Kajian Pustaka LANDASAN TEORI

8

BAB II LANDASAN TEORI

Peneliti akan membahas mengenai landasan teori, penelitian yang relevan, kerangka berpikir, dan hipotesis tindakan pada bab II ini. Keempat hal tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

A. Kajian Pustaka

1. Hasil Belajar a. Hakikat Belajar Abdillah dalam Aunurrahman 2010 berpendapat bahwa belajar bukanlah sekedar mengumpulkan pengetahuan, belajar merupakan proses mental yang terjadi dalam diri seseorang. Suatu usaha sadar yang dilakukan oleh individu dalam perubahan tingkah laku baik melalui latihan dan pengembangan yang menyangkut aspek-aspek kognitif, afektif dan psikomotorik untuk memperoleh tujuan tertentu. Menurut Fontana dalam Winataputra, 2008: 81 bahwa belajar adalah proses perubahan yang relatif tetap dalam perilaku individu sebagai hasil dari pengalaman. Melalui proses belajar maka akan terjadi suatu perubahan pada diri seseorang, hal ini juga diungkapkan oleh Sanjaya 2007:112 bahwa belajar dianggap sebagai proses perubahan perilaku sebagai akibat dari pengalaman dan latihan. Proses belajar akan terjadi apabila peserta didik melakukan kegiatan untuk mempelajari sesuatu yang ada di lingkungannya, melalui manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan maupun benda-benda lain PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI yang dijadikan bahan belajar. Objek tersebut juga akan menjadi sumber belajar bagi anak. Setiap aktivitas belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan, yang dapat berupa tingkah laku, kecakapan, sikap, minat, nilai maupun pola beraktivitas. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa belajar adalah proses perubahan perilaku dan mental individu yang didapat dari pengalaman dan latihan. b. Hakikat Hasil Belajar Sudjana 2005:5 menyatakan bahwa hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku dan sebagai umpan balik dalam upaya memperbaiki proses belajar mengajar. Kemudian Widoyoko 2009: 1 berpendapat bahwa hasil belajar terkait dengan pengukuran, kemudian akan terjadi suatu penilaian dan menuju evaluasi baik menggunakan tes maupun non-tes. Semua perubahan dari proses belajar merupakan suatu hasil belajar dan mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya. Hasil belajar yang akan diperoleh oleh seseorang meliputi 3 ranah yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Klasifikasi hasil belajar tersebut dijelaskan oleh Benjamin Bloom dalam Sudjana, 2005: 22 yang meliputi ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik sebagai berikut: 1 Ranah Kognitif Evaluasi aspek kognitif, mengukur pemahaman konsep yang terkait dengan percobaan yang dilakukan untuk aspek pengetahuan evaluasi dapat dilakukan melalui tes tertulis yang relevan dengan materi pokok tersebut. Aspek kognitif dapat berupa pengetahuan dan keterampilan intelektual yang meliputi: pengamatan, pemahaman, aplikasi, analisis, dan evaluasi. 2 Ranah Afektif Evaluasi aspek afektif berkaitan dengan perasaan, emosi, sikap, derajat penerimaan atau penolakan terhadap suatu objek. Evaluasi aspek afektif dalam hal ini digunakan untuk penilaian kecakapan hidup meliputi kesadaran diri, kecakapan berpikir rasional, kecakapan sosial, dan kecakapan akademis. Aspek ini belum ada patokan yang pasti dalam penilaiannya. 3 Ranah Psikomotorik Pengukuran keberhasilan pada aspek psikomotor ditunjukkan pada keterampilan dalam merangkai alat keterampilan kerja dan ketelitian dalam mendapatkan hasil. Evaluasi dari aspek keterampilan yang dimiliki oleh siswa bertujuan untukmengukur sejauh mana siswa menguasai teknik praktikum. Aspek ini menitikberatkan pada unjuk kerja siswa. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa hasil belajar adalah hasil yang diperoleh siswa setelah melalui kegiatan belajar yang ditunjukkan dari nilai tes yang diberikan oleh guru. 2. Kemampuan Berpikir Kritis Johnson 2007: 183 kemampuan berpikir kritis merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisis asumsi, dan melakukan pnelitian ilmiah. Selain itu menurut Johnson, 2007: 183 berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpendapat dengan cara yang terorganisasi. Berpikir kritis sebagai berpikir untuk menyelidiki secara sistematis proses belajar itu sendiri Chaffee, dalam Johnson 2007. Tujuan dari berpikir kritis adalah untuk mencapai pemahaman yang mendalam Johnson, 2007: 185. Richard dalam Kasdin, 2012: 5 “Berpikir kritis adalah proses disiplin secara intelektual dimana seseorang secara aktif dan terampil memahami mengaplikasikan, menganalisis, mensintesakan dan mengevaluasi berbagai informasi yang dia kumpulkan atau yang dia ambil dari pengalaman, pengamatan, refleksi yang dilakukannya, penalaran atau komunikasi yang dilakukannya”. Menurut Halpen dalam Achmad, 2007 berpikir kritis adalah memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan. Proses tersebut dilalui setelah menentukan tujuan, mempertimbangkan dan mengacu langsung pada sasaran. Selanjutnya menurut Anggelo dalam Achmad, 2007 juga menjelaskan bahwa berpikir kritis adalah mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang tinggi, yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan, dan mengevaluasi. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa berpikir kritis adalah pemikiran yang baik dari setiap individu untuk memecahkan masalah, mengambil keputusan, dan melakukan penelitian ilmiah serta menyelidiki secara sistematis proses belajar. a. Tujuan Berpikir Kritis Tujuan berpikir kritis adalah untuk mencapai pemahaman yang mendalam dan membuat kita mengerti maksud dibalik ide yang mengarahkan hidup kita setiap hari serta mengungkapkan akan dibalik suatu kejadian Johnson, 2007: 185. Mencapai pemahaman yang mendalam yaitu dengan mengedepankan proses, sehingga siswa mampu memahami materi dan menyelesaikan suatu masalah matematis. b. Indikator Berpikir Kritis Indikator keterampilan berpikir kritis dapat diungkapkan melalui aspek-aspek perilaku yang diungkapkan dalam definisi berpikir kritis. Menurut beberapa definisi yang diungkapkan, terdapat beberapa kegiatan atau perilaku yang mengindikasikan bahwa perilaku tersebut merupakan kegiatan-kegiatan dalam berpikir kritis. Angelo dalam Achmad, 2007 mengidentifikaasi lima indikator yang sistematis dalam berpikir kritis, yaitu sebagai berikut: 1 Keterampilan Menganalisis Keterampilan menganalisis merupakan keterampilan menguraikan sebuah struktur ke dalam komponen-komponen agar mengetahui pengorganisasian struktur tersebut. Kata-kata operasional yang mengindikasikan keterampilan berpikir kritis, diantaranya: memerinci, menyusun diagram, membedakan, mengidentifikasi, mengilustrasikan, menyimpulkan, menunjukkan, menghubungkan, memilih, memisahkan, dan membagi Arikunto, 2010: 138. 2 Keterampilan Mensintesis Keterampilan mensintesis adalah keterampilan menggabungkan bagian-bagian menjadi sebuah bentukan atau susunan yang baru. Pertanyaan sintesis menuntut pembaca untuk menyatupadankan semua informasi yang diperoleh dari materi bacaannya, sehingga dapat menciptakan ide-ide baru yang tidak dinyatakan secara eksplisit didalam bacaannya. Kata-kata operasional yang mengindikasikan keterampilan berpikir sintesis, diantaranya:mengategorikan, mengombinasikan, mengarang, menciptakan, menjelaskan, mengorganisasikan, menyusun, menghubungkan, merevisi, menuliskan kembali dan menceritakan Arikunto, 2010: 138. 3 Keterampilan mengenal dan memecahkan masalah Keterampilan ini merupakan keterampilan aplikatif konsep kepada beberapa pengertian baru. Keterampilan ini menuntut pembaca untuk memahami bacaan dengan kritis sehingga setelah kegiatan membaca selesai siswa mampu menangkap beberapa pikiran pokok bacaan, sehingga mampu mempola sebuah konsep. Tujuan keterampilan ini adalah agar pembaca mampu memahami dan menerapkan konsep-konsep ke dalam permasalahan. Kata-kata operasional yang mengindikasikan keterampilan mengenal dan memecahkan masalah diantaranya: mengubah, menghitung, mendemonstrasikan, mengoperasikan, meramalkan, menyiapkan, menghasilkan, menghubungkan, menunjukkan, memecahkan dan menggunakan. 4 Keterampilan Menyimpulkan Keterampilan menyimpulkan menuntut pembaca untuk mampu menguraikan dan memahami bebagai aspek secara bertahap agar sampai kepada suatu formula baru, yaitu sebuah kesimpulan. Proses pemikiran manusia itu sendiri dapat menempuh dua cara, yaitu: deduksi dan induksi. Jadi, kesimpulan merupakan sebuah proses berpikir yang memberdayakan pengetahuannya sedemikian rupa untuk menghasilkan sebuah pemikiran atau pengetahuan yang baru. Kata-kata operasional yang mengindikasikan kemampuan menyimpulkan adalah: menjelaskan, memerinci, menghubungkan, mengategorikan, memisah dan menceritakan. 5 Keterampilan mengevaluasi atau menilai Keterampilan ini menuntut pemikiran yang matang dalam menentukan nilai sesuatu dengan berbagai kriteria yang ada. Keterampilan menilai menghendaki pembaca agar memberikan penilaian tentang nilai yang diukur dengan menggunakan standar tertentu. Dalam taksonomi Bloom, keterampilan mengevaluasi merupakan tahap berpikir kognitif yang paling tinggi. Pada tahap ini siswa dituntut agar ia mampu mensinergikan aspek-aspek kognitif lainnya dalam menilai sebuah fakta atau konsep. Kata-kata operasional yang mengindikasikan kemampuan mengevaluasi atau menilai adalah: menilai, membandingkan, menyimpulkan, mengkritik, mendiskrisikan, menafsirkan, menerangkan, memutuskan Arikunto, 2010: 138. 3. Matematika a. Definisi Matematika Johnson dan Myklebust dalam Sundayana, 2003: 252 berpendapat bahwa matematika merupakan bahasa simbolis yang mempunyai fungsi praktis untuk mengekspresikan hubungan- hubungan kuantitatif dan keruangan. Susanto 2013: 185 mengemukakan bahwa matematika adalah salah satu disiplin ilmu pasti yang mengungkapkan ide-ide abstrak yang berisi bilangan- bilangan serta simbol-simbol operasi hitung yang terdapat aktivitas berhitung dan mampu meningkatkan kemampuan berpikir dan berpendapat dalam memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Matematika menurut James dalam Suwangsih dan Tiurlina, 2006: 4 yaitu ilmu tentang logika, mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya. Matematika terbagi dalam tiga bagian besar yaitu aljabar, analisis, dan geometri. Berdasarkan menurut para ahli tersebut, pneliti menyimpulkan bahwa matematika adalah bahasa simbolis yang mengungkapkan ide- ide abstrak yang berisi tentang operasa hitung untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari. b. Ciri-ciri Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar Pembelajaran matematika di SD selalu berbeda-beda, namun memiliki ciri-ciri secara umum dalam pembelajarannya. Menurut Suwangsih 2006: 25 ciri-ciri pembelajaran matematika di SD yaitu: 1 Pembelajaran matematika menggunakan metode spiral. Pendekatan spiral merupakan pendekatan pembelajaran konsep atau suatu topik matematika selalu dikaitkan dengan topik sebelumnya. Topik sebelumnya dapat digunakan untuk memahami topik baru dalam matematika, sedangkan topik baru merupakan pendalaman dan perluasan dari topik sebelumnya. 2 Pembelajaran matematika bertahap Materi pelajaran matematika diajarkan secara bertahap yaitu mulai dari konsep yang sederhana menuju konsep yang lebih sulit. 3 Pembelajaran matematika menggunakan metode induktif Materi yang dipelajari dalam metematika dimulai dengan mengenalkan contoh-contoh yang konkret sehingga siswa dapat memahami konsep yang ada dalam materi tersebut. 4 Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi. Kebenaran dalam matematika merupakan kebenaran yang konsisten artinya tidak ada pertentangan antara kebenaran yang satu dengan kebenaran yang lainnya. 5 Pembelajaran matematika hendaknya bermakna. Pembelajaran matematika secara bermakna merupakan cara mengajarkan materi yang mengutamakan pengertian dari pada hafalan. Pembelajaran bermakna yang dimaksud siswa harus mempelajari matematika mulai dari proses terbentuknya suatu konsep kemudian berlatih menerapkan dan memanipulasi konsep pada situasi baru. c. Langkah-langkah Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar Guru hendaknya dapat menyajikan pembelajaran yang efektif dan efisien sesuai dengan kurikulum dan pola pikir siswa sehingga dapat mengembangkan kreativitas dan kompetensi siswa supaya siswa terampil menggunakan konsep matematika dalam kehidupan sehari- hari. Guru mengajarkan matematika harus memahami bahwa kemampuan setiap siswa berbeda-beda dan tidak semua siswa senang terhadap pelajaran matematika. Menurut Heruman 2007: 2 konsep-konsep pada kurikulum matematika SD dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: 1 Pengenalan Konsep Dasar Penanaman Konsep Pengenalan Konsep Dasar Penanaman Konsep adalah pembelajaran suatu konsep baru matematika, ketika siswa belum pernah mempelajari konsep tersebut. Kita dapat mengetahui konsep ini dari isi kurikulum yang dicirikan dengan kata mengenal. Pembelajaran penanaman konsep dasar merupakan jembatan yang dapat menghubungkan kemampuan kognitif siswa yang konkret dengan konsep baru matematika yang abstrak. Media atau alat peraga dapat membantu kemampuan pola pikir siswa. 2 Pemahaman Konsep Pemahaman Konsep adalah pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep yang bertujuan agar siswa lebih memahami suatu konsep matematika. Kelanjutan pembelajaran dapat terjadi dalam satu pertemuan yang sama atau pada pertemuan yang berbeda. 3 Pembinaan Keterampilan Pembinaan Keterampilan adalah pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep dan pemahaman konsep. Pembinaan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI keterampilan bertujuan agar siswa lebih terampil dalam menggunakan konsep matematika. d. Materi Pembelajaran 1 Perkalian Konsep perkalian adalah penjumlahan berulang. 2 Pembagian Konsep pembagian adalah pengurangan berulang. 4. Contextual Teaching Learning CTL a. Pengertian Contextual Teaching Learning CTL Contextual Teaching Learning CTL adalah sebuah sistem yang bersifat menyeluruh yang menyerupai cara alam bekerja Johnson, 2007: 32. Menurut Wina 2006: 253, Contextual Teaching and Learning CTL adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan peserta didik secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong peserta didik untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Sistem CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks pribadi, sosial dan budaya mereka Johnson, 2007: 67. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa, Contextual Teaching Learning CTL adalah sebuah pendekatan yang menghubungkan materi pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari. Proses pembelajaran kontekstual memungkinkan terjadinya lima bentuk belajar yang penting, yaitu: 1 Mengaitkan relating Mengaitkan adalah strategi yang paling hebat dan merupakan inti konstruktivisme. Guru menggunakan strategi ini ketika ia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang sudah dikenal siswa. Pendapat lainnya diutarakan oleh Michael Crawford dan Mary Witte “relating is the most powerful contextual teaching strategy and is at the heart of constructivism ” 1999: 35 yang secara bebas diartikan bahwa keterhubungan adalah kekuatan terpenting dalam pembelajaran kontekstual dan itu juga merupakan maknainti dari konstruktivisme. Mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan informasi baru merupakan kekuatan pendekatan kontekstual yang sekaligus merupakan inti dari konstruktivisme. 2 Mengalami experiencing Mengalami merupakan inti belajar kontekstual dimana mengaitkan berarti menghubungkan informasi baru dengan pengalaman maupun pengetahuan sebelumnya. Michael Crawford dan Mary Witte 1999: 35 megatakan bahwa “relating draw on the life experiences that students bring to the class room. Teacher also help students construct new knowledge by orchestratrating hand-on experiences inside the classroom ” yang artinya keterhubungan berkembang dalam pengalaman hidup yang bebas dibawa ke dalam kelas oleh siswa. Guru selalu membantu siswa membangun pengetahuan baru dengan menyusun sendiri pengalamannya di dalam kelas. Belajar dapat terjadi lebih cepat ketika siswa dapat memanipulasi peralatan dan bahan serta melakukan bentuk-bentuk penelitian yang aktif. 3 Menerapkan applying Siswa menerapkan suatu konsep ketika ia melakukan kegiatan pemecahan masalah. Crawford dan Mary Witte mengungkapkan bahwa “applying as learning by putting the concept to use” yang artinya aplikasi ini seperti belajar dengan mengambil konsep untuk digunakan. Guru dapat memotivasi siswa dengan memberikan latihan yang realistis dan relevan. 4 Bekerjasama cooperating Siswa yang bekerja secara individu sering tidak membantu kemajuan yang signifikan. Sebaliknya, siswa yang yang bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi masalah yang komplek dengan sedikit bantuan. Pengalaman kerjasama tidak hanya membantu siswa mempelajari bahan ajar, tetapi konsisten dengan dunia nyata. Menurut Crawford dan Mary Witte 1999: 37 “working with their peers in small groups most student feel less self-consciousness and can ask questions without a threat of embarrassment ” yang diartikan bahwa bekerja dengan teman sebaya dalam kelompok kecil membuat banyak siswa percaya diri dan dapat mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan ancaman kesukaran dalam pembelajarannya. 5 Mentransfer transfering Peran guru membuat bermacam-macam pengalaman belajar dengan fokus pada pemahaman bukan hafalan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI b. Ciri-Ciri Pendekatan Kontekstual Blanchard mengemukakan ciri-ciri kontekstual antara lain: 1 Menekanakan pada pentingnya pemecahan masalah, 2 Kegiatan belajar dilakukan dalam berbagai konteks, 3 Kegiatan belajar dipantau dan diarahkan agar siswa dapat belajar mandiri, 4 Mendorong siswa untuk belajar dengan temannya dalam kelompok atau secara mandiri, 5 Pelajaran menekankan pada konteks kehidupan siswa yang berbeda- beda, dan 6 Menggunakan penilaian autentik. c. Komponen-Komponen Pendekatan Kontekstual Menurut Wina Sanjaya 2007: 262 CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki tujuh asas. Asas-asas ini yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL. Sering kali asas-asas ini disebut juga komponen-komponen CTL. Selanjutnya ketujuh asas dijelaskan di bawah ini: 1 Konstruktivisme constructivism Kontruktivime merupakan landasan berpikir CTL. Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman, yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, mengingat pengetahuan tetapi merupakan suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental membangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur pengetahuan yang dimilikinya. 2 Menemukan Inquiry Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan kontekstual, karena pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. Kegiatan menemukan inquiry merupakan sebuah siklus yang terdiri dari perumusan masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan dan yang terakhir membuat kesimpulan. 3 Bertanya Questioning Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu, sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir. Kegiatan bertanya berguna untuk: a Menggali informasi baik administrasi maupun akademis. b Menggali pemahaman siswa. c Membangkitkan respon kepada siswa. d Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa. e Mengetahui hal-hal yang sudah siketahui siswa. f Menfokuskan perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru. g Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa. 4 Masyarakat Belajar Learning Community Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dari orang lain. Hasil belajar diperoleh dari “sharing” antar teman, antar kelompok, dan antar yang tahu ke yang belum tahu. Masyarakat belajar terjadi apabila ada komunikasi dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar. 5 Pemodelan Modeling Pemodelan pada dasarnya membahasakan yang dipikirkan, mendemonstrasi bagaimana guru menginginkan siswanya melakukan apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan. Pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa dan juga mendatangkan dari luar. 6 Refleksi Reflection Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Refleksi merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Realisasinya dalam pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh hari itu. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 7 Penilaian Sebenarnya Authentic Assessment Penilaian sebenarnya tidak dilakukan di akhir periode seperti EBTAEBTANAS, tetapi dilakukan bersama dengan terintegrasi tidak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran. Penilaian dalam pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontekstual ini dilakukan dengan mengamati peserta didik menggunakan bahasa. Pengamatan tersebut dapat dilakukan baik di kelas maupun di luar kelas. Kemajuan belajar siswa dilihat dari proses bukan semata- mata dari hasil. Penilaian bukan hanya dari guru tetapi dapat juga dari teman atau orang lain.

B. Penelitian yang Relevan

Dokumen yang terkait

Peningkatan hasil belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa kelas V SD Negeri Sarikarya pada materi satuan jarak dan kecepatan melalui model pembelajaran kontekstual.

5 32 344

Peningkatan hasil belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa kelas VB pada materi KPK dan FPB melalui model pembelajaran kontekstual SD Kanisius Ganjuran.

0 7 291

Peningkatan hasil belajar dan kemampuan berpikir kritis Matematika siswa kelas VB pada materi pengukuran waktu melalui pembelajaran kontekstual SDN Perumnas Condongcatur.

0 1 356

Peningkatan hasil belajar dan kemampuan berpikir kritis Matematika kelas IIIB pada materi operasi hitung campuran melalui model pembelajaran kontekstual SDN Perumnas Condongcatur.

0 4 421

Peningkatan hasil belajar dan kemampuan berpikir kritis Matematika kelas III pada materi perkalian dan pembagian melalui pembelajaran Problem Based Learning SD Kanisius Klepu.

0 0 212

Peningkatan hasil belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa kelas IV pada materi KPK dan FPB melalui model pembelajaran kontekstual SD Kanisius Ganjuran.

0 15 303

Peningkatan hasil belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa kelas IIIA pada materi perkalian dan pembagian melalui model pembelajaran kontekstual di SD Negeri Jongkang.

0 0 249

Peningkatan hasil belajar dan kemampuan berpikir kritis Matematika siswa kelas III pada materi operasi hitung campuran melalui model pembelajaran kontekstual SD Negeri Plaosan 1.

0 5 393

Peningkatan hasil belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa kelas III SD Negeri Karangmloko 1 pada materi operasi hitung perkalian dan pembagian melalui pendekatan pembelajaran kontekstual.

1 9 359

Peningkatan hasil belajar dan kemampuan berpikir kritis Matematika kelas III A pada materi perkalian dan pembagian melalui pembelajaran PBL di SD Negeri Denggung.

0 1 232