8
BAB II LANDASAN TEORI
Peneliti akan membahas mengenai landasan teori, penelitian yang relevan, kerangka berpikir, dan hipotesis tindakan pada bab II ini. Keempat hal tersebut
akan diuraikan sebagai berikut.
A. Kajian Pustaka
1.
Hasil Belajar a.
Hakikat Belajar
Abdillah dalam Aunurrahman 2010 berpendapat bahwa belajar bukanlah sekedar mengumpulkan pengetahuan, belajar merupakan
proses mental yang terjadi dalam diri seseorang. Suatu usaha sadar yang dilakukan oleh individu dalam perubahan tingkah laku baik
melalui latihan dan pengembangan yang menyangkut aspek-aspek kognitif, afektif dan psikomotorik untuk memperoleh tujuan tertentu.
Menurut Fontana dalam Winataputra, 2008: 81 bahwa belajar adalah proses perubahan yang relatif tetap dalam perilaku individu sebagai
hasil dari pengalaman. Melalui proses belajar maka akan terjadi suatu perubahan pada diri seseorang, hal ini juga diungkapkan oleh Sanjaya
2007:112 bahwa belajar dianggap sebagai proses perubahan perilaku sebagai akibat dari pengalaman dan latihan.
Proses belajar akan terjadi apabila peserta didik melakukan kegiatan untuk mempelajari sesuatu yang ada di lingkungannya,
melalui manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan maupun benda-benda lain PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang dijadikan bahan belajar. Objek tersebut juga akan menjadi sumber belajar bagi anak. Setiap aktivitas belajar akan menghasilkan
perubahan-perubahan, yang dapat berupa tingkah laku, kecakapan, sikap, minat, nilai maupun pola beraktivitas.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa belajar adalah proses perubahan perilaku dan mental individu
yang didapat dari pengalaman dan latihan. b.
Hakikat Hasil Belajar Sudjana 2005:5 menyatakan bahwa hasil belajar siswa pada
hakikatnya adalah perubahan tingkah laku dan sebagai umpan balik dalam upaya memperbaiki proses belajar mengajar. Kemudian
Widoyoko 2009: 1 berpendapat bahwa hasil belajar terkait dengan pengukuran, kemudian akan terjadi suatu penilaian dan menuju
evaluasi baik menggunakan tes maupun non-tes. Semua perubahan dari proses belajar merupakan suatu hasil belajar dan mengakibatkan
manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya. Hasil belajar yang akan diperoleh oleh seseorang meliputi 3 ranah
yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Klasifikasi hasil belajar tersebut dijelaskan oleh Benjamin Bloom dalam Sudjana, 2005: 22
yang meliputi ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik sebagai berikut:
1 Ranah Kognitif
Evaluasi aspek kognitif, mengukur pemahaman konsep yang terkait dengan percobaan yang dilakukan untuk aspek pengetahuan
evaluasi dapat dilakukan melalui tes tertulis yang relevan dengan materi pokok tersebut. Aspek kognitif dapat berupa pengetahuan
dan keterampilan intelektual yang meliputi: pengamatan, pemahaman, aplikasi, analisis, dan evaluasi.
2 Ranah Afektif
Evaluasi aspek afektif berkaitan dengan perasaan, emosi, sikap, derajat penerimaan atau penolakan terhadap suatu objek. Evaluasi
aspek afektif dalam hal ini digunakan untuk penilaian kecakapan hidup meliputi kesadaran diri, kecakapan berpikir rasional,
kecakapan sosial, dan kecakapan akademis. Aspek ini belum ada patokan yang pasti dalam penilaiannya.
3 Ranah Psikomotorik
Pengukuran keberhasilan pada aspek psikomotor ditunjukkan pada keterampilan dalam merangkai alat keterampilan kerja dan
ketelitian dalam mendapatkan hasil. Evaluasi dari aspek keterampilan yang dimiliki oleh siswa bertujuan untukmengukur
sejauh mana siswa menguasai teknik praktikum. Aspek ini menitikberatkan pada unjuk kerja siswa.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa hasil belajar adalah hasil yang diperoleh siswa setelah melalui
kegiatan belajar yang ditunjukkan dari nilai tes yang diberikan oleh guru.
2.
Kemampuan Berpikir Kritis
Johnson 2007: 183 kemampuan berpikir kritis merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental
seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisis asumsi, dan melakukan pnelitian ilmiah. Selain itu menurut
Johnson, 2007: 183 berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpendapat dengan cara yang terorganisasi. Berpikir kritis sebagai berpikir untuk
menyelidiki secara sistematis proses belajar itu sendiri Chaffee, dalam Johnson 2007. Tujuan dari berpikir kritis adalah untuk mencapai
pemahaman yang mendalam Johnson, 2007: 185. Richard dalam Kasdin, 2012:
5 “Berpikir kritis adalah proses disiplin secara intelektual dimana seseorang secara aktif dan terampil memahami mengaplikasikan,
menganalisis, mensintesakan dan mengevaluasi berbagai informasi yang dia kumpulkan atau yang dia ambil dari pengalaman, pengamatan, refleksi
yang dilakukannya, penalaran atau komunikasi yang dilakukannya”. Menurut Halpen dalam Achmad, 2007 berpikir kritis adalah
memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan.
Proses tersebut
dilalui setelah
menentukan tujuan,
mempertimbangkan dan mengacu langsung pada sasaran. Selanjutnya menurut Anggelo dalam Achmad, 2007 juga menjelaskan bahwa berpikir
kritis adalah mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang tinggi, yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan, dan mengevaluasi.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa berpikir kritis adalah pemikiran yang baik dari setiap individu
untuk memecahkan masalah, mengambil keputusan, dan melakukan penelitian ilmiah serta menyelidiki secara sistematis proses belajar.
a. Tujuan Berpikir Kritis
Tujuan berpikir kritis adalah untuk mencapai pemahaman yang mendalam dan membuat kita mengerti maksud dibalik ide yang
mengarahkan hidup kita setiap hari serta mengungkapkan akan dibalik suatu kejadian Johnson, 2007: 185. Mencapai pemahaman yang
mendalam yaitu dengan mengedepankan proses, sehingga siswa mampu memahami materi dan menyelesaikan suatu masalah
matematis. b.
Indikator Berpikir Kritis Indikator keterampilan berpikir kritis dapat diungkapkan melalui
aspek-aspek perilaku yang diungkapkan dalam definisi berpikir kritis. Menurut beberapa definisi yang diungkapkan, terdapat beberapa
kegiatan atau perilaku yang mengindikasikan bahwa perilaku tersebut merupakan kegiatan-kegiatan dalam berpikir kritis. Angelo dalam
Achmad, 2007 mengidentifikaasi lima indikator yang sistematis dalam berpikir kritis, yaitu sebagai berikut:
1 Keterampilan Menganalisis
Keterampilan menganalisis
merupakan keterampilan
menguraikan sebuah struktur ke dalam komponen-komponen agar mengetahui
pengorganisasian struktur
tersebut. Kata-kata
operasional yang mengindikasikan keterampilan berpikir kritis, diantaranya: memerinci, menyusun diagram, membedakan,
mengidentifikasi, mengilustrasikan, menyimpulkan, menunjukkan, menghubungkan, memilih, memisahkan, dan membagi Arikunto,
2010: 138. 2
Keterampilan Mensintesis Keterampilan mensintesis adalah keterampilan menggabungkan
bagian-bagian menjadi sebuah bentukan atau susunan yang baru. Pertanyaan sintesis menuntut pembaca untuk menyatupadankan
semua informasi yang diperoleh dari materi bacaannya, sehingga dapat menciptakan ide-ide baru yang tidak dinyatakan secara
eksplisit didalam bacaannya. Kata-kata operasional yang mengindikasikan
keterampilan berpikir
sintesis, diantaranya:mengategorikan,
mengombinasikan, mengarang,
menciptakan, menjelaskan,
mengorganisasikan, menyusun,
menghubungkan, merevisi, menuliskan kembali dan menceritakan Arikunto, 2010: 138.
3 Keterampilan mengenal dan memecahkan masalah
Keterampilan ini merupakan keterampilan aplikatif konsep kepada beberapa pengertian baru. Keterampilan ini menuntut
pembaca untuk memahami bacaan dengan kritis sehingga setelah kegiatan membaca selesai siswa mampu menangkap beberapa
pikiran pokok bacaan, sehingga mampu mempola sebuah konsep. Tujuan keterampilan ini adalah agar pembaca mampu memahami
dan menerapkan konsep-konsep ke dalam permasalahan. Kata-kata operasional yang mengindikasikan keterampilan mengenal dan
memecahkan masalah diantaranya: mengubah, menghitung, mendemonstrasikan, mengoperasikan, meramalkan, menyiapkan,
menghasilkan, menghubungkan, menunjukkan, memecahkan dan menggunakan.
4 Keterampilan Menyimpulkan
Keterampilan menyimpulkan menuntut pembaca untuk mampu menguraikan dan memahami bebagai aspek secara bertahap agar
sampai kepada suatu formula baru, yaitu sebuah kesimpulan. Proses pemikiran manusia itu sendiri dapat menempuh dua cara,
yaitu: deduksi dan induksi. Jadi, kesimpulan merupakan sebuah proses berpikir yang memberdayakan pengetahuannya sedemikian
rupa untuk menghasilkan sebuah pemikiran atau pengetahuan yang baru. Kata-kata operasional yang mengindikasikan kemampuan
menyimpulkan adalah: menjelaskan, memerinci, menghubungkan, mengategorikan, memisah dan menceritakan.
5 Keterampilan mengevaluasi atau menilai
Keterampilan ini menuntut pemikiran yang matang dalam menentukan nilai sesuatu dengan berbagai kriteria yang ada.
Keterampilan menilai menghendaki pembaca agar memberikan penilaian tentang nilai yang diukur dengan menggunakan standar
tertentu. Dalam taksonomi Bloom, keterampilan mengevaluasi merupakan tahap berpikir kognitif yang paling tinggi. Pada tahap
ini siswa dituntut agar ia mampu mensinergikan aspek-aspek kognitif lainnya dalam menilai sebuah fakta atau konsep. Kata-kata
operasional yang mengindikasikan kemampuan mengevaluasi atau menilai
adalah: menilai,
membandingkan, menyimpulkan,
mengkritik, mendiskrisikan,
menafsirkan, menerangkan,
memutuskan Arikunto, 2010: 138. 3.
Matematika
a. Definisi Matematika
Johnson dan Myklebust dalam Sundayana, 2003: 252 berpendapat bahwa matematika merupakan bahasa simbolis yang
mempunyai fungsi praktis untuk mengekspresikan hubungan- hubungan
kuantitatif dan
keruangan. Susanto
2013: 185
mengemukakan bahwa matematika adalah salah satu disiplin ilmu pasti yang mengungkapkan ide-ide abstrak yang berisi bilangan-
bilangan serta simbol-simbol operasi hitung yang terdapat aktivitas berhitung dan mampu meningkatkan kemampuan berpikir dan
berpendapat dalam memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Matematika menurut James dalam Suwangsih dan Tiurlina, 2006: 4
yaitu ilmu tentang logika, mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya.
Matematika terbagi dalam tiga bagian besar yaitu aljabar, analisis, dan geometri.
Berdasarkan menurut para ahli tersebut, pneliti menyimpulkan bahwa matematika adalah bahasa simbolis yang mengungkapkan ide-
ide abstrak yang berisi tentang operasa hitung untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
b. Ciri-ciri Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Pembelajaran matematika di SD selalu berbeda-beda, namun memiliki ciri-ciri secara umum dalam pembelajarannya. Menurut
Suwangsih 2006: 25 ciri-ciri pembelajaran matematika di SD yaitu: 1
Pembelajaran matematika menggunakan metode spiral. Pendekatan spiral merupakan pendekatan pembelajaran konsep
atau suatu topik matematika selalu dikaitkan dengan topik sebelumnya. Topik sebelumnya dapat digunakan untuk memahami
topik baru dalam matematika, sedangkan topik baru merupakan pendalaman dan perluasan dari topik sebelumnya.
2 Pembelajaran matematika bertahap
Materi pelajaran matematika diajarkan secara bertahap yaitu mulai dari konsep yang sederhana menuju konsep yang lebih sulit.
3 Pembelajaran matematika menggunakan metode induktif
Materi yang dipelajari dalam metematika dimulai dengan mengenalkan contoh-contoh yang konkret sehingga siswa dapat
memahami konsep yang ada dalam materi tersebut. 4
Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi. Kebenaran dalam matematika merupakan kebenaran yang
konsisten artinya tidak ada pertentangan antara kebenaran yang satu dengan kebenaran yang lainnya.
5 Pembelajaran matematika hendaknya bermakna.
Pembelajaran matematika secara bermakna merupakan cara mengajarkan materi yang mengutamakan pengertian dari pada
hafalan. Pembelajaran bermakna yang dimaksud siswa harus mempelajari matematika mulai dari proses terbentuknya suatu
konsep kemudian berlatih menerapkan dan memanipulasi konsep pada situasi baru.
c. Langkah-langkah Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Guru hendaknya dapat menyajikan pembelajaran yang efektif dan efisien sesuai dengan kurikulum dan pola pikir siswa sehingga dapat
mengembangkan kreativitas dan kompetensi siswa supaya siswa terampil menggunakan konsep matematika dalam kehidupan sehari-
hari. Guru mengajarkan matematika harus memahami bahwa kemampuan setiap siswa berbeda-beda dan tidak semua siswa senang
terhadap pelajaran matematika. Menurut Heruman 2007: 2 konsep-konsep pada kurikulum
matematika SD dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: 1
Pengenalan Konsep Dasar Penanaman Konsep Pengenalan Konsep Dasar Penanaman Konsep adalah
pembelajaran suatu konsep baru matematika, ketika siswa belum pernah mempelajari konsep tersebut. Kita dapat mengetahui
konsep ini dari isi kurikulum yang dicirikan dengan kata mengenal. Pembelajaran penanaman konsep dasar merupakan jembatan yang
dapat menghubungkan kemampuan kognitif siswa yang konkret dengan konsep baru matematika yang abstrak. Media atau alat
peraga dapat membantu kemampuan pola pikir siswa. 2
Pemahaman Konsep Pemahaman Konsep adalah pembelajaran lanjutan dari
penanaman konsep yang bertujuan agar siswa lebih memahami suatu konsep matematika. Kelanjutan pembelajaran dapat terjadi
dalam satu pertemuan yang sama atau pada pertemuan yang berbeda.
3 Pembinaan Keterampilan
Pembinaan Keterampilan adalah pembelajaran lanjutan dari penanaman
konsep dan
pemahaman konsep.
Pembinaan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
keterampilan bertujuan agar siswa lebih terampil dalam menggunakan konsep matematika.
d. Materi Pembelajaran
1 Perkalian
Konsep perkalian adalah penjumlahan berulang.
2 Pembagian
Konsep pembagian adalah pengurangan berulang.
4.
Contextual Teaching Learning CTL
a. Pengertian Contextual Teaching Learning CTL
Contextual Teaching Learning CTL adalah sebuah sistem yang bersifat menyeluruh yang menyerupai cara alam bekerja Johnson,
2007: 32. Menurut Wina 2006: 253, Contextual Teaching and Learning CTL adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan
kepada proses keterlibatan peserta didik secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan
situasi kehidupan nyata sehingga mendorong peserta didik untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Sistem CTL adalah sebuah
proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara
menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks pribadi, sosial dan
budaya mereka Johnson, 2007: 67. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, peneliti menyimpulkan
bahwa, Contextual Teaching Learning CTL adalah sebuah pendekatan yang menghubungkan materi pembelajaran dengan
kehidupan sehari-hari. Proses pembelajaran kontekstual memungkinkan terjadinya lima
bentuk belajar yang penting, yaitu: 1
Mengaitkan relating Mengaitkan adalah strategi yang paling hebat dan merupakan
inti konstruktivisme. Guru menggunakan strategi ini ketika ia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang sudah dikenal
siswa. Pendapat lainnya diutarakan oleh Michael Crawford dan Mary Witte “relating is the most powerful contextual teaching
strategy and is at the heart of constructivism ” 1999: 35 yang
secara bebas diartikan bahwa keterhubungan adalah kekuatan terpenting dalam pembelajaran kontekstual dan itu juga merupakan
maknainti dari konstruktivisme. Mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan informasi baru merupakan kekuatan
pendekatan kontekstual yang sekaligus merupakan inti dari konstruktivisme.
2 Mengalami experiencing
Mengalami merupakan inti belajar kontekstual dimana mengaitkan berarti menghubungkan informasi baru dengan
pengalaman maupun pengetahuan sebelumnya. Michael Crawford dan Mary Witte 1999: 35 megatakan bahwa “relating draw on
the life experiences that students bring to the class room. Teacher also help students construct new knowledge by orchestratrating
hand-on experiences inside the classroom ” yang artinya
keterhubungan berkembang dalam pengalaman hidup yang bebas dibawa ke dalam kelas oleh siswa. Guru selalu membantu siswa
membangun pengetahuan baru dengan menyusun sendiri pengalamannya di dalam kelas. Belajar dapat terjadi lebih cepat
ketika siswa dapat memanipulasi peralatan dan bahan serta melakukan bentuk-bentuk penelitian yang aktif.
3 Menerapkan applying
Siswa menerapkan suatu konsep ketika ia melakukan kegiatan pemecahan masalah. Crawford dan Mary Witte mengungkapkan
bahwa “applying as learning by putting the concept to use” yang artinya aplikasi ini seperti belajar dengan mengambil konsep untuk
digunakan. Guru dapat memotivasi siswa dengan memberikan latihan yang realistis dan relevan.
4 Bekerjasama cooperating
Siswa yang bekerja secara individu sering tidak membantu kemajuan yang signifikan. Sebaliknya, siswa yang yang bekerja
secara kelompok sering dapat mengatasi masalah yang komplek dengan sedikit bantuan. Pengalaman kerjasama tidak hanya
membantu siswa mempelajari bahan ajar, tetapi konsisten dengan dunia nyata. Menurut Crawford dan Mary Witte 1999: 37
“working with their peers in small groups most student feel less self-consciousness and can ask questions without a threat of
embarrassment ” yang diartikan bahwa bekerja dengan teman
sebaya dalam kelompok kecil membuat banyak siswa percaya diri dan
dapat mengungkapkan
pertanyaan-pertanyaan yang
berhubungan dengan ancaman kesukaran dalam pembelajarannya. 5
Mentransfer transfering Peran guru membuat bermacam-macam pengalaman belajar
dengan fokus pada pemahaman bukan hafalan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
b. Ciri-Ciri Pendekatan Kontekstual
Blanchard mengemukakan ciri-ciri kontekstual antara lain: 1 Menekanakan pada pentingnya pemecahan masalah, 2 Kegiatan
belajar dilakukan dalam berbagai konteks, 3 Kegiatan belajar dipantau dan diarahkan agar siswa dapat belajar mandiri, 4 Mendorong siswa
untuk belajar dengan temannya dalam kelompok atau secara mandiri, 5 Pelajaran menekankan pada konteks kehidupan siswa yang berbeda-
beda, dan 6 Menggunakan penilaian autentik. c.
Komponen-Komponen Pendekatan Kontekstual Menurut Wina Sanjaya 2007: 262 CTL sebagai suatu pendekatan
pembelajaran memiliki tujuh asas. Asas-asas ini yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
CTL. Sering kali asas-asas ini disebut juga komponen-komponen CTL. Selanjutnya ketujuh asas dijelaskan di bawah ini:
1 Konstruktivisme constructivism
Kontruktivime merupakan
landasan berpikir
CTL. Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun
pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman, yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar
menghafal, mengingat pengetahuan tetapi merupakan suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental
membangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur pengetahuan yang dimilikinya.
2 Menemukan Inquiry
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan kontekstual, karena pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa
diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. Kegiatan menemukan inquiry
merupakan sebuah siklus yang terdiri dari perumusan masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis
berdasarkan data yang ditemukan dan yang terakhir membuat kesimpulan.
3 Bertanya Questioning
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dipandang sebagai
refleksi dari keingintahuan setiap individu, sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir.
Kegiatan bertanya berguna untuk: a
Menggali informasi baik administrasi maupun akademis. b
Menggali pemahaman siswa. c
Membangkitkan respon kepada siswa. d
Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa. e
Mengetahui hal-hal yang sudah siketahui siswa. f
Menfokuskan perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru. g
Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
4 Masyarakat Belajar Learning Community
Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dari orang lain. Hasil belajar
diperoleh dari “sharing” antar teman, antar kelompok, dan antar
yang tahu ke yang belum tahu. Masyarakat belajar terjadi apabila ada komunikasi dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat
dalam komunikasi pembelajaran saling belajar. 5
Pemodelan Modeling Pemodelan pada dasarnya membahasakan yang dipikirkan,
mendemonstrasi bagaimana
guru menginginkan
siswanya melakukan apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan.
Pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa dan juga mendatangkan
dari luar. 6
Refleksi Reflection Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang
dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Refleksi
merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah
dilakukan dimasa lalu. Realisasinya dalam pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi yang
berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh hari itu. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7 Penilaian Sebenarnya Authentic Assessment
Penilaian sebenarnya tidak dilakukan di akhir periode seperti EBTAEBTANAS, tetapi dilakukan bersama dengan terintegrasi
tidak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran. Penilaian dalam pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontekstual ini
dilakukan dengan mengamati peserta didik menggunakan bahasa. Pengamatan tersebut dapat dilakukan baik di kelas maupun di luar
kelas. Kemajuan belajar siswa dilihat dari proses bukan semata- mata dari hasil. Penilaian bukan hanya dari guru tetapi dapat juga
dari teman atau orang lain.
B. Penelitian yang Relevan