sediakan. Selain menolong dalam bentuk tenaga informan ini juga elalu ikut menyumbangkan u`ang dalam acara sesudah acara adat, yaitu dalam acara
“margugu”, meskipun tidak mampu memberikan sumbangan dengan nominal banyak, beliau tetap berusaha untuk membantu semampunya. Menurut beliau
kegiatan tersebut tidak hanya dinilai dari materi yang diberikan saja, melainkan keikutsertaan dalam berkontribusi sebagai bentuk solidaritas
didalam desa merupakan hal yang penting meskipun tidak yang utama. Menurut beliau dalam menolong dalam acara
“margugu” ini tidak dipaksakan berapa nominal yang harus kita berikan, namun kita membantu
semaksimal mungkin semampu kita. Tak jarang beliau tidak hanya menyumbangkan uangnya tetapi ikut menyumbangkan suaranya melaui
bernyanyi didalam acara tersebut disela-sela penghitungan dana. Dalam kegiatan keagamaan Beliau tidak memiliki jabatan khusus didalam gereja
namun beliau cukup rajin untuk datang beribadah ke gereja. Waktu beliau juga banyak dihabiskan dengan bersosialisasi yaitu dengan pergi ke
“pakter tuak” untuk minum sambil mengobrol dengan teman-temannya yang ada di
lokasi tersebut.
f. Herman Damanik
Beliau merupakan seorang suami dan seorang ayah dari empat orang anaknya. Informan ini berusia 45 tahun. Beliau merupakan orang asli
Simalungun yang sejak lahir telah tinggal di desa Marubun Lokkung. Keseharian beliau adalah bekerja sebagai penyadap karet di lahan karet
miliknya sendiri. Namun menurut beliau hasil dari penjualan karet yang
Universitas Sumatera Utara
dihasilkannya tidak terlalu banyak, sehingga beliau masih bingun apakah beliau akan menyekolahkan anaknya hingga perguruan tingi, karena tahun
depan anak sulungnya akan tamat dari Sekolah Menengah Atas SMA. Namun beliau tetap berharap agar bisa memasukkan anaknya ke perguruan
tinggi. Disela-sela terpaan ekonomi beliau tetap berusaha memenuhi tanggung jawabnya sebagai warga desa marubun Lokkung. Dengan ikut bergotong
royong dalam pesta adat beliau sudah merasa senang karena ikut berkontribusi dalam sebuah acara adat. Menurut beliau dengan ikut bergotong royong dalam
bentuk “marhobas” merupakan dukungan yang diberikannya kepada
penghelat sebuah pesta adat. Beliau juga tidak hanya memberikan dukungan dalam bentuk tenaga dalam gotong royong, tetapi beliau juga ikut dalam
memberikan bantuan dana melalui acara “margugu” menurut beliau
meskipun tidak ada unsure pakasaan dalam acara ini beliau merasa selalu penting untuk memberikan bantuan seadanya dan semampunya, karena itu
merupakan acara bersama. Dalam kegiatan keagamaan beliau merupakan salah satu anggota majelis jemaat di gereja. Sebagai salah satu pengurus
beliau cukup rajin bersosialisasi dengan ikut kebaktian bersama di gereja.
4.6 Interpretasi Data penelitian 4.6.1
Manfaat “margugu” Bagi Masyarakat Desa Marubun
Tradisi “margugu” merupakan sebuah kebiasaan yang dilakukan oleh orang tua terdahulu di Simalungun dan terkhusus di Desa Marubun Lokkung.
Universitas Sumatera Utara
Dibuatnya kegiatan “margugu” oleh pendahulu desa marubun Lokkung pada awalnya bertujuan untuk membantu masyarakat yang kurang mampu secara
ekonomi, namun ingin memenuhi persyaratan adat khususnya dalam adat pernikahan. Lambat laun kegiatan “margugu” di desa ini tidak hanya
diperuntukkan bagi yang tidak mampu secara financial saja, tetapi dilakukan bagi setiap orang yang ingin menjalankan sebuah acara adat tanpa terkecuali.
Kejadian “margugu” terus berulang-ulang dan menjadi sebuah kebiasaan dan menjelma sebagai kebudayaan di desa Marubun Lokkung. Kebiasaan
merupakan sebuah tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang dan memilki daya ikat yang kuat. Kebiasaan dapat terjadi secara berulang karena
masyarakat menyetujui ataupun senang dengan kebiasaan tersebut, karena memiliki manfaat yang positif.
Seperti penuturan dari salah seorang informan yaitu, Darwin Purba Laki-laki, 60 tahun
“oppung-oppung kampung kita dulu membikin acara “margugu” seperti ini itu karena keadaan… jamannya mereka itu ekonomi sangat susah… cuman
sedikit yang bisa dikatakan mampu.. sedangkan sama kita orang Simalungun adat itu perlu dijalankan karena kalo belum menjalankan adat belum sah
atau belum penuhlah istilahny
a menjadi orang simalungun… sedangkan mau menjalankan adat perlu dana yang banyak… ya cuman orang yang mampulah
bisa menjalankan adat ikut memestakannya… jadi berembuklah dulu oppung- oppung kita biar semua bisa menjalankan adat sama memestakannya
disepakat ilah ada acara “margugu” setiap ada pesta… berbeda sama
“margugu” di kampung lain… margugu di kampung ini menutupi seluruh biaya pesta selama satu hari itu… mulai dari situlah orang kampung ini gak
takut-takut lagi mau memestakan adat pernikahan anaknya karena sudah ditanggung bersama… jadi tidak ada berhutang kalo mau pesta… malahan
setelah ada “margugu” ini selain terbantu… yang pesta itu dapat untung…
Universitas Sumatera Utara
Pernyataan serupa juga disampaikan informan berikut ini yaitu, Jaminson Sipayung Laki-laki, 56 tahun
“memang beruntung kalilah ada “margugu” semacam ini di kampung kita ini… kenapa kubilang beruntung… karena sangat membantu terutama bagi
yang mau memenuhi adat… aku sendiri sudah merasakan manfaatnya pas menikahkan anakku si Roi itu… waktu itu pas mau mempersiapkan pestanya
mulai dari tonggo raja… orang satu kampung ini sangat membantu… pas acara pestapun gak rasa takutku apa yang datang kepesta itu dapat makan
apa tidak… karena kulihatpun parhobas itu sangat aktif dan itu kan dikordinir pula…jadi aku sudah percaya… apalagi pas “margugu” itu saya
melihat ramenya yang datang cuman mau memberi gugunya… disitulah aku bangga sama satu kampung ini.. karena persatuannya itu kuat.. udah berapa
kampung kudatangi khusus acara “margugu” itu enngak ada yang kayak dikam
pung ini… kalo disini nggak cuman biaya pesta tertutupi,kayak pesta kami waktu pernikahan si Roi dapat untung… jadi kurasa kami nggak cuman
terbantu dana saja tapi melihat satu kampung datang membantu kita mentalpun jadi ringan… itulah enaknya.. makanya akupun mengucapkan
terimakasihlah sama satu kampung ini karena masih menjaga persatuan… Hal senada juga dikatakan oleh informan yang satu ini, Laksaroi Purba laki-laki, 62
tahun “kalo ditanya manfaat “margugu” ya menurutku sangat bermanfaat…
apalagi sama orang seperti aku ini… kalo aku sendiri dulu yang memestakan
laemu si Lukman itu manalah sanggup aku menanggung biayanya itu… karena ada persatuan desa inilah makanya kami bisa memestakan… saya
ingat pas “margugu” satu kampung marubun ini datang… memang kalo uda pas acara itu selalunya satu kampung datang… itulah hebatnya kita satu
kampung ini.. padahal mau mengantarkan uangnya kita ke acara itu.. tapi semangatnya kita kalo kesitu… itulah karena rasa persatuan masih kuat..
kalolah misalnya ada perpecahan di kampung ini kan “margugu” itu nggak
berjalan…. kayak yang kau lihat sendirilah kan banyaknya orang seperti aku ini di kampung ini… cuman anak-anak mereka pun semua dipestakan…
kenapa bisa… itulah fungsi “margugu” tadi… biaya pesta ditanggung bersama… di acara margugu itupun kalo kulihat bukan hanya mau
mengumpulkan uang aja.. tapi disitulah juga orang berkumpul mengobrol sambil mendengar pengumuman berapa uang yang terkumpul ada pula musik
keyboardnya… jadi karena “margugu” ini selalu dapat untung, setiap p
engumuman selesai dibacakan semua orang itu senang mendengarnya… semua bersuka cita karena pesta itu dianggap berhasil… kalo udah kayak
gitu mulailah manortor semua karena senangnya mendengar yang punya pesta dapat untung tadi… jadi kulihat acara“margugu” inipun bisa
menghibur juga…wawancara 12 September 2015
Universitas Sumatera Utara
Hal senada juga diungkapkan oleh salah seorang informan ini yakni, Jannes Purba Laki-laki,32 tahun
“manfaat “margugu” ini kalo menurutku bukan sebatas mengumpulkan saja… terkadang margugu ini ada fungsi lainnya… kan kalo sedang
“margugu” ini satu kampung berkumpul.. membaur jadi satu.. dalam situasi kayak gini yang punya perselisihan pun bisa berbaikan dalam acara ini..
karena ada manortor sambil salam- salaman… jadi kayak malam tahun
baruan di gereja biasanya bermaaf- maafan… itu salah satu manfaat yang
baik kalo menurutku.. melalui “margugu” ini pulalah kita dilihat orang kampung lain bahasa kita masih satu di kampung ini.. menurutku disitu kita
jadi contoh yang baik sama orang itu… kalopun nggak berpengaruh kali minimal orang kampung sekitar ya bisa melihatlah… karena akupun pas
pesta dulu kurasakan acara ini menolong kalilah… apalagi modal pas-pasan kayak aku dulu itu sangat terbantulah… makanya tiap acara margugu aku
tetapnya semangat datang…biarpun nggak seberapa yang bisa kukasi tapi ikutlah berpartisipasi sambil memeriahkan acara ini… makanya kalo kau
lihat aku sering nyanyi maksudku biar margugu ini tetap menariknya… biar margugu ini tetap ada sampe anak cucu nanti”wawancara 10 September
2015
Pernyataan serupa juga dinyatakan oleh informan berikut yakni, Jatiman Saragih Laki-laki 59 tahun
“kurasa oppung-oppung kita dulu sangat bijak bisa membuat acara tolong- menolong seperti ini… kubayangkan kalo misalnya acara seperti ini baru
sekarang dibuat kurasa sudah susah… jadi menurutku “margugu” ini kayak
obatla ini.. kubilang kayak obat karena bisa mengobati hati... misalnya nggak ada “margugu” ini cuman orang mampulah yang bisa memestakan adat
pernikahan anaknya… kalo seperti itu kan bisa timbul rasa sedih sama yang tidak mampu.. lumayan kalo Cuma sedih aja tapi cemburu pun bisa… kalo
udah ada perasaan kayak gitu seringlah orang-orang melakukan yang nggak- nggak.. contohnya berantam, saling ejek… itu kan banyak kejadian
dikampung lain… tapi dikampung kita ini bisa kubilang amanlah dan masih menyatu orang-
orangnya… itukan dipengaruhi “margugu” ini pula… jadi yang nngak punya duit, sama yang punya duit dikampung ini bisa membuat
pesta adat… yang sedikitpun duitnya kalo dikumpul dari satu kampung kan banya juga… intinya dalam margugu ini membuat rasa persaudaraan itu
makin tambahlah dia… makanya berpengaruh sama tingkat perselisishan tadi… pokoknya kalo kubilang banyaklah manfaatnya… tinggal kita tetap
Universitas Sumatera Utara
mejaga supaya “margugu” ini tetap jalan karena ini menjadi ciri khas kita oran marubun ini…” wawancara 16 September 2015
Wawancara yang dilakukan kepada beberapa informan, menunjukkan hasil bahwa tradisi “margugu” memang sangat bermanfaat bagi warga Desa Marubun
Lokkung. Ditengah ekonomi di pedesaan seperti di Marubun Lokkung yang masih dalam batas subsistensi, dan tuntutan budaya yang mengharuskan setiap orang harus
menggenapi adat, membuat “margugu” ini menjadi cara yang ampuh dalam mengatasi masalah warga tersebut. dengan adanya tradisi seperti ini setiap orang
merasa terdorong untuk membantu sama lain. Setiap orang memiliki kesempatan menolong orang lain dan ada saatnya juga berkesempatan untuk ditolong oleh orang
lain. Sifat saling tolong-menolong seperti ini menjadi konstruksi sosial, sehingga rasa ingin membantu tidak hanya sebatas “margugu” saja, tetapi ikut mempengruhi
kehidupan sehari-hari. Meskipun tidak ada integrasi sosial yang sempurna, namun dengan acara “margugu” yang menuntut kebersamaan dan rasa tolong menolong
dapat meminimalisisr terciptanya disintegrasi sosial. Secara otomatis acara seperti ini mampu meningkatkan solidaritas sosial.
Seperti yang disampaikan informan yang satu ini yakni, Herman Damanik Laki-laki, 45 tahun
“efek “margugu” dalam pesta adat ini memang kuat... selain dalam pesta, tolong menolong di hal yang lain juga jadi muncul… misalnya kalau kita lihat
untuk menolong yang sakit pun orang kampung kita ini sangat aktif… misalnya kalo ada yang lagi diopname di rumah sakit.. orang kampung ini
selalu menjenguk kesana… langsungnya itu memborong motor kalo mau berangkat… menjengukpun itu nggak tangan kosong datang kesana… tapi
ngaasi uang juganya untuk membantu biaya perobatan. Kalopun misalnya ada yang nggak bisa datang langsung ke rumah sakit, ditunggunya itu kalo
Universitas Sumatera Utara
uda pu lang dijenguk dirumahnya… kalo menurutku itu udah jadi kebiasaan
orang kampung ini untuk saling membantu.. karena memang dari acara adat pun kita kan sudah diajarkan suapaya memilki rasa persaudaraan yang
tinggi.. sehingga wajib untuk saling tolonh menolong seperti acara “margugu” ini tadi”wawancara 9 September 2015
4.6.2 Nilai “margugu” bagi masyarakat Desa Marubun Lokkung
Masyarakat desa terkenal dengan orientasi kolektif yang tinggi, yang lebih mengutamakan kepentingan berseama daripada kepentingan individu. Pada
masyarakat desa sifat saling menolong menjadi kekuatan dalam mengatasi masalah di dalam masyarakat. Sifat yang sudah menjadi budaya merupakan sesuatu yang susah
dihilangkan pada masyarakat desa, karena masyarakat desa masih menjungjung tinggi nilai-nilai budaya mereka. Masyarakat desa pada umumnya adalah masyarakat
gotong royong dan saling tolong menolong seperti istilah yang mengatakan “ringan sama dijinjit, berat sama dipikul” merupakan slogan yang lahir dari masyarakat yang
berbudaya gotong-royong. Kebiasaan yang terjadi di masyarakat desa membuat individu dalam masyarakat enggan untuk menonjolkan diri, atas dasar menjaga rasa
kebersamaan dan saling memiliki satu sama lain. Pada masyarakat desa Marubun Lokkung sifat saling menolong
“marsiurupan” merupakan sebuah nilai yang positif. Masyarakat desa ini menganggap sifat saling menolong merupakan salah satu sifat
yang membuat mereka dapat bertahan, baik dalam keterbatasan secara fisik maupun ekonomi seperti yang ditunjukkan masyarakat dalam acar
a “margugu”. Mereka tidak perlu menjadi kaya secara materi agar bisa membantu satu sama lain, melainkan
didalam keterbatasan tersebut mereka harus saling mendukung. Menurut masyarakat desa Marubun Lokkung tidak semua dapat mencapai keberlimpahan secara materi,
Universitas Sumatera Utara
namun dengan saling menolong itu dapat ditutupi, karena meskipun berkececukupan tapi tidak mau berbagi maka itu tidak berguna sebab masyarakat lebih membutuhkan
dukungan moral daripada sebatas dukunga materi saja. seperti yang diungkapkan oleh informan berikut ini, Mano Laki-laki, 57 tahun
“menurutku “margugu” itu adalah kebersamaan… kita duduk di losd itu kan mau sama-
sama menolong satu kampung kita… tanpa memandang suku atau agama… aku kan sudah rasakan biarpun aku ini nggak orang
simalungun…pendatangnya aku di marubun ini.. tapi orang kampung ini mau menerima aku… buktinya pas aku menikahkan abangmu itu dulu kan tetapnya
dibuat “margugu”… jadi semua itu pun balik sama diri kita masing-masing… karena apa yang kita buat itu kan dilihat orang.. dengan rajin datang gabung
sama orang kampung di acara “margugu” itu kan menunjukkan niat baik kita… yang namanya niat baik itu jarang ditolak… pun yang dinilai orang itu
nggak berapa besar kita kasi uangnya tapi niat baik kita mau bersama-sama saling menolong itulah intinya kebersamaan itu.. jadi kurasa semua orang
kampung ini udah sadarnya itu bahasa saling menolong kayak “margugu” ini penting makanya asal “margugu” itu rame yang datang… jadi nggak harus
kaya makanya kita bisa membantu orang… lewat “margugu” ini pun udah termasuk menolong… itu penting karena ada masanya kita nanti perlu
bantuan orang… Wawancara 20 September 2015 Pernyataan yang sama juga dikatakan oleh Sudin Barus laki-laki, 55 tahun
“aku rasa “margugu” itu adalah bentuk tolong menolong… kita menolong satu kampung kita yang sedang melaksanakan pesta “paradaton” dengan
menyumbangkan uang… jadi kita semua satu kampung ini bersama-sama menanggung biaya pesta…jadi margugu ini bisa dikatakan kesatuan warga
kampung ini… aku bilang kesatuan karena di acara itu kita menyatukan niat untuk membantu, makanya kita duduk sama-sama itu karena niat kita itu
sama... aku secara pribadipun menganggap “margugu” ini kebangganku sebagai orang yang tinggal d
i marubun ini… kurasa banyaknya kita yang merasa bangga sama acara ini karena kalo kampung disekitaran kampung
belum ada yang kayak gini acara margugunya… memang ada acara margugu tapi lain sama yang di kampung kita ini… makanya banyak juga orang dari
kampung lain yang merasa iri sama kampung kita ini.. tapi samaku itu kebanggaan”Wawancara 30 September 2015
Informan yang berikut ini juga mangatakan pernyataan yang sama yakni, Marimun Tarigan Laki-laki, 44 tahun
Universitas Sumatera Utara
“semangat tolong menolongnya orang kampung ini salah satunya ya “margugu” inilah… kuperhatikan asal masuk acara “margugu” satu
kampung ini selalu datang… memang diacara itu ada acara makan malam.. tapi beda seperti makan siangkan kalo uda siap langsung banyak yang
pulang.. kalo ni nggak… semua orang tetap ditempat mau memberikan gugunya untuk menolong yang berpesta… setelah ngasi gugunyapun orang
nggak langsung berpulangan.. tapi menunggu pengumuman hasil pengumpulan dana… bahkan ada yang memberikan gugunya itu sampai dua
kali biar yang berpesta nggak tumpur… pas uda pengumuman baru ada surplus pula… semua orang senang langsung tepuk tangan…. Disitulah
kurasakan orang kampung ini memang masi kuat persatuannya… kayak bersaudara semua satu kampung ini kulihat pas “margugu” itu padahal
nggak ada hubungan darah... tapi rasa persaudaraan itu yang membuat orang kampung ini teguh persatuannya”Wawancara 20 September 2015
Hal senada juga dikatakan oleh informan ini yakni, Jhontirwan Damanik Laki-laki, 46 tahun
“pernahnya dalam setahun itu nggak ada yang berpesta di marubun ini… rasanya rindu juga sama “margugu” ini… karena diacara margugu itunya
satu kampung ini bisa berkumpul bersama… disitulah satu kampung ini punya tujuan yang sama yaitu mau membantu yang berpesta… diacara itu
orang kampung inilebih mementingkan kepentingan orang lain… karena kalo nngak pas acara kayak gini orang-orang sibuk dengan kegiatannya masing-
masing… kayak manderes rambunglah, kesawah yang guru dia kesekolah… jadi sibuk untuk kepentingan pribadi.. jadi jarangnya bisa berkumpul satu
kampung kayak gitu.. kalo misalnya cakap-cakappun palinglah di kede sama bapak-
bapak yang di kede itu… diacara margugu inilah kebersamaan itu nampak… yang jarang cakapan pun jadi cakapanlah di acara itu.. margugu
ini jadi semacam penyatulah kekgitu… maunya minimal sekali setahun ada
yang berpesta dikampung ini karena kalo makin sering orang kumpul bersama rasa persaudaraan itupun makin kuat dia..”Wawancara 3
September 2015 “margugu” di desa Marubun Lokkung tidak memandang suku atau agama.
Masyarakat lebih mementingkan nilai kebersamaaannya daripada membuat jarak karena ada perbedaan, melainkan menerima setiap orang yang ingin berpartipasi
sehingga tidak ada perasaan teralienasi pada warga Desa Marubun Lokkung. Keterbukaan warga Desa Marubun Lokkung bagi warga pendatang membuat
cepatnya adaptasi yang dialami oleh mereka. Sikap ramah tamah yang ditunjukkan
Universitas Sumatera Utara
warga Desa ini membuat mereka dengan cepat masuk dalam hitungan sebagai warga desa Marubun Lokkung. Ini menciptakan rasa aman bagi pendatang yang ada di desa
ini. bagi masyarakat Marubun Lokkung kbersamaan lebih penting dari pada mencari- cari perbedaan yang justru dapat merugikan masyarakat desa Marubun Lokkung itu
sendiri. Cara pandang yang sempit dengan memandang orang yang berbeda agama atau suku dianggap dapat merusak keharmonisan antar warga di desa ini, sehingga
warga lebih memilih menciptakan rasa persaudaraan dengan pendatang ataupun dengan orang yang berbeda suku atau agama salah satunya dari acara “margugu” .
Seperti yang diungkapkan oleh informan yang satu ini Sulpan Laki-laki, 41 tahun “aku merasa kayak nggak pendatang aku dikampung ini karena orang asli
kampung ini pun baik-baiknya sama ku dari mulai datang aku dikampung ini dulu.. orang kampung ini sudah
sangat ramahlah… memang pas mau kekampung ini dulu aku agak takut juga.. banyak orang bilaang orang batak
itu keras- keras, kejam katanya… jadi takutku dulu nggak diterima dikampung
ini… tapi pas datang kesini nyamannya kurasa…setelah kulihat rasa persaudar
aan dikampung ini sangat tinggi… kayak margugu yang kita bahas inilah.. mana ada dikampung lain margugu sampe untung yang punya pesta…
dikampungku di binjai sanapun belum pernah kulihat kayak yang di kampung ini.. pas pertama mau ikut margugupun akau agak
segannya… cuman pas uda disana biasanya… diterimanya aku ikut acara itu, padahal orang
baruanya aku disitu nggak satu suku lagi... menurutku orang kampung ini memang baiklah enggak membeda-
bedakan orang….”Wawancara 15 September 2015
Informan berikut ini juga mengutarakan hal yang sama yakni, Ponirin laki-laki, 43 tahun
“acara “margugu” ini memang yang buat aku agak cepat dekat sama satu kampung ini.. karena pas margugu ini pula aku bisa mengenalkan diriku
sama orang kampung… karena pasa margugu itu aku bisa mengajak orang kampung yang belum kukenal untuk kenalan atau untuk sekedar bercakap-
cakap untuk mengakrabkan diri…juga orang kampung cepat tau namaku karena pas margugu itu kan nama disebuti satu-
satu… jadi ada nama baru itu langsung ketauannya itu… dari situlah aku mulai akrab sama orang kampung
ini… memang orang kampung inipun nggak adany kayak menhindar dari aku
Universitas Sumatera Utara
karena aku orang jawa… mereka kayak biasa ajanya caranya kayak udah bertman gitulah… akupun jadi nggak takut-takut lagi menyapa orang-orang
kampung… pas acara “margugu’ ini pula lah aku tau kalo nggak ada pembeda-
bedaan dikampung ini… jadi biarpun aku orang jawa, islam pula.. tinggal dikampung yang banyak orang Simalungun Kristen nggak ada rasa
canggung untuk bergaul… ikut-ikut gabung ke acara-acara kalo ada pesta apa “margugu” aku ikutlah terus…kekmanapun untuk kebaikan bersamanya
itu… lagian orang kampung ini pun uda taunya apa yang bisa sama nggak bisa kalo aku pas ikut berkumpul gitu… jadi memang udah saling
menghargailah… pas bergaulpun tau batasannya…Wawancara 7 September 2015
Pernyataan serupa juga diutarakan oleh informan ini, yakni Boiman laki-laki 53 tahun
“kalo aku biarpun orang jawa tapi aku uda lahir dikampung ini…jadi yang kurasakan selama ini dikampung ini memang nggak ada pembeda-
bedaan… apa itu dalam hak sebagai warga kampung ini atau dalam acara-acara pesta
serentetan sama “margugu”.. didalam margugu itu memang tidak ada disitu pengecualian untuk yang tidak sesuku atau idak seagama.. diacara itu sama
semua duduknya… itu untuk membantu supaya pesta itu sukses… dalam artian yang berpesta nggak mengalami kerugian.. jadi itu memang nggak
cuman orang simalungun atau yang Kristen aja nanti yang dapat bantuan..
tapi semua orang kampung ini nanti kalau berpesta juga akan dapat… jadi “margugu” ini memang bisa menghilangkan perbedaan ntah itu suku atau
agama… yang muncul di acara “margugu” itukan semacam rasa persaudaraan… bisa menguatkan persatuan orang kampung ini… biarpun
kita nggak satu suku atau beda kepercayaan…disitulah kelebihan kita orang kampung ini…selama ini memang hubungan sesame warga kampung ini
memang masih bagus.Wawancara 8 September 2015
Pernyataan itu juga diperkuat oleh informan ini, yakni Darwin Purba Laki-laki 60 tahun
“kita memang nggak pernah membeda-bedakan orang dikampung ini…dalam margugu misalnya kita nggak pernah melarang-larang orang yang bukan
bersuku Simalungun ataupun yang beda agama untuk ikut… karena ini kan nggak arisan atau kegiatan yang tertutup… acara ini memang untuk orang
satu kampung tanp a terkecuali… ntah itu pendatang, beda suku, beda agama
semuanya bisa ikut… kalo dilarang-larangpun nggak ada untungnya sama kita orang marubun asli… bagusnya kita mengajak semua orang biar tumbuh
rasa persaudaraan itu…. Karena kekmanapun kita itu sudah tinggal dalam satu kampung wajib tolong-tolongan kalo ada yang membutuhkan.. pula kalo
dibuat batas- batas bisa nanti jadi awal permusuhan… bisa-bisa kampung ini
pun nggak aman lagi.. bukan karena orang luar, tapi gara-gara satu
Universitas Sumatera Utara
kampung berselisih terus kan n ggak enak… oppung kita dulupun membuat
ada acara “margugu” itupun salah satunya biar tidak ada perpecahannya dikampung ini… tapi kekmana biar semua bisa merasakan kebersamaan
lewat sama- sama berkontribusi dalam sebuah pesta… jadi nggak ada muncul
pikiran-p ikiran yang bisa membuat warga kampung ini pecah… makanya
dibuat “margugu” ini supaya menciptakan rasa saling memiliki biarpun ada perbedaan kepercayaan di kampung ini tapi harus tetap berteman…. Cita-cita
oppung kita dulu seperti itu.. jadi sudah untunglah kita diwariskan budaya seperti ini… bisa membuat kampung kita aman sampe sekarang nggak
adakeributan- keributan… banyak kampung lain yang sampe berantam pake
kelompok- kelompok padahal satu kampungnya..”Wawancara 6 September
2015 Dengan adanya tradisi “margugu” seperti ini tentunya sangat membantu
warga Desa yang tidak mampu secara financial namun ingin menjalankan adat sebagaima manusia beradat pada umumnya. Menumbuhkan semangat tolong-
menolong penting untuk diertahankan khususnya bagi masyarakat Desa Marubun Lokkung. Sudah seharusnya masyarakat Desa menggunakan semangat gotong royong
sebagai senjata andalan dalam mempertahankan hidup, dari kuatnya arus globalisasi yang terus menekan hingga ke pedesaan. Dalam mempertahankan gotong royong
tidak hanya mamp u membuat warga pedesaan “survive”, tapi juga mempertahankan
nilai budaya yang positif yang diwariskan oleh orang tua terdahulu, agar tidak hilang dan tergantikan oleh budaya luar seperti tradisi “margugu”.
4.6.3 Peran Masyarakat Desa Marubun Lokkung dalam Mempertahankan
“margugu”
Tujuan utama dibuatnya kegiatan “margugu” adalah untuk membantu warga desa yang ingin mengadakan pesta adat namun terkendala dalam pembiayaan. Setelah
mengalami perkembangan kegiatan “margugu” di Desa Marubun Lokkung tidak
Universitas Sumatera Utara
hanya untuk membantu yang tidak mampu, tapi sudah menjadi milik semua warga Desa marubun Lokkung. Pemberian bantuan dana secara bersama sudah menjadi
ukuran sukses atau tidaknya sebuah acara adat di desa ini. hampir setiap diadakannya acara ini penyelenggara pesta mendapatkan surplus. Namun nilai utama dari
“margugu” tidak terletak pada surplus atau hanya sekedar menutupi besarnya biaya pesta, tetapi kebersamaan yang terjalin didalam masyarakat serta terus meningkatnya
rasa ingin saling tolong-menolong. Persaudaraan yang terjalin tanpa adanya hubungan darah, merupakan suatu bentuk integrasi sosial yang menciptakan
kenyamanan dalam lingkungan sosial. Interaksi yang baik yang terjadi di pedesaan seperti di desa ini merupakan wujud dari intensnya warga berkumpul dan bekerja
sama untuk menolong satu sama lain dalam bentuk kegiatan yang bernama “margugu”. Begitu besarnya manfaat yang ditimbulkan oleh tradisi ini, maka sangat
disayangkan apabila tradisi seperti ini menghilang. Derasnya arus globalisasi dengan sekejap dapat mengubah sebuah kebudayaan tradisional yang memiliki nilai historis
dan bersifat positif bagi kehidupan bermasyarakat. Keadaan kondisi sosial yang terus mengalami perubahan akibat munculnya inovasi-inovasi budaya yang baru
merupakan sebuah tantangan bagi masyarakat untuk mempertahankan nilai tradisi seperti “margugu” ditengah masuknya budaya luar. Peran masyarakat merupakan
yang utama, karena masyarakat memilih sendiri apakah memilih kebudayaan baru yang datang dari luar, yang dianggap lebih modern, atau mempertahankan nilai
budaya local yang dianggap ketinggalan zaman dan kurang efisien. Masyarakat berhak memilih tapi seharusnya tidak meninggalkan tradisi local yang bernilai poitif
seperti “margugu” namun tetap berusaha mempertahankannya.
Universitas Sumatera Utara
Seperti pernyataan yang disampaikan oleh salah satu informan ini, Jatiman Saragih Laki-laki, 59 tahun
“memang sampe sekarang belum ada kulihat pengurangan minat orang kampung ini untuk datang ke acara “margugu” ini… cuman kalo ada
duapuluh tahun yang akan datang akupun kurang yakin juga kalo ini bisa bertahan kayak gini terus kuatnya persatuan kampung ini… karena memang
jaman makin canggih kan… apalagi sekarang anak-anak muda di kampung ini kan sudah banyak yang bersekolah dikota…banyaklah pemikiran yang
sudah dipeng aruhi oleh gaya kota… kalo gaya kota kan kurangnya
kepeduliannya sama orang lain..tetangganya pun bisa nggak dikenalnya… pasti berpengaruhlah sikit-
sikit… menurutkku perlu mengajak pemuda untuk aktif ikut margugu.. bukan hanya menonton tapi ikut duduk dengan para
orang tua… biarpun belum bisa ngasi paling tidak dia merasakan suasananya margugu itu… jangan Cuma semangat main music aja asal acara margugu
itu…peran orang tua khususnya gamot untuk mengajarkan tradisi ini… supaya nggak hilang dia, orang tua pun harus ikut juga mengajak anaknya
duduk bersama di losd itu… memang anak muda jaman sekarang agak susah diajak baik…nanti diajak duduk sama orang tua pun nggak mau… malu
katanya kalo duduk sama orang tua, takut dibilang udah tua.. padahal kita mau mengajarkan cara-cara adat itu berjalannya kekmana biar dia pas jadi
orang tua nanti kan tau menurunkan sama anaknya nanti.. tapi memang udah agak susah sekarang ini… cuman beberapa lah kulihat yang mau belajar
adat.. yang lainnya Cuma tau senang-
senang aja… maunya pas margugu itu nyanyi aja... kapanlah dia tau jalannya adat… padahal kami kan nanti uda
semakin tua… bergerakpun nanti uda payah… jadi kalianlah yang muda- muda nanti yang bergerak sendiri melanjutkan tradisi kampung
ini…Wawancara 23 September 2015
Masuknya alat-alat media massa ke pedesaan ditambah mudahnya sekarang ini dalam mengakses internet, tak ayal mempengaruhi gaya hidup masyarakatnya
terkhusus warga yang masih muda. Desa Marubun Lokkung merupakan salah satu pedesaan yang masyarakatnya sudah sejak lama bersentuhan dengan media massa
seperti Koran, televise sekarang “smartphone” yang sangat mudah untuk mengakses
Universitas Sumatera Utara
internet sudah dimiliki dari anak remaja seperti yang masih duduk di bangku Sekolah Menegngah Pertama SMP hingga orang tua sudah menggunakannya. Bertambahnya
warga yang sudah bersekolah sampai Sekolah Menegah Atas SMA hingga perguruan tinggi, membuat pola pikirnya mulai berbeda dengan orang tua yang
sebagian besar tamatan Sekolah Dasar SD. Namun disinalah peran para pelajar untuk meluangkan waktunya untuk belajar kearifan local. Meskipun sudah memiliki
pemikiran yang lebih maju sebaiknya tradisi yang bedampak positif tetap dipertahankan..
Seperti yang dikatakan oleh salah satu informan ini, Jaminson Sipayung Laki-laki, 56 tahun
“pas jaman kami muda memang nggak kayak kalian sekarang ini.. kalo dulu margugu ikutnya kami duduk bersama sama orang tua… dulu margugu belum
ada musiknya.. jadi kamipun Cuma memperhatikan jalannya acaralah… kalo sekarang anak muda kalo margugu cuma suka di tempat musiknya
aja…perhatian ke acara pun cuman pas pengumumannya saja, nggak ikut ```jalannya acara… lama-lama anak muda ini pas uda berkeluarga nanti
nggak ngerti menjalankan acaranya… dari situlah kadang bisa hilang adat itu… karena nggak ada penerusnya… yang bersekolahpun mulai jarang
pulang kampung karena sudah ikut-ikut enak dikota jadi kebiasaan dikampungpun terlupakan… apalagi yang berkuliah keluar provinsi itu udah
susahlah diajak belajar adat… tapi kalianlah sebenarnya yang bersekolah ini perlu menggerakkan kawan-kawan kalian yang lain supaya mau belajar
adat.. kurasa kalian yang bersekolah ini udah lebih pintarnya untuk
mengerti… kalo udah ada nanti yang tau tentang “paradaton” khususnya margugu ini kan uda bisa nanti kalian penggantinya para gamot yang
sekarang ini.. karena yang pintar- pintar adat itukan udah semakin tua…
siapa lagi yang meggantinya kalo nggak pemuda… biarpun dibilang pemuda yang berpendidikan tetap perlu mengerti tradisi… itunya yang menandakan
bahasa kita itu orang yang beradat, tugasnya pemuda la itu belajar mulai sekarang… baru orang tuapun tetap mengarahkan anaknya supaya jangan
lupa sama tradisi.. Wawancara 19 September 2015
Universitas Sumatera Utara
Kebiasaan yang dilakukan oleh para pendahulu hingga menjadi tradisi pada saat ini mencerminkan bahwa kebiasaan tersebut merupakan kebiasaan yang baik.
Artinya kebiasaan itu memiliki manfaat bagi banyak orang sehingga kebiasaan itu bisa berjalan hingga sekarang. Namun kebiasaan baik tidak selalu bertahan. Banyak
gangguan yang datang dari luar diri masyarakat yang mampu menggoyahkan pemikiran akan pentingnya menjaga dan memelihara tradisi. Terutama kaum muda
sebagai penerus justru paling mudah terpengaruh oleh budaya luar yang belum tentu berdampak baik, sedangkan tradisi yang sudah jelas-jelas memiliki dampak positif
justru ditinggalkan karena dianggap tidak keren. Ditengah keadaan para pemuda saat ini seharusnya para penatua adat memberikan motivasi kepada pemuda untuk sadar
akan pentingnya menjaga tradisi. Seperti yang diutarakan oleh salah satu informan yakni, Darwin Purba Laki- laki, 60
tahun “untuk sekarang memang belum ada kita buat semacam pemahaman adat
untuk pemuda.. baru sebatas bapak-bapak saja yang aku ajak untuk belajar mengenai “paradaton” bapak-bapak itu aku kasi pemahaman supaya ada
nanti pengganti sebagai “gamot” dikamung ini.. tapi memang perlu juga nanti dibuat semacam pelatihan dan pemahaman tentang makna-makna
symbol dalam adat.. jadi nggak hanya tau tapi harus paham makna dari apa yang kita kerjakan itu terkhusus dalam kegiatan adat.. supaya tidak asal-
asalan… kalo uda tau “paradaton” makna dari “margugu” pun sudah pasti tau..memang itu belum diperlukan sekarang.. karena orang kampung yang
sekarang ini masih ngertilah tentang makna sama tujuan setiap kegiatan kita… itu nanti berguna dijangka panjang.. biar acara seperti margugu ini
nggak kehilangan maknanya..jadi kalo masih tau makna dari margugu itu pastilah acara ini nanti ada terus, benar-benar jadi tradisi yang tetaplah
nanti dikampung ini… itupun kalo tidak ada penggeraknya dari pemuda agak
Universitas Sumatera Utara
susah juga itu.. jadi harus ada semacam ketuanya yang bisa mempengaruhi kawan-
kawannya biar mau diajari…”Wawancara 6 September 2015 Untuk mempertahankan tradisi seperti margugu ini memang tidak sanggup
diemban oleh segelintir orang saja, melainkan perlu semua pihak untuk bersama-sama menjaga dan melestarikan warisan budaya yang bernilai baik ini. peran dari orang tua
untuk memberitahu dan memberikan pemahaman tentang adat sangat dibutuhkan dalam upaya memancing kemauan kaum muda untuk tertarik mempertahankan
budayanya sendiri. Tradisi tolong me nolong seperti “margugu” sudah selayaknya
dipertahankan oleh masyarakat desa Marubun Lokkung. Tradisi yang menjadi ciri khas Desa yang menjadi kebanggaan masyarakat, bisa kehilangan nilainya apabila
tidak ada pembenahan yang dilakukan mulai dari sekarang. Kegiatan yang mengharumkan nama Desa dapat hilang apabila tidak dibuat pencegahan, untuk
menghindari kontaminasi dari budaya luar. Namun semua itu kembali kepada masyarakatnya sebab masyarakat yang menciptakan sebuah kebiasaan, dan yag
memilih apakah kebiasaan tersebut tetap diperthankan atau diganti dengan kebiasaan baru yang dianggap lebih kekinian.
Seperti yang diungkapkan oleh seorang informan ini yakni, Herman Damanik laki- laki, 45 tahun
“menurutku itu kembali kemusyawarah satu kampung ini kekmana bagusnya… kita harus sama-sama mencari cara biar tradisi seperti
‘margugu” ini nggak hilang… memang sekarang nggak pala penting kalilah… cuman biar sampe anak cucu kita pun nanti bisa merasakan yang
namanya margugu.. karena kurasa kalo tinggal dikampung ininya, mungkin secara ekonomi nggaknya terlalu banyak berubah ini… nggak mungkin
semua nanti anak cucu kita jadi orang sukses.. yang kutakutkan ekonominya nggak berubah tapi gayanya berubah.. jadi kayak nggak orang marubun lagi..
Universitas Sumatera Utara
itu yang paling susah nanti dihadapi…makanya mulai dari sekarang perlu
pembenahan suapaya kita semua disadarkan bahasa tradisi ini akan diperlukan sampe kapanpun kalo masih tinggal di kampung ini.. perlu
dilakukan kesepakatan satu kampung biar program pemahaman tentang pentingnya “margugu” ini bisa jalan… itu bisanya diomongkan disela-sela
acara karena pas disitulah semua orang ada.. jadi membuat keputusan benar- benar bersama..”9September 2015
Dengan adanya “margugu” ini sudah dirasakan manfaatnya yaitu mampu
memberikan bantuan kepada orang yang kurang mampu untuk menggelar pesta adat, bukan hanya memberikan pertolongan dalam bentuk dana, tetapi memberi dorongan
mental kepada penyeleggara pesta bahwa warga satu Desa ikut menanggung yang ia emban untuk menyelnggarkan pesta adat tersebut. juga menciptakan rasa
kebersamaan bagi warga Desa marubun Lokkung sehingga perlu upaya untuk mempertahankan tradisi ini.
Universitas Sumatera Utara
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Melalui pemaparan-pemaparan yang telah dipaparkan oleh penulis, mulai dari BAB I hingga BAB IV dengan melakukan penelitian dengan judul TRADISI
“MARGUGU” SEBAGAI
SISTEM TOLONG
MENOLONG PADA
MASYARAKAT DESA MARUBUN LOKKUNG, KECAMATAN DOLOK SILAU, KABUPATEN SIMALUNGUN. dari hasi pengolahan data hasil wawancara
yang dilakukan penulis terhadap masyarakat Desa Marubun Lokkung maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
1.Tradisi “margugu” merupakan tradisi yang telah ada sejak lama di Desa
Marubun Lokkung, karena tradisi ini dibentuk oleh para pemula Desa yang bertujuan untuk membantu masyarakat yang kurang mampu secara finansial
tetapi karena adanya tuntutan harus memenuhi adat agar sah sebagai orang Simalungun. sehingga dibuat acara tersebut agar semua warga Desa Marubun
Lokkung dapat menjalankan hutang adat. Dari kekurangan tersebutlah tradisi “margugu” di Desa ini dibuat.Tradisi “margugu” sangat bermanfaat bagi
masyarakat Desa Marubun Lokkung, karena banyak warga desa yang mengalami kelemahan secara finansial, namun kegiatan memestakan adat
tetap dapat dilaksanakan karena warga desa secara bersama-sama akan ikut menanggung biaya pesta melalui acara “margugu”. Dengan adanya margugu
Universitas Sumatera Utara