadi

kenyataan.

Swalayan ini memiliki dua lantai dengan luas 2.500 m persegi Dimana pada

masing-masing lantai memiliki spesifikasi atas produk yang dijual seperti pada lantai

satu yang khusus menyediakan produk seperti makanan, susu, snack, minyak goreng

dan sebuah apotik kecil sedangkan di lantai dua produk yang disediakan seperti buku,


(54)

Berikut ini hal-hal yang telah dilaksanakan management sebagai Supermarket yang

menjalankan sistem Syari’ah adalah sebagai berikut :

a. Membentuk dewan pengawas syari’ah yang terdiri dari ulama-ulama yang

kompeten di bidangnya untuk menjalankan fungsi pengawasan atas

operasional Supermarket.

b. Mendorong karyawan untuk melaksanakan kewajibannya kepada Allah SWT

seperti sholat lima waktu, mengenakan busana muslim untuk karyawati, dan

ibadah-ibadah sunat lainnya seperti sholat Dhuha.

c. Mendirikan Musholla sebagai tempat sholat dan pembinaan akhlak

karyawan/karyawati dan konsumen.

d. Melaksanakan pengajian-pengajian yang dilaksanakan secara reguler untuk

karyawan dan para konsumen.

e. Melakukan dakwah bil-lisan secara live (Qur’an, hadist, ceramah-ceramah,

mutiara hikmah, lagu-lagu Islami) melalui video jockey yang disampaikan

pada jam-jam operasional Supermarket dan dakwah bil hal melalui akhlakul

karimah seluruh management, staf dan karyawan-karyawati Madinah

Syari’ah.

f. Membantu pengusaha kecil dan menengah sebagai pemasok barang di

Madinah Syari’ah dalam rangka meningkatkan perekonomian umat.

g. Menjadi motor penggerak untuk merangkul pengusaha-pengusaha muslim


(55)

h. Mendorong terbentuknya suatu komunitas yang disebut “spiritual based

community“ yang menjadikan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai landasan hidup.

i. Mendistribusikan sebagian laba sebesar 2,5 % sebagai zakat yang akan

diserahkan kepada badan amil yang ditetapkan pemerintah.

4.1.2.2. Struktur Organisasi dan Manajemen Perusahaan

Sebelum menjalankan aktivitas perusahaan sangatlah penting membuat tata

hubungan atas wewenang dan tugas masing-masing bagian pada perusahaan. Hal ini

sangat berguna agar pembagian tugas dan tanggung jawab dapat diketahui dengan

jelas oleh masing-masing pihak dalam perusahaan, sehingga tugas dari setiap bagian

dapat diarahkan dan dipertanggungjawabkan sepenuhnya. Struktur organisasi

merupakan susunan pembagian kerja, wewenang, dan sistem komunikasi dalam

mewujudkan tujuan organisasi atau perusahaan. Dengan demikian kegiatan yang

beraneka ragam dalam suatu perusahaan disusun secara teratur dan tujuan yang telah

ditetapkan dapat tercapai. Bentuk struktur organisasi sebuah perusahaan tergantung

pada jenis aktivitas perusahaan tersebut. Selain itu, harus diperhatikan pula sifat

perusahaan, ukuran, penyebaran daerah operasi, jenis usaha, bentuk badan hukum,

produk yang dihasilkan, dan lain-lain. Struktur organisasi dari PT. Macan Berkat


(56)

Gambar 2

Struktur Organisasi Swalayan Madinah Syari’ah

Majelis Syuro

CEO – Presiden Director

Dewan Pengawas Syariah Operational

Business Development

Direktur

Operasional Bagian

Pembelian Human Capital Accounting Marketing

Koordinator

Pembelian Administrasi

Coordinator

Human Capital Staff (Admin) Store

Manager Asisten Store

Manager

Supervisor Kasir

Supervisor Lapangan

Supervisor Gudang

Supervisor Quality Control


(57)

4.2. Karakteristik Responden dan Profil Informan

Penelitian ini menggunakan dua pendekatan yaitu Kuantitatif dan Kualitatif.

Untuk data kuantitatif sumber data diperoleh dari responden sedangkan untuk data

kualitatif sumber data adalah informan.

4.2.1. Karakteristik Responden

Kuesioner yang disebarkan oleh peneliti sebanyak 115 eksemplar setelah

diperiksa kriteria dan cara pengisian kuesioner maka seluruh skala yang layak di

analisis berjumlah 108 eksemplar. Dari subjek penelitian yang berjumlah 108 orang

konsumen yang berbelanja di swalayan Madinah Syari’ah. Diperoleh gambaran

subjek penelitian berdasarkan usia, jenis kelamin, agama, pendidikan, suku,

pendapatan perbulan, dan status kepemilikan rumah.

1. Usia subjek penelitian

Berdasarkan usia, penyebaran subjek penelitian dapat digambarkan seperti pada

diagram dibawah ini

Usia Reponden

65% 28%

7%

15 S/D 25 THN 26 S/D 35 THN

36 S/D 45 THN KEATAS


(58)

Madinah Syari’ah berasal dari kategori usia 15-25 tahun (65 %), 26-35 tahun (28 %) dan yang paling sedikit 36-45 tahun (7 %)

2. Berdasarkan jenis kelamin, penyebaran subjek penelitian dapat digambarkan

seperti pada diagram di bawah ini :

JENIS KELAMIN RESPONDEN

35%

65%

PRIA WANITA

Dari diagram di atas ternyata jumlah konsumen yang berbelanja di swalayan

Madinah Syari’ah berdasarkan jenis kelamin laki-laki berjumlah 38 orang (35 %) sedangkan perempuan berjumlah 70 orang (65 %)

3. Berdasarkan agama, penyebaran subjek penelitian dapat digambarkan seperti pada

diagram dibawah ini

AGAMA RESPONDEN

74% 20%

6%

ISLAM KRISTEN BUDHA


(59)

Madinah Syari’ah berdasarkan agama sebagai berikut. Islam 80 orang (74 %), Kristen 22 orang (20 %) dan Budha 6 orang (6 %)

4. Berdasarkan tingkat pendidikan, penyebaran subjek penelitian dapat digambarkan

seperti pada diagram dibawah ini:

PENDIDIKAN RESPONDEN

61% 17%

22%

SMU/SEDERAJAT DIPLOMA S-1

Dari diagram di atas ternyata jumlah konsumen yang berbelanja di swalayan

Madinah Syari’ah berdasarkan tingkat pendidikan yaitu sebagai berikut SMU sederajat 66 orang (61 %), diploma 18 orang (17 %) dan sarjana 24 orang (22 %).

Dengan catatan 28 orang (42 %) dari tamatan SMU sedang menjalani kuliah.

5. Berdasarkan suku, penyebaran subjek penelitian dapat digambarkan seperti pada

diagram dibawah ini :

PEMBAGIAN RESPONDEN BERDASARKAN SUKU

15% 6%

24% 2% 6% 4%

7%

36%

JAWA BATAK TIONGHOA MANDAILING MELAYU NIAS PADANG ACEH


(1)

KUESIONER PENELITIAN

KEBERADAAN SWALAYAN SYARIAH DAN ORIENTASI NILAI KONSUMEN BERBELANJA DI SWALAYAN SYARIAH

Bersama ini kami mohon kesediaan bapak/ibu dan saudara untuk mengisi daftar kuesioner yang diberikan kepada anda. Informasi yang anda berikan merupakan bantuan yang sangat berarti dalam menyelesaikan penelitian ini. Atas bantuan dan perhatian bapak/ibu, dan saudara saya ucapkan terimakasih.

Petunjuk Pengisian

Dibawah ini ada beberapa kelompok pertanyaan yang semuanya berkaitan dengan Keberadaan Swalayan Syariah Dan Orientasi Nilai Konsumen Berbelanja Di Swalayan Syariah.

.. Bapak/ibu dan saudara kami harapkan untuk memberikan penilaian terhadap pertanyaan sesuai dengan pendapat dan pandangan saudara.

Berilah tanda (X) pada masing-masing jawaban pertanyaan yang bapak/ibu, saudara anggap paling sesuai pada kolom yang tersedia.

Identitas Responden

Nama : Umur :

Jenis kelamin : pria/wanita Pekerjaan :

Status : Agama :


(2)

Pendidikan : Tempat Tinggal : Suku : Tingkat pendapatan keluarga perbulan :

Pengeluaran rata rata perbulan :

Status kepemilikan rumah :

Jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah :

1. Faktor-faktor apa yang membuat anda memilih berbelanja di swalayan ini a. (1) ajaran agama

b. (2) harga

c. (3) ajaran agama dan harga d. (4) gaya hidup

2. Dari mana anda mengetahui keberadaan swalayan ini a. (1) ajakan teman

b. (2) Radio c. (3) Koran

d. (4) kebetulan saja

3. Apakah keuntungan yang anda dapatkan dalam berbelanja disisni a. (1) ada jaminan kehalalan

b. (2) kepuasan tersendiri c. (3) Harga terjangkau d. (4) biasa saja

4. Bagaimana harga yang ditawarkan swalayan ini a. (1) murah

b. (2) cukup murah c. (3) biasa saja d. (4) mahal

5. Bagaimana pelayanan yang anda dapatkan dalam swalayan ini a. (1) memuaskan

b. (2) cukup memuaskan c. (3) biasa saja

d. (4) mahal

6. Apakah harga barang yang di jual diswalayan ini terjangkau a. (1) ya


(3)

b. (2) tidak

7. Apakah semua barang yang anda butuhkan ada di swalayan ini a. (1) ya

b. (2) tidak

8. Apakah anda merasa nyaman berbelanja disini a. (1) ya

b. (2) tidak

9. Seperti yang anda ketahui ini adalah swalayan syariah, apakah anda mengatur cara berpakaian anda ketika berbelanja disini

a. (1) ya b. (2) tidak

10.Apakah faktor jarak juga mempengaruhi anda berbelanja di sini a . (1) ya

b. (2) tidak

11. secara tidak langsung apakah dengan berbelanja di sini anda telah membentuk status diri anda

a. (1) ya b. (2) tidak

12.berapa frekuensi belanja anda di swalayan syariah

a. 4kali sebulan b kali sebulan

13.Sebulan sekali

14.Dan lain-lain. Sebutkan

15.Selain di swalayan syariah dimana lagi tempat bebelanja anda

16.Alasan apa yang membuat anda berbelanja di sini

17.agama 18.harga 19.keduanya

20.lain-lain sebutkan

21.jika alasan dari sisi agama bisa anda jelaskan mengapa ? 22.jika alasan dari sisi harga bisa anda jelaskan juga mengapa ? 23.dengan siapakah biasanya anda berbelanja disini?


(4)

24.Berapa lama waktu yang anda habiskan untuk berbelanja di sini ? 25.Kegiatan ekonomi apa saja yang anda ketahui yang berbentuk syariah ? 26.Apakah anda yakin ekonomi syariah dapat meningkatkan perekonomian

rakyat / bangsa ?

27.Apakah dengan berbelanja disini anda sudah merasa menjalankan nilai-nilai agama ?

28.kepuasan apa yang anda dapatkan ketika berbelanja disini

29.tawaran apa saja yang anda dapatkan dalam berbelanja di swlayan ini? 30.diskon

31.hadiah 32.kupon

33.lain-lain sebutkan

34.aPakah semua barang yang dijual di swalayan ini telah memenuhi kebutuhan belanja anda ?

35.hal-hal apa saja yang menurut anda yang menjadi kekurangan swalayan ini disbanding swalayan konvensional


(5)

DRAFT WAWANCARA DENGAN PARA KONSUMEN DI SWALAYAN MADINAH SYARIAH

faktor

Faktor-faktor apa yang membuat anda berbelanja disini ? Apakah anda merasa nyaman berbelanja di sini ?

Apakah faktor jarak juga mempengaruhi anda berbelanja di sini ?

Apakah dengan berbelanja di sini anda sudah merasa menjalankan nilai-nilai agama ?

Harga dan pelayanan

Bagaimana harga yang ditawarkan swalayan ini ?

Bagaimana pelayanan yang anda dapatkan di swalayan ini ? Apakah harga barang yang dijual di swalayan ini terjangkau ?

Apakah keuntungan yang anda dapatkan ketika berbelanja di swalayan madinah ? Tawaran apa saja yang anda dapatkan dalam berbelanja diswalayan ini ?

swalayan syariah dalam pandangan konsumen

Seperti yang anda ketahui bahwa Madinah adalah swalayan yang dikelola secara syariah, apakah anda mengatur cara berpakaian ketika berbelanja disini ?

Secara tidak langsung apakah dengan berbelanja disini anda telah membentuk status diri anda ?

Dengan siapakah biasanya anda berbelanja di sini ?

Berapa lama waktu yang anda habiskan untuk berbelanja di sini ? Berapakah frekuensi anda berbelanja di swalayan syariah ini ?

Selain diswalayan Madinah syariah ini dimana lagi tempat belanja anda ?

Dalam aktifitas sehari-hari apakah ada kegiatan anda yang mengandung nilai-nilai islam?

Dari mana anda mengetahui keberadaan swalayan ini ?

Apakah semua barang yang anda butuhkan ada diswalayan ini ?

Hal-hal apa saja yang menurut anda yang menjadi kekurangan swalayan ini dibanding swalayan konvensional ?

Pemahaman ekonomi syariah

Kegiatan ekonomi apa saja yang anda ketahui yang berbentuk syariah ?


(6)

3.6. Jadwal Kegiatan

KEGIATAN Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan 4 Bulan 5 Bulan 6

Pra Penelitian

Penyusunan

Proposal

Perbaikan

Proposal

Persiapan :

Pengurusan

Izin

Penyiapan Instrumen

Penelitian

Penelitian :

Wawancara dan Observasi

di Lapangan

Pasca

Penelitian :

Analisis Data