LATAR BELAKANG MASALAH PENDAHULUAN

Fikrah Wathani : Perbedaan Kecenderungan Pembelian Impulsif Produk Pakaian Ditinjau Dari Peran Gender, 2009. USU Repository © 2009

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Belanja merupakan aktivitas yang menyenangkan bagi banyak orang dan sebagian orang tidak dapat dipisahkan dari kebiasaan belanja. Hal ini tidak hanya terbatas pada kaum perempuan, kaum laki-laki, miskin, kaya, berpenghasilan tinggi, berpenghasilan rendah, semuanya punya kans untuk jadi korban. Umumnya orang memiliki kebiasaan berbelanja untuk memenuhi kebutuhan. Meskipun demikian, sering juga ditemui orang yang berbelanja hanya untuk memenuhi hasrat atau dorongan dari dalam dirinya. Pada mulanya belanja hanya merupakan suatu konsep untuk menunjukkan suatu sikap untuk mendapatkan barang yang menjadi keperluan sehari-harinya dengan jalan menukarkan sejumlah uang sebagai pengganti barang tersebut. Pada saat ini konsep belanja telah berkembang sebagai sebuah cerminan gaya hidup dan rekreasi di kalangan masyarakat. Belanja adalah suatu gaya hidup tersendiri, dimana bahkan telah menjadi suatu kegemaran bagi sejumlah orang Tambunan, 2005. Belanja menjadi alat pemuas keinginan akan barang-barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan, akan tetapi karena pengaruh trend atau mode yang tengah berlaku, maka mereka merasa Fikrah Wathani : Perbedaan Kecenderungan Pembelian Impulsif Produk Pakaian Ditinjau Dari Peran Gender, 2009. USU Repository © 2009 merupakan suatu keharusan untuk membeli barang-barang tersebut. Banyak sekali orang yang berbelanja tanpa disertai pertimbangan. Mereka hanya membeli produk-produk yang menggoda mata yang sebenarnya tidak dibutuhkan dengan alasan sering tidak tahan melihat barang bagus, ingin segera membelinya, dan merasa seperti dibius dan tidak dapat berpikir jernih sehingga yang terdapat di dalam benak individu adalah hanya ingin memuaskan keinginan belanja Fitri, 2006. Pada umumnya proses belanja dilakukan di dalam pasar modern seperti supermarket atau hipermarket, tidak semuanya direncanakan Negara dalam Semuel, 2007. Dalam segi perencanaan, pembelian konsumen bisa dikategorikan ke dalam pembelian terencana dan pembelian tidak terencana pembelian impulsif. Pembelian terencana adalah perilaku pembelian dimana keputusan tentang aitem yang akan dibeli telah diambil sebelum konsumen masuk ke dalam toko. Sedangkan pembelian tidak terencana adalah perilaku pembelian dimana konsumen tidak mempertimbangkan untuk membeli, atau mempertimbangkan untuk membeli tetapi belum memutuskan produk apa yang akan dibeli Dony, 2007. Terencana atau tidaknya pembelian oleh konsumen telah menjadi perhatian peneliti dan praktisi sejak dua puluhan tahun yang lalu. Kebanyakan orang tertarik untuk meneliti karakteristik dan proporsi konsumen yang melakukan pembeliannya secara terencana dan tidak terencana. Point Of Purchase Advertising Institute POPAI melaporkan bahwa sekitar 75 pembelian di supermarket dilakukan secara tidak terencana. Hal yang sama pun dapat dilihat di pasar jepang seperti yang dilaporkan oleh The Distribution Economics Institute Of Japan DEI bahwa sekitar 70 konsumen jepang sering melakukan pembelian yang tidak terencana Dony, 2007. Para ahli menyatakan pembelian tidak terencana telah berkembang secara signifikan dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan, konsumen seringkali melakukan Fikrah Wathani : Perbedaan Kecenderungan Pembelian Impulsif Produk Pakaian Ditinjau Dari Peran Gender, 2009. USU Repository © 2009 pembelian berdasarkan hasrat, mood, atau emosi Etzioni dalam Verplanken dan Herabadi, 2001. Pada kenyataannya konsumen seringkali tidak menggunakan pikiran rasionalnya dalam menentukan barang yang benar-benar dibutuhkannya. Konsumen membeli produk dengan berbagai alasan, seperti; untuk menghilangkan suasana hati yang buruk, mengekspresikan identitas atau hanya untuk bersenang-senang. Gaya membeli yang tidak rasional ini, selalu dihubungkan dengan berbagai macam emosi, seperti kegembiraan atau penyesalan, tapi emosi ini dapat juga menjadi bagian dari pembelian yang tidak terencana yang dikenal dengan pembelian impulsif Piron 1991. Pernyataan ini didukung dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kollat dan Willett 1967, mereka juga menggunakan istilah unplanned purchased pembelian tak terencana yang sama dengan impulse buying pembelian impulsif. Pembelian impulsif yaitu pembelian yang tidak direncanakan secara khusus Loudon dan Bitta, 1993. Engel dan Blacwell 1995, mendefinisikan pembelian impulsif sebagai suatu tindakan pembelian yang dibuat tanpa direncanakan sebelumnya atau keputusan pembelian dilakukan pada saat berada didalam toko. Sejalan dengan hal itu, pembelian impulsif juga seringkali diasosiasikan dengan pembelian yang dilakukan dengan tiba-tiba dan tidak direncanakan, dilakukan di tempat kejadian, dan disertai timbulnya dorongan yang besar serta perasaan senang dan bergairah Rook dalam Verplanken dan Herabadi, 2001. Dalam pandangan ini terdapat lima elemen penting yang membedakan tingkah laku konsumen yang impulsif dan yang tidak, yaitu; 1 dorongan tiba-tiba dan spontan untuk melakukan tindakan yang berbeda dengan tingkah laku sebelumnya, 2 Dorongan tiba-tiba untuk melakukan pembelian menempatkan konsumen dalam keadaan ketidakseimbangan secara psikologis, 3 Mengalami konflik psikologis dan berusaha menimbang antara Fikrah Wathani : Perbedaan Kecenderungan Pembelian Impulsif Produk Pakaian Ditinjau Dari Peran Gender, 2009. USU Repository © 2009 pemuasan kebutuhan langsung dan konsekuensi jangka panjang dari pembelian, 4 Mengurangi evaluasi kognitif dari produk, 5 Seringkali membeli secara impulsif tanpa memperhatikan konsekuensi yang akan datang Loudon dan Bitta, 1993. Lalu yang selanjutnya diperhatikan adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembelian impulsif itu sendiri yaitu : 1 karakteristik produk, 2 karakteristik pemasaran, dan yang terakhir adalah 3 karakteristik konsumen yang terdiri dari karakteristik sosio- ekonomi dan karakteristik demografis Loudon dan Bitta, 1993. Karakteristik sosio-ekonomi yang dihubungkan dengan tingkat pembelian impulsif salah satu nya adalah uang saku. Ling dan Lin dalam Semuel 2007 mengatakan bahwa uang saku berhubungan positif dengan kecenderungan perilaku pembelian impulsif konsumen muda pada toko secara phisik atau offline. Tetapi hal ini bertentangan dengan penelitian Semuel 2007 yang mengatakan bahwa tidak ada keterkaitan antara uang saku dengan pembelian impulsif. Selanjutnya karakteristik demografis yang mempengaruhi pembelian impulsif yaitu salah satunya adalah gender Loudon dan Bitta, 1993. Berbagai penelitian mengenai pembelian impulsif yang terkait dengan gender telah dilakukan. Salah satu dari penelitian itu dilakukan oleh Dittmar dkk 1995, dimana dalam penelitian ini diketahui bahwa secara umum perempuan lebih sering membeli secara impulsif dibandingkan laki-laki. Rook dan Hoch dalam Kacen, 2007 juga menemukan bahwa perempuan lebih cenderung melakukan pembelian impulsif dibandingkan laki-laki. Begitu juga dengan hasil penelitian Ling dan Lin dalam Semuel, 2007 menemukan bahwa perempuan lebih cenderung memiliki perilaku pembelian impulsif dibandingkan laki-laki. Studi pengembangan Amerika Kamptner dalam Dittmar, 1995, penyelidikan antar budaya Wallendorf dan Arnould dalam Dittmar, 1995, dan proyek kemasyarakatan Csikszentmihalyi dan Rochberg-Halton dalam Dittmar, 1995 semua menunjukkan Fikrah Wathani : Perbedaan Kecenderungan Pembelian Impulsif Produk Pakaian Ditinjau Dari Peran Gender, 2009. USU Repository © 2009 perempuan cenderung menghargai produk secara simbolis dan emosional, sedangkan laki- laki menghargai produk secara fungsional dan berdasarkan kesenangan. Lebih dari itu, mereka kelihatannya menghargai suatu produk dengan alasan yang berbeda, perempuan memberi alasan yang lebih berorientasi pada hubungan dan emosional, sedangkan laki-laki lebih fungsional, terkait dengan instrumental dan fokus pada aktifitas Dittmar, 1995. Studi terbaru dari pembelian impulsif diantara para siswa dewasa menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki membeli produk yang berbeda sesuai dorongan hati, dan kemungkinan untuk suatu alasan yang berbeda Fairmaner dalam Dittmar, 1992. Berdasarkan hipotesa Dittmar dkk, 1995 pembelian impulsif kemungkinan besar sekali menjadi suatu benda yang melambangkan diri yang ideal atau yang lebih disukai dan sebagai sesuatu yang dipengaruhi oleh kategori-kategori sosial yaitu gender. Dapat dikatakan bahwa walaupun perbedaan gender melatarbelakangi sebagian besar penelitian-penelitian di atas, namun yang menjadi latar belakang kecenderungan pembelian impulsif lebih pada variabel peran gender dari seseorang yang terlibat dalam kecenderungan pembelian impulsif, apakah dia maskulin, feminin, androgini atau tidak terbedakan undifferentiated. Oleh karena itu, peneliti bermaksud untuk membahas lebih jauh mengenai peran gender dalam hal kecenderungan pembelian impulsif. Menurut Bem 1981, gender merupakan karakteristik kepribadian, seseorang yang dipengaruhi oleh peran gender yang dimilikinya dan dikelompokkan menjadi 4 klasifikasi yaitu maskulin, feminin, androgini dan tak terbedakan. Pada dasarnya dalam diri setiap individu terdapat unsur maskulin dan unsur feminin. Akan tetapi, pada laki-laki diharapkan lebih tinggi unsur maskulinnya dibanding unsur femininnya dan pada perempuan diharapkan lebih tinggi unsur femininnya dibandingkan unsur maskulinnya Spence dalam Nindyati, 2003. Peran gender sendiri sebagai sebuah karakteristik memiliki determinan lingkungan Fikrah Wathani : Perbedaan Kecenderungan Pembelian Impulsif Produk Pakaian Ditinjau Dari Peran Gender, 2009. USU Repository © 2009 yang kuat dan berkaitan dengan dimensi maskulin versus feminin Stewart Lykes, dalam Saks dan Krupat, 1998. Penelitian Dittmar dkk 1995, menyimpulkan bahwa pembelian-pembelian impulsif yang dilakukan oleh individu dengan peran gender maskulin lebih pada alasan identitas pribadi mandiri sedangkan individu dengan peran gender femininin lebih pada identitas sosial hubungan. Lebih lanjut Dittmar memaparkan bahwa pembelian impulsif dibedakan melalui pemilihan produk terkait dengan peran gender seseorang dimana peran gender maskulin lebih memilih produk-produk berdasarkan fungsinya sedangkan pada individu dengan peran gender feminin lebih berdasarkan pada kenyamanan emosional yang dimunculkan oleh produk tersebut Dittmar dkk, 1995. Semua produk memiliki kemungkinan untuk dijadikan sasaran pembelian impulsif, adapun produk yang cenderung dibeli adalah produk-produk baru, misalnya produk dengan harga murah yang tidak terduga Negara dalam Semuel, 2007. Mouton 2008 menemukan fakta menarik di Perancis dimana sekitar 4 penduduk Perancis menderita penyakit pembelian impulsif dan jenis barang yang paling sering dibeli adalah pakaian. Pernyataan ini didukung oleh Negara dalam Semuel, 2007 yang menemukan produk yang paling sering dibeli adalah pakaian, perhiasan, ornamen-ornamen, dan kemudian dikelompokkan menjadi produk impulsif tinggi dan impulsif rendah. Pakaian menurut Mouton 2008 adalah salah satu jenis produk yang disinyalir dapat membius dan membuat individu berpikir untuk membeli tanpa pertimbangan panjang. Hal ini didukung oleh pernyataan Alia 2008 bahwa pakaian termasuk salah satu kebutuhan primer manusia sejak dahulu kala. Manusia purba mulai menggunakan pakaian sebagai pelindung kulit dan tubuh dari cuaca dan gangguan serangga. Seiring dengan sistem kebudayaan yang mulai berkembang, kegunaan pakaian ditambah dengan fungsi sosial. Fungsi ini terlihat dari Fikrah Wathani : Perbedaan Kecenderungan Pembelian Impulsif Produk Pakaian Ditinjau Dari Peran Gender, 2009. USU Repository © 2009 pakaian yang berfungsi sebagai penanda gender dan tingkat sosial dalam masyarakat. Pada awal pakaian yang terbuat dari kulit binatang hingga ditemukannya serat katun, pakaian dibuat dengan tangan. Setelah revolusi industri, pakaian mulai dibuat secara massal, berkat ditemukannya mesin pemintal dan mesin jahit. Fungsi lain dari pakaian ditambahkan oleh Riyanto 2003, dimana pakaian berfungsi sebagai alat pelindung tubuh dari cuaca, gigitan binatang, dan sebagainya. Pakaian juga memiliki kegunaan sebagai alat untuk sukses, untuk memperindah dan untuk memiliki fungsi sosial. Selain itu pakaian juga mempunyai karakteristik sebagai produk yang dapat memberikan kenyamanan emosional dan dapat memberikan simbolisasi dalam hubungannya dengan orang lain. Dengan demikian, pakaian dapat memenuhi kriteria dari konsumen maskulin yang memilih berdasarkan fungsi atau kegunaan dari produk dan konsumen feminin yang memilih berdasarkan kenyamanan emosi yang ditimbulkan. Pada saat ini industri pakaian mulai berkembang dengan amat pesat, produk pakaian jadi ready to wear sebagian besar dibuat untuk konsumen perempuan. Fenomena ini disebabkan oleh tendensi peminat pakaian perempuan yang jauh lebih banyak dari pada pakaian pria. Sebagian besar perempuan menilai keberagaman pakaian sebagai kebutuhan, karena mereka tumbuh melihat figur ibu yang dituntut harus berdandan demi kedudukan dalam lingkaran sosial Lacan dalam Alia, 2008 sehingga perempuan menganggap pakaian yang mereka kenakan merupakan cerminan dari pribadi mereka. Menurut Jung dalam Alia, 2008, tingkah laku perempuan yang terlihat umumnya jauh lebih personal dari laki-laki, sehingga laki-laki jarang membeli pakaian berdasarkan keinginan, melainkan sebagai suatu kebutuhan. Penelitian Dittmar dkk 1995, menyimpulkan bahwa pembelian impulsif seseorang dibedakan melalui pemilihan produk terkait dengan peran gender seseorang dimana peran Fikrah Wathani : Perbedaan Kecenderungan Pembelian Impulsif Produk Pakaian Ditinjau Dari Peran Gender, 2009. USU Repository © 2009 gender maskulin lebih memilih produk-produk berdasarkan fungsinya sedangkan pada individu dengan peran gender feminin lebih berdasarkan pada kenyamanan emosional yang dimunculkan oleh produk tersebut. Dengan melihat adanya perbedaan antara individu dengan peran gender maskulin dan individu dengan peran gender feminin dalam kecenderungan pembelian impulsif, maka peneliti berasumsi ada perbedaan kecenderungan pembelian impulsif produk pakaian ditinjau dari peran gender.

B. PERUMUSAN MASALAH