Vitamin E Kerangka Konsep

2.2.4 Ajinomoto

Ajinomoto Kabushiki-gaisha adalah makanan Jepang dan merupakan nama dari perusahaan kimia yang memproduksi bumbu, minyak goreng, pemanis, asam amino dan farmasi. Terjemahan harfiah dari Aji – no - Moto adalah Essence of Taste, digunakan sebagai merek dagang untuk MSG asli The journal food and culture, 2011. Produk utama Ajinomoto adalah MSG yang merupakan bumbu masakan yang pertama kali dipasarkan di Jepang pada tahun 1909, ditemukan dan dipatenkan oleh Kikunae Ikeda. Ia menemukan senyawa yang paling penting dalam kaldu rumput laut, yang digunakan untuk umum sebenarnya adalah garam glutamat, yang diidentifikasi dengan rasa umami, yang artinya rasa yang menyenangkan atau savoriness. Garam yang paling sederhana untuk di konsumsi manusia, popularitas MSG membantu perusahaan cepat memperluas ke negara-negara lain, dengan Ajinomoto USA, Inc. didirikan pada tahun 1956 Wikipedia, 2013.

2.3 Vitamin E

Vitamin memiliki peran yang sangat penting di hampir semua bio-reaksi kimia dan merupakan anti-oksidan yang mampu melindungi jaringan dari stres oksidatif Kanter et al,. 2006 and Cadenas, 2002. Rumus kimia vitamin E dapat dilihat pada gambar 2.5 di bawah ini. Gambar 2.5. α- Tokoferol Murray et al., 200 Universitas Sumatera Utara Vitamin E α-tokoferol atau α-Toc adalah membran utama yang tidak bebas, bersifat larut di dalam lemak, anti-oksidan yang melindungi membran sel terhadap peroksidasi lipid Bulger and Maier, 2003. Tokoferol merupakan anti- oksidan non-enzimatik dengan mekanisme mendonorkan ion hidrogen dan dapat mengubah radikal peroksil menjadi radikal tokoferol yang kurang reaktif sehingga tidak mampu menyerang rantai asam lemak Astuti, 2009. Gangguan absorbsi lemak dapat menyebabkan defisiensi vitamin E karena sifat tokoferol yang larut dalam lemak makanan, akan dibebaskan dan diserap saat lemak dicerna. Vitamin E tersimpan dalam jaringan adiposa karena itu kondisi defisiensi vitamin E dapat ditemukan pada kondisi steatore metabolisme dari lemak yang tidak sempurna sehingga akan menghasilkan feses yang berwarna putih, indikasi terjadinya malabsorbsi dan terkadang diare kronis, penyakit hepar kolestatik, kistik fibrosis dan pasien yang menjalani operasi reseksi usus Murray, et al., 2003.

2.4 Hati

2.4.1 Anatomi dan histologi

Hati merupakan organkelenjar yang terbesar di dalam tubuh. Hati dianggap sebagai kelenjar, karena dapat menghasilkan empedu fungsi eksokrin dan endokrin. Hati dibungkus oleh jaringan fibrous tipis yang disebut kapsula fibrosa perivascularis Glisson yang terdapat dilapisan viseral peritoneum. Dari kapsul ini muncul septa yang masuk ke dalam parenkim hati. Sel-sel hati hepatosit tersusun berupa untaian mutiara dan terdapat sinusoid-sinusoid di antara untaian hepatosit tersebut. Hepatosit menghasilkan cairan empedu yang Universitas Sumatera Utara akan disekresikan melalui kanalikuli biliaris, yang selanjutnya disalurkan ke dalam duktulus biliaris. Duktus biliaris akan bercabang membentuk duktus hepatikus kanan dan duktus biliaris kiri, yang selanjutnya membentuk duktus hepatikus komunis yang meninggalkan hati Daniel, 2009. Hati terletak di bagian atas abdomen, dan meluas di bawah arkus kosta dan diafragma, yang berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan homeostasis metabolisme di dalam tubuh, termasuk pengolahan diet asam amino, karbohidrat, lemak, vitamin, sintesis protein, dan detoksifikasi serta ekskresi empedu ke dalam produk limbah endogen dan xenobiotik. Jadi, tidak mengherankan bahwa hati rentan terhadap berbagai macam metabolisme, mikroba beracun, dan kontaminasi peredaran darah. Keterlibatan hati secara sekunder sering ditemukan pada beberapa penyakit, seperti dekompensasi jantung, diabetes, dan infeksi ekstra hepatik Robbins et al., 2010. Berat hati rata-rata 1350gr, konsistensi kenyal, permukaan rata, halus, dan berwarna merah kecoklatan yang terdiri atas empat lobus yaitu: lobus kanan, lobus kiri, lobus kaudatus dan lobus kuadratus. Lobus kanan merupakan lobus yang terbesar Daniel, 2009. Struktur anatomi hati seperti yang ditunjukkan oleh gambar berikut ini Gambar 2.6. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.6 Struktur anatomi hati Netter, 2010 Hati memiliki cadangan fungsional yang besar, sehingga regenerasi sel hepatosit dapat terjadi pada kelainan organ hati. Operasi pengangkatan hati dapat menimbulkan kerusakan hati sebesar 60 dari hati, namun hati mampu beregenerasi membentuk sebagian besar massa hati dalam waktu 4-6 minggu. Pada orang dengan nekrosis retikuli hepatoseluler dan hati yang utuh, restorasi hampir sempurna dapat terjadi jika individu dapat bertahan hidup. Cadangan fungsional dan kapasitas regeneratif dari permukaan hati sampai batas tertentu merupakan dampak klinis awal kerusakan hati. Namun, dengan penyebaran penyakit, gangguan aliran sirkulasi atau kelainan empedu dapat mengakibatkan gangguan fungsi hati yang mengancam jiwa Robbins et al., 2010. Secara fungsional unit terkecil hati adalah lobulus yang berbentuk heksagonal memiliki sebuah vena sentral. Dari vena sentral untaian sel-sel hati yang berbentuk balok-balok berderet secara radial ke arah perifer. Sudut-sudut pertemuan antara lobulus disebut segitiga Kiernan trias portal yang terdiri l dari vena sentralis, arteri hepatika dan duktus biliaris Gambar 2.7. Struktur Universitas Sumatera Utara mikroskopis sel hati berbentuk polihedral, berdiameter 20-25 µ pada hewan dewasa dan 2-7 µ pada hewan muda. Inti bentuk bulat terletak di tengah, kadang dapat dijumpai inti lebih dari satu. Lobus hati terdiri dari sel parenkim hepatosit dan sel non-parenkim sel sinusoidal, sel Kupffer, sel stellata, sel dendritik, dan sel pit atau dikenal sebagai natural killer cell Kaneda, 1999 dan Wake, 1999 dalam Naito et al., 2004. Pada tahun 1954, Rappaport melaporkan asinus hati sebagai unit fungsional hati Rappaport et al., 1954 dalam Malarkey et al., 2005. Mikroskopis lobus hati dapat dibagi menjadi 3 daerah yaitu: 1. Daerah periportal zona 1 yang terletak dekat arteriola hepatica dan didominasi oleh enzim-enzim metabolisme oksidatif dan glikogenesis, 2. Daerah tengah mid-zona zona 2 dengan fungsi yang bervariasi, mengandung enzim-enzim zona 1 dan zona 3, serta 3. Daerah sentrilobular zona 3 yang terletak di dekat ujung asinus, banyak mengandung enzim glikolisis untuk memetabolisme lemak dan obat-obatan. Aliran darah aferen mengalir masuk dari tepi lobulus klasik dan keluar melalui vena sentral. Hepatosit pada zona 1 paling banyak mendapatkan oksigen dan nutrien, sedangkan asupan darah pada daerah sekitar vena sentralis zona 3 mempunyai kandungan kadar oksigen dan nutrien yang relatif sedikit, daerah ini merupakan daerah yang paling sering mengalami kerusakan akibat zat kimia. Secara skematis gambaran sinusoid sel hepatosit dapat dilihat pada gambar berikut ini Gambar 2.7. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.7. Gambaran sinusoid hati Robbins et al., 2007 Mikro sirkulasi in vivo menunjukkan unit fungsional pada hati adalah asinus. Asinus terdiri dari hepatosit yang membentuk dua lapis sel dan kanalikuli empedu berada diantaranya di sepanjang sinusoid. Sinusoid hati adalah celah di antara barisan hepatosit yang mengandung sinusoid kapiler. Berikut ini gambaran mikroskopis sel hepatosit Gambar 2.8. Gambar 2.8 Histologi hati Junqueira, 2005. A Pusat sentrilobular vena. Gambaran hati yang membentuk anastomosis bebas, membatasi ruang yang ditempati oleh sinusoid. B Ruang portal dengan karakteristik arteri kecil, pembuluh getah bening, dan saluran empedu dikelilingi oleh jaringan ikat. C Serat retikular kolagen dalam lobulus. Universitas Sumatera Utara

2.4.2 Fisiologi Hati

Fungsi hati selain sebagai pusat metabolisme, juga berfungsi sebagai tempat pembentukan dan sekresi empedu, tempat penyimpanan glikogen untuk menjaga keseimbangan glukosa darah, sintesa urea, metabolisme kolesterol dan lemak, sintesa dan sekresi endokrin untuk plasma protein termasuk faktor pembekuan darah, detoksifikasi berbagai macam obat dan racun, membersihkan bakteri dari darah, prosesing beberapa hormon steroid dan sumber vitamin D, serta sebagai katabolisme hemoglobin dari sel darah merah yang sudah tidak terpakai lagi Daniel, 2009; Netter, 2010; dan Snell, 1997. Hati juga memproduksi enzim. Salah satu enzim yang dihasilkan oleh hepatosit adalah Alanin aminotransferase ALT dan Aspartat aminotransferase AST merupakan keluarga enzim transferase. Enzim ini penting untuk memetabolisme glukosa dan sebagai katalisis protein, mengubah alanin dan 2- oxsoglutarat menjadi pyruvat dan glutamat. Enzim ini digunakan sebagai penanda kerusakan hati dan uji toksisitas preklinik Panjaitan et al., 2007. ALT merupakan enzim penting untuk metabolisme glukosa dan protein, mengkatalisis transaminasi alanin dan α-ketoglutarat menjadi piruvat dan glutamat. Menurut Girindra 1988 kadar enzim ALT sering digunakan untuk menganalisis kerusakan hati, dan merupakan indikator kerusakan hati. Enzim ini banyak dijumpai di mitokondria dan sitosol Panjaitan et al., 2007. ALT akan meningkat pada infeksi virus, sirosis hepatik, non-alkoholic steatohepatitis NASH, zat-zat kimia beracun dan keracunan obat-obatan. ALT diproduksi terutama di dalam hati, mengkatalisis perubahan kelompok diantara L-alanin dan glutamat untuk kebutuhan fisiologi Universitas Sumatera Utara sedangkan AST mengkatalisis transaminasi aspartat dan α-ketoglutarat menjadi glutamat dan oksaloasetat Yang et al., 2009. Bila hati mengalami cedera atau peradangan, kadar enzim ALT di dalam darah meningkat, sedangkan AST banyak ditemukan di mitokondria semua sel pada berbagai jaringan tubuh termasuk jantung, otot, ginjal otak dan paru. AST juga terdapat di dalam hepatosit. Pada hati yang mengalami kerusakan, AST akan dilepaskan dalam aliran darah. Jumlah AST di dalam darah dapat dihubungkan langsung dengan kerusakan jaringan. Meskipun kedua enzim ini meningkat pada pasien yang mengalami kerusakan hati, ALT lebih spesifik untuk menentukan kerusakan hati, kerja ALT lebih panjang dibandingkan AST Johnston, 1999. Pengunaan obat herbal secara terus menerus dapat menimbulkan kerusakan jaringan hati melalui bebagai mekanisme, seperti melalui induksi enzim dan radikal bebas. Efek penggunaan obat herbal secara akut di hati nampaknya lebih ringan bila dibandingkan dengan pengunaan obat-obatan secara kronis, namun belum ditemukan data yang pasti. Berbagai macam zat kimia yang dikonsumsi dapat berdampak terhadap berbagai organ di dalam tubuh, termasuk organ hati karena hati berfungsi sebagai tempat untuk proses detoksifikasi. Transportasi aktif dan pengikatan ke komponen jaringan merupakan mekanisme yang digunakan oleh hati untuk membuang bahan toksis dari darah, namun masih dibutuhkan penelitian lanjutan terhadap fungsi detoksifikasi hati Mansur, 2008. Universitas Sumatera Utara

2.4.3 Proses biotransformasi obat dihati

Tujuan metabolisme obat adalah untuk mengubah obat yang bersifat non- polar larut lemak menjadi polar larut air agar dapat diekskresikan melalui ginjal dan empedu. Reaksi metabolisme terdiri dari reaksi fase I dan reaksi fase II. Reaksi fase I terdiri dari oksidasi, reduksi, dan hidrolisis, yang mengubah obat menjadi polar, sehingga obat akan menjadi bersifat inaktif, lebih aktif atau kurang aktif. Sedangkan reaksi fase II merupakan reaksi konjugasi dengan substrat endogen seperti asam glukoronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam amino, dan akibatnya hampir selalu menjadi tidak aktif. Obat dapat mengalami reaksi fase I saja, atau reaksi fase II saja, atau reaksi fase I diikuti reaksi fase II Guyton et al., 2007.

2.4.4 Kerusakan hati

Kerusakan hati karena zat toksik dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis zat kimia yang terlibat, dosis yang diberikan, dan lamanya paparan zat tersebut. Kerusakan hati dapat terjadi segera atau setelah beberapa minggu sampai beberapa bulan. Kriterianya adalah setiap individu mengalami kerusakan hati bila diberikan zat kimia dosis tertentu, beratnya kerusakan hati tergantung dosis, lesi hepatik yang jelas, mempunyai interval waktu yang singkat antara obat yang dicerna dan reaksi perlawanan. Banyak reaksi obat yang toksik terjadi karena konversi oleh hati terhadap obat menjadi metabolit berupa kimia reaktif yang kovalen yang mengikat protein nukleofilik pada hepatosit hingga nekrosis Kerusakan dapat berbentuk nekrosis hepatosit, kolestatis atau timbul disfungsi Universitas Sumatera Utara hati secara perlahan-lahan. Obat-obatan yang dapat menyebabkan kerusakan hati disebut obat-obat hepatotoksik Lauralee, 2001. Kerusakan hati oleh obat yang tidak dapat diduga disebut juga sebagai kerusakan yang bersifat idiosinkrasi. Meskipun jarang, hal ini timbul karena reaksi hipersensitivitas yang disertai demam, bercak kulit, eosinofilia. Agen atau metabolitnya berlaku sebagai hapten untuk membentuk anti-gen yang sensitif Daniel, 2009. TNF- α adalah salah satu sitokin yang dapat mengindikasikan adanya kerusakan pada hati akibat zat toksik, karena selain dihasilkan oleh makrofag, sel endothelial, dan sel mast, TNF- α juga bisa dihasilkan oleh sel yang terjejas akibat zat toksik yang menyebabkan peradangan dan kerusakan pada hati. TNF- α adalah sitokin pleiotropik dengan fungsinya yang beragam, yang bisa dijumpai juga pada penyakit-penyakit patologis seperti kanker, penyakit jantung, dan diabetes mellitus type-2 DMT2 Simona et al., 2005. TNF- α juga merupakan sitokin mediator utama yang berperanan di dalam proses inflamasi akut untuk mengaktivasi endothelial lokal menampilkan molekul adhesi, menimbulkan demam, menyebabkan nyeri, anoreksia, hipotensi, dan penurunan permeabilitas pembuluh darah shok Robin and Cotran, 2010. TNF- α dapat berfungsi sebagai biomarker peradangan dan sebagai indikator penting untuk intervensi terapi Shoelson, 2006. Sekresi TNF dan IL-1 dapat dirangsang oleh endotoksin dan produk mikroba lainnya, kompleks imun, cedera fisik, dan berbagai rangsangan inflamasi. Peran TNF dan IL-1 yang terpenting dalam proses inflamasi adalah efek pada endothelium, leukosit, dan fibroblas, Universitas Sumatera Utara serta induksi reaksi sistemik pada fase akut Gambar 2.9. Secara khusus TNF dan IL-1 menginduksi ekspresi molekul adhesi endotel, sintesis mediator kimia, termasuk sitokin lain, chemokines , faktor pertumbuhan, eikosanoid, dan NO. Sitokin-sitokin yang berperan dalam proses peradangan akut maupun kronis dapat dilihat pada tabel 2.1 Robins et al., 2010. TNF- α berperan dalam berbagai aspek respon terhadap inflamasi, termasuk menginduksi sitokin untuk inflamasi IL-1, IL-6. TNF- α juga menimbulkan perubahan pada sel endotel dinding pembuluh darah, mengaktifkan monosit dan neutrofil, serta menghancurkan sel yang terinfeksi. Selain itu TNF- α juga berfungsi sebagai mediator utama dalam shok septik dan dapat mempengaruhi penyimpanan dan metabolisme lipid sehingga dapat menimbulkan kaheksia keadaan kurus kering karena kekurangan gizi. TNF cachexin atau cachectin, sebelumnya dikenal sebagai tumor necrosis factor-alpha atau TNF- α adalah sitokin yang terlibat dalam peradangan sistemik dan merupakan anggota dari kelompok sitokin yang merangsang reaksi inflamasi fase akut. Hal ini terutama dihasilkan oleh makrofag yang teraktifasi, selain itu dapat diproduksi oleh berbagai jenis sel lainnya sebagai limfosit CD4 + , sel NK dan neuron Locksley et al., 2001. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1 Sitokin dalam proses peradangan akut dan kronik Robins et al., 2010 Cytokine Principal Sources Principal Actions in Inflamations IN ACUTE INFLAMATION TNF Macrophages, mastcells,T lymphocytes Stimulates expression of endothelial adhesion molecules and secretion of other cytokines; systemic effects IL-1 Machropages, endothelial cells, some epithelial cells Similar to TNF; greater role in fever IL-6 Machropages, other cells Systemic effects acute-phase response Chemokines Machropages, endothelial cells, T lymphocytes, mast cells, other cell types Recruitmen of leukocytes to sites of inflammation; migration of cells to normal tissue IN CHRONIC INFLAMATION IL-12 Dendritic cells, machropages Increased production of IFN- γ IFN- γ T lymphocytes, NK cells Activation of machropages increased ability to kill microbes and tumor cells IL-17 T lymphocytes Recruitmen of neutrophils and monocytes Pengembangan dari antagonis TNF- α berubah terhadap inhibitor molekul kecil. Sitokin TNF, IL-1, IL-6 dan chemokines adalah mediator yang paling penting dari reaksi fase inflamasi akut dapat dilihat pada tabel 2.1 Robin et al., 2010 Hubungan TNF dan IL-1 pada proses inflamasi secara lokal dan sistemik seperti yang diperlihatkan pada gambar berikut ini Gambar 2.9. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.9 Peran Tumor Nekrotik Factor TNF dan Interleukin-1 IL-1 pada efek lokal dan efek sistemik Robin et al., 2010 Sitokin diproduksi oleh leukosit dan jenis sel lainnya sebagai respon terhadap infeksi atau reaksi kekebalan tubuh dan dilepaskan secara sistemik. Seringkali TNF menginduksi produksi IL-1 yang dapat merangsang produksi IL-6, membentuk kaskade sitokin. TNF dan IL-1 memiliki tindakan biologis yang sama, meskipun melalui cara yang berbeda. IL-6 merangsang sintesis hepatik dari sejumlah protein plasma Reimold, 2002. Sitokin dihasilkan oleh efektor dari imunitas bawaan dan imunitas yang didapat melalui berbagai sel dan jaringan secara bertahap. Meskipun sitokin bereaksi pada konsentrasi yang sangat rendah, efeknya sangat berhubungan dengan sirkulasi. Sehingga, deregulasi dari ekspresi gen yang meningkatkan produksi sitokin dapat mengubah homeostasis sebuah organisme, yang mengakibatkan kegagalan spesifik organ atau bahkan kegagalan sistemik. Universitas Sumatera Utara Ketidakseimbangan sitokin berperan dalam patogenesis dari patogen penyakit infeksi yang berbeda dan penyakit inflamasi. TNF bersama sitokin lainnya, mempunyai peran utama di dalam proses ini Jimena Cuenca, 2001 dan Ifor, 2008.

2.4.5 Morfologi kerusakan hati

Perubahan struktur terjadi pada kerusakan hati dapat berupa: 1. Inflamasi hepatitis, yaitu jejas pada hati karena masuknya sel radang akut atau kronik. Reaksi granuloma dapat dicetuskan oleh organisme benda asing, atau obat-obatan akibat langsung toksin; serta 2. Degenerasi dan penimbunan intraseluler. Sel adalah unit terkecil yang menunjukkan semua sifat dari sebuah kehidupan. Aktifitasnya memerlukan energi dari luar untuk proses pertumbuhan, perbaikan dan reproduksi. Ketika sel mengalami stres fisiologis atau rangsangan patologis, sel bisa beradaptasi mencapai kondisi baru dan mempertahankan kelangsungan hidup. Namun bila kemampuan adaptif sel berlebihan, sel akan mengalami jejas. Dalam batas tertentu bersifat reversibel dan kembali ke kondisi semula. Stres yang berat atau menetap menyebabkan jejas ireversibel dan menyebabkan kematian sel Cotran et al., 2003. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.10 Skema gambaran sel normal Robbins et al., 2007. Dengan kerusakan sel yang terus menerus, menyebabkan jejas yang ireversibel, sel tidak dapat kembali ke kondisi semula dan menyebabkan kematian. Ada dua jenis kematian sel yaitu, nekrosis dan apoptosis dimana keduanya berbeda dalam morfologi, mekanisme, fisiologi dan kaitannya dengan penyakit. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.11 Sel nekrosis dan apoptosis Robbins et al., 2007. Penyebab dari kerusakan sel bisa disebabkan karena adanya trauma fisik yang mengakibatkan kerusakan gen tunggal dapat menyebabkan kerusakan enzim sebagai dasar dari suatu penyakit metabolik tertentu. Penyebab kerusakan sel dapat di kategorikan sebagai berikut: deprivasi oksigen, infeksi, reaksi imun, defek genetik, ketidakseimbangan nutrisi, obat-obatan dan bahan kimia. Respon seluler terhadap rangsangan tergantung pada jenis cedera, durasi, dan beratnya. Dengan demikian, racun dosis rendah atau durasi iskemia yang singkat dapat menyebabkan jejas sel reversibel, sedangkan dosis toksin yang lebih besar atau interval iskemia yang lebih panjang dapat menyebabkan jejas sel ireversibel dan menyebabkan kematian Robbins et al., 2007. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.12 Jejas sel ireversibel dan reversibel Robbins et al., 2007. 2.5 Radikal Bebas Radikal bebas adalah atom atau molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan pada lapisan luarnya. Radikal bebas dapat merusak semua bagian sel induk. Radikal bebas juga menggangu produksi normal Deoxi Nuclei Acid DNA, merusak lipid pada membran sel lapisan lipid pada dinding sel, mempengaruhi pembuluh darah, dan memproduksi prostasiklin. Bagian dari radikal bebas yang terpenting dalam tubuh adalah radikal bebas derivat oksigen yang disebut kelompok oksigen reaktif Reactive Oxygen SpeciesROS, termasuk di dalamnya adalah triplet 3O 2 , singlet 1 O 2 , anion superoksida O 2 - , radikal hidroksil OH, peroksinitrit ONOO-, asam hipoklorit HOCl, hydrogen peroksida H 2 O 2 , radikal alkoxyl RO-, peroksida lipid LOOH, dan radikal peroksil ROO- Marks, 2000; Arief, 2009. Reactive oxygen species ROS dapat bereaksi dan dapat menyebabkan kerusakan pada banyak molekul di dalam sel termasuk dalam sel hati, tempat Universitas Sumatera Utara dimana semua zat toksik di metabolisme Devlin, 2002. Reactive oxygen species ROS selain dapat merusak membran sel juga merusak komponen intrasel termasuk asam nukleat, protein, dan lemak. DNA mitokondria tidak tahan terhadap serangan radikal bebas sehingga membran mitokondria rusak. Peroksidasi lipid selanjutnya mengubah DNA mitokondria dan mengganggu kestabilan membran sel, propagasi siklus stres oksidatif secara besar-besaran yang diikuti dengan peradangan. Peningkatan level oksidatif digambarkan dengan megamitokondria dan steatohepatitis non-alkoholik Day, 2004. Menurut Mohssen 2001, radikal bebas dapat menyebabkan stres oksidatif yang ditandai dengan kerusakan membran sel dan protein, termasuk enzim, akibat gangguan pada permeabilitas membran dan fungsi membran itu sendiri. Peningkatan radikal bebas akibat zat toksik akan mengaktifkan tumor necrosis factor TNF- α yang berperan terhadap nekrosis dan inflamasi hati. Radikal bebas terbentuk dari proses metabolik dalam tubuh ataupun dari sumber luar yang lain seperti melalui reaksi enzimatik dan non-enzimatik. Terbentuknya radikal bebas melalui reaksi enzimatik melibatkan rantai respirasi dalam proses fagositosis, sintesis prostaglandin dan sistem sitokrom p450 enzim yang berfungsi sebagai katalis oksidator pada lintasan metabolisme steroid, asam lemak, obat, racun dan karsinogen, sedangkan radikal bebas yang diproduksi secara reaksi non-enzimatik melibatkan proses radiasi ionisasi yaitu apabila tubuh terpapar dengan sumber radiasi, kerusakan dapat terjadi pada jaringan yang mengandung lebih banyak oksigen sehingga akan terbentuk radikal bebas. Oleh karena radikal bebas tidak mempunyai pasangan elektron, maka radikal bebas Universitas Sumatera Utara tersebut akan bebas didalam tubuh dan berusaha untuk mencapai kestabilan dengan menyerang molekul yang terdekat untuk mencari pasangan elektron sehingga akan merusak bentuk molekul tersebut. Akibat dari aktivitas radikal bebas ini maka sel-sel makromolekul seperti protein, karbohidrat, lemak dan asam nukleat akan hancur Barawijaya, 2006.

2.6 Kerangka Konsep

Gambar 2.13 Kerangka Teori Reactive Oxygen Species ROS ↑ Stres oksidatif ↑ Peroksidasi lipid Hati Ekstrak etanol kulit manggis Perubahan kadar ALT dan AST, makroskopik dan histopatologi inti sel TNF- α MSG Vitamin E Universitas Sumatera Utara

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah desain eksperimental murni true experimental designs laboratorium dengan rancangan post test only control group designs dengan cara membandingkan hasil observasi pada kelompok perlakuan eksperimen dengan kelompok kontrol. 3.2 Tempat dan Waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam FMIPA USU sebagai tempat dimulainya proses aklimatisasi, pemberian perlakuan dan pembedahan hewan coba selama 5 minggu, Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU untuk pembuatan dan pembacaan preparat histopatologi hati. Laboratorium Farmasi USU untuk pembuatan ekstrak etanol kulit manggis dan Laboratorium Klinik Pramita Sumatera Utara untuk menilai kadar enzim ALT dan AST serum darah mencit. Penelitian ini dilaksanakan mulai Desember 2012 sampai dengan April 2013. 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Penelitian Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit putih jantan strain DDW, sehat, umur 8-12 minggu, mempunyai berat badan berkisar 25-30 gr, belum pernah digunakan untuk percobaan penelitian dan diperoleh dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. USU. Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pengaruh Penambahan Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia X Mangostana L.) Terhadap Nilai Spf Krim Tabir Surya Kombinasi Avobenson Dan Oktil Metoksisinamat

4 100 106

Pengaruh Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap Hitung Leukosit dan diferensiasi Leukosit Tikus (Rattus noevegicus L.) Jantan Setelah Dipapari Kebisingan

0 58 58

Pengaruh Pemberian Ekstrak N-Heksan Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) Terhadap Gambaran Histologis Limpa Mencit (Mus musculus L.) Strain DDW

1 107 58

Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Kulit Buah Manggis (Garcinia Mangostana.L) Terhadap Perubahan Makroskopis, Mikroskopis dan Tampilan Immunohistokimia Antioksidan Copper Zinc Superoxide Dismutase (Cu Zn SOD) Pada Ginjal Mencit Jantan (Mus Musculus.L) Stra

3 48 107

Pengaruh Pemberian Ekstrak N-Heksan Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) Terhadap Perkembangan Struktur Kraniofacial Fetus Mencit (Mus musculus L.) Strain DDW

2 104 74

Pengaruh Pemberian Monosodium Glutamate Terhadap Histologi Endometrium Mencit (Mus Musculus L)

6 78 96

Pengaruh Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) Terhadap Fungsi Hati, Jumlah Eritrosit dan Kadar Hemoglobin Tikus (Rattus norvegicus) yang Dipapari dengan Karbon Tetraklorida (CCl4)

3 53 59

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL KULIT BUAH MANGGIS (GARCINIA MANGOSTANA.L) TERHADAP PERUBAHAN MAKROSKOPIS, MIKROSKOPIS PADA GINJAL MENCIT JANTAN (MUS MUSCULUS.L) STRAIN DDW YANG DI PAPARI MONOSODIUM GLUTAMATE (MSG) DIBANDINGKAN DENGAN VITAMIN E.

0 2 12

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL KULIT MANGGIS (GARCINIA MANGOSTANA L) TERHADAP PERUBAHAN KADAR ENZIM ALT, AST HATI MENCIT JANTAN (MUS MUSCULUS L) STRAIN DDW SETELAH DIBERI MONOSODIUM GLUTAMATE (MSG) DIBANDINGKAN DENGAN VITAMIN E.

0 4 12

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL KULIT MANGGIS (GARCINIA MANGOSTANA L) TERHADAP PERUBAHAN MAKROSKOPIK HATI MENCIT JANTAN (MUS MUSCULUS L) STRAIN DDW SETELAH DIBERI MONOSODIUM GLUTAMATE (MSG)

0 0 8