5.4.3 Sikap masyarakat untuk pro-konservasi
Konservasi suatu taman nasional erat kaitannya dengan sikap masyarakat dan sikap pengelola terhadap lingkungan Zuhud 2007. Pengertian sikap menurut
Rosenberg dan Hovland 1960 diacu dalam Zuhud 2007, merupakan kecenderungan bertindak tend to act, kesediaan bereaksi atau berbuat sesuatu hal
dalam masyarakat, menunjukkan bentuk, arah, dan sifat yang merupakan dorongan, respon dan refleksi dari stimulus. Tri-stimulus amar pro-konservasi
sudah menjadi sikap dan perilaku masyarakat tradisional Indonesia yang sehari- harinya hidup berinteraksi dengan hutan alam Zuhud 2011.
a. Stimulus alamiah
Alternatif masyarakat dalam mengembangkan konsep “membawa hutan ke kebun”. Masyarakat telah mempunyai wilayah kelola lahan di tanah milik yang
disebut “hutan keluarga” atau dengan bahasa lokal disebut “omang patura” yang didalamnya ditanami dengan berbagai jenis tumbuhan hutan kayu maupun non
kayu, termasuk tumbuhan obat-obatan yang bertujuan untuk menghindari pemanfaatan hutan yang berlebihan yang dapat mengganggu terjaminnya
kelestarian hutan Konsep “hutan keluarga” yang dibawa oleh masyarakat desa di sekitar
kawasan, secara garis besar memiliki persamaan dengan konsep Desa-Kampung Konservasi Hutan Pangan dan Obat Keluarga POGA. Kedua konsep ini
memiliki tujuan agar terwujudnya konservasi hutan sekaligus kemandirian masyarakat terhadap kebutuhan pangan dan kesehatan. Pada Tabel 26 berikut ini
menunjukkan potensi tumbuhan pangan dan obat yang ada di sekitar kawasan hutan dan kampung di Indonesia.
Tabel 26 Jumlah spesies tumbuhan pangan dan obat di kawasan hutan dan kampung masyarakat
No. Lokasi
Pangan Obat
Sumber
1 TN Kerinci Seblat Jambi
31 214
Frankistoro, et al. 2006 2
Desa Dukuh, Garut Jawa Barat 101
150 Hidayat, et al. 2009
3 TN Bukit Tiga Puluh Jambi
73 173
Fakhrozi, et al. 2009 4
Suku Buton, hutan lambusango Sulawesi Tenggara
80 83
Hamidu, et al. 2009 5
Desa sekitar TN Gunung Merapi Jawa Tengah
40 47
Anggana, et al. 2011 6
Desa Cipakem, Kuningan Jawa Barat
110 92
Rona, et al. 2011 7
Senduro, TN Bromo Tengger Jatim 31
30 Novitasari, et al. 2011
Alternatif masyarakat dalam mengembangkan “hutan keluarga” diduga berawal dari falsafah masyarakat sumba timur yang berbunyi : Otur patara ei
panda ponggu, leku panda rata, wai panda taku, yang artinya: batu karang tidak boleh diambil, tali akar nafas dari pohon tidak boleh diambil, air tidak boleh
digayung. Falsafah tersebut memiliki makna bahwa kekayaan alam yang berasal dari
laut dan darat hanya boleh diambil secukupnya karena akan mengakibatkan kesengsaraan pada akhirnya. Contoh dampak dari eksploitasi berlebihan seperti
akan menimbulkan kekeringan jika kayu di dalam hutan diambil terus menerus. Falsafah tersebut juga menstimulus masyarakat untuk menaatinya, karena jika ada
yang melanggar, maka akan diberi sangsi sosial seperti terasing dalam pergaulan masyarakat, ataupun harus menyediakan hewan untuk disembelih dengan jumlah
sesuai kebijakan pemimpin setempat. b.
Stimulus manfaat Stimulus manfaat telah masyarakat dapatkan dari hasil membangun “hutan
keluarga” yang didalamnya ditanami hasil kayu dan non kayu, termasuk tumbuhan pangan dan tumbuhan obat yang ada didalamnya. Hasil panen yang
berlebihan dari kebutuhan hidup sehari-hari keluarga, dapat mereka jual di pasar mingguan yang ada di desa, sehingga penghasilan tambahan untuk kehidupan
sehari-hari didapatkan. Pemanfaatan tumbuhan obat yang mereka tanam sendiri melatih kemandirian masyarakat agar dapat mengobati dan mengatasi suatu
penyakit dengan cepat dan mencegah penyakit bertambah parah. Selain itu, upaya ini dilakukan agar masyarakat tidak tergantung pada obat-obatan kimia yang cara
mendapatkannya harus menempuh perjalanan berkilo-kilo meter dari desa untuk sampai ke kota kecamatan.
Manfaat hutan keluarga yang dinikmati oleh masyarakat adalah peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat melalui sistem pengelolaan lahan yang
berkelanjutan. Masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarga akan kayu bakar, kayu bangunan, pakan ternak, sayur-sayuran, buah-buahan, memperbaiki
kesuburan tanah, mengurangi pengambilan yang berlebihan terhadap hasil hutan, menjadi pembatas lahan yang menjadi milik atau hak garap keluarga, dan
menambah pendapatan Wora Raing 2006 diacu dalam Putro et al. 2012.
c. Stimulus rela
Stimulus rela dalam menanam anakan pohon yang berasal dari lahan yang banyak terdapat ditumbuhi anakan pohon kemudian selanjutnya ditanam di
pekarangan, kebun, ataupun sekitar jalan dan sebidang lahan lain yang kosong merupakan kesadaran dan kerelaan masyarakat akan pentingnya regenerasi dari
pohon yang kedepannya berfungsi sebagai penopang kehidupan mereka dan
generasi selanjutnya dalam ketersediaan air tanah dan menghindari bencana alam.
5.5 Peran Perguruan Tinggi