Validasi metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar sefadroksil menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin.

(1)

INTISARI

Sefadroksil merupakan antibiotika golongan sefalosporin generasi pertama. Sefadroksil memiliki kemiripan struktur dengan sefaleksin yang juga merupakan antibiotika golongan sefalosporin. Oleh karena itu, penetapan kadar sefaleksin menggunakan metode spektrofotometri visebel dengan pereaksi asetilaseton dan formalin diharapkan dapat juga digunakan untuk penetapan kadar sefadroksil.

Penetapan kadar sefadroksil ini didasarkan pada terbentukknya warna sebagai hasil reaksi antara gugus amin primer sefadroksil dengan hasil kondensasi 2 mol asetilaseton dan 1 mol formalin yang intensitasnya kemudian diukur menggunakan spektrofotomeer visibel. Penelitian ini merupakan jenis penelitian noneksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif. Pada penelitian ini, dilakukan optimasi kondisi reaksi, analisis validitas metode, dan aplikasi metode untuk penetapan kadar sefadroksil pada sediaan kapsul.

Beradasarkan hasil optimasi kondisi reaksi diperoleh bahwa operating time

berada pada menit ke-70, volume pereaksi optimum pereaksi adalah 6 ml, pH optimum pereaksi adalah 4, dan panjang gelombang serapan maksimum berada pada 401 nm. Untuk hasil analisis validitas dan aplikasi metode, didapatkan data sebagai berikut: nilai koefisien korelasi (r) adalah 0,9999, perolehan kembali sebesar 99,45-100,22%, dan rata-rata kadar sefadroksil dalam kapsul sebesar 490,637 mg/kapsul dengan CV= 1,37%. Dari analisis spesifisitas, diperoleh bahwa pengukuran serapan senyawa hasil reaksi tidak terganggu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa metode ini memiliki akurasi, presisi, spesifisitas, dan linearitas yang baik serta dapat diaplikasikan untuk penetapan kadar sefadroksil dalam sediaan kapsul.

Kata kunci : sefadroksil, asetilaseon, formalin, spektrofotometri visibel, validitas metode


(2)

ABSTRACT

Cefadroxil is first generation cephalosporin antibiotic. Cefadroxil is similar in structure to chepalexin wich is also one of cephalosporin antibiotic. For that reason, it is hoped that measurement of chepalexin with spectrophotometric visible using acetylacetone and formalin can also be used to cefadroxil measurement.

The measurement of cefadroxil in this research based on reaction of primary amino group from cefadroxil with two mol acetylacetone and one mol formalin which forms the color which its intensity is measured by using visible spectrophotometer. This research was non experimental study with descriptive research project. In this research, the researcher determined optimal reaction condition, validation method analised, and application method for measurement cefadroxil in pharmaceutical product.

The research result shows that the reaction begin to stable from 70th minutes, the optimal volume of the reactor is 7 ml, the optimal pH of reactor is 4, and maximum wavelength of reaction is 401 nm. For validation method analised was acquired r value is 0,9999, the recovery is 99,45-100,22%, and mean of cefadroxil value in capsules was obtained 490,637 mg/capsule with the coefficient variant is 1,37%. From specificity analised was obtained that determination of result reaction is don’t disturb. In conclusion, the use of spectrophotometric visible using acetylacetone and formalin to cefadroxil measurement has good accuracy, precision, specificity, and linearity to cefadroxil measurement in capsules.

Key words : cefadroxil, acetylacetone, formalin, spectrophotometric visible, validation.


(3)

VALIDASI METODE SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL UNTUK PENETAPAN KADAR SEFADROKSIL MENGGUNAKAN PEREAKSI

ASETILASETON DAN FORMALIN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Bernadeta Mirmayanti NIM : 038114005

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2007


(4)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

VALIDASI METODE SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL UNTUK PENETAPAN KADAR SEFADROKSIL MENGGUNAKAN PEREAKSI

ASETILASETON DAN FORMALIN

Yang diajukan oleh : Bernadeta Mirmayanti

NIM : 038114005

Telah disetujui oleh

Pembimbing

Prof. Dr. Sudibyo Martono, M.S., Apt. Tanggal :


(5)

HALAMAN PENGESAHAN

Pengesahan Skripsi Berjudul

VALIDASI METODE SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL UNTUK PENETAPAN KADAR SEFADROKSIL MENGGUNAKAN PEREAKSI

ASETILASETON DAN FORMALIN

Oleh :

Bernadeta Mirmayanti NIM : 038114005

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma Pada tanggal:

26 Januari 2007

Mengetahui Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

Dekan

(Rita Suhadi, M.Si., Apt.) Pembimbing :

Prof. Dr. Sudibyo Martono, M.S., Apt. ... Panitia Penguji :

1. Drs. Sulasmono, Apt. ... 2. Prof. Dr. Sudibyo Martono, M.S., Apt. ... 3. Dra. A. Nora Iska Harnita, M.Si., Apt. ...


(6)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Di sebuah kejatuhan ... kutemukan semangat untuk bangkit

Di sebuah kejujuran ... kutemukan serangkai kepercayaan

Di sebuah kemunafikan ... kutemukan segelintir kedewasaan

Di sebuah kekecewaan ... kutemukan sebayang maaf Di sebuah senyuman ... kutemukan suatu ketulusan Dan di sebuah perjalanan tuk terus melangkah ... kutemukan semua warna kehidupan

JESUS BLESS YOU

Kupersembahkan untuk ……..

“Pencerita Yang Agung”

“Sang Dewi”

Bapak, ibu, dan semua kakakku tercinta

My “cloud”

Sahabatku yang memberiku semangat dan senyuman

Almamaterku


(7)

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Bapa di Surga atas limpahan berkat, rahmat dan terang Roh Kudus-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul Validasi Penetapan Kadar Sefadroksil secara Spektrofotometri Visibel dengan Pereaksi Asetilaseton dan Formalin.

Selama pelaksanan penelitian hingga penyusunan skripsi, penulis memperoleh banyak bantuan, dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tukusnya kepada:

1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Prof. Dr. Sudibyo Martono, M.S.,Apt. selaku dosen pembimbing dan dosen penguji yang telah memberikan bantuan berupa saran, kritik, serta dorongan sehingga penelitian dan penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar. 3. Drs. Sulasmono, Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan

saran yang bermanfaat bagi skripsi ini.

4. Dra. A. Nora Iska Harnita, M.Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang bermanfaat bagi skripsi ini.

5. Pak Bambang dan Bu Kis selaku laboran Laboratorium Analisis Obat dan Makanan, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian.

6. Semua laboran Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta untuk kerjasamanya selama saya praktikum.


(8)

7. Bapak, Ibu, mba Rosi, mba Yani, mba Daru, mba Agnes, dan mba Lisa atas cinta, doa, dan dukungan. Tanpa semua itu aku tidak akan jadi seperti sekarang.

8. Teman-teman “seperjuanganku “ Arnie dan Marga, kita sudah melakukan hal yang luar biasa bukan ? Terimakasih sudah mau berbagi suka dan duka selama di laboratorium.

9. My “cloud”, untuk hitam dan putih yang sudah kau hadiahkan. Semua itu membuatku menjadi lebih tegar dan dewasa.

10.Kakakku “Bayu”, Mas Ardhyan, Torinus, mba Purba, mba Wanti, mba Lilik, mba Jeki, Arie, Prita, Koko, Ratih “B”, untuk telinga yang mendengarkanku dan bahu yang menopangku.

11.Anak- anak kost “Banana Home” Phyta, Ria, Tika, mba Sisil, Mumun, Beti, Deta, Wulan, Mekar, mba Adet, Ratih ”cempluk”, Didi untuk kegilaan, keceriaan, dan semangat yang kalian berikan.

12.Temen-temen KKNku Vino, Niké, Yessy, Vigor, Denok, Sari, Oncy, kak Mifta, dan mba Vita untuk sekelumit kisah indah bersama kalian.

13.Temen-temen kelas A, terutama kelompok A, Mitha, Nanda untuk canda, kebersaman, dan dukungannya selama ini.

14.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan pada skripsi ini, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi


(9)

kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembacanya.

Yogyakarta,

Penulis

Bernadeta Mirmayanti


(10)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta,

Penulis

Bernadeta Mirmayanti


(11)

INTISARI

Sefadroksil merupakan antibiotika golongan sefalosporin generasi pertama. Sefadroksil memiliki kemiripan struktur dengan sefaleksin yang juga merupakan antibiotika golongan sefalosporin. Oleh karena itu, penetapan kadar sefaleksin menggunakan metode spektrofotometri visebel dengan pereaksi asetilaseton dan formalin diharapkan dapat juga digunakan untuk penetapan kadar sefadroksil.

Penetapan kadar sefadroksil ini didasarkan pada terbentukknya warna sebagai hasil reaksi antara gugus amin primer sefadroksil dengan hasil kondensasi 2 mol asetilaseton dan 1 mol formalin yang intensitasnya kemudian diukur menggunakan spektrofotomeer visibel. Penelitian ini merupakan jenis penelitian noneksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif. Pada penelitian ini, dilakukan optimasi kondisi reaksi, analisis validitas metode, dan aplikasi metode untuk penetapan kadar sefadroksil pada sediaan kapsul.

Beradasarkan hasil optimasi kondisi reaksi diperoleh bahwa operating time

berada pada menit ke-70, volume pereaksi optimum pereaksi adalah 6 ml, pH optimum pereaksi adalah 4, dan panjang gelombang serapan maksimum berada pada 401 nm. Untuk hasil analisis validitas dan aplikasi metode, didapatkan data sebagai berikut: nilai koefisien korelasi (r) adalah 0,9999, perolehan kembali sebesar 99,45-100,22%, dan rata-rata kadar sefadroksil dalam kapsul sebesar 490,637 mg/kapsul dengan CV= 1,37%. Dari analisis spesifisitas, diperoleh bahwa pengukuran serapan senyawa hasil reaksi tidak terganggu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa metode ini memiliki akurasi, presisi, spesifisitas, dan linearitas yang baik serta dapat diaplikasikan untuk penetapan kadar sefadroksil dalam sediaan kapsul.

Kata kunci : sefadroksil, asetilaseon, formalin, spektrofotometri visibel, validitas metode


(12)

ABSTRACT

Cefadroxil is first generation cephalosporin antibiotic. Cefadroxil is similar in structure to chepalexin wich is also one of cephalosporin antibiotic. For that reason, it is hoped that measurement of chepalexin with spectrophotometric visible using acetylacetone and formalin can also be used to cefadroxil measurement.

The measurement of cefadroxil in this research based on reaction of primary amino group from cefadroxil with two mol acetylacetone and one mol formalin which forms the color which its intensity is measured by using visible spectrophotometer. This research was non experimental study with descriptive research project. In this research, the researcher determined optimal reaction condition, validation method analised, and application method for measurement cefadroxil in pharmaceutical product.

The research result shows that the reaction begin to stable from 70th minutes, the optimal volume of the reactor is 7 ml, the optimal pH of reactor is 4, and maximum wavelength of reaction is 401 nm. For validation method analised was acquired r value is 0,9999, the recovery is 99,45-100,22%, and mean of cefadroxil value in capsules was obtained 490,637 mg/capsule with the coefficient variant is 1,37%. From specificity analised was obtained that determination of result reaction is don’t disturb. In conclusion, the use of spectrophotometric visible using acetylacetone and formalin to cefadroxil measurement has good accuracy, precision, specificity, and linearity to cefadroxil measurement in capsules.

Key words : cefadroxil, acetylacetone, formalin, spectrophotometric visible, validation.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PRAKATA... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii

INTISARI... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Perumusan masalah ... 3

2. Keaslian penelitian ... 4

3. Manfaat penelitian ... 5

B. Tujuan Penelitian ... 5

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ... 6

A. Sefadroksil ... 6

B. Asetilaseton ... 9

C. Formaldehid, Formalin, dan Paraformaldehid ... 10


(14)

D. Spektrofotometri UV-Vis ... 11

1. Definisi spektrofotometri UV-Vis ... 11

2. Konsep dasar radiasi elektromagnetik ... 11

3. Tipe transisi elektron ... 12

4. Interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik ... 13

5. Analisis kuantitatif spektrofotometri UV-Vis... 15

6. Penyimpangan hukum Beer ... 17

7. Kesalahan fotometrik ... 18

8. Penggunaan spektrofotometri UV-Vis dalam metode analisis ... 19

E. Parameter Validitas dan Kategori Metode Analisis ... 20

1. Parameter validitas metode analisis ... 20

2. Kategori metode analisis ... 23

F. Landasan Teori ... 24

G. Hipotesis ... 25

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 26

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 26

B. Definisi Operasional ... 26

C. Alat-alat Penelitian ... 26

D. Bahan-bahan Penelitian ... 27

E. Tata Cara Penelitian ... 27

1. Pembuatan larutan uji ... 27

2. Optimasi penetapan kadar sefadroksil ... 28

3. Pembuatan kurva baku ... 30


(15)

4. Aplikasi metode untuk penetapan kadar sefadroksil pada kapsul X ... 31

5. Validasi metode untuk penetapan kadar sefadroksil... 32

F. Analisis Hasil ... 33

1. Akurasi... 33

2. Presisi... 34

3. Spesifisitas ... 34

4. Linearitas ... 34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

A. Optimasi Metode ... 35

1. Penentuan operating time ... 35

2. Penentuan pH pereaksi optimum ... 42

3. Penentuan volume pereaksi optimum ... 44

4. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum ... 45

5. Penentuan kurva baku ... 47

6. Penetapan kadar sefadroksil dalam sedían kapsul X ... 50

B. Analisis Hasil ... 52

1. Akurasi ... 52

2. Presisi ... 54

3. Spesifisitas ... 55

4. Linearitas ... 56

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 58

A. Kesimpulan ... 58

B. Saran ... 58


(16)

DAFTAR PUSTAKA ... 59 LAMPIRAN ... 62 BIOGRAFI ... 84


(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I. Kriteria penerimaan akurasi pada konsentrasi analit yang berbeda ... 21

Tabel II. Kriteria penenrimaan presisi pada konsentrasi analit yang berbeda .... 22

Tabel III. Parameter analisis yang diperlukan untuk kesahihan pengukuran... 24

Tabel IV. Data penentuan operating time reaksi antara sefadroksil dengan asetilaseton dan formalin... 40

Tabel V. Data penentuan pH optimum larutan pereaksi ... 43

Tabel VI. Data penentuan volume optimum larutan pereaksi... 44

Tabel VII. Data kurva baku dengan satuan konsentrasi sefadroksil mg/ml ... 48

Tabel VIII. Data kurva baku dengan satuan konsentrasi sefadroksil 5 mg/ml ... 49

Tabel IX. Data penetapan kadar sefadroksil dalam sediaan kapsul X ... 51

Tabel X. Data penentuan % perolehan kembali (recovery) baku ... 53

Tabel XI. Data penentuan % perolehan kembali (recovery) sampel... 53

Tabel XII. Data penentuan % CV... 54

Tabel XIII. Data penentuan linearitas ... 57


(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur sefaleksin ... 2

Gambar 2. Struktur sefadroksil ... 2

Gambar 3. Reaksi antara sefaleksin dengan hasil kondensasi asetilaseton dan formalin ... 8

Gambar 4. Struktur asetilaseton ... 9

Gambar 5. Struktur formaldehid, formalin, dan paraformaldehid ... 10

Gambar 6. Diagram tingkat energi elektronik ... 13

Gambar 7. Contoh gugus kromofor ... 14

Gambar 8. Reaksi umum antara sefadroksil dengan hasil kondensasi asetilaseton dan formalin ... 36

Gambar 9. Mekanisme reaksi antara sefadroksil dengan hasil kondensasi asetilaseton dan formalin ... 39

Gambar 10. Senyawa usulan hasil reaksi antara sefadroksil dengan asil kondensasi asetilaseton dan formalin... 39

Gambar 11. Spektrum rentang waktu pengukuran serapan senyawa hasil reaksi ... 41

Gambar 12. Spektrum hasil scanning panjang gelombang serapan maksimum senyawa hasil reaksi ... 46

Gambar 13. Hubungan antara konsentrasi sefadroksil dengan serapan senyawa hasil reaksi... 49

Gambar 14. Spektrum hasil scanning baku sefadroksil dan scanning senyawa hasil reaksi ... 55


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Data Penimbangan Baku dan Sampel Sefadroksil ... 62

Lampiran 2. Spektrum Rentang Waktu Pengukuran Serapan Setelah Operating Time... 63

Lampiran 3. Spektrum Hasil Scanning Larutan Baku Sefadroksil Konsentrasi 0,006 M ... 65

Lampiran 4. Spektrum Hasil Penentuan Panjang Gelombang Serapan Maksimum Senyawa Hasil Reaksi... 66

Lampiran 5. Cara Perhitungan Konsentrasi Kurva Baku Sefadroksil ... 68

Lampiran 6. Cara Perhitungan Konsentrasi Seri Kurva Baku Sefadroksil... 69

Lampiran 7. Data Kurva Baku... 70

Lampiran 8. Hubungan Antara Konsentrasi Sefadroksil dengan Serapan Senyawa Hasil Reaksi ... 71

Lampiran 9. Data Penimbangan Sefadroksil dalam Sediaan Kapsul X ... 73

Lampiran 10. Cara Perhitungan Kadar Sampel Sefadroksil dalam Sediaan Kapsul X ... 74

Lampiran 11. Perhitungan % Perolehan Kembali (Recovery) Baku ... 76

Lampiran 12. Perhitungan % Perolehan Kembali (Recovery) Sampel... 78

Lampiran 13. Perhitungan % Coefficient of Variation (CV)... 80

Lampiran 14. Perhitungan Nilai Koefisien Variasi Fungsi (Vx0)... 81

Lampiran 15. Laporan Analisa Baku Sefadroksil (PT. Hexpharm Jaya) ... 83


(20)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Penyakit infeksi yang disebabkan oleh invasi mikroorganisme hingga sekarang ini masih banyak dijumpai di Indonesia. Oleh karena itu, sarana pengobatan untuk penyakit infeksi terus dikembangkan. Salah satu obat yang umum digunakan untuk pengobatan infeksi adalah antibiotik. Antibiotik merupakan suatu produk metabolik (zat kimia) yang dihasilkan oleh mikroorganisme tertentu, yang dalam jumlah amat kecil bersifat merusak atau menghambat mikroorganisme lain (Pelczar

and Chan, 1988).

Menurut hasil penelitian Kusuma (2000) didapat bahwa antibiotika yang paling banyak diresepkan untuk penyakit infeksi dibeberapa apotek wilayah Kotamadya Yogyakarta adalah antibiotik golongan β-laktam. Menurut Chambers (2004), kelompok antibiotik ini dibagi menjadi 4 golongan yaitu golongan: penisilin, sefalosporin, karbapenem, dan monobaktam. Mekanisme kerja dari antibiotika golongan β-laktam ini adalah dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri.

Sefadroksil merupakan salah satu antibiotik turunan sefalosporin generasi pertama (Hardman et al., 2001). Seperti halnya obat-obat lain, produsen obat sefadroksil harus melakukan pengawasan untuk menjamin keamanan dan keefektifan produk tersebut. Hal tersebut dapat diperoleh apabila Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan kontrol mutu obat telah terpenuhi. Cara pengawasan mutu obat yang dapat dilakukan untuk antibiotik adalah dengan analisis kualitatif dan analisis


(21)

2

kuantitatif. Analisis kualitatif antibiotik dapat dilakukan melalui uji mikrobiologi untuk melihat potensi antibiotik tersebut terhadap bakteri, sedangkan untuk analisis kuantitatif dapat dilakukan dengan penetapan kadar untuk melihat jumlah zat aktif yang terdapat pada sediaan.

Pemilihan metode penetapan kadar yang akan digunakan untuk analisis kuantitatif adalah sangat penting, karena akan mempengaruhi validitas dari hasil yang diperoleh. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengembangan metode penetapan kadar yang sudah ada untuk mendapatkan suatu metode alternatif dengan validitas yang baik.

Menurut Anonim (2005) analisis kualitatif untuk sefadroksil dapat dilakukan dengan Infrared Absorption dan kromatografi lapis tipis (KLT), sedangkan untuk analisis kuantitatifnya dapat dilakukan dengan menggunakan metode spektrofotometri ultraviolet (UV) dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Patel et al. (1992) telah meneliti penetapan kadar sefaleksin (gambar 1) secara spektrofotometri visibel berdasarkan reaksi antara gugus amin primernya dengan hasil kondensasi 2 mol asetilaseton dan 1 mol formalin. Sefadroksil (gambar 2) yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai struktur yang mirip dengan sefaleksin, yaitu sama-sama memiliki gugus amin primer dan gugus β-laktam..

C H NH2 C O H N N S COOH CH3 O gugus amin primer

HO C H C H N N S

O CH3

NH2O

COOH gugus amin primer

gugusβ laktam gugusβ laktam


(22)

Gugus β-laktam merupakan gugus yang bertanggung jawab terhadap potensi antimikroba dari sefaleksin dan sefadroksil, sedangkan gugus amin primer merupakan gugus yang akan bereaksi dengan asetilaseton dan formalin. Dengan adanya gugus amin primer pada sefadroksil, diharapkan bahwa sefadroksil dapat ditetapkan kadarnya dengan menggunakan metode spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin

Untuk melihat apakah metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini memenuhi parameter kesahihan atau tidak, perlu dilakukan analisis validitas metode analisis. Menurut Anonim (1995), penelitian yang menggunakan metode analisis untuk mengukur secara kuantitatif sejumlah besar komponen dari serbuk obat atau senyawa aktif termasuk dalam kategori pertama. Dengan demikian, parameter kesahihan metode analisis yang diamati adalah akurasi, presisi, spesifisitas, dan linearitas.

1. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut :

a. apakah metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar sefadroksil menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin memenuhi parameter validitas yang meliputi akurasi, presisi, spesifisitas, dan linearitas ?

b. apakah metode spektrofotometri visibel dengan pereaksi asetilaseton dan formalin dapat digunakan untuk menetapkan kadar sefadroksil dalam sediaan kapsul X.


(23)

4

2. Keaslian penelitian

Sejauh penelusuran pustaka tentang sefadroksil, penelitian tentang validasi metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar sefadroksil menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin belum pernah dilakukan dan dipublikasikan. Penelitian tentang sefadroksil yang pernah dilakukan dan dipublikasikan adalah penetapan kadar sefadroksil dalam kapsul menggunakan metode spektrofotometri UV dengan pereaksi etil asetoasetat dan asetaldehid (Rofie, 2005), penetapan kadar sefadroksil dalam kapsul menggunakan metode spektrofotometri visibel dengan pereaksi etil asetoasetat dan formalin (Rianti, 2005), penetapan kadar sefalosporin dalam produk farmasi menggunakan metode spektrofotometri visibel dengan pereaksi kromotrop 2B dan kromotrop 2R (Issa and Amin, 2006), dan penetapan kadar sefadroksil secara sequential injection dengan menggunakan spektrofotometer detektor (Machit et al., 2006).

Penelitian tentang metode spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin yang sudah pernah dilakukan dan dipublikasikan adalah penggunaan metode spektrofotometri visibel dengan pereaksi asetilaseton dan formalin untuk penetapan kadar sefaleksin dalam produk sediaan (Patel et al., 1992), validasi metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar amoksisilin menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin (Sunarto, 2007), serta validasi metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar ampisilin menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin oleh Roosita (2007).


(24)

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis.

Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi di dunia kefarmasian, khususnya di bidang industri tentang metode spektofotometri visibel untuk penetapan kadar sefadroksil yang memiliki akurasi, presisi, spesifisitas, dan linearitas yang baik.

b. Manfaat metodologis.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah mengenai metode alternatif untuk penetapan kadar sefadroksil yaitu metode spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. mengetahui akurasi, presisi, spesifisitas, dan linearitas dari metode spektofotometri visibel untuk penetapan kadar sefadroksil menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin.

2. mengetahui hasil aplikasi metode spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin untuk penetapan kadar sefadroksil pada sediaan kapsul X.


(25)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Sefadroksil

Sefadroksil adalah antibiotika generasi pertama kelompok sefalosporin (Hardman et al., 2001), merupakan serbuk putih atau hampir putih, larut dalam air, sangat sedikit larut dalam alkohol, dan praktis tidak larut dalam eter. Nama kimianya adalah (6R, 7R)-7-[(R)-2-Amino-2-(p-hydroxyphenyl) acetamido]-3-methyl-8-ozo

-5-thia-1-azabicyclo [4.2.0] oct-2-ene-2-carboxyclic acid monohydrate (Anonim, 2005). Sebagai antibiotik, sefadroksil memiliki aktivitas terhadap bakteri Gram positif seperti Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, dan Stertococcus pneumoniae serta bakteri Gram negatif seperti Klebsiella pneumoniae, Escherichia coli, dan Proteus mirabilis (McEvoy, 2005). Sefadroksil digunakan untuk pengobatan infeksi pada saluran pernafasan, saluran kencing, kulit, alat kelamin, dan sistem syaraf pusat. Efek samping dari penggunaan sefadroksil adalah mual, muntah, diare, kulit kemerahan, epigastria distress, genital pruritus, pseudo membranous colitis, dan

genital moniliasis (Makchit et al., 2006). Mekanisme kerja sefadroksil sebagai anti bakteri adalah menghambat pembentukan dinding sel bakteri dengan cara berikatan dengan penicillin binding proteins (PBPs) sehingga akan menghambat fase transpeptidase akhir dari sintesis peptidoglikan pada dinding sel bakteri (Lacy et al., 2003).

Sefadroksil diadministrasikan secara oral, dan adanya makanan tidak mempengaruhi proses absorpsi dari sefadroksil. Oleh karena itu, sefadroksil dapat


(26)

diadministrasikan bersama dengan makanan. Dosis pemberian sefadroksil untuk dewasa adalah 1 sampai 2 gram sehari, dan untuk anak-anak 30 mg/kg sehari. Bentuk sedian sefadroksil yang biasanya beredar di pasaran adalah kapsul, tablet, dan suspensi kering (McEvoy, 2005).

Kapsul sefadroksil mengandung tidak kurang dari 90% dan tidak lebih dari 120% dari jumlah sefadroksil (C16H17N3O5S) yang tertera dalam label (Anonim,

2005).

Menurut Anonim (2005) analisis kualitatif sefadroksil adalah dengan

Infrared Absorption serta KLT menggunakan lempeng yang dilapisi silika gel dan

chamber yang berisi campuran n-hexane dan tetradecane (95:5), sedangkan untuk analisis kuantitatifnya dapat dilakukan dengan metode spektrofotometri UV dan KCKT menggunakan kolom oktadesilsilan yang terikat pada silika berpori dengan ukuran 4 mm x 250 mm, fase gerak bufer kalium fosfat-kalium hidroksida dan asetonitril (960:40), flow rate 1,5 ml/menit, dan detektor 230 nm.

Issa and Amin. (2006), meneliti tentang penetapan kadar sefadroksil, sefaleksin, dan sefradin dengan menggunakan metode spektrofotometri visibel. Metode ini didasarkan pada pembentukan kompleks pasangan ion antara senyawa yang dianalisis dengan kromotop 2B atau kromotrop 2R. Kompleks pasangan ion yang tersebut akan menghasilkan warna yang kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang 542 nm untuk kromotrop 2B dan 564 nm untuk kromotrop 2R.

Patel et al. (1992) meneliti tentang penetapan kadar sefaleksin menggunakan metode spektrofotometri visibel dengan pereaksi asetilaseton dan formalin. Metode ini didasarkan pada reaksi antara gugus amin primer sefaleksin


(27)

8

dengan 2 mol asetilaseton dan 1 mol formalin. Reaksi secara singkat dapat dilihat pada gambar 3 berikut.

H3COCCH2 C O H3C

HCHO

C CH3 CH2COCH3

C O

CH3

C

H3C CH3 C

O

H3C

CH H2 C CH C O O N H R H + + + C C N C C H2 C CH3 C CH3 O C H3C

R O

H3C

= gugus kromofor gugus amin primer

pada sefaleksin

O

C C N

N

S COOH

CH3 H O H

R =

O

asetilaseton formalin asetilaseton

Gambar 3. Reaksi antara gugus amin primer sefaleksin dengan 2 mol asetilaseton dan 1 mol formalin (Patel et al., 1992)

Hasil dari reaksi antara sefaleksin dengan asetilaseton dan formalin tersebut adalah larutan berwarna kuning yang memiliki gugus kromofor, yang kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang serapan maksimum 400 nm. Pada penelitian tersebut terlebih dahulu dilakukan optimasi kondisi reaksi yang meliputi konsentrasi pereaksi, pH pereaksi, waktu reaksi, suhu reaksi, dan pelarut. Selain itu, ditentukan juga selektivitas reaksi dengan cara mengamati pengaruh penambahan berbagai macam eksipien ke dalam sefaleksin terhadap nilai % perolehan kembali.

Dengan adanya berbagai macam optimasi kondisi percobaan didapatkan bahwa metode spektrofotometri visibel dengan pereaksi asetilaseton dan formalin yang telah dilakukan Patel et al.(1992) memiliki akurasi dan selektifitas yang baik


(28)

untuk penetapan kadar sefaleksin baik dalam bentuk murni (senyawa baku) maupun dalam berbagai macam sediaan obat. Metode penetapan kadar sefaleksin inilah yang kemudian dijadikan dasar untuk penetapan kadar sefadroksil dalam penelitian ini.

Dari beberapa metode analisis yang pernah dilakukan, Makchit et al. (2006) mengemukakan bahwa metode yang paling banyak dilakukan adalah metode spektrofotometri, karena metode ini sederhana, cepat, tidak bersifat merusak, dan tidak terlalu mahal. Makchit et al. (2006) melakukan penelitian tentang penetapan kadar sefadroksil secara sequential injection dengan menggunakan spektrofotometer detektor. Metode tersebut didasarkan pada pembentukan warna merah sebagai hasil reaksi antara sefadroksil dengan 4-aminoantipirin dalam suasana basa dengan adanya kalium heksasianoferat (III) yang kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang 510 nm.

B. Asetilaseton

Asetilaseton atau CH3.CO.CH2.CO.CH3 merupakan cairan jernih tidak

berwarna atau berwarna kuning lemah, mudah terbakar dan berbau harum. Asetilaseton larut dalam air; dapat campur dengan etanol 95% P, kloroform P, aseton, eter P, dan asam asetat glasial. Asetilaseton memiliki bobot molekul (BM) 100,211 dan mengandung tidak kurang dari 98% C5H8O2 (Anonim, 1995).

H3C

C C

H2

C

CH3

O O


(29)

10

C. Formaldehid, Formalin, dan Paraformaldehid

Formaldehid merupakan suatu reagensia yang berbentuk gas. Formaldehid lebih mudah disimpan dalam bentuk larutan atau sebagai suatu polimer padat. Formaldehid yang disimpan dalam bentuk larutan disebut formalin, sedangkan formaldehid yang disimpan dalam bentuk polimer padat disebut paraformaldehid (Fessenden dan Fessenden, 1994).

Dalam penelitian ini, reagensia yang akan digunakan adalah formalin yang mengandung 38% formaldehid dan 7-15% metanol dalam air (Fessenden dan Fessenden, 1994). Formalin merupakan cairan jernih, tidak berwarna atau hampir tidak berwarna, dan memiliki bau menusuk. Jika disimpan di tempat dingin akan berubah menjadi keruh. Larutan formalin dapat bercampur dengan air dan dengan etanol 95% P. Sebaiknya disimpan dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya, pada suhu di atas 20o. Formalin memiliki BM = 30,03 dan mengandung CH2O tidak kurang dari 34,0% dan tidak lebih dari 38,0% (Anonim, 1979). Formalin

dapat digunakan sebagai reagensia, bahan penghilang bau, dan sebagai bahan pengawet (Fessenden dan Fessenden, 1994).

Pada gambar 5 berikut dapat dilihat struktur kimia dari formaldehid, formalin, dan paraformaldehid.

H C H

O

H C H

O

+ H

2O

CH2OCH2OCH2OCH2O

Formaldehid Formalin Paraformaldehid


(30)

D. Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel (UV-Vis) 1. Definisi spektrofotometri UV-Vis

Spektrofotometri serapan adalah pengukuran suatu interaksi antara radiasi elektromagnetik dengan atom atau molekul dari suatu zat kimia. Pengukuran serapan dapat dilakukan pada daerah ultraviolet (panjang gelombang 190-380 nm) dan pada daerah cahaya tampak (panjang gelombang 380-780 nm) (Anonim, 1995).

Secara umum, spektrofotometri UV-Vis dibagi menjadi dua metode, yaitu

direct spectrophotometry UV-Vis dan indirect spectrophotometry UV-Vis. Pada

direct spectrophotometry, serapan didasarkan pada ikatan rangkap terkonjugasi yang terdapat pada senyawa tersebut. Pada indirect spectrophotometry, pengukuran serapan dapat dilakukan setelah senyawa mengalami reaksi kimiawi atau modifikasi gugus kromofor (Schirmer, 1982).

2. Konsep dasar radiasi elektromagnetik

Panjang gelombang cahaya ultraviolet ataupun sinar tampak yang diserap suatu senyawa bergantung pada mudahnya terjadi promosi elektron pada senyawa tersebut. Molekul-molekul yang memerlukan lebih banyak energi untuk promosi elektron akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih pendek. Molekul yang memerlukan energi yang lebih sedikit untuk promosi elektron akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih panjang (Fessenden dan Fessenden, 1994).

Menurut Mulja dan Suharman (1995), kuantitas energi yang diserap oleh suatu senyawa berbanding terbalik dengan panjang gelombang radiasi. Rumusan energi yang dimiliki foton dinyatakan sebagai:


(31)

12

E = h . v = h .

c

λ

= h . c . v

... (1)

Keterangan:

E = energi yang diserapan (J)

h = konsatanta Planck sebagai faktor pembanding = 6,63 x 10-27 erg.detik atau 6,63 x 10-34 Joule detik v = frekuensi radiasi (Hz)

c = kecepatan cahaya = 3 x 1010 cm/detik

λ = panjang gelombang (cm)

v = bilangan gelombang (cm-1)

3. Tipe transisi elektron

Serapan molekuler pada daerah UV-Vis tergantung dari struktur elektron suatu molekul. Penyerapan radiasi di daerah UV-Vis dapat terjadi karena molekul tersebut mempunyai elektron (baik berpasangan maupun sendiri), yang dapat dieksitasikan ke tingkat energi yang lebih tinggi (Skoog, 1985).

Ada tiga macam transisi elektron yang dapat terjadi pada suatu molekul, yaitu:

a. Transisi σ → σ*. Pada transisi tipe ini, suatu elektron di dalam orbital molekul bonding akan dieksitasikan ke orbital antibonding sehingga molekul berada dalam keadaan excited state (σ*). Untuk mengeksitasikan elektron yang berada pada suatu ikatan kovalen tunggal terikat kuat (orbital σ) diperlukan radiasi berenergi tinggi atau panjang gelombang pendek. Oleh karena itu, serapan maksimum yang disebabkan oleh transisi ini tidak pernah teramati pada daerah ultraviolet. Dengan demikian, tidak ada diskusi yang memberikan uraian yang jelas mengenai tipe serapan pada transisi ini (Skoog, 1985).


(32)

b. Transisi n → σ*. Senyawa-senyawa yang jenuh mengandung atom-atom dengan elektron-elektron tak berpasangan (elektron nonbonding) mempunyai kemampuan untuk mengadakan transisi n → σ*. Pasangan elektron bebas tersebut akan dieksitasikan ke tingkat energi yang lebih tinggi karena elektron nonbonding

tidak terikat kuat seperti elektron bonding transisi σ → σ*, sehingga serapannya terjadi pada panjang gelombang yang lebih besar. Oleh karena itu, transisi ini memerlukan energi yang lebih kecil daripada transisi σ→σ* (Skoog, 1985).

c. Transisi n → π* dan π → π*. Umunya penggunaan spektroskopi pada senyawa-senyawa organik didasarkan pada transisi n dan π ke excited state π*. Energi yang dibutuhkan cukup rendah yaitu pada daerah sekitar 200-700 (Skoog, 1985).

Diagram tingkat energi elektronik dapat dilihat pada gambar 6 berikut:

σ*

Anti bonding

π*

Anti bonding

E

n Non bonding π Bonding

σ Bonding

Gambar 6. Diagram tingkat energi elektronik (Mulja dan Suharman, 1995)

4. Interaksi molekul dengan radiasi elektomagnetik

Radiasi elektromagnetik dapat berinteraksi dengan molekul dalam berbagai macam cara. Jika interaksinya menghasilkan transfer energi dari sumber radiasi


(33)

14

kepada molekul maka dinamakan serapan (Pecsok et al., 1976). Agar dapat menyerap radiasi UV-Vis, suatu molekul membutuhkan gugus yang dinamakan kromofor (Skoog, 1985). Gugus kromofor merupakan gugus dari suatu molekul yang bertanggung jawab terhadap serapan radiasi UV-Vis. Suatu senyawa yang memiliki gugus kromofor dinamakan kromogen (Christian, 2003). Pada gambar 7 berikut dapat dilihat beberapa contoh gugus kromofor dan panjang gelombang serapan maksimumnya. C H C H R C O H R C O R Nitro Nitrit NO2 ONO N N Ethilena Keton Aldehida Azo Benzena

Kromofor λ maksimum 190 195 270-285 210 280-300 285-400 210 220-230 300-400 285-400 184 202 255

Gambar 7. Contoh gugus kromofor (Christian, 2003)

Pada pengukuran serapan dengan menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis dibicarakan juga mengenai gugus auksokrom yang merupakan gugus fungsional yang memiliki elektron valensi nonbonding yang memberikan intensitas serapan pada daerah UV jauh (100-190 nm) dengan transisi n → σ* (Pecsok et al.,


(34)

1976). Auksokrom tidak dapat menyerap radiasi sendiri dan biasanya gugus ini terikat pada kromofor (Christian, 2003). Adanya gugus auksokrom yang terikat pada gugus kromofor akan mengakibatkan pergeseran pita serapan ke arah panjang gelombang yang lebih panjang (pergesaran batokromik) yang seringkali / tidak selalu disertai adanya peningkatan intensitas (efek hiperkromik) (Mulja dan Suharman, 1995).

5. Analisis kuantitatif spektrofotometri UV-Vis

Besarnya serapan radiasi dari suatu sistem serapan dengan panjang gelombang monokromatik dapat dijelaskan melalui hukum Lambert (Bouguer) dan hukum Beer. Menurut hukum Lambert, intensitas cahaya yang ditransmisikan menurun secara eksponensial sesuai dengan kenaikan tebal zat penyerap. Hukum Beer menyatakan bahwa intensitas cahaya yang ditransmisikan menurun secara eksponensial sesuai dengan kenaikan konsentrasi zat penyerap (Fell, 1986).

Kombinasi dari kedua hukum ini menghasilkan hukum Lambert-Beer yang menyatakan hubungan antara logaritma intensitas sinar yang masuk dan sinar yang keluar sebagai fungsi tebal dan konsentrasi zat penyerap, dirumuskan sebagai berikut

Log Io/I = A = a.c.b ...(2) Keterangan

Io = intensitas energi yang mencapai cuplikan

I = intensitas pancaran yang dikeluarkan dari cuplikan A = serapan

a = daya serap

c = konsentrasi larutan b = tebal kuvet


(35)

16

Menurut Watson (1999), nilai daya serap (a) dapat dinyatakan sebagai

, sehingga persamaan hukum Lambert-Beer dapat ditulis menjadi:

1% 1cm

A

A =A1%1cm.c.b ...(3) Keterangan:

A = serapan

1% 1cm

A = serapan jenis c = konsentrasi b = tebal kuvet

1% 1cm

A merupakan serapan dari larutan dengan konsentrasi 1% b/v pada kuvet setebal 1 cm.

Menurut Anonim (1995) analisis kualitatif zat tunggal secara spektrofotometri dilakukan dengan pengukuran nilai serapan pada panjang gelombang serapan maksimum atau dilakukan pengukuran % transmitan (T) pada panjang gelombang serapan maksimum. Menurut Pecsok et al. (1976), pengukuran serapan pada panjang gelombang serapan maksimum akan memberikan sensitivitas dan akurasi yang baik. Selain itu, didapatkan juga serapan yang relatif konstan dan memberikan kurva kalibrasi yang linear.

Ada empat cara pelaksanaan analisis kuantitatif zat tunggal menurut Mulja dan Suharman (1995), yaitu:

a. Membandingkan serapan atau %T. Serapan atau %T zat yang dianalisis dibandingkan dengan reference standard pada panjang gelombang serapan maksimum. Persyaratannya adalah pembacaan nilai serapan sampel dan reference standard tidak jauh berbeda.


(36)

Keterangan :

A(s) = serapan larutan sampel C(s) = konsentrasi larutan sampel

A(r.s) = serapan larutan reference standard

C(r.s) = konsentrasi reference standard

b. Kurva baku. Dengan menggunakan kurva baku dari larutan reference standard dengan pelarut tertentu pada panjang gelombang serapan maksimum, dibuat grafik sistem koordinat Cartesius dengan serapan sebagai ordinat dan konsentrasi sebagai absis. Kemudian, nilai serapan sampel dimasukkan ke persamaan kurva baku untuk mendapatkan konsentrasi sampel.

c. Menghitung nilai serapan larutan sampel. Nilai serapan larutan sampel

( ) pada pelarut dan dibandingkan dengan serapan zat yang dianalisis

tertera pada buku resmi.

maks 1%

1cm .λ

A

d. Menghitung daya serap molar. Perhitungan daya serap molar sama dengan cara menghitung nilai serapan larutan sampel hanya saja pada perhitungan daya serap molar lebih tepat karena melibatkan BM.

ε = A11%cm.BM.10−1 ...(5) Keterangan:

ε = daya serap molar

1% 1cm

A = serapan jenis BM = bobot molekul

6. Penyimpangan hukum Beer

Penyimpangan hukum Beer menurut Willard et al.(1988), penyimpangan hukum Beer dibagi menjadi tiga, yaitu:


(37)

18

a. Penyimpangan konsentrasi larutan. Hukum Beer hanya berlaku pada larutan yang encer Apabila larutan yang digunakan terlalu pekat, maka daya serap akan dipengaruhi oleh nilai indeks bias larutan. Hubungan antara daya serap dan nilai indeks bias larutan dapat dirumuskan sebagai berikut:

a = asesungguhnya 2 2

) 2

(η +

η

………. (6)

Keterangan: a adalah daya serap dan η adalah indeks bias larutan.

Pada konsentrasi 0,001 M atau kurang, indeks bias larutan relatif konstan tetapi pada konsentrasi tinggi indeks bias ternyata berubah dan mempengaruhi nilai daya serap.

b. Penyimpangan instrumen. Penyimpangan ini terjadi karena adanya keterbatasan pada kemampuan filter atau monokromator dalam menghasilkan cahaya yang benar-benar monokromatik.

c. Penyimpangan kimia. Penyimpangan kimia dari hukum Beer disebabkan karena adanya perubahan kesetimbangan kimia atau fisis dari zat yang dianalisis. Perubahan kesetimbangan ini dapat terjadi karena zat yang dianalisis mengalami disosiasi atau reaksi dengan pelarut, sehingga dihasilkan produk dengan spektrum serapan yang berbeda.

7. Kesalahan fotometrik

Ketidaktepatan dan ketidaktelitian pembacaan intensitas sinar yang sampai pada detektor digambarkan sebagai nilai kesalahan fotometrik. Ketepatan fotometrik berkurang pada nilai serapan rendah maupun pada nilai serapan tinggi. Pada serapan yang rendah, intensitas sinar yang ditransmisikan baik ada maupun tidak ada sampel hampir sama sehingga kemungkinan terjadinya kesalahan sangat besar. Hal tersebut


(38)

karena ada keterbatasan kepekaan detektor. Pada serapan yang tinggi, intensitas sinar yang sampai pada detektor sangat rendah sehingga tidak dapat diukur dengan tepat (Pecsok et al., 1976).

Untuk pembacaan serapan (A) atau transmitan (T) pada daerah terbatas, kesalahan penentuan kadar hasil analisis dinyatakan sebagai:

C

C Δ

= T

log 4343 , 0

x T

T Δ

………. (7)

ΔT adalah nilai rentang skala transmitan terkecil dari alat yang masih dapat terbaca pada analisis dengan metode spektrofotometri UV-Vis. Nilai ΔT untuk setiap spektrofotometer UV-Vis biasanya bervariasi 0,2-1% dan selalu dicantumkan sebagai spesifikasi instrumen. Dari rumus tersebut di atas dapat diperhitungkan kesalahan pembacaan A atau T pada analisis dengan metode spektrofotometer UV-Vis. Pembacaan A (0,2-0,8) atau %T (15-65%) akan memberikan prosentase kesalahan analisis yang dapat diterima yaitu sebesar 0,5-1% untuk ΔT = 1 (Mulja dan Suharman, 1995).

8. Penggunaan spektrofotometri UV-Vis dalam metode analisis

Spektrofotometri UV-Vis dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif suatu senyawa. Menurut Mulja dan Suharman (1995), analisis kualitatif dengan metode spektrofotometri UV-Vis hanya dipakai untuk data sekunder atau data pendukung. Pada analisis kualitatif dengan metode spektofotometri UV-Vis yang dapat ditentukan ada dua yaitu :

a. pemeriksaan kemurnian spektrum UV-Vis.


(39)

20

Menurut Mulja dan Suharman (1995), analisis kuantitatif dengan metode spektrofotometri UV-Vis dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu:

a. analisis kuantitatif penetapan zat tunggal (analisis satu komponen).

b. analisis kuantitatif penetapan campuran dua macam zat (analisis dua komponen). c. analisis kuantitatif penetapan campuran tiga macam zat atau lebih (analisis multi

komponen).

Penggunaan spektrofotometri serapan dalam perkembangannya dapat diperluas dengan adanya zat berwarna baik yang terbentuk dari asalnya maupun akibat bereaksi dengan zat lain. Menurut Fell (1986), reaksi warna akan menambah selektivitas dan sensitivitas dari suatu senyawa bila dibandingkan pengukurannya secara spektrofotometri UV. Reaksi tersebut umunya digunakan sebagai modifikasi serapan molekul suatu senyawa sehingga dapat dideteksi pada daerah tampak.

Menurut Vogel (1987), hal-hal yang perlu diperhatikan dalam reaksi warna adalah kespesifisikan zat warna, kesebandingan antara warna dengan konsentrasi, kestabilan warna yang dihasilkan, reprodusibilitas, kejernihan larutan yang dihasilkan, dan kepekaan yang tinggi dari reaksi warna.

E. Parameter Validitas dan Kategori Metode Analisis 1. Parameter validitas metode analisis

Validasi metode analisis adalah suatu prosedur yang digunakan untuk membuktikan apakah suatu metode analisis memenuhi persyaratan yang ditentukan atau tidak (Anonim, 2005). Ada beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam validasi metode analisis, yaitu:


(40)

a. akurasi suatu metode merupakan keterdekatan hasil pengukuran dengan kadar analit yang sebenarnya. Akurasi dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan (Anonim, 2005). Berikut adalah kriteria penerimaan akurasi berdasarkan kadar analit (Yuwono dan Indrayanto, 2005) :

Tabel I. Kriteria penerimaan akurasi pada konsentrasi analit yang berbeda

Kadar analit (%) Rata-rata % perolehan kembali (%)

100 98-102

≥ 10 98-102

≥ 1 97-103

≥ 0,1 95-105

0,01 90-107

Akurasi untuk kadar obat yang besar adalah 95-105 % sedangkan untuk bioanalisis rentang 80-120% masih bisa diterima (Mulja dan Hanwar, 2003).

b. presisi adalah derajat kesesuaian antara hasil uji individual yang diperoleh dari pengambilan sampel yang berulang dari suatu sampel yang homogen dengan menggunakan suatu metode analisis. Presisi biasanya dinyatakan dengan

coefficient of variation (CV) atau relative standard deviation (RSD) (Anonim, 2005). Menurut Anonim (2005), presisi terdiri dari 3 macam, yaitu:

1) Reproducibility adalah keseksamaan metode bila analisis dikerjakan di laboratorium yang berbeda.

2) Intermediate precision adalah keseksamaan metode jika analisis dikerjakan di laboratorium yang sama pada hari yang berbeda atau analis yang berbeda atau peralatan yang berbeda.

3) Repeatability adalah keseksamaan metode jika analisis dilakukan oleh analis yang sama dengan peralatan yang sama pada interval waktu yang pendek.


(41)

22

Berikut adalah kriteria penerimaan presisi berdasarkan kadar analit (Yuwono dan Indrayanto, 2005) :

Tabel II. Kriteria penerimaan presisi pada konsentrasi analit yang berbeda

Kadar analit (%) CV (%)

100 1,3

≥ 10 2,7

≥ 1 2,8

≥ 0,1 3,7

0,01 5,3

Unttuk bioanalisis nilai CV 15-20% masih dapat diterima (Mulja dan Hanwar, 2003). c. spesifisitas merupakan kemampuan suatu metode untuk mengukur dengan akurat respon analit diantara seluruh komponen sampel potensial yang ada dalam matrik sampel. Spesifisitas metode analisis ditentukan dengan membandingkan hasil analisis sampel yang mengandung cemaran, hasil degradasi, senyawa sejenis, senyawa asing lainnya, atau pembawa placebo dengan hasil analisis sampel tanpa penambahan bahan-bahan tersebut (Anonim, 2005).

d. detection limit adalah konmsentrasi terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi, tetapi tidak perlu untuk diukur. Menurut dokumen ICH, pendekatan dilakukan dengan membandingkan respon pengukuran antara sampel dengan blangko. Rasio signal-to-noise yang diterima adalah 2:1 atau 3:1 (Anonim, 2005).

e. quantitation limit adalah pengukuran secara kuantitatif untuk konsentrasi terkecil yang diukur dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima di bawah kondisi percobaan yang ditetapkan dengan metode tersebut. Menurut dokumen ICH, pendekatan dilakukan dengan membandingkan respon pengukuran antara sampel dengan blangko. Rasio signal-to-noise yang diterima adalah 10:1 (Anonim, 2005).


(42)

f. linearitas adalah kemampuan metode analisis memberikan respon yang secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik, proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel dengan rentang yang ada. Untuk memperoleh linearitas antara respon analit dengan konsentrasi, data penelitian yang diperoleh harus dimasukkan ke dalam persamaan matematika, untuk memperkirakan besarnya derajat linearitas (Anonim, 2005). Persyaratan data linearitas yang dapat diterima adalah jika memenuhi nilai koefisien korelasi (r) > 0,999 atau nilai variasi fungsi (Vx0) ≤ 2 % (Mulja dan Hanwar, 2003).

g. range suatu metode analisis diartikan sebagai interval antara kadar terendah sampai tertinggi analit yang dapat diukur secara kuantitatif menggunakan metode analisis tertentu dan menghasilkan ketelitian dan ketepatan, dan linearitas yang mencukupi (Anonim, 2005).

2. Kategori metode analisis

Parameter analisis yang diperlukan untuk validasi dapat bervariasi tergantung pada kategori prosedur analisis. Menurut Anonim (2005) ada empat macam kategori prosedur analitik, yaitu:

a. kategori I, meliputi metode analisis untuk kuantifikasi komponen mayor substansi bahan baku obat atau bahan aktif (termasuk pengawet) dalam sedían obat jadi.

b. kategori II, meliputi metode analisis untuk penentuan pengotor dalam substansi bahan baku obat atau senyawa degradasi dalam sedían obat jadi, termasuk pengukuran kuantitatif dan uji batas (limit test).


(43)

24

c. kategori III, meliputi metode analisis untuk penentuan sifat-sifat fisik lain obat seperti uji disolusi dan uji pelepasan.

d. kategori IV, meliputi metode analisis untuk uji identifikasi.

Untuk masing-masing kategori prosedur analisis diperlukan parameter analisis yang berbeda. Parameter-parameter yang diperlukan untuk metode analisis dapat dilihat pada tabel III berikut.

Tabel III. Parameter analisis yang diperlukan untuk kesahihan pengukuran (Anonim, 2005) Kategori II

Parameter analisis Kategori

I Kuantitatif Uji batas

Kategori III

Kategori IV

Accuracy ya Ya * * Tidak

Precision ya Ya Tidak Ya Tidak

Specificity ya Ya Ya * Ya

Detection limit tidak Tidak Ya * Tidak

Quantitation limit tidak Ya Tidak * Tidak

Linearity ya Ya Tidak * Tidak

Range ya Ya * * Tidak

* = mungkin diperlukan tergantung dari jenis uji

F. Landasan Teori

Dalam penelitian Patel et al. (1992), gugus amin primer pada sefaleksin bereaksi dengan hasil kondensasi antara 2 mol asetilaseton dan 1 mol formalin yang menghasilkan warna kuning. Intensitas warna inilah yang kemudian diukur serapannya pada daerah panjang gelombang sinar tampak. Dengan dasar penelitian tersebut, sefadroksil yang memiliki kemiripan struktur dengan sefaleksin diharapkan dapat ditetapkan kadarnya dengan metode spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin dengan prinsip reaksi yang sama dengan sefaleksin.


(44)

Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah metode spektofotometri visibel untuk penetapan kadar sefadroksil menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin memenuhi parameter validasi yang baik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini termasuk dalam kategori metode analisis yang pertama, sehingga parameter-parameter yang akan diamati adalah akurasi, presisi, spesifisitas, dan linearitas.

G. Hipotesis

Berdasarkan landasan teori di atas dapat disusun hipotesis:

1. metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar sefadroksil menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin memiliki akurasi, presisi, spesifisitas, dan linearitas yang baik.

2. metode spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin dapat diaplikasikan untuk menetapkan kadar sefadroksil dalam sediaan kapsul X.


(45)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif, karena pada penelitian ini tidak dilakukan manipulasi terhadap subjek uji. Penelitian hanya mendeskripsikan keadaan yang ada.

B. Definisi Operasional

1. Metode analisis penelitian ini termasuk dalam kategori I, yaitu suatu metode yang digunakan untuk analisis kuantitatif komponen mayor zat aktif dalam suatu sediaan (Anonim, 1995).

2. Validasi metode analisis merupakan serangkaian prosedur untuk menentukan apakah metode analisis kategori I yang digunakan memenuhi parameter akurasi, presisi, spesifisitas, dan linearitas.

3. Sampel sefadroksil yang digunakan adalah kapsul sefadroksil merk “X” yang mengandung sefadroksil 500 mg.

4. Kadar obat dalam kapsul dinyatakan dalam satuan mg/kapsul.

C. Alat-alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah spektrofotometer ultraviolet – visibel (Spectronic Genesys 5, MILTON ROY), pH meter ( Hanna


(46)

Instrument pH 209), neraca analitik (Precisa 125 A.SCS Swiss Quality), waterbath, pipet mikro, termometer, kertas saring, dan alat-alat gelas yang lazim.

D. Bahan-bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kapsul sefadroksil 500 mg (buatan pabrik tertentu, dengan merk X); standar sefadroksil (kualitas farmasetis, Acs dogfar, PT Hexparm Jaya); akuades (Laboratorium Analisis Obat dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada); serta asetilaseton, formalin, asam asetat glasial, dan natrium asetat yang tidak dinyatakan lain adalah kualitas p.a, E. Merck.

E. Tata Cara Penelitian 1. Pembuatan larutan uji

a. Pembuatan larutan natrium asetat 0,2 M.

Sebanyak 16,4 g natrium asetat ditimbang seksama, dimasukkan ke dalam labu ukur 1 L kemudian dilarutkan dengan akuades sampai tanda.

b. Pembuatan larutan asam asetat 0,2 M.

Sebanyak 12,5 mL asam asetat 96 % dipipet, kemudian diencerkan dengan akuades sampai volume 1,0 L.

c. Pembuatan larutan NaOH 1 M.

Ditimbang seksama 0,4 g NaOH kemudian dilarutkan dalam akuades bebas CO2 sampai volume 10,0 mL.


(47)

28

d. Pembuatan larutan HCl encer P mengandung HCl 7,3 % b/v (lebih kurang 2 M).

Larutkan 20 g atau 17 mL HCl pekat pada 100 mL akuades. e. Pembuatan larutan pereaksi campuran asetilaseton dan formalin .

Sebanyak 16,0 mL natrium asetat 0,2 M dan 34,0 mL asam asetat 0,2 M dicampur dengan 7,8 mL asetilaseton dan 15,0 mL formalin. Panaskan 5 menit dengan suhu 800C, dinginkan, pH diatur dengan menggunakan pH meter sampai pH yang dikehendaki, kemudian diencerkan dengan akuades sampai 100,0 mL (Patel et al., 1992).

f. Pembuatan larutan baku sefadroksil.

Ditimbang seksama 228,8 mg baku sefadroksil (BM 381,40) kemudian dilarutkan dengan akuades dan diencerkan dalam labu ukur 100 mL, konsentrasi yang diperoleh adalah 0,006 M.

g. Pembuatan larutan blangko

Sebanyak 2,0 mL akuades dimasukkan ke dalam labu ukur 25 mL, ditambahkan larutan pereaksi dengan volume dan pH yang sama dengan volume dan pH yang digunakan untuk penetapan kadar sefadroksil. Diencerkan dengan akuades sampai tanda (Patel et al., 1992).

2. Optimasi penetapan kadar sefadroksil

Suatu metode analisis apabila diaplikasikan pada dua senyawa atau lebih yang memiliki gugus penanggung jawab reaksi yang sama belum tentu memberikan hasil yang serupa, apalagi jika kondisi percobaan yang digunakan berbeda. Oleh


(48)

karena itu untuk memperoleh hasil percobaan yang optimal,.maka perlu dilakukan suatu proses optimasi.

Pada penelitian ini dilakukan optimasi berbagai kondisi percobaan meliputi

operating time, pH pereaksi, volume pereaksi, dan panjang gelombang serapan maksimum hasil reaksi antara sefadroksil dengan asetilaseton dan formalin.

a. Penentuan operating time.

Sebanyak 2,0 mL larutan baku sefadroksil 0,006 M dimasukkan ke dalam labu ukur 25 mL, ditambahkan larutan pereaksi pH 4 dengan volume 4 mL. Didiamkan selama rentang waktu tertentu pada suhu 350C. Diencerkan dengan akuades sampai tanda. Diukur serapan larutan pada panjang gelombang 400 nm, sampai diperoleh serapan yang stabil pada rentang waktu tertentu (operating time), dilakukan juga penetapan blangko (Patel et al., 1992).

b. Penentuan nilai pH yang menghasilkan serapan maksimum.

Nilai pH larutan pereaksi dibuat bervariasi, yaitu pH 3, 4, 5, 6, dan 7. Untuk masing-masing nilai pH dipipet sebanyak 4 mL, dimasukkan ke dalam labu ukur 25 mL, ditambahkan 2,0 mL larutan baku sefadroksil 0,006 M, didiamkan selama operating time pada suhu 350C kemudian diencerkan dengan akuades sampai tanda. Diukur serapan larutan pada panjang gelombang 400 nm, dilakukan juga penetapan blangko. Nilai pH optimum adalah pH larutan pereaksi yang menghasilkan serapan maksimum dan stabil (Patel et al., 1992). c. Penentuan volume larutan pereaksi yang menghasilkan serapan maksimum.

Dari larutan pereaksi dengan pH optimum dipipet masing-masing 1; 2; 3; 4; 5; 6; dan 7 mL, dimasukkan ke dalam labu ukur 25 mL, ditambahkan 2,0 mL


(49)

30

larutan baku sefadroksil 0,006 M, didiamkan selama operating time pada suhu 350C, dan diencerkan dengan akuades sampai tanda. Diukur serapan larutan pada panjang gelombang 400 nm, dilakukan juga penetapan blangko. Volume optimum adalah volume larutan pereaksi yang menghasilkan serapan maksimum dan stabil (Patel et al., 1992).

d. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum.

Sebanyak 1,0; 1,4; dan 1,8 mL larutan baku sefadroksil 0,006 M masing-masing dimasukkan ke dalam labu ukur 25 mL, ditambahkan larutan pereaksi dengan volume dan pH hasil optimasi. Diamkan selama operating time. Diencerkan dengan akuades sampai tanda. Serapan kemudian dibaca pada panjang gelombang 300-500 nm, dilakukan juga penetapan blangko. Panjang gelombang serapan maksimum adalah panjang gelombang yang memberikan serapan maksimum (Patel et al., 1992).

3. Pembuatan kurva baku

Larutan baku sefadroksil 0,006 M dipipet sebanyak 0,8; 1,0; 1,2; 1,4; dan 1,6 mL, masing- masing dimasukkan ke dalam labu ukur 25 mL, ditambahkan pereaksi dengan pH dan volume hasil optimasi. Didiamkan selama operating time

pada suhu 350C, diencerkan dengan akuades sampai tanda. Diukur serapannya pada panjang gelombang serapan maksimum, dilakukan juga penetapan blangko. Dibuat kurva hubungan konsentrasi baku sefadroksil vs serapan yang dihasilkan dan ditentukan persamaan regresi linier (y = bx + a) serta nilai koefisien korelasinya (r) (Patel et al., 1992).


(50)

4. Aplikasi metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar sefadroksil menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin pada sediaan kapsul sefadroksil 500 mg (dengan merk X)

a. Pengambilan sampel.

Sampel yang digunakan terdiri dari 1 merk kapsul yang beredar di pasaran (merk X) dan mengandung 500 mg sefadroksil. Kapsul sefadroksil yang dipilih adalah kapsul dengan nomor batch yang sama.

b. Penentuan bobot rata-rata kapsul.

Ditimbang 20 kapsul satu per satu. Keluarkan isi kapsul, timbang bagian cangkang kapsul, kemudian hitung bobot isi kapsul dan bobot rata-rata kapsul.

c. Penetapan kadar sefadroksil dalam kapsul.

Ditimbang seksama sejumlah serbuk dari 20 kapsul yang sudah dihomogenkan yang setara dengan 114,4 mg sefadroksil. Dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL, kemudian dilarutkan dan diencerkan dengan akuades sampai tanda. Dipipet 1,0 mL, dimasukkan ke dalam labu ukur 25 mL, ditambahkan pereaksi dengan pH dan volume hasil optimasi. Didiamkan selama operating time pada suhu 350C, diencerkan dengan akuades sampai tanda. Diukur serapannya pada panjang gelombang serapan maksimum, dilakukan juga penetapan blangko Ditentukan besarnya kadar sampel sefadroksil dengan memasukkan nilai serapan yang dihasilkan pada persamaan regresi linear kurva baku y = bx + a (Patel et al.,1992).


(51)

32

5. Validasi metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar sefadroksil menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin

a. Penentuan akurasi baku.

Dari persamaan linear kurva baku (y = bx + a), dapat ditentukan besarnya konsentrasi baku sefadroksil terukur (x) dengan memasukkan nilai serapan sebagai y. Membandingkan nilai konsentrasi baku sefadroksil terukur tersebut dengan konsentasi baku sefadroksil teoritis untuk mendapatkan nilai % recovery baku.

b. Penentuan akurasi sampel.

Ditimbang seksama sampel sefadroksil yang setara dengan 114,4 mg baku sefadroksil, masukan ke dalam labu ukur 100 mL, tambahkan 114,4 mg baku sefadroksil. Kemudian dilarutkan dan diencerkan dengan akuades sampai tanda. Dipipet 1,0 mL, dimasukkan ke dalam labu ukur 25 mL, ditambahkan pereaksi dengan pH dan volume hasil optimasi. Didiamkan selama operating time pada suhu 350 C, diencerkan dengan akuades sampai tanda. Diukur serapannya pada panjang gelombang serapan maksimum, dilakukan juga penetapan blangko. Ditentukan besarnya kadar terukur (x) dengan memasukkan nilai serapan yang dihasilkan (y) pada persamaan regresi linear kurva baku (y = bx + a). Membandingkan nilai kadar terukur tersebut dengan kadar teoritis untuk mendapatkan nilai % recovery sampel. c. Penentuan presisi.

Dari nilai kadar pada penetapan kadar sefadroksil pada sediaan kapsul ditentukan nilai CV untuk masing-masing replikasi. Ditentukan nilai CV rata-rata dari keseluruhan replikasi.


(52)

d. Penentuan spesifisitas.

Dilakukan scanning panjang gelombang serapan maksimum baku sefadroksil dan panjang gelombang serapan maksimum senyawa hasil reaksi antara sefadroskil dengan asetilaseton dan formalin. Dilakukan pengamatan terhadap spektrum yang dihasilkan, dan dibandingkan.

e. Penentuan linearitas

Linearitas dapat ditentukan melalui nilai r dan nilai koefisien variasi fungsi (Vx0). Nilai r dapat diperoleh dengan memasukkan data konsentrasi

sefadroksil dan serapan dari data penentuan kurva baku ke dalam program regresi linear pada kalkulator. Nilai r ini selanjutnya dibandingkan dengan nilai r tabel pada taraf kepercayaan tertentu. Selain itu, dengan menggunakan data penentuan kurva baku dapat ditentukan juga nilai koefisien variasi fungsi (Vx0).

F. Analisis Hasil

1. Akurasi

Akurasi metode analisis dinyatakan dengan nilai % recovery yang dihitung dari kadar terukur dibandingkan dengan kadar teoritis (kadar sebenarnya) dikalikan 100%.

Recovery = x100% t

kadar

terukur kadar

eoritis ...(8)

Dalam penelitian ini, akurasi ditentukan dari nilai % recovery baku dan sampel. Metode analisis dikatakan memiliki akurasi yang baik bila % recovery sefadroksil


(53)

34

baku berada pada rentang 98-102%(Yuwono dan Indrayanto, 2005) dan % recovery

sampel sefadroksil berada pada rentang 95-105% (Mulja dan Hanwar, 2003).

2. Presisi

Presisi metode analisis dinilai berdasarkan CV yang dihitung dengan cara sebagai berikut:

CV = x100%

x SD

...(9)

SD = Standard Deviation x = kadar rata-rata

CV = Coefficient of Variation

Dalam penelitian ini digunakan obat dengan obat dengan konsentrasi analit ≥ 10%, sehingga nilai CV yang digunakan adalah kurang dari 2,7% (Yuwono and

Indrayanto, 2005).

3. Spesifisitas

Pada penelitian ini spesifisitas ditentukan dengan membandingkan spektrum hasil scanning baku sefadroksil dengan spektrum senyawa hasil reaksi antara sefadroksil dengan asetilaseton dan formalin

4. Linearitas

Linearitas dapat dicapai melalui pembuatan kurva baku dengan nilai r hitung lebih besar dari r tabel, pada taraf kepercayaan 99% dengan df 3 (df = degree of freedom, yaitu jumlah sampel yang dianalisis dikurangi 2), dan melalui nilai koefisien variasi fungsi (Vx0) ≤ 2%.


(54)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Optimasi Metode 1. Penentuan operating time

Penentuan operating time merupakan tahap pertama yang harus dilakukan dalam optimasi metode spektrofotometri visibel. Penentuan operating time

dilakukan untuk mengetahui rentang waktu ketika senyawa yang dianalisis memberikan serapan yang stabil. Dengan adanya serapan yang stabil, dapat diasumsikan bahwa reaksi pembentukan warna antara sefadroksil dengan asetilaseton dan formalin telah berjalan sempurna sehingga serapan yang terbaca pada panjang gelombang 400 nm adalah serapan semua sefadroksil yang telah bereaksi dengan asetilaseton dan formalin.

Mekanisme pembentukan warna pada penelitian ini didasarkan pada reaksi antara sefadroksil dengan hasil kondensasi antara asetilaseton dan formalin. Dalam suasana asam, 1 mol asetilaseton akan berkondensasi dengan 1 mol formalin, kemudian satu mol asetilaseton yang masih tersedia dalam larutan akan mengadisi hasil kondensasi tersebut, sehingga terbentuk 3,5 diasetil-2,6-heptanadion. Reaksi yang terjadi selanjutnya adalah adisi 3,5 diasetil-2,6-heptanadion oleh gugus amin primer sefadroksil yang akan menghasilkan senyawa dengan ikatan rangkap terkonjugasi.


(55)

36

Reaksi antara 2 mol asetilaseton, 1 mol formalin, dan sefadroksil yang dipostulasikan sesuai dengan reaksi antara sefaleksin dengan asetilaseton dan formalin menurut Patel et al. (1992) dapat dilihat pada gambar 8 dan 9 berikut:

a. Reaksi umum antara sefadroksil dengan 2 mol asetilaseton dan 1 mol formalin

2

H3C C

H2

C C CH3

O O

+ H

C H

H3C C

O

CH

O H2

C CH C O CH 3 C C O

H3C O CH3

asetilaseton formalin 3,5-diasetil-2,6-heptanadion

1 -H

+

H3C C

O CH H2 C CH C O CH3 C C O

H3C O CH3

3,5-diasetil-2,6-heptanadion

+ N H

H

R

H3C C

O C H2 C C C C N R CH3

H3C

C O

CH3

-H+

gugus amin primer pada sefadroksil

HO C C N

N

S COOH

CH3

H O H

O R =


(56)

b. Mekanisme reaksi antara sefadroksil dengan 2 mol asetilaseton dan 1 mol formalin

1). Pembentukan enol asetilaseton.

H3C C

H2

C C CH3

O O H+

H3C C

H

C C CH3

O OH

H

H3C C C

H C CH3

O OH

enol asetilaseton asetilaseton

2). Pembentukan 3,5-diasetil-2,6-heptanadion.

O

C H3C

H

CH

C

O H3C

+ H

C H O

H3C C

O C H CH2 OH C O H3C

H+ H+

-H2O

enol asetilaseton

formalin

β-hidroksi karbonil

H3C C

O

C CH2

C

H3C O

H+ + O C H HC C

O CH3

-H+

H3C C

O H C H2 C CH C O CH3 C C O

H3C CH

3

O karbonil tak jenuh α,β enol asetilaseton

H3C C

CH H2 C CH C O CH3 C C O

H3C CH

3

O O

3,5-diasetil-2,6-heptanadion

H3C C

O H C H2 C CH C O CH3 C C O

H3C CH

3


(57)

38

3). Adisi amin primer sefadroksil pada 3,5-diasetil-2,6 heptanadion

C O

H3C

CH H2 C CH C O CH3 C C

H3C O O CH3

N H R H C O

H3C

CH H2 C CH C O CH3 C C

H3C O

H3C

NH O H R C O

H3C

CH H2 C C C O CH3 C C

H3C O

H3C

HN OH2

R H Gugus amin primer

pada sefadroksil

C O

H3C

CH H2 C CH C O CH3 C C

H3C O

H3C

HN OH

R

H

-H2O H

-C O

H3C

CH H2 C C C O CH3 C C

O CH3

N CH3 R H CH C N C C H2 C C CH3 O CH3 C O

H3C

H3C

O H R C C N C C H2 C C CH3 O CH3 C O

H3C

H

R OH H3C

H C C N C C H2 C C CH3 O CH3 C O

H3C

H

R OH2

H3C

H

Adisi nukleofolik


(58)

-H2O

H

-H3C C

C C O H2 C C N C R C O CH3 CH3

H3C

HO C C N

N

S COOH

CH3

H O H

O R =

Gambar 9. Mekanisme reaksi antara sefadroksil dengan 2 mol asetilaseton dan 1 mol Formalin

Hasil akhir dari reaksi antara sefadroksil dengan 2 mol asetilaseton dan 1 mol formalin di atas adalah larutan berwarna kuning yang kemudian dibaca serapannya pada panjang gelombang serapan maksimum. Senyawa usulan reaksi dapat dilihat pada gambar 10.

C C N C C H2 C CH3 C CH3 O C H3C

C H C O N H O N S COOH CH3 O

H3C

HO

= gugus kromofor

Gambar 10. Senyawa usulan hasil reaksi antara sefadroksil dengan 2 mol asetilaseton dan 1mol formalin


(59)

40

Reaksi pada gambar 9 dapat diperkirakan tidak hanya terjadi pada senyawa yang memiliki gugus amin alifatik primer seperti sefadroksil, namun juga dapat terjadi pada senyawa yang memiliki gugus amin aromatik primer yang rantai sampingnya tidak mengandung gugus penarik elektron. Adanya gugus penarik elektron akan menyebabkan amin aromatik primer tidak lagi nukleofilik, sehingga tidak dapat mengadisi gugus karbonil pada senyawa hasil kondensasi antara asetilaseton dan formalin.

Pada penelitian ini, pengukuran operating time dilakukan mulai menit ke-20 setelah sefadroksil direaksikan dengan asetilaseton dan formalin. Pengukuran

operating time dilakukan pada panjang gelombang 400 nm selama 110 menit. Hasil

operating time sefadroksil dengan pereaksi asetilaseton dan formalin disajikan pada tabel IVberikut.

Tabel IV. Data penentuan operating time reaksi antara sefadroksil dengan asetilaseton dan formalin

Serapan* pada λ400 nm Waktu (menit)

I II III

20 0,603 0,621 0,618

25 0,663 0,680 0,655

30 0,696 0,718 0,694

35 0,749 0,762 0,717

40 0,772 0,791 0,767

45 0,785 0,803 0,784

50 0,827 0,829 0,821

55 0,841 0,845 0,847

60 0,835 0,858 0,850

65 0,855 0,856 0,861

70 0,864 0,885 0,876

75 0,863 0,889 0,878

80 0,863 0,890 0,879


(60)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa serapan yang stabil dimulai dari menit ke-70, dan pada rentang waktu menit ke-70 hingga 80 didapatkan data serapan dengan selisih dan nilai CV yang relatif kecil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa operating time reaksi sefadroksil dengan pereaksi asetilaseton dan formalin berada pada menit ke-70 hingga 80.

Untuk melihat rentang waktu pengukuran yang masih memberikan serapan yang stabil, larutan yang telah didiamkan selama 70 menit, diukur serapannya selama 30 menit dengan spektrofotometer. Hasil pengukuran tersebut dapat dilihat pada gambar 11 berikut :

Gambar 11. Spektrum rentang waktu pengukuran serapan senyawa hasil reaksi antara sefadroksil dengan asetilaseton dan formalin pada replikasi III

Dari spektrum di atas dapat dilihat bahwa dalam rentang waktu pengukuran selama 30 menit setelah operating time masih didapatkan serapan yang stabil. Dengan demikian, pengukuran serapan senyawa hasil reaksi antara sefadroksil dengan asetilaseton dan formalin dapat dilakukan selama rentang waktu tersebut. Untuk spektrum rentang waktu pengukuran serapan senyawa hasil reaksi antara sefadroksil dengan asetilaseton dan formalin pada replikasi I dan II dapat dilihat pada lampiran 3.


(61)

42

2. Penentuan pH optimum larutan pereaksi

Reaksi penentu pada penetapan kadar sefadroksil dengan pereaksi asetilaseton dan formalin adalah tahap reaksi adisi nukleofilik dan eliminasi H2O.

Kedua tahap reaksi tersebut sangat bergantung pada pH. Dengan demikian, pH memegang peranan penting agar reaksi antara sefadroksil dengan larutan pereaksi dapat berjalan optimum. Menurut Fessenden and Fessenden (1994), laju reaksi adisi nukleofilik dan eliminasi H2O optimum pada pH 3 sampai 4. Apabila pH larutan

pereaksi terlalu asam (di bawah pH optimum) maka konsentrasi amin primer bebas menjadi sangat kecil bahkan dapat diabaikan karena gugus amin primer bebas pada ampisilin akan bereaksi dengan asam membentuk RNH3+. Reaksinya adalah sebagai

berikut::

RNH2 + H+ RNH3+

Amin primer pada sefadroksil

RNH3+ hasil reaksi bukanlah suatu nukleofilik, dan konsentrasi amin primer

(RNH2) bebas yang bersifat nukleofilik sangat kecil sehingga reaksi adisi nukleofilik

yang seharusnya berjalan cepat menjadi lebih lambat. Selain itu, pH yang terlalu asam akan menyebabkan konsentrasi H+ menjadi besar sehingga gugus OH- akan sangat mudah terprotonkan menjadi H2O. Hal ini menyebabkan reaksi eliminasi H2O

akan berjalan lebih cepat dari yang seharusnya, karena H2O merupakan gugus pergi

yang lebih baik dibanding OH-.

Apabila pH larutan pereaksi terlalu basa, maka konsentrasi amin primer bebas menjadi banyak sehingga reaksi adisi nukleofilik berjalan lebih cepat dari yang seharusnya, sedangkan reaksi eliminasi H2O menjadi lebih lambat dari yang


(62)

seharusnya. Hal ini disebabkan gugus OH- tidak terprotonkan menjadi H2O karena

konsentrasi H+ yang tersedia sangat kecil. Gugus OH- merupakan gugus pergi yang kurang baik dibanding H2O.

C O

H3C

CH C H2 C C O CH3 C C

H3C O

H3C

HN OH2 R H C O

H3C

CH C H2 CH C O CH3 C C

H3C O

H3C

HN OH

R

Pada pH optimum Pada pH basa

Berdasarkan uraian di atas, dapat diasumsikan bahwa pada pH optimum (pH 3-4) laju reaksi adisi nukleofilik dan eliminasi H2O akan berjalan seimbang sehingga

reaksi akan berjalan optimum. Dengan demikian, maka perlu dilakukan penentuan pH optimum larutan pereaksi, yang bertujuan untuk mengoptimalkan kondisi reaksi agar sefadroksil dapat bereaksi secara optimum dengan asetilaseton dan formalin. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan pH optimum pereaksi adalah pH larutan pereaksi yang dapat menghasilkan serapan yang maksimum. Penentuan pH optimum larutan pereaksi dilakukan dengan membuat variasi pH larutan pereaksi yaitu pH 3, 4, 5, 6, dan 7. Hasil pengukuran serapan pada berbagai pH larutan pereaksi dapat dilihat pada tabel V berikut.

Tabel V. Data penentuan pH optimum larutan pereaksi

Serapan* pada λ400 nm pH pereaksi

I II III

3 0,476 0,471 0,474

4 0,709 0,710 0,717

5 0,261 0,289 0,293

6 0,047 0,049 0,046

7 0,033 0,032 0,030


(63)

44

Dalam penelitian ini, serapan maksimum diperoleh ketika baku sefadroksil direaksikan dengan larutan pereaksi pH 4. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa larutan pereaksi yang dapat memberikan serapan maksimum adalah larutan pereaksi dengan pH 4.

3. Penentuan volume optimum larutan pereaksi

Penentuan volume optimum larutan pereaksi dilakukan dengan mereaksikan baku sefadroksil pada konsentrasi tertentu dengan larutan pereaksi pH optimum (pH 4) yang divariasi volumenya. Variasi volume pereaksi yang ditambahkan adalah 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 ml. Volume optimum larutan pereaksi adalah volume larutan pereaksi yang menghasilkan serapan maksimum dan stabil. Penentuan volume pereaksi optimum dalam penelitian ini bertujuan untuk mengoptimalkan kondisi reaksi agar sefadroksil dapat bereaksi secara optimum dengan asetilaseton dan formalin, sehingga pengikuran serapan lautan akan menggambarkan kadar sefadroksil yang sesungguhnya. Dari hasil penelitian, volume larutan pereaksi optimum adalah 6 ml seperti yang terlihat pada tabel VI.

Tabel VI. Data penentuan volume optimum larutan pereaksi

Serapan* pada λ400 nm Volume pereaksi

I II III

1 0,512 0,524 0,523

2 0,767 0,764 0,761

3 0,832 0,838 0,834

4 0,893 0,890 0,892

5 0,939 0,931 0,936

6 0,954 0,950 0,953

7 0,953 0,954 0,951


(64)

4. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum

Panjang gelombang serapan maksimum adalah panjang gelombang saat suatu senyawa memberikan serapan yang maksimum. Penentuan panjang gelombang yang memberikan serapan maksimum merupakan syarat analisis kuantitatif secara spektrofotometri, karena serapan senyawa yang diukur pada panjang gelombang serapan maksimum akan memberikan sensitifitas dan akurasi yang baik (Pecsok et al., 1976)

Penentuan panjang gelombang serapan maksimum pada penelitian ini bertujuan untuk melihat pada panjang gelombang berapa reaksi antara sefadroksil dengan asetilaseton dan formalin memberikan serapan yang maksimum. Dalam penelitian ini, penentuan panjang gelombang serapan maksimum dilakukan pada tiga seri konsentrasi larutan baku sefadroksil yang berbeda untuk melihat apakah pada konsentrasi yang berbeda terjadi perubahan panjang gelombang serapan maksimum. Konsentrasi yang digunakan adalah 0,0915; 0,1281; dan 0,1647 mg/ml.

Penentuan panjang gelombang serapan maksimum dilakukan pada rentang panjang gelombang 300-500 nm. Digunakan rentang panjang gelombang tersebut, karena menurut Patel et al. (1992), pengukuran serapan senyawa berwarna kuning hasil reaksi antara sefaleksin dengan asetilaseton dan formalin dilakukan pada panjang gelombang 400 nm. Gugus pada sefaleksin yang berperan dalam pembentukan senyawa kuning tersebut adalah gugus amin primer. Penetapan kadar sefadroksil dalam penelitian ini juga didasarkan pada reaksi antara gugus amin primer sefadroksil dengan hasil kondensasi asetilaseton dan formalin membentuk senyawa berwarna kuning. Dengan demikian, diperkirakan bahwa reaksi antara


(65)

46

sefadroksil dengan asetilaseton dan formalin memiliki panjang gelombang serapan maksimum di sekitar 400 nm. Hasil scanning panjang gelombang serapan maksimum untuk ketiga konsentrasi sefadroksil disajikan pada gambar 12.

(a) (b)

(c)

Gambar 12. Spektrum hasil scanning panjang gelombang serapan maksimum senyawa hasil reaksi antara sefadroksil pada konsentrasi (a) konsentrasi 0,0915mg/ml, (b) konsentrasi 0,1281mg/ml, (c) konsentrasi 0,1647 mg/ml dengan asetilaseton dan formalin

Dari spektrum di atas, terlihat bahwa pada ketiga seri konsentrasi larutan baku sefadroksil yang digunakan terdapat dua puncak dengan panjang gelombang 355/358 dan 401 nm. Dari kedua panjang gelombang ini dipilih panjang gelombang 401 nm sebagai panjang gelombang serapan maksimum reaksi antara gugus amin primer sefadoksil dengan asetilaseton dan formalin, karena panjang gelombang ini berada dekat dengan panjang gelombang serapan maksimum yang digunakan oleh Patel et al. (1992) yaitu 400 nm. Untuk panjang gelombang 355/358 nm diduga


(66)

merupakan panjang gelombang dari sistem kromofor dan auksokrom yang dimiliki oleh gugus fenol pada sefadroksil.

Dari spektrum pada gambar 12 dapat dilihat juga bahwa nilai serapan pada panjang gelombang 355/358 nm adalah lebih besar bila dibandingkan dengan nilai serapan pada panjang gelombang 401 nm. Lebih besarnya nilai serapan pada panjang gelombang 355/358 nm ini dapat disebabkan karena adanya OH pada gugus fenol sebagai auksokrom dengan transisi n → σ* yang dapat menyebabkan terjadinya pergeseran batokromik yang disertai dengan efek hiperkromik. Sebaliknya, pada panjang gelombang 401 nm gugus yang bertanggung jawab memberikan serapan hanyalah gugus kromofor. Dengan demikian, nilai serapan yang dihasilkan pada panjang gelombang 401 nm ini akan lebih kecil bila dibandingkan dengan nilai serapan pada panajng gelombang 355/358 nm.

5. Penentuan kurva baku

Pembuatan kurva baku diperlukan untuk memperoleh persamaan kurva baku yang berguna dalam perhitungan kadar sampel sefadroksil. Persamaan kurva baku pada penelitian ini diperoleh melalui pengukuran serapan seri konsentrasi larutan baku sefadroksil pada panjang gelombang 401 nm dan selanjutnya dibuat persamaan garis regresi antara konsentrasi (variabel bebas) dengan serapan (variabel tergantung).

Kurva baku yang digunakan dalam penelitian ini memiliki 5 seri konsentrasi sefadroksil, yaitu 0,0732; 0,0915; 0,1098; 0,1281; dan 0,1464 mg/ml. dengan tiga kali replikasi. Masing-masing seri konsentrasi sefadroksil tersebut


(1)

Contoh perhitungan % recovery sampel: Kadar sebenarnya =

ml 100

baku bobot

l) sefadroksi sampel

bobot x

(88,92% +

=

ml 100

mg 114,4 mg

126,3) x

(88,92% +

= 2,267 mg/ml

Serapan = 0,613

• Kadar sefadroksil dalam 25 ml: y = 1,1224 x + 0,0834 0,613 = 1,1224 x + 0,0834

x = 0,4718 mg/5ml x = 0,0944 mg/ml

• Kadar dalam campuran 126,3 mg sampel dan 114,4mg baku = 0,0944 mg/ml x 25

= 2,360 mg/ml

Recovery = x100%

sebenarnya kadar

didapat kadar

= x100% mg/ml

2,267

mg/ml 2,360


(2)

Lampiran 13. Perhitungan % Coefficient of Variation (CV) Bobot sampel sefadroksil (mg) Serapan* pada λ401 nm

Kadar sefadroksil dalam sejumlah sampel (mg) Kadar sefadroksil per kapsul (mg) % kadar sefadroksil CV (%)

0,575 109,500 478,307 95,66 0,586 112,000 489,227 97,84 126,3

0,590 112,875 493,049 98,61

1,57 0,587 112,125 489,773 97,95

0,594 113,750 496,871 99,37 126,3

0,598 114,625 500,693 100,14

1,12 0,576 109,750 479,399 95,88

0,585 111,750 488,135 97,63 126,4

0,592 113,250 494,687 98,94

1,57 0,595 114,000 497,963 99,59

0,583 111,250 485,951 97,19 126,3

0,591 113,000 493,595 98,72

1,23 x 112,323 490,637 97,88 1,37 * = Serapan senyawa hasil reaksi antara sefadroksil dengan asetilaseton dan formalin

Perhitungan CV CV = x100%

X SD

Untuk SD dan X didapat dari perhitungan dengan menggunakan kalkulator. Untuk replikasi I, nilai CV sebesar 1,57% dapat diperoleh dengan cara berikut

CV = 100%

370 , 97 530 , 1 x = 1,57 %


(3)

Lampiran 14. Perhitungan Nilai Koefisien Variasi Fungsi (Vx0)

Konsentrasi sefadroksil teoritis (mg/5ml)

Serapan* pada λ401 nm terukur (y)

Konsentrasi sefadroksil terukur (mg/5ml)

Serapan* pada λ401 nm teoritis (ŷ)

(y-ŷ)2

0,3660 0,492 0,3640 0,494 4 x 10-6

0,4575 0,598 0,4585 0,597 1 x 10-6

0,5490 0,703 0,5520 0,700 9 x 10-6

0,6405 0,801 0,6393 0,802 1 x 10-6

0,7320 0,904 0,7311 0,905 1 x 10-6

= 0,5490 ∑= 16 x 10-6

x

* = Serapan senyawa hasil reaksi antara sefadroksil dengan asetilaseton dan formalin

Dari persamaan kuva baku yang digunakan adalah y = 1,1224 x + 0,0834 dapat ditentukan besarnya serapan* pada λ401 nm teoritis (ŷ), dengan ŷ = bx + a.

1. Contoh perhitungan nilai ŷ

Konsentrasi sefadroksil teoritis (x) = 0,3660 mg/5ml ŷ = 1,1224 x + 0,0834

ŷ = (1,1224 . 0,3660) + 0,0834 ŷ = 0,494

2. Perhitungan simpangan baku residual (Sy)

Sy = 2 n ) yˆ (y 2 − − ∑ = 3 10 16x −6

= 6

10 3333 ,

5 x


(4)

3. Perhitungan standar deviasi dari fungsi (Sx0)

Sx0 = b Sy

=

1224 , 1

10 3094 ,

2 x −3

= 2,0576 x 10-3

4. Perhitungan koefisien variasi dari fungsi (Vx0)

Vx0 = x

0 Sx

=

0,5490 10 x 0576 ,

2 -3

= 3,7497 x 10-3 = 0,37%


(5)

(6)

BIOGRAFI PENULIS

Penulis yang mempunyai nama lengkap Bernadeta

Mirmayanti ini dilahirkan di Purbalingga pada tanggal 2 Oktober 1985. Terlahir dari pasangan F.B Said Siswoparmanto dan Theresia Rochati sebagai anak bungsu dari enam bersaudara. Penulis mengawali masa pendidikannya di TK Santa Maria, Purbalingga. Menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SD Pius Purbalingga dan lulus pada tahun 1997. Menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SLTPN 1 Kemangkon pada tahun 2000, kemudian melanjutkan pendidikan di SMU Pangudi Luhur Van Lith Muntilan hingga tahun 2003. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (2003-2007). Semasa di bangku kuliah penulis juga aktif dalam kegiatan kemahasiswaan sebagai asisten Botani Dasar dan Biokimia. Selain itu, penulis juga aktif dalam organisasi dan kepanitiaan