Validasi metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar ampisilin menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin.

(1)

INTISARI

Ampisilin termasuk antibiotik golongan β-laktam yang sampai saat ini masih digunakan untuk pengobatan penyakit infeksi seperti infeksi saluran kemih dan saluran nafas. Pada penelitian ini dilakukan pengembangan metode analisis untuk penetapan kadar ampisilin yang berpedoman pada penelitian Patel et al. (1992) tentang penetapan kadar sefaleksin dengan pereaksi asetilaseton dan formalin secara spektrofotometri visibel, karena ampisilin memiliki kemiripan struktur dengan sefaleksin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah metode analisis tersebut memiliki validitas yang baik dan dapat diaplikasikan untuk penetapan kadar ampisilin dalam kapsul.

Penelitian ini termasuk penelitian non eksperimental deskriptif. Penetapan kadar ampisilin didasarkan pada reaksi antara ampisilin dengan hasil kondensasi asetilaseton dan formalin yang menghasilkan senyawa kuning. Kadar ampisilin ditetapkan dengan mengolah data serapan larutan kuning tersebut pada panjang gelombang serapan maksimum 398,0 nm dengan persamaan garis regresi linier. Validasi metode analisis ditentukan berdasarkan akurasi, presisi, dan linearitas yang diperoleh berturut-turut dari nilai % perolehan kembali, koefisien variasi (KV), dan koefisien korelasi (r).

Hasil yang diperoleh adalah % perolehan kembali = 99,85-102,37 %; KV = 1,05 %; r = 0,9992; dan rata-rata kadar ampisilin dalam kapsul = 567,16 mg/kapsul atau 113,43 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode analisis tersebut memiliki validitas yang baik, meliputi: akurasi, presisi, dan linearitas untuk penetapan kadar ampisilin dan dapat diaplikasikan untuk penetapan kadar ampisilin dalam kapsul.

Kata kunci : validasi metode analisis, spektrofotometri visibel, ampisilin, asetilaseton, formalin.


(2)

ABSTRACT

Ampicillin is one of β-lactam antibiotic which in recent still used for treatment the infection, such as urinary tract infection and respiratory tract infection. This research focuses on developing methods for ampicillin determination based on Patel et al. (1992) about visible spectrophotometry method with acetylaceton and formalin reagent for determination of cephalexin because ampicillin has structure similarity with cephalexin. This research intends to find out whether that method shows good validity and able to be applied to determine the rate ampicillin in the capsule.

This research can be categorized as descriptive non experimental one. The determination of ampicillin is based on the reaction between ampicillin with acetylaceton and formalin that yields yellow compound. The rate of ampicillin is determined by analyzing the data of yellow solution absorption within maximum wavelength 398,0 nm using linear regression equation The validation of the method is determined by its continuous accuracy, precision, and linearity from the percentage of the recovery, variation coefficient, and correlation coefficient..

It is found out that the result of the recovery = 99.85-102.37 %; variation coefficient = 1.05 %; correlation coefficient = 0.9992; and the average rate of ampicillin in the capsule = 567.16 mg/capsule or 113.43 %. The result shows that visible spectrophotometry method with acetylaceton and formalin reagent shows good validity in terms of accuracy, precision, and linearity for ampicillin determination and can be applied to determine the rate of ampicillin in the capsule. Keyword : validation of method, visible spectrophotometry, ampicillin, acetylaceton,

formalin.


(3)

VALIDASI METODE SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL UNTUK

PENETAPAN KADAR AMPISILIN MENGGUNAKAN

PEREAKSI ASETILASETON DAN FORMALIN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh : ARNIE ROOSITA

NIM : 038114006

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

ii

Penelitian untuk Skripsi

VALIDASI METODE SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL UNTUK PENETAPAN KADAR AMPISILIN MENGGUNAKAN PEREAKSI

ASETILASETON DAN FORMALIN

Oleh : ARNIE ROOSITA

NIM : 038114006

telah disetujui oleh :

Pembimbing

Prof. Dr. Sudibyo Martono, M. S., Apt. tanggal ...


(5)

iii

Pengesahan Skripsi

VALIDASI METODE SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL UNTUK PENETAPAN KADAR AMPISILIN MENGGUNAKAN PEREAKSI

ASETILASETON DAN FORMALIN

Oleh : ARNIE ROOSITA

NIM : 038114006

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma pada tanggal : 31 Januari 2007

Mengetahui

Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma

Dekan

Rita Suhadi, M. Si., Apt.

Pembimbing :

Prof. Dr. Sudibyo Martono, M. S., Apt. ...

Panitia Penguji : Tanda tangan

1. Prof. Dr. Sudibyo Martono, M. S., Apt. ...

2. Drs. Sulasmono, Apt. ...


(6)

Semalam aku bermimpi sedang berjalan menyisir pantai bersama TUHAN. Di cakrawala terbentang adegan kehidupanku.

Pada setiap adegan aku melihat dua pasang jejak kaki di pasir, sepasang jejak kakiku dan sepasang lagi jejak kaki TUHAN.

Setelah adegan terakhir dari kehidupanku terhampar di hadapanku, aku menoleh ke belakang melihat jejak kaki di pasir.

Aku memperhatikan bahwa berkali-kali di sepanjang jalan hidupku, terutama pada saat-saat paling gawat dan mencekam,

hanya terdapat sepasang jejak kaki saja.

“TUHAN, di manakah Engkau?

Engkau mengatakan bila aku memutuskan untuk mengikuti Engkau, Engkau akan berjalan bersama aku sepanjang jalan hidupku. Namun aku memperhatikan

bahwa pada saat-saat paling gawat dan beban menindas hidupku, hanya terdapat sepasang jejak kaki saja,

dan aku tidak mengerti

mengapa pada waktu aku sangat membutuhkan Engkau, justru Engkau meninggalkan aku”.

“AnakKu, engkau sangat berharga di mataKu, Aku sangat mengasihi engkau

dan Aku tidak akan meninggalkan engkau.

Pada waktu engkau dalam bahaya dan dalam penderitaan, Engkau hanya melihat sepasang jejak kaki saja,

karena pada waktu itu Aku menggendongmu”.

Karya kecilku ini kupersembahkan untuk : Hati Kudus Yesus dan Bunda Maria sebagai ungkapan syukurku, Bapak dan ibu sebagai tanda hormat dan baktiku, Kakakku yang kukasihi, Diriku sendiri, dan untuk almamaterku.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas limpahan kasih dan kemurahan-Nya sehingga penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Validasi Metode Spektrofotometri Visibel untuk Penetapan Kadar Ampisilin Menggunakan Pereaksi Asetilaseton dan Formalin” dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam pelaksanaan penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Rita Suhadi, M. Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Prof. Dr. Sudibyo Martono, M. S., Apt., selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, memberi saran dan koreksi selama penelitian sampai penyusunan skripsi ini.

3. Drs. Sulasmono, Apt., selaku Dosen Penguji atas diskusi, saran dan koreksinya. 4. Dra. A. Nora Iska Harnita, M. Si., Apt., selaku Dosen Penguji atas diskusi, saran

dan koreksinya.

5. Bapak dan ibu yang telah dengan penuh kesabaran dan susah payah mendidik dan membesarkan aku. Terima kasih juga atas kasih sayang, doa yang menguatkan aku dalam setiap cobaan, pengorbanan dan dukungannya di


(8)

sepanjang hidupku hingga aku mampu menyelesaikan tugas belajar di Universitas Sanata Dharma.

6. Pak Bambang dan Bu Kis (Laboran Laboratorium Analisis Obat dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta) atas bantuan, arahan dan kerjasamanya selama penelitian. Juga untuk seluruh laboran Fakultas Farmasi UGM yang telah membantu selama penelitian.

7. Mas Ottok yang sudah membantu dalam penyediaan bahan penelitian.

8. Teman seperjuanganku, Marga dan Eta, untuk kerjasama dan kebersamaan dalam kegagalan dan keberhasilan kita. Gagal itu biasa. Berhasil, itu baru luar biasa.

9. Mas Fahrul yang mau meluangkan waktu untuk berdiskusi.

10. Mas Anang dan Mbak Wiek yang sudah memberi dorongan semangat, mau mendengar keluh kesahku, menjadi teman ngobrol sepanjang hari. Terima kasih juga sudah banyak membantu dalam penyusunan naskah skripsi ini. Thank a lot! Tanpa kalian aku akan kesepian.

11. Lilik yang senantiasa memberiku dorongan semangat, penghiburan, perhatian, doa, cinta, dan menjadi tempat untuk menumpahkan segala kebahagiaan dan kesedihanku.

12. Mas Koko yang sudah membantu menerjemahkan. Teman-teman “Silvester I” dan “de Bronth” untuk hari-hari yang penuh tawa dan kebersamaan kalian selama ini.

13. Teman-teman praktikum kelompok A untuk canda tawa, masukan, curhat, obrolan kita, kebersamaan, dan hari-hari yang menyenangkan selama ini. Nanda


(9)

(untuk pinjaman laptopnya), dan juga untuk kelas A angkatan 2003 atas kebersamaan kita.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Harapan penulis semoga skripsi ini memberi sedikit tambahan pengetahuan khususnya di bidang kefarmasian dan dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

Yogyakarta, Januari 2007 Penulis


(10)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, Januari 2007 Penulis

Arnie Roosita


(11)

INTISARI

Ampisilin termasuk antibiotik golongan β-laktam yang sampai saat ini masih digunakan untuk pengobatan penyakit infeksi seperti infeksi saluran kemih dan saluran nafas. Pada penelitian ini dilakukan pengembangan metode analisis untuk penetapan kadar ampisilin yang berpedoman pada penelitian Patel et al. (1992) tentang penetapan kadar sefaleksin dengan pereaksi asetilaseton dan formalin secara spektrofotometri visibel, karena ampisilin memiliki kemiripan struktur dengan sefaleksin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah metode analisis tersebut memiliki validitas yang baik dan dapat diaplikasikan untuk penetapan kadar ampisilin dalam kapsul.

Penelitian ini termasuk penelitian non eksperimental deskriptif. Penetapan kadar ampisilin didasarkan pada reaksi antara ampisilin dengan hasil kondensasi asetilaseton dan formalin yang menghasilkan senyawa kuning. Kadar ampisilin ditetapkan dengan mengolah data serapan larutan kuning tersebut pada panjang gelombang serapan maksimum 398,0 nm dengan persamaan garis regresi linier. Validasi metode analisis ditentukan berdasarkan akurasi, presisi, dan linearitas yang diperoleh berturut-turut dari nilai % perolehan kembali, koefisien variasi (KV), dan koefisien korelasi (r).

Hasil yang diperoleh adalah % perolehan kembali = 99,85-102,37 %; KV = 1,05 %; r = 0,9992; dan rata-rata kadar ampisilin dalam kapsul = 567,16 mg/kapsul atau 113,43 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode analisis tersebut memiliki validitas yang baik, meliputi: akurasi, presisi, dan linearitas untuk penetapan kadar ampisilin dan dapat diaplikasikan untuk penetapan kadar ampisilin dalam kapsul.

Kata kunci : validasi metode analisis, spektrofotometri visibel, ampisilin, asetilaseton, formalin.


(12)

ABSTRACT

Ampicillin is one of β-lactam antibiotic which in recent still used for treatment the infection, such as urinary tract infection and respiratory tract infection. This research focuses on developing methods for ampicillin determination based on Patel et al. (1992) about visible spectrophotometry method with acetylaceton and formalin reagent for determination of cephalexin because ampicillin has structure similarity with cephalexin. This research intends to find out whether that method shows good validity and able to be applied to determine the rate ampicillin in the capsule.

This research can be categorized as descriptive non experimental one. The determination of ampicillin is based on the reaction between ampicillin with acetylaceton and formalin that yields yellow compound. The rate of ampicillin is determined by analyzing the data of yellow solution absorption within maximum wavelength 398,0 nm using linear regression equation The validation of the method is determined by its continuous accuracy, precision, and linearity from the percentage of the recovery, variation coefficient, and correlation coefficient..

It is found out that the result of the recovery = 99.85-102.37 %; variation coefficient = 1.05 %; correlation coefficient = 0.9992; and the average rate of ampicillin in the capsule = 567.16 mg/capsule or 113.43 %. The result shows that visible spectrophotometry method with acetylaceton and formalin reagent shows good validity in terms of accuracy, precision, and linearity for ampicillin determination and can be applied to determine the rate of ampicillin in the capsule.

Keyword : validation of method, visible spectrophotometry, ampicillin, acetylaceton, formalin.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii

INTISARI ... ix

ABSTRACT... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Perumusan masalah ... 3

2. Keaslian penelitian ... 4

3. Manfaat penelitian ... 5

B. Tujuan Penelitian ... 5

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ... 6

A. Ampisilin ... 6

B. Asetilaseton ... 10


(14)

C. Formalin ... 10

D. Spektrofotometri UV-Vis ... 11

1. Definisi spektrofotometri UV-Vis ... 11

2. Interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik ... 11

3. Konsep dasar radiasi elektromagnetik ... 12

4. Tipe-tipe transisi elektron ... 13

5. Pembacaan serapan dan transmitan ... 15

6. Hukum Lambert-Beer ... 17

7. Kesalahan fotometrik ... 18

8. Analisis kualitatif ... 19

9. Analisis kuantitatif... 20

10. Reaksi pembentukan warna ... 21

E. Parameter Validasi, Kategori Metode Analisis, dan Kesalahan dalam Analisis 23 1. Parameter validasi metode analisis ... 23

2. Kategori metode analisis ... 25

3. Kesalahan dalam analisis ... 26

F. Landasan Teori ... 27

G. Hipotesis ... 28

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 29

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 29

B. Definisi Operasional ... 29

C. Bahan-Bahan Penelitian ... 29

D. Alat-Alat Penelitian ... 30


(15)

E. Tata Cara Penelitian ... 30

1. Pembuatan larutan ... 30

2. Optimasi penetapan kadar ampisilin ... 31

3. Pembuatan kurva baku ... 33

4. Aplikasi metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar ampisilin dalam kapsul “X” menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin... 33

5. Validasi metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar ampisilin menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin ... 34

F. Analisis Hasil ... 35

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

A. Penetapan Operating Time ... 37

B. Penetapan pH Optimum ... 42

C. Penetapan Volume Pereaksi Optimum ... 44

D. Penetapan Panjang Gelombang Serapan Maksimum (λmaks)... 45

E. Penetapan Kurva Baku Ampisilin ... 47

F. Penetapan Kadar Ampisilin dalam Kapsul “X” ... 50

G. Analisis Validasi Metode Analisis ... 52

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

A. Kesimpulan ... 56

B. Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57

LAMPIRAN ... 60

BIOGRAFI ... 71


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I. Kriteria penerimaan akurasi pada konsentrasi analit yang berbeda .... 23

Tabel II. Kriteria penerimaan presisi pada konsentrasi analit yang berbeda ... 24

Tabel III. Parameter validasi yang dipersyaratkan untuk validasi metode analisis... 26

Tabel IV. Hasil penetapan operating time reaksi antara ampisilin dengan asetilaseton dan formalin ... 41

Tabel V. Hasil penetapan pH optimum reaksi antara ampisilin dengan asetilaseton dan formalin ... 44

Tabel VI. Hasil penetapan volume pereaksi optimum ... 45

Tabel VII. Hasil penetapan kurva baku ampisilin sesudah direaksikan dengan asetilaseton dan formalin ... 48

Tabel VIII. Hasil modifikasi data penetapan kurva baku ampisilin sesudah direaksikan dengan asetilaseton dan formalin ... 49

Tabel IX. Hasil penetapan kadar ampisilin dalam kapsul “X” dengan metode spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin ... 51

Tabel X. Hasil penetapan % perolehan kembali sampel ampisilin ... 52

Tabel XI. Hasil penetapan % perolehan kembali ampisilin baku ... 53

Tabel XII. Hasil penetapan nilai KV ... 54


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur sefaleksin ... 2

Gambar 2. Struktur ampisilin ... 3

Gambar 3. Struktur asetilaseton ... 10

Gambar 4. Struktur formalin ... 10

Gambar 5. Diagram tingkat energi elektronik ... 15

Gambar 6. Reaksi antara asetilaseton dan formalin ... 38

Gambar 7. Usulan reaksi antara ampisilin dengan senyawa hasil kondensasi asetilaseton dan formalin ... 40

Gambar 8. Spektrum hasil pengukuran stabilitas reaksi antara ampisilin dengan asetilaseton dan formalin ... 41

Gambar 9. Spektra hasil penetapan λmaks ampisilin pada konsentrasi 0,081; 0,113; 0,145 mg/ml yang bereaksi dengan asetilaseton dan formalin ... 46

Gambar 10. Hubungan antara konsentrasi ampisilin dengan serapan senyawa hasil reaksi ampisilin dengan asetilaseton dan formalin ... 50


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Perhitungan konsentrasi larutan ampisilin baku pada penetapan

kurva baku ... 60

Lampiran 2. Spektrum ampisilin baku dan sampel ampisilin pada konsentrasi 0,145 mg/ml ... 61

Lampiran 3. Perhitungan kadar ampisilin dalam kapsul “X” ... 62

Lampiran 4. Perhitungan % perolehan kembali ampisilin ... 65

Lampiran 5. Perhitungan nilai koefisien variasi fungsi (Vx0) ... 68

Lampiran 6. Sertifikat analisis ampisilin ... 70


(19)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Sampai saat ini penyakit infeksi masih banyak terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, ketersediaan obat-obat untuk terapi penyakit infeksi masih sangat dibutuhkan. Antibiotik merupakan salah satu obat yang dapat digunakan untuk terapi penyakit infeksi, khususnya infeksi oleh bakteri. Ampisilin adalah salah satu contoh antibiotik yang termasuk dalam golongan β-laktam turunan penisilin yang mempunyai masalah pada resistensi. Walaupun demikian, sampai saat ini ampisilin masih digunakan untuk mengobati infeksi saluran kemih dan infeksi saluran pernapasan seperti sinusitis, otitis media, bronchitis kronik, dan epiglotis (Petri, 2001).

Seperti halnya obat-obat pada umumnya, penggunaan ampisilin selain memberikan efek terapeutik juga dapat menghasilkan efek toksik bila dosisnya berlebih atau malah tidak berefek bila dosisnya kurang. Oleh karena itu, pemberiannya harus dilakukan dengan benar agar kerja obat tersebut efektif dan aman. Tercapainya keefektifan dan keamanan obat tersebut juga didukung oleh kualitas dan mutu obat yang baik. Oleh karenanya, kontrol kualitas dan mutu obat sangat penting untuk dilakukan. Salah satu langkah dalam kontrol kualitas dan mutu obat adalah dengan analisis kimia terhadap zat aktif yang meliputi analisis kualitatif dan kuantitatif (penetapan kadar). Untuk antibiotik perlu juga dilakukan uji potensi antibiotik secara mikrobiologi.


(20)

2

Penetapan kadar ampisilin menurut Farmakope Indonesia IV (1995) dapat dilakukan dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Metode analisis ini memiliki sensitivitas dan daya pisah yang baik, cepat, dan dapat digunakan untuk penetapan kadar senyawa dalam campuran tanpa perlu pemisahan terlebih dahulu. Namun, operasionalnya mahal. Ampisilin juga dapat ditetapkan kadarnya berdasarkan penetapan kadar antibiotik secara iodometri (Anonim, 1995). Metode analisis ini spesifik untuk penetapan kadar ampisilin utuh sehingga sekaligus dapat menggambarkan potensi ampisilin. Namun, metode ini kurang sensitif untuk penetapan kadar ampisilin dalam kadar kecil.

Pengembangan metode analisis untuk penetapan kadar obat perlu untuk dilakukan. Tujuannya adalah untuk mencari metode analisis alternatif dan untuk perkembangan ilmu. Metode analisis yang dikembangkan tersebut harus memenuhi persyaratan validasi metode analisis.

Patel et al. (1992) melakukan penelitian tentang penetapan kadar sefaleksin menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin dengan metode spektrofotometri visibel.

C H

NH2 C O

N

H N

O

S

CH3

COOH


(21)

Gugus fungsi pada sefaleksin yang berperan dalam reaksi dengan asetilaseton dan formalin adalah gugus amin primer. Dilihat dari strukturnya, ampisilin mirip dengan sefaleksin. Ampisilin juga memiliki gugus amin primer seperti halnya sefaleksin.

C H

NH2 C O

N H

N O

S COOH H

CH3

CH3

Gambar 2. Struktur ampisilin

Berdasarkan kemiripan struktur tersebut, diharapkan metode spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin juga dapat digunakan untuk penetapan kadar ampisilin. Metode analisis yang dikembangkan dalam penelitian ini merupakan metode analisis baru untuk penetapan kadar ampisilin sehingga perlu dilakukan validasi metode analisis. Dari penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan metode analisis alternatif untuk penetapan kadar ampisilin yang sederhana, murah, sensitif, dan memiliki akurasi, presisi, dan linearitas yang baik.

1. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat disusun permasalahan sebagai berikut :

a. apakah metode spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin memenuhi parameter validasi metode analisis yang meliputi akurasi, presisi, dan linearitas jika digunakan untuk penetapan kadar ampisilin?


(22)

4

b. apakah metode spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin dapat diaplikasikan untuk penetapan kadar ampisilin dalam kapsul?

2. Keaslian penelitian

Sejauh pengetahuan penulis, penelitian tentang validasi metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar ampisilin menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin belum pernah dilakukan. Penelitian tentang ampisilin yang pernah dilakukan dan dipublikasikan antara lain penetapan kadar ampisilin utuh secara spektrofotometri UV dengan reagen imidazole (Bundgaard, 1974), penetapan kadar ampisilin dalam tablet dengan nama generik dan dagang menggunakan KCKT fase terbalik (Putra, 2002), perbandingan metode spektrofotometri UV dengan menggunakan reagen imidazole dan iodometri pada penetapan kadar ampisilin utuh dalam suspensi ampisilin terdegradasi (Hermanto, 2004), dan pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap kadar ampisilin utuh dalam suspensi oral ampisilin (Nyoman, 2004).

Penelitian tentang antibiotik golongan β-laktam yang lain menggunakan metode analisis yang sejenis juga pernah dilakukan, yaitu penelitian tentang penetapan kadar sefaleksin dalam berbagai bentuk sediaan dengan pereaksi asetilaseton dan formalin secara spektrofotometri visibel oleh Patel et al. (1992), penetapan kadar sefadroksil secara spektrofotometri visibel dengan pereaksi etil asetoasetat dan formalin (Rianti, 2005), penetapan kadar sefadroksil dalam kapsul menggunakan metode spektrofotometri UV dengan pereaksi etil asetoasetat dan asetaldehid (Rofie, 2005), validasi metode spektrofotometri visibel untuk penetapan


(23)

kadar sefadroksil menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin (Mirmayanti, 2007), dan validasi metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar amoksisilin menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin (Sunarto, 2007).

3. Manfaat penelitian

Hasil penelitian nantinya diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut : a. manfaat teoritis dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang validasi metode spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin untuk penetapan kadar ampisilin.

b. manfaat metodologis dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang pengembangan metode analisis untuk penetapan kadar ampisilin agar nantinya dapat digunakan sebagai metode analisis alternatif untuk penetapan kadar ampisilin.

B. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui apakah metode spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin memenuhi parameter validasi metode analisis yang meliputi akurasi, presisi, dan linearitas jika digunakan untuk penetapan kadar ampisilin.

2. Untuk mengetahui apakah metode spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin dapat diaplikasikan untuk penetapan kadar ampisilin dalam kapsul.


(24)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Ampisilin

Ampisilin berbentuk anhidrat dengan bobot molekul (BM) 349,40 atau trihidrat dengan BM 403,45. Ampisilin mengandung tidak kurang dari 900 µg dan tidak lebih dari 1050 µg per mg C16H19N3O4S, dihitung terhadap zat anhidrat. pH

ampisilin antara 3,5 sampai 6,0. Ampisilin berupa serbuk hablur, putih, dan praktis tidak berbau. Kelarutan ampisilin adalah sukar larut dalam air dan metanol; tidak larut dalam benzena, dalam karbon tetraklorida, dan dalam kloroform. Kapsul ampisilin mengandung sejumlah ampisilin (anhidrat atau trihidrat) setara dengan tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 120,0% C16H19N3O4S jumlah yang

tertera pada etiket (Anonim, 1995).

Ampisilin termasuk dalam antibiotik golongan β-laktam karena memiliki struktur dasar cincin β-laktam. Perubahan pada cincin β-laktam dapat mengubah aktivitasnya sebagai anti bakteri. Ampisilin adalah salah satu antibiotik golongan β -laktam turunan penisilin yang digolongkan dalam aminopenisilin karena di dalam strukturnya terdapat gugus amino. Aminopenisilin memiliki aktivitas anti bakteri yang hampir sama dengan penisilin G namun spektrum kerjanya lebih luas daripada penisilin G (Petri, 2001). Mekanisme kerja ampisilin sebagai anti bakteri adalah menghambat pembentukan dinding sel bakteri dengan cara berikatan dengan


(25)

penicillin binding proteins (PBPs) sehingga akan menghambat fase transpeptidase akhir dari sintesis peptidoglikan pada dinding sel bakteri (Lacy et al., 2003).

Ampisilin bersifat bakterisida terhadap beberapa bakteri gram positif dan bakteri gram negatif (Petri, 2001) tetapi ampisilin tidak tahan terhadap penisilinase. Oleh karena itu, ampisilin resisten terhadap bakteri pembentuk penisilinase (Mutschler, 1991). Ampisilin menunjukkan stabilitas yang baik dalam suasana asam, efektif pada konsentrasi hambat minimum, diabsorpsi dengan baik dalam usus sehingga dapat diberikan secara oral (Hou and Poole, 1969). Namun, penggunaan ampisilin setelah mengkonsumsi makanan akan menurunkan absorpsi obat (Petri, 2001). Oleh karena itu, ampisilin harus diminum dalam keadaan perut kosong yaitu 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan (Lacy et al., 2003).

Beberapa metode analisis yang dapat digunakan untuk penetapan kadar ampisilin adalah :

1. metode iodometri

Penetapan kadar ampisilin secara iodometri didasarkan pada reduksi iodium oleh penisilamin yang terbentuk melalui inaktivasi ampisilin oleh alkali atau enzim penisilinase dan diikuti dengan penambahan asam. Larutan alkali atau enzim penisilinase akan menghidrolisis ampisilin sehingga terjadi pemecahan cincin β -laktam dan terbentuk asam α-aminobenzilpenisiloat. Senyawa ini dengan penambahan asam akan membentuk penisilamin. Ampisilin tidak dapat bereaksi dengan iodium, tetapi penisilamin dapat mereduksi iodium (Ivashkiv, 1973).


(26)

8

Kadar ampisilin ditetapkan dengan menambahkan iodium berlebih ke dalam larutan yang mengandung penisilamin. Kelebihan iodium dititrasi kembali dengan natrium tiosulfat. Perbedaan volume iodium yang dikonsumsi larutan sampel dengan blangko menggambarkan kadar ampisilin dalam larutan (Ivashkiv, 1973). 2. metode spektrofotometri UV

Metode ini didasarkan pada pengikatan merkurium oleh α-asetamido benzilpenisilin yang merupakan hasil asetilasi ampisilin dengan asetat anhidrat dalam larutan pada pH 9. Hasil reaksi antara merkurium dengan α-asetamido benzilpenisilin adalah asam α-asetamido benzilpenisilinat yang mengikat merkurium. Kadar ampisilin ditentukan dengan mengukur asam α-asetamido benzilpenisilinat yang mengikat merkurium dengan spektrofotometri UV (Ivashkiv, 1973).

3. metode KCKT

Menurut Farmakope Indonesia IV (1995) penetapan kadar ampisilin dapat dilakukan dengan KCKT dengan fase gerak air : asetonitril : KH2PO4 1 M : asam

asetat 1 M (909 : 80 : 10 : 1) dan fase diam berupa kolom analisis 4 mm x 30 cm dengan bahan pengisi L1 yaitu oktadesil silana terikat secara kimiawi pada partikel mikrosilika berpori dengan ukuran partikel 5-10 µm. Sistem KCKT ini juga menggunakan pra kolom dengan ukuran 4 mm x 5 cm. Laju aliran fase gerak lebih kurang 2 ml/ menit. Detektor yang digunakan adalah detektor UV 254 nm. Pelarut yang digunakan berupa campuran KH2PO4 1 M dan asam asetat 1 M (10 : 1). Selain

itu, juga dapat digunakan fase gerak lain yaitu 0,067 M KH2PO4 pH 4,6 : methanol


(27)

4. metode fluorometri

Ampisilin dapat ditetapkan kadarnya dengan fluorometri karena ampisilin dalam larutan asam pada suhu yang dinaikkan akan memendarkan warna kuning (Ivashkiv, 1973).

5. metode penetapan kadar ampisilin yang lainnya adalah titrasi dengan basa, biasanya menggunakan NaOH (Auterhoff and Kovar, 1987), metode polarigrafi, kromatografi lapis tipis, kromatografi kertas, dan metode mikrobiologi (Ivashkiv, 1973).

Ampisilin memiliki kemiripan struktur dengan sefaleksin yaitu keduanya sama-sama memiliki cincin β-laktam dan gugus amin primer. Patel et al. (1992) melakukan penelitian tentang penetapan kadar sefaleksin dengan pereaksi asetilaseton dan formalin secara spektrofotometri visibel. Pada penelitian tersebut terlebih dahulu dilakukan optimasi kondisi reaksi yang meliputi konsentrasi pereaksi, pH pereaksi, waktu reaksi, suhu reaksi, dan pelarut. Selektivitas reaksi juga ditentukan dengan cara mengamati pengaruh penambahan berbagai macam eksipien ke dalam sefaleksin terhadap nilai % perolehan kembali.

Penetapan kadar sefaleksin didasarkan pada reaksi antara sefaleksin dengan hasil kondensasi asetilaseton dan formalin dalam bufer asetat. Gugus fungsi pada sefaleksin yang bertanggung jawab dalam reaksi tersebut adalah gugus amin primer. Hasil reaksi antara gugus amin primer pada sefaleksin dengan hasil kondensasi asetilaseton dan formalin adalah larutan berwarna kuning yang memiliki kromofor. Larutan warna kuning tersebut diukur serapannya pada panjang


(28)

10

gelombang 400,0 nm. Kadar sefaleksin ditentukan dengan mengolah data pengukuran serapan larutan tersebut menggunakan persamaan garis regresi linier. Hasil penelitian Patel et al. (1992) menunjukkan bahwa metode tersebut sederhana, cepat, akurat, dan selektif untuk penetapan kadar sefaleksin baik dalam bentuk murni (senyawa baku) maupun dalam berbagai macam sediaan obat.

B. Asetilaseton

Asetilaseton P (gambar 3) mengandung tidak kurang dari 98% C5H8O2 dan

memiliki bobot molekul 100,11. Senyawa ini berupa cairan jernih, tidak berwarna hingga kuning lemah, dan mudah terbakar. Kelarutan asetilaseton P adalah larut dalam air dan dapat bercampur dengan etanol, dengan kloroform, dengan aseton, dengan eter, dan dengan asam asetat glasial. Asetilaseton P memiliki indeks bias 1,4505 dan 14525 pada suhu 20o (Anonim, 1995).

H3C C

O

CH2 C

O

CH3 Gambar 3. Struktur asetilaseton

C. Formalin

C O

H H


(29)

Formalin (larutan formaldehid) adalah larutan yang mengandung 37 % formaldehid dalam air, biasanya ditambahkan 10-15 % metanol untuk mencegah polimerisasi. Larutan formalin 100 % atau larutan formalin 40 adalah larutan yang mengandung 40 gram formaldehid dalam 100 ml pelarut. Formalin berupa cairan tidak berwarna dan berbau sangat tajam. Formaldehid berupa gas yang mudah terbakar, berbau sangat tajam, sangat larut air; larut dalam alkohol dan dalam eter, sangat reaktif, dan mudah mengalami polimerisasi (Anonim, 1989).

D. Spektrofotometri UV-Vis 1. Definisi spektrofotometri UV-Vis

Spektrofotometri UV-Vis adalah salah satu teknik analisis fisiko-kimia yang mengamati interaksi atom atau molekul dari suatu zat kimia dengan radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat (190-380 nm) dan sinar tampak (380-780 nm) dengan menggunakan spektrofotometer (Mulja dan Suharman, 1995).

2. Interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik

Suatu berkas radiasi elektromagnetik bila dilewatkan melalui suatu zat kimia maka sebagian dari radiasi elektromagnetik tersebut akan diserap (Khopkar, 1990). Molekul dalam zat tersebut akan menyerap radiasi elektromagnetik pada daerah panjang gelombang yang energinya sesuai dengan beda energi antara keadaan dasar dan keadaan eksitasi dalam molekul (Roth and Blaschke, 1981). Molekul dapat menyerap radiasi elektromagnetik karena adanya elektron valensi yang akan


(30)

12

mengalami transisi elektron dari tingkat energi rendah ke tingkat energi tinggi yaitu tingkat eksitasi (Khopkar, 1990). Elektron molekul organik yang menyerap meliputi elektron yang digunakan pada ikatan antara atom-atom dan elektron nonbonding atau elektron tak berpasangan yang pada umumnya terlokalisasi (Skoog, 1985).

Gugus fungsi pada suatu molekul organik yang bertanggung jawab terhadap serapan radiasi ultraviolet dekat dan sinar tampak adalah kromofor. Molekul organik yang mengandung gugus kromofor disebut kromogen (Christian, 2004). Pada senyawa organik dikenal pula gugus auksokrom, yaitu gugus fungsi heteroatom yang mempunyai elektron valensi nonbonding seperti –OH, -NH2 dan -OCH3 yang tidak

menyerap radiasi pada panjang gelombang >200 nm (Pecsok et al., 1976). Terikatnya gugus auksokrom pada gugus kromofor akan mengakibatkan pergeseran pita serapan menuju ke panjang gelombang yang lebih panjang dan disertai perubahan intensitas serapan (Mulja dan Suharman, 1995).

3. Konsep dasar radiasi elektromagnetik

Energi radiasi elektromagnetik yang diserap menyebabkan perubahan energi elektronik suatu molekul sehingga menyebabkan terjadinya transisi elektron valensi molekul tersebut. Hubungan antara energi yang diserap untuk transisi elektron dengan frekuensi, panjang gelombang, dan bilangan gelombang adalah :

………... (1)

∆E = h x v = h x

λ

c


(31)

dengan :

E = energi (Joule)

h = konstante Planck (6,63 x 10-34 Joule. detik) v = frekuensi radiasi (Hertz)

c = kecepatan radiasi (3 x 1010 cm. detik-1)

λ = panjang gelombang (cm) v = bilangan gelombang (cm-1)

(Silverstein et al., 1991) Berdasar persamaan di atas, energi yang dibutuhkan suatu molekul untuk bertransisi berbanding terbalik dengan panjang gelombang. Molekul yang membutuhkan energi transisi lebih besar akan menyerap radiasi elektromagnetik pada panjang gelombang yang lebih pendek, sebaliknya molekul yang membutuhkan energi transisi lebih kecil akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih panjang.

4. Tipe-tipe transisi elektron

Radiasi ultraviolet dan cahaya tampak akan meningkatkan energi elektronik sebuah molekul. Artinya energi yang disumbangkan oleh foton-foton memungkinkan elektron-elektron mengatasi kekangan inti dan pindah ke orbital baru yang lebih tinggi energinya (Day and Underwood, 2002). Oleh karena itu, serapan radiasi ultraviolet dan sinar tampak dapat menyebabkan terjadinya transisi elektron σ→σ*, n→σ*, n→π *, dan π→π * (gambar 5). σ* dan π * adalah orbital atom antibonding, sedangkan n adalah orbital atom nonbonding yang mempunyai energi diantara orbital atom bonding dan antibonding (Khopkar, 1990). Transisi elektron yang dapat terjadi meliputi :


(32)

14

a. transisi elektron σ→σ*. Pada tipe transisi ini elektron di orbital σ bonding akan tereksitasi ke orbital antibonding. Transisi ini tidak terjadi pada daerah radiasi ultraviolet dekat, tetapi terjadi pada daerah radiasi ultraviolet jauh (Khopkar, 1990). Transisi ini membutuhkan energi yang terbesar dan terjadi pada molekul dengan ikatan tunggal, misalnya alkana (Mulja dan Suharman, 1995).

b. transisi elektron n→σ*. Pada transisi ini terjadi eksitasi elektron dari orbital nonbonding ke orbital antibonding. Transisi ini terjadi pada senyawa-senyawa jenuh dengan elektron nonbonding, membutuhkan energi yang lebih rendah daripada transisi elektron σ→σ* dan terjadi karena radiasi pada daerah 150-250 nm (Khopkar, 1990).

c. transisi elektron n→π* dan transisi elektron π→π*. Kebanyakan penerapan spektrofotometri UV-Vis pada senyawa organik didasarkan pada transisi n→π* ataupun π→π*. Energi yang diperlukan untuk transisi menghasilkan serapan maksimum pada daerah 200-700 nm (Khopkar, 1990). Transisi n→π* terjadi pada senyawa yang memiliki elektron nonbonding yang tereksitasi ke orbital antibonding, contohnya senyawa-senyawa yang mengandung gugus C=O, C=S, C=N, dan N=O (Daglish,1969). Transisi π→π* dihasilkan oleh senyawa dengan ikatan rangkap dua dan tiga (alkena dan alkuna) bila menyerap energi yang sesuai dan terjadi di daerah ultraviolet dekat (Mulja dan Suharman, 1995).


(33)

σ* antibonding

π* antibonding

E n nonbonding

π bonding

σ bonding

Gambar 5. Diagram tingkat energi elektronik

(Mulja dan Suharman, 1995)

5. Pembacaan serapan dan transmitan

Jika suatu radiasi elektromagnetik dilewatkan pada suatu larutan dengan intensitas radiasi semula (Io), maka sebagian radiasi tersebut akan diteruskan (It),

dipantulkan (Ir), dan diserap (Ia), sehingga :

Io = It + Ir + Ia

……… (2) Pada prakteknya nilai Ir sangat kecil(~ 4%) sehingga dapat diabaikan. Maka

persamaan di atas menjadi :

………... (3) Io = It + Ia

(Mulja dan Suharman, 1995)


(34)

16

Analisis dengan spektrofotometri UV-Vis selalu melibatkan pembacaan serapan radiasi elektromagnetik oleh molekul atau radiasi elektromagnetik yang teruskan. Keduanya dikenal sebagai serapan (A) tanpa satuan dan transmitan dengan satuan persen (%T) (Mulja dan Suharman, 1995). Serapan (A) adalah logaritma perbandingan intensitas cahaya yang dipancarkan (Io) terhadap intensitas cahaya

yang diteruskan (It) (Roth and Blaschke, 1981). Serapan dirumuskan:

……….. (4)

A = log

t o

I I

(Skoog, 1985) Transmitan (%T) adalah perbandingan intensitas dari sinar yang diteruskan (It)

terhadap sinar yang dipancarkan (Io) dalam persen (Roth dan Blaschke, 1981).

Transmitan dirumuskan:

……… (5)

T =

o t

I I

(Skoog, 1985) Panjang gelombang terjadinya serapan bergantung pada kekuatan elektron terikat dalam molekul (Day and Underwood, 2002). Panjang gelombang yang digunakan untuk dalam pengukuran serapan adalah panjang gelombang serapan maksimum (λmaks), karena perubahan serapan untuk setiap satuan konsentrasi adalah

paling besar pada λmaks, sehingga akan diperoleh kepekaan analisis yang maksimum.

Selain itu, pita serapan di sekitar λmaks datar sehingga mengurangi kesalahan pada


(35)

6. Hukum Lambert-Beer

Serapan radiasi elektromagnetik oleh suatu zat penyerap pada panjang gelombang monokromatis digambarkan oleh 2 hukum. Kedua hukum tersebut adalah:

a. hukum Lambert yaitu intensitas radiasi yang diteruskan (I) menurun secara eksponensial dengan meningkatnya tebal larutan (b).

b. hukum Beer yaitu intensitas radiasi yang diteruskan (I) menurun secara eksponensial dengan meningkatnya konsentrasi larutan (c).

Kombinasi kedua hukum tersebut menghasilkan hukum Lambert-Beer yang dirumuskan :

...……….. (6)

log I Io

= A = k x b x c

dengan Io adalah intensitas radiasi yang terjadi, A adalah serapan dan k adalah daya

serap (liter/g/cm) (Fell, 1986).

Daya serap adalah serapan larutan 1 gram/liter pada kuvet setebal 1 cm. Daya serap disebut daya serap molar (ε) bila satuannya liter/mol/cm. Daya serap molar adalah serapan 1 molar larutan pada kuvet setebal 1 cm (Fell, 1986). Daya serap molar dirumuskan :

ε = A11%cmx 0,1 x BM

..………... (7) dengan A11%cm adalah serapan jenis dan BM adalah bobot molekul.


(36)

18

Nilai daya serap molar tergantung pada area molekul sasaran (a) dan probabilitas transisi elektron (p) yang dirumuskan :

..………... (8)

ε = 0,87 x 1020 x p x a

(Skoog, 1985) Nilai p antara 0,1 – 1 memberikan serapan yang kuat (ε = 104 - 105). Puncak spektrum yang memiliki nilai ε kurang dari 103 (nilai p kurang dari 0,01) dikatakan intensitas serapannya lemah (Skoog, 1985).

Bila konsentrasi dinyatakan dalam gram/100 ml maka k dideskripsikan sebagai serapan jenis yang dilambangkan dengan (Fell, 1986). Serapan jenis adalah serapan dari larutan 1% b/v zat terlarut dalam kuvet setebal 1 cm. Harga serapan jenis pada panjang gelombang tertentu dalam suatu pelarut merupakan sifat dari zat terlarut (Anonim, 1995).

% 1

cm 1

A

7. Kesalahan fotometrik

Ketepatan prosedur fotometrik dibatasi oleh nilai serapan. Pada nilai serapan rendah, intensitas radiasi yang terjadi dan yang diteruskan hampir sama sehingga kesalahan dalam pembacaan serapan relatif besar karena yang dibaca oleh alat adalah perbedaan antara intensitas radiasi yang terjadi dan yang diteruskan. Pada nilai serapan tinggi, intensitas radiasi yang diteruskan terlalu kecil sehingga tidak dapat terukur dengan akurat (Pecsok et al., 1976).


(37)

Untuk pembacaan serapan (A) atau transmitan (T) pada daerah yang terbatas, kesalahan penentuan kadar hasil analisis dinyatakan :

……… ……… (9)

C C

= T log 0,4343

x T

T

∆T adalah harga rentang skala transmitan terkecil dari alat yang masih dapat terbaca pada analisis dengan metode spektrofotometri UV-Vis. Dari rumus di atas dapat diperhitungkan kesalahan pembacaan A atau T pada analisis dengan spektrofotometri UV-Vis. Pembacaan A (0,2-0,8) atau %T (15-65%) akan memberikan persentase kesalahan analisis yang dapat diterima (0,5-1%) untuk ∆T = 1% (Mulja dan Suharman, 1995). Apabila pembacaan serapan di luar rentang tersebut maka dapat dilakukan hal-hal berikut : pengenceran larutan, penggunaan kuvet yang lebih tepat, atau pemilihan panjang gelombang yang lebih tepat (Pecsok et al., 1976).

8. Analisis kualitatif

Analisis kualitatif dengan metode spektrofotometri UV-Vis hanya dipakai untuk data pendukung. Analisisnya dapat dilakukan dengan :

a. pemeriksaan kemiripan spektrum UV-Vis

b. penentuan panjang gelombang serapan maksimum (λmaks).


(38)

20

9. Analisis kuantitatif

Analisis kuantitatif dengan metode spektrofotometri UV-Vis (Mulja dan Suharman, 1995) dapat digolongkan menjadi :

a. analisis kuantitatif zat tunggal dengan metode spektrofotometri UV-Vis dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu :

1) dengan membandingkan serapan atau persen transmitan zat yang dianalisis dengan senyawa baku pada λmaks. Persyaratannya pembacaan nilai serapan antara

sampel dan senyawa baku tidak jauh berbeda.

………. (10) dengan :

A(S) = serapan larutan sampel

C(S) = konsentrasi larutan sampel

A(R.S) = serapan senyawa baku

C(R.S) = konsentrasi senyawa baku

A(S) x C(S) = A(R.S) x C(R.S)

2) dengan menggunakan kurva baku larutan senyawa baku dengan pelarut tertentu pada λmaks. Dibuat grafik dengan ordinat adalah serapan dan sebagai absis adalah

konsentrasi.

3) dengan menghitung nilai larutan sampel pada pelarut tertentu dan dibandingkan dengan zat yang dianalisis yang tertera pada buku resmi.

% 1

cm 1

A

% 1

cm 1

A

4) dengan menghitung nilai ε sampel dan dibandingkan dengan nilai ε zat yang dianalisis yang tertera di buku resmi.


(39)

b. analisis kuantitatif campuran dua macam zat. Prinsip pelaksanaannya adalah mencari serapan atau beda serapan tiap-tiap komponen yang memberikan korelasi yang linier terhadap konsentrasi, sehingga akan dihitung masing-masing kadar campurannya secara serentak atau salah satu komponen dalam campuran.

c. analisis kuantitatif campuran tiga macam zat atau lebih (multi komponen). Prinsipnya adalah kalibrasi tiap-tiap komponen dengan memakai larutan baku.

10.Reaksi pembentukan warna

Ruang lingkup spektrofotometri serapan dapat diperluas dengan reaksi pembentukan warna yang akan meningkatkan sensitivitas dan selektivitas suatu senyawa bila dibandingkan penetapannya secara spektrofotometri UV. Reaksi warna digunakan untuk memodifikasi spektrum suatu molekul penyerap sehingga dapat dideteksi pada daerah sinar tampak dan terpisah dari komponen pengganggu lain yang dapat terdeteksi bila diukur pada daerah ultraviolet (Fell, 1986). Pada reaksi warna, perubahan senyawa tidak berwarna menjadi senyawa berwarna terjadi karena adanya perpanjangan gugus kromofor oleh penambahan zat lain ke dalam larutan tersebut atau karena terjadi pembentukan kompleks warna (Roth and Blaschke, 1981). Selain itu, senyawa yang dari asalnya berwarna juga dapat dideteksi pada daerah sinar tampak.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam reaksi warna (Vogel, 1994) yaitu :


(40)

22

a. kespesifikan reaksi warna. Sangat sedikit reaksi yang khas untuk suatu zat tertentu, tetapi banyak reaksi menghasilkan warna untuk sekelompok kecil zat yang sehubungan saja, artinya reaksi-reaksi itu selektif.

b. kesebandingan antara warna dan konsentrasi. Intensitas warna hendaknya meningkat secara linier dengan naiknya konsentrasi zat yang akan ditetapkan. Jika tidak dinyatakan lain, diharapkan bahwa korelasi tersebut memenuhi hukum Lambert-Beer.

c. kestabilan warna. Warna yang dihasilkan hendaknya cukup stabil untuk memungkinkan pembacaan yang tepat. Periode warna optimum harus cukup panjang untuk membuat pengukuran yang cermat.

d. reprodusibilitas. Prosedur reaksi warna harus memberi hasil yang dapat diulang pada kondisi eksperimen yang khas.

e. kejernihan larutan. Larutan harus bebas dari endapan karena endapan dapat menghamburkan maupun menyerap cahaya.

f. kepekaan tinggi. Diharapkan reaksi warna sangat peka terutama bila yang ditetapkan adalah zat berkuantitas kecil dan diharapkan pula produk reaksi menyerap dengan kuat pada daerah sinar tampak bukan daerah ultraviolet.


(41)

E. Parameter Validasi, Kategori Metode Analisis dan Kesalahan dalam Analisis

1. Parameter validasi metode analisis

Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (Harmita, 2004).

Parameter-parameter yang digunakan sebagai pedoman validasi metode analisis adalah :

a. akurasi adalah kedekatan hasil analisis yang diperoleh dengan memakai metode tersebut dengan nilai yang sebenarnya. Akurasi metode analisis biasanya dinyatakan dengan persen perolehan kembali analit dalam sampel yang kadarnya telah diketahui dengan pasti (Anonim, 2005). Berikut adalah kriteria penerimaan akurasi berdasarkan kadar analit (Yuwono dan Indrayanto, 2005) :

Tabel I. Kriteria penerimaan akurasi pada konsentrasi analit yang berbeda

Kadar analit (%) Rata-rata % perolehan kembali (%)

100 98-102

≥ 10 98-102

≥ 1 97-103

≥ 0,1 95-105

0,01 90-107

Akurasi untuk kadar obat yang besar adalah 95-105 % sedangkan untuk bioanalisis rentang 80-120% masih bisa diterima (Mulja dan Hanwar, 2003).

b. presisi adalah derajat kesesuaian di antara hasil uji individual ketika prosedur diaplikasikan berulangkali dengan pengambilan sampel berulang dari


(42)

24

sampel yang homogen. Presisi dinyatakan dalan simpangan baku atau simpangan baku relatif (koefisien variasi) (Anonim, 2005).

Presisi terdiri dari 3 macam, yaitu (Anonim, 2005) :

1) Reproducibility adalah keseksamaan metode bila analisis dikerjakan di laboratorium yang berbeda.

2) Intermediate precision adalah keseksamaan metode jika analisis dikerjakan di laboratorium yang sama pada hari yang berbeda atau analis yang berbeda atau peralatan yang berbeda.

3) Repeatability adalah keseksamaan metode jika analisis dilakukan oleh analis yang sama dengan peralatan yang sama pada interval waktu yang pendek.

Berikut adalah kriteria penerimaan presisi berdasarkan kadar analit (Yuwono dan Indrayanto, 2005) :

Tabel II. Kriteria penerimaan presisi pada konsentrasi analit yang berbeda

Kadar analit (%) Koefisien variasi/ KV (%)

100 1,3

≥ 10 2,7

≥ 1 2,8

≥ 0,1 3,7

0,01 5,3

Unttuk bioanalisis nilai KV 15-20% masih dapat diterima (Mulja dan Hanwar, 2003). c. spesifisitas suatu metode adalah kemampuan suatu metode untuk mengukur dengan akurat respon analit dalam sampel dengan adanya komponen lain yang mungkin ada dalam sampel seperti pengotor dan produk degradasi (Anonim, 2005).


(43)

d. detection limit adalah konsentrasi analit terkecil yang dapat terdeteksi, tetapi tidak perlu kuantitatif, di bawah kondisi percobaan yang ditentukan. Pengukuran detection limit digambarkan sebagai rasio signal-to-noise dengan membandingkan hasil uji sampel dengan analit yang diketahui konsentrasinya dan blangko serta menetapkan konsentrasi terendah analit yang dapat terdeteksi untuk metode instrumental. Rasio signal-to-noise untuk detection limit adalah 2:1 atau 3:1. Selain itu, penentuan detection limit dapat juga didasarkan pada slope kurva baku dan standar deviasi (simpangan baku) (Anonim, 2005).

e. quantitation limit menyatakan jumlah terendah analit dalam sampel yang dapat ditentukan dengan akurasi dan presisi yang dapat diterima di bawah kondisi percobaan yang ditentukan. Rasio signal-to-noise untuk quantitation limit adalah 10:1. Penentuan quantitation limit dapat juga didasarkan pada slope kurva baku dan standar deviasi (simpangan baku) (Anonim, 2005).

f. linearitas dan range. Linearitas adalah kemampuan metode analisis untuk memberikan respon secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik, proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel pada rentang yang diberikan (Anonim, 2005). Range adalah interval level analit terendah dan tertinggi yang sudah ditunjukkan dapat ditetapkan dengan akurasi, presisi, dan linearitas yang dapat diterima (Anonim, 2005).

2. Kategori metode analisis


(44)

26

a. kategori I, mencakup metode analisis untuk kuantifikasi komponen terbesar dalam obat atau bahan aktif (termasuk bahan pengawet) dari suatu sediaan.

b. kategori II, mencakup metode analisis untuk penentuan impurities bahan obat dan degradasi produk sediaan farmasi, termasuk penentuan kuantitatif dan uji batas.

c. kategori III, mencakup metode analisis yang digunakan untuk menentukan karakteristik sediaan farmasi (seperti disolusi, pelepasan obat).

d. kategori IV, mencakup uji identifikasi.

Setiap kategori metode analisis memiliki persyaratan validasi yang berbeda-beda, seperti yang tercantum pada tabel III.

Tabel III. Parameter validasi yang dipersyaratkan untuk validasi metode analisis Kategori II

Parameter Kategori I

Kualitatif Uji batas

Kategori III Kategori IV

Akurasi Ya Ya * * Tidak

Presisi Ya Ya Tidak Ya Tidak

Spesifisitas Ya Ya Ya * Ya

Detection Limit Tidak Tidak Ya * Tidak Quantitation Limit Tidak Ya Tidak * Tidak

Linearitas Ya Ya Tidak * Tidak

Range Ya Ya * * Tidak

* Mungkin dibutuhkan, tergantung pada sifat tes yang spesifik.

(Anonim, 2005)

3. Kesalahan dalam analisis


(45)

a. kesalahan sistematik merupakan hasil analisis yang menyimpang secara tetap dari nilai sebenarnya karena proses pelaksanaan prosedur analisis. Kesalahan sistematik ada 2 macam, yaitu:

1) kesalahan pada metode analisis, agak sulit dideteksi karena kesalahan metode analisis ini antara lain disebabkan sifat fisika kimia pereaksi yang dipakai tidak memadai.

2) kesalahan individual adalah kesalahan yang timbul karena kesalahan individu dalam pengamatan atau pembacaan instrumen yang dihadapi.

Kesalahan ini dapat dicari sebabnya dan dapat dikendalikan dengan kalibrasi instrumen secara berkala, pemilihan metode dan prosedur standar dari badan resmi, pemakaian bahan kimia dengan derajat untuk analisis, dan peningkatan pengetahuan peneliti.

b. kesalahan tidak sistematik adalah penyimpangan tidak tetap dari hasil penentuan kadar dengan instrumentasi yang disebabkan oleh fluktuasi instrumen yang dipakai. Meningkatnya kesalahan tidak sistematik disebabkan tiap bagian instrumen memberikan noise yang kecil yang kemudian ada kemungkinan menjadi semakin besar sebagai nilai noise kumulatif. Penyebab kesalahan ini tidak diketahui. Pemakaian instrumen dengan kualitas baik akan menekan nilai kesalahan ini.

F. Landasan Teori

Ampisilin merupakan antibiotik golongan β-laktam turunan penisilin, yang memiliki kemiripan struktur dengan sefaleksin yang juga merupakan antibiotik


(46)

28

golongan β-laktam turunan sefalosporin. Kemiripan struktur tersebut bukan hanya terletak pada keberadaan cincin β-laktam tetapi kedua senyawa tersebut juga memiliki gugus amin primer. Penetapan kadar sefaleksin dapat dilakukan dengan metode spektrofotometri visibel dengan pereaksi asetilaseton dan formalin. Penetapan kadar sefaleksin tersebut didasarkan pada pembentukan senyawa berwarna kuning hasil reaksi sefaleksin dengan hasil kondensasi asetilaseton dan formalin. Gugus fungsi pada sefaleksin yang bereaksi dengan asetilaseton dan formalin adalah gugus amin primer. Metode spektrofotometri visibel dengan pereaksi asetilaseton dan formalin tersebut mempunyai tingkat selektivitas dan akurasi yang baik untuk penetapan kadar sefaleksin baik dalam senyawa murni maupun dalam berbagai macam sediaan obat.

G. Hipotesis

1. Metode spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin memiliki validitas yang baik untuk penetapan kadar ampisilin.

2. Metode spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin dapat diaplikasikan untuk penetapan kadar ampisilin dalam kapsul.


(47)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif, sebab pada penelitian ini tidak dilakukan manipulasi terhadap subjek uji. Penelitian hanya mendeskripsikan keadaan yang ada.

B. Definisi Operasional

1. Parameter validasi metode analisis yang diamati dalam penelitian ini adalah akurasi, presisi, dan linearitas.

2. Sampel ampisilin yang digunakan adalah kapsul ampisilin merek “X” yang mengandung ampisilin 500 mg.

3. Kadar ampisilin dinyatakan dalam mg/ kapsul.

C. Bahan-Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi ampisilin baku (Brataco Chemika), kapsul ampisilin 500 mg (buatan pabrik tertentu dengan kode “X”), asetilaseton, formalin, asam asetat 96%, natrium asetat, natrium hidroksida, asam klorida, dan akuades (Laboratorium Analisis Obat dan Makanan Fakultas Farmasi UGM). Kecuali dinyatakan lain, bahan-bahan penelitian yang digunakan ada penelitian ini memiliki kualitas p. a. produksi E. Merck.


(48)

30

D. Alat-Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah spektrofotometer ultraviolet–visibel (Spectronic Genesys 5, MILTON ROY), pH meter (Hanna Instrument pH 209), neraca analitik (Precisa 125 A. SCS Swiss Quality), mikropipet Gilson 1000 µl, penangas air, termometer, kertas saring, dan alat-alat gelas yang lazim.

E. Tatacara Penelitian 1. Pembuatan larutan

a. Pembuatan larutan natrium asetat 0,2 M.

Sebanyak 8,2 g natrium asetat ditimbang seksama, dimasukkan ke dalam labu ukur 500 ml kemudian dilarutkan dengan akuades sampai tanda.

b. Pembuatan larutan asam asetat 0,2 M.

Sebanyak 11,8 ml asam asetat 96 % dipipet, kemudian diencerkan dengan akuades sampai volume 1 liter.

c. Pembuatan larutan NaOH 2 M.

Ditimbang seksama 4,0 g NaOH kemudian dilarutkan dalam akuades bebas CO2 sampai volume 50 ml.

d. Pembuatan larutan HCl 2 M.

Dilarutkan 17 ml HCl pekat dalam 100 ml akuades. e. Pembuatan larutan pereaksi (Patel et al., 1992).

Sebanyak 16,0 ml natrium asetat 0,2 M dan 34,0 ml asam asetat 0,2 M dicampur dengan 7,8 ml asetilaseton dan 15,0 ml formalin. Dipanaskan 5


(49)

menit di atas penangas air dengan suhu 80oC, didinginkan, pH diatur dengan penambahan larutan NaOH 2 M atau HCl 2 M sampai mencapai pH yang diinginkan, kemudian diencerkan dengan akuades sampai 100 ml.

f. Pembuatan larutan baku.

Ditimbang seksama 201,7mg baku ampisilin, dilarutkan dengan akuades dan diencerkan dalam labu ukur 100 ml. Konsentrasi yang diperoleh adalah 0,005M.

2. Optimasi penetapan kadar ampisilin

Oleh karena senyawa yang dianalisis pada penelitian ini berbeda dengan senyawa yang dianalisis dalam penelitian Patel et al. (1992) maka dilakukan optimasi yang meliputi :

a. Penetapan operating time.

Sebanyak 4 ml pereaksi pH 4 dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml, ditambahkan 2,0 ml larutan baku ampisilin 0,005 M. Dipanaskan di dalam penangas air dengan suhu 35oC, diencerkan dengan akuades sampai tanda. Diukur serapannya pada panjang gelombang 400 nm sampai diperoleh serapan yang stabil pada rentang waktu tertentu. Dilakukan penetapan blangko. Operating time adalah rentang waktu saat larutan menghasilkan serapan yang stabil.

b. Penetapan pH optimum.

pH pereaksi dibuat bervariasi, yaitu pH 3, 4, 5, 6, dan 7 dengan menambahkan larutan NaOH 2 M atau HCl 2 M. Untuk masing-masing nilai pH dipipet sebanyak 4 ml, dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml, ditambahkan 2,0 ml


(50)

32

larutan baku ampisilin 0,005 M, didiamkan selama operating time di dalam penangas air dengan suhu 35oC, diencerkan dengan akuades sampai tanda. Diukur serapan larutan pada panjang gelombang 400 nm. Dilakukan penetapan blangko. Nilai pH optimum adalah pH pereaksi yang menghasilkan serapan paling besar.

c. Penetapan volume pereaksi optimum.

Larutan pereaksi dengan pH optimum dipipet 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 10 ml, dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml. Pada masing-masing labu ukur tersebut ditambahkan 2,0 ml larutan baku ampisilin 0,005 M, didiamkan selama operating time di dalam penangas air dengan suhu 35oC, diencerkan dengan akuades sampai tanda. Diukur serapan larutan pada panjang gelombang 400 nm, Dilakukan penetapan blangko. Volume pereaksi optimum adalah volume pereaksi yang menghasilkan serapan paling besar dan stabil.

d. Penetapan panjang gelombang serapan maksimum.

Sebanyak 1,0; 1,4; dan 1,8 ml larutan baku ampisilin 0,005 M dipipet dan dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml. Masing-masing labu ukur ditambah dengan pereaksi pada pH dan volume hasil optimasi. Didiamkan selama operating time di dalam penangas air dengan suhu 35oC, diencerkan dengan akuades sampai tanda. Serapan dibaca pada panjang gelombang 300-500 nm. Dilakukan penetapan blangko. Panjang gelombang serapan maksimum adalah panjang gelombang yang memberikan serapan maksimum.


(51)

3. Penetapan kurva baku

Larutan baku ampisilin 0,005 M dipipet sebanyak 0,8; 1,0; 1,2; 1,4; dan 1,6 ml dan dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml. Masing-masing labu ukur ditambah dengan pereaksi pada pH dan volume hasil optimasi. Didiamkan selama operating time di dalam penangas air dengan suhu 35oC, diencerkan dengan akuades sampai tanda. Diukur serapannya pada panjang gelombang serapan maksimum. Dilakukan penetapan blangko. Dibuat kurva hubungan konsentrasi ampisilin vs serapan senyawa hasil reaksi antara ampisilin dengan asetilaseton dan formalin dan ditentukan persamaan garis regresi linier serta koefisien korelasinya.

4. Aplikasi metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar ampisilin dalam kapsul “X” menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin

a. Pengambilan sampel.

Sampel yang digunakan terdiri dari 1 merek kapsul yang mengandung ampisilin 500 mg yang beredar di pasaran. Kapsul ampisilin yang dipilih adalah kapsul dengan nomor batch yang sama sebanyak 20 kapsul.

b. Penetapan kadar ampisilin dalam kapsul ”X”.

Ditimbang seksama sejumlah serbuk dari 20 kapsul yang setara dengan 100,9 mg ampisilin. Dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml, dilarutkan dengan akuades kemudian diencerkan sampai tanda. Dipipet 1,0 ml, dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml, ditambah dengan pereaksi pada pH dan volume hasil optimasi. Didiamkan selama operating time di dalam penangas air dengan suhu 35oC, diencerkan dengan akuades sampai tanda, diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum. Dilakukan penetapan blangko. Kadar


(52)

34

ampisilin dalam kapsul “X” dihitung menggunakan persamaan garis regresi linier yang diperoleh dari penetapan kurva baku ampisilin.

5. Validasi metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar ampisilin menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin

a. Akurasi.

Ditimbang seksama sejumlah serbuk dari 20 kapsul yang setara dengan 100,9 mg ampisilin. Ditambahkan 100,9 mg baku ampisilin. Dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, dilarutkan kemudian diencerkan dengan akuades sampai tanda. Dipipet 1,0 ml, dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml, ditambah dengan pereaksi pada pH dan volume hasil optimasi. Didiamkan selama operating time di dalam penangas air dengan suhu 35oC, diencerkan dengan akuades sampai tanda. Diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum. Dilakukan penetapan blangko. Akurasi dinyatakan dengan % perolehan kembali. Dihitung nilai % perolehan kembali (recovery), yaitu perbandingan kadar ampisilin yang didapat dengan kadar ampisilin sebenarnya.

b. Presisi.

Presisi dinyatakan dengan koefisien variasi (KV). Dari data hasil penetapan kadar ampisilin dalam kapsul “X” dihitung nilai KV dari % kadar ampisilin dalam kapsul untuk tiap replikasi dengan menggunakan kalkulator. Selanjutnya dihitung nilai rata-rata KV.


(53)

c. Linearitas.

Linearitas ditentukan dari nilai koefisien korelasi (r) yang diperoleh dari penetapan kurva baku ampisilin. Nilai r hitung tersebut dibandingkan dengan nilai r tabel dengan derajat bebas (df) = 3 dan taraf kepercayaan 99 %. Selain itu, linearitas ditentukan juga dari nilai koefisien variasi fungsi (Vx0) yang diperoleh dengan cara mengolah data hasil penetapan kurva baku ampisilin.

F. Analisis Hasil

Validasi metode analisis yang digunakan dalam penetapan kadar ampisilin pada penelitian ini dapat ditentukan berdasarkan parameter berikut :

1. akurasi

Akurasi metode analisis dinyatakan dengan % perolehan kembali (recovery) yang dihitung dengan cara sebagai berikut :

...(11)

% perolehan kembali (recovery) = x 100% sebenarnya

ampisilin kadar

didapat yang

ampisilin kadar

Metode analisis dikatakan memiliki akurasi yang baik bila % perolehan kembali ampisilin baku berada pada rentang 98-102 % (Yuwono dan Indrayanto, 2005) dan % perolehan kembali sampel ampisilin berada pada rentang 95-105 % (Mulja dan Hanwar, 2003).

2. presisi

Presisi metode analisis dinilai berdasarkan KV yang dihitung dengan cara sebagai berikut :


(54)

36

KV = x 100% x

SD

……… (12) Kadar analit dalam sampel pada penelitian ini adalah 75,96 % sehingga metode analisis dikatakan memiliki presisi yang baik jika nilai KV kurang dari 2,7 % (Yuwono dan Indrayanto, 2005).

3. linearitas

Linearitas metode analisis ditentukan berdasarkan nilai r hitung yang diperoleh dari penetapan kurva baku ampisilin dan berdasarkan nilai Vx0. Jika r hitung lebih besar dari r tabel dengan df = 3 dan taraf kepercayaan 99 % yaitu 0,959 (Cann, 2003) dan nilai Vx0 ≤ 2 % (Mulja dan Hanwar, 2003) maka metode analisis tersebut dinilai memiliki linearitas yang baik.


(55)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penetapan Operating Time

Operating time adalah rentang waktu saat suatu larutan menghasilkan serapan yang stabil. Pada rentang waktu tersebut reaksi antara ampisilin dengan pereaksi yang menghasilkan senyawa berwarna kuning telah optimum sehingga pada pengukuran serapan yang terbaca adalah semua ampisilin yang telah bereaksi dengan pereaksi. Reaksi yang terjadi pada penetapan kadar ampisilin dalam penelitian ini diawali dengan reaksi antara asetilaseton dan formalin pada pembuatan larutan pereaksi yang membentuk senyawa 3,5-diasetil-2,6-heptanadion (gambar 6). Reaksinya adalah :

1. pembentukan enol asetilaseton

H3C C O C H2 C O CH3 asetilaseton H

H3C C

O H C H C OH CH3 - H

H3C C

O C H C OH CH3 enol asetilaseton 2. kondensasi enol asetilaseton dengan formalin

37

O H C H3C

CH C H3C O

+ C

O

H H

enol asetilaseton formalin

H

C O H3C

C H

CH2 OH

C H3C

H - H2O

ß-hidroksi karbonil O


(56)

38

C O

H3C

C CH2

C

H3C O

C

O H

CH3

HC

C

O CH3

+

C

O H

H3C

C C

H2

CH

C

H3C O

C O

CH3

C

O CH3

karbonil tak jenuh a,ß enol asetilaseton H

- H

O

C H3C

CH C H2 CH C O CH3 C C

H3C CH3

3,5-diasetil-2,6-heptanadion

O O

- H

Gambar 6. Reaksi antara asetilaseton dan formalin

Tahap selanjutnya adalah reaksi antara ampisilin dan 3,5-diasetil-2,6-heptanadion (gambar 7). Hasil reaksi kedua senyawa tersebut adalah senyawa berwarna kuning. Gugus fungsi pada ampisilin yang bertanggung jawab dalam pembentukan senyawa berwarna kuning tersebut adalah gugus amin primer. Reaksi antara ampisilin dan 3,5-diasetil-2,6-heptanadion adalah sebagai berikut :

C O H3C

CH C H2 CH C O CH3 C C

H3C O O CH3

N H R H C O H3C

CH C H2 CH C O CH3 C C

H3C O H3C

NH O H R C O H3C

CH C H2 C C O CH3 C C

H3C O

H3C

HN OH2

R H Gugus amin primer ampisilin

C O H3C

CH C H2 CH C O CH3 C C

H3C O

H3C

HN OH

R

H Eliminasi H2O


(57)

-H2O

H

-C O

H3C

CH C H2 C C O CH3 C C

O CH3

N CH3 R H CH C N C C H2 C C CH3 O CH3 C O

H3C

H3C

O H R C C N C C H2 C C CH3 O CH3 C O H3C

H

R OH H3C H C C N C C H2 C C CH3 O CH3 C O H3C

H

R OH2 H3C H

-H2O

H C C N C C H2 C C CH3 O CH3 C O H3C

R H3C

-warna kuning H C C O N H N O S H CH3 CH3 COOH R =


(58)

40

C C N C C

C H2 C

H3C

O

H3C C

O CH3 H

C C N H CH3

N O

S COOH H

CH3

CH3

senyawa berwarna kuning

O

= gugus kromofor

Gambar 7. Usulan reaksi antara ampisilin dengan senyawa hasil kondensasi asetilaseton dan formalin

Dapat diperkirakan bahwa reaksi pada gambar 7 tidak hanya terjadi pada senyawa yang memiliki gugus amin alifatik primer, namun juga dapat terjadi pada senyawa yang memiliki gugus amin aromatik primer yang rantai sampingnya tidak mengandung gugus penarik elektron. Adanya gugus penarik elektron menyebabkan gugus amin aromatik primer tidak lagi nukleofilik sehingga tidak dapat mengadisi gugus karbonil pada senyawa hasil reaksi asetilaseton dan formalin.

Penentuan operating time dilakukan dengan mengukur serapan larutan hasil reaksi ampisilin dengan pereaksi mulai dari menit ke-20 sampai menit ke-80 pada panjang gelombang 400 nm. Hasil penetapan operating time disajikan pada tabel IV.


(59)

Tabel IV. Hasil penetapan operating time reaksi antara ampisilin dengan asetilaseton dan formalin

Serapan senyawa hasil reaksi antara ampisilin dengan asetilaseton dan formalin pada λ 400 nm

Waktu inkubasi (menit)

Replikasi I Replikasi II Replikasi III

20 0,438 0,492 0,429

25 0,494 0,544 0,533

30 0,526 0,596 0,555

35 0,549 0,633 0,584

40 0,568 0,653 0,593

45 0,599 0,668 0,610

50 0,600 0,680 0,628

55 0,613 0,687 0,632

60 0,621 0,691 0,645

65 0,649 0,690 0,655

70 0,653 0,702 0,638

75 0,657 0,705 0,639

80 0,661 0,715 0,653

Dari data pada tabel IV diketahui bahwa reaksi ampisilin dengan pereaksi stabil mulai menit ke-70. Untuk mengetahui stabilitas reaksinya, dilakukan pengukuran serapan selama 30 menit terhadap larutan hasil reaksi ampisilin dengan pereaksi yang sudah dipanaskan pada suhu 35oC selama 70 menit. Hasil pengukuran serapan tersebut tersaji pada gambar 8.

Gambar 8. Spektrum hasil pengukuran stabilitasreaksi antara ampisilin dengan asetilaseton dan formalin


(60)

42

Pada gambar 8 terlihat bahwa selama 30 menit serapan larutan tersebut tetap stabil. Hal tersebut menunjukkan bahwa reaksi ampisilin dengan pereaksi optimum mulai dari menit ke-70 sampai menit ke-100. Dengan demikian, pengukuran serapan larutan dapat dilakukan pada menit ke-70 sampai menit ke-100. Untuk keseragaman, pengukuran serapan selanjutnya dilakukan pada menit ke-70.

B. Penetapan pH Optimum

Reaksi penentu pada penetapan kadar ampisilin dengan pereaksi asetilaseton dan formalin adalah tahap reaksi adisi nukleofilik dan eliminasi H2O.

Kedua tahap reaksi tersebut tergantung pH sehingga pH memegang peranan penting agar reaksi antara ampisilin dengan pereaksi dapat berjalan optimum. Menurut Fessenden and Fessenden (1994), reaksi tersebut optimum pada pH 3 sampai 4. Bila pH terlalu asam (di bawah pH optimum) maka konsentrasi amin primer bebas menjadi sangat kecil bahkan dapat diabaikan karena gugus amin primer bebas pada ampisilin akan bereaksi dengan asam membentuk RNH3+. Reaksinya adalah :

RNH2 + H+ RNH3+

Amin primer pada ampisilin

RNH3+ tidak nukleofilik sedangkan konsentrasi amin primer bebas yang

bersifat nukleofilik sangat kecil sehingga reaksi adisi nukleofilik yang seharusnya berjalan cepat menjadi lebih lambat. Di sisi lain, pH yang terlalu asam menyebabkan konsentrasi H+ menjadi besar sehingga gugus OH- akan sangat mudah terprotonkan menjadi H2O. H2O merupakan gugus pergi yang lebih baik dibanding OH-. Hal ini


(61)

Bila pHnya basa maka konsentrasi amin primer bebas menjadi banyak sehingga reaksi adisi nukleofilik berjalan lebih cepat dari yang seharusnya, sedangkan reaksi eliminasi H2O menjadi lebih lambat dari yang seharusnya. Hal ini

disebabkan gugus OH- tidak terprotonkan karena konsentrasi H+ kecil. OH -merupakan gugus pergi yang kurang baik dibanding H2O.

O O

C H3C

CH C H2

C

C CH3

C C

H3C O H3C

HN OH2

R H

Pada pH optimum

C O H3C

CH C H2 CH C O CH3 C C

H3C O H3C

HN OH

R

Pada pH basa

Pada pH optimum (pH 3-4) laju reaksi adisi nukleofilik dan eliminasi H2O

berjalan seimbang sehingga reaksi akan berjalan optimum.

pH optimum adalah pH pereaksi yang menghasilkan nilai serapan paling besar. Penetapan pH pereaksi optimum bertujuan untuk menciptakan kondisi reaksi yang optimum agar reaksi antara ampisilin dengan pereaksi dapat berjalan dengan optimum sehingga pada saat pengukuran, serapan larutan yang terbaca menggambarkan kadar ampisilin yang sesungguhnya. Untuk penetapan pH pereaksi optimum, pereaksi dibuat dengan pH bervariasi yaitu pH 3, 4, 5, 6, dan 7. pH pereaksi optimum ditentukan dengan mengukur serapan larutan hasil reaksi ampisilin dengan pereaksi pada setiap pH pada panjang gelombang 400 nm, hasilnya disajikan pada tabel V.


(62)

44

Tabel V. Hasil penetapan pH optimum reaksi antara ampisilin dengan asetilaseton dan formalin

Serapan senyawa hasil reaksi antara ampisilin dengan asetilaseton dan formalin pada λ 400 nm

pH pereaksi

Replikasi I Replikasi II Replikasi III

3 0,454 0,445 0,433

4 0,676 0,657 0,662

5 0,223 0,235 0,224

6 0,041 0,045 0,044

7 0,036 0,032 0,038

Serapan paling besar dari larutan kuning hasil reaksi antara ampisilin dengan pereaksi terjadi pada pH 4. Hal tersebut menunjukkan bahwa reaksi ampisilin dengan pereaksi optimum pada pH 4. Untuk selanjutnya pereaksi dibuat menjadi pH 4.

C. Penetapan Volume Pereaksi Optimum

Volume pereaksi optimum adalah volume pereaksi yang menghasilkan serapan yang paling besar dan stabil. Penetapan volume pereaksi optimum bertujuan untuk menentukan volume pereaksi yang dibutuhkan untuk bereaksi dengan semua ampisilin dalam larutan sehingga pengukuran serapan larutan menggambarkan kadar ampisilin sesungguhnya. Penetapan volume pereaksi optimum dilakukan dengan menambahkan pereaksi dengan pH optimum yaitu pH 4 pada volume yang bervariasi ke dalam larutan ampisilin. Volume pereaksi yang ditambahkan adalah 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 10 ml. Serapan larutan tersebut diukur pada panjang gelombang 400 nm. Hasil pengukuran disajikan pada tabel VI.


(63)

Tabel VI. Hasil penetapan volume pereaksi optimum

Serapan senyawa hasil reaksi antara ampisilin dengan asetilaseton dan formalin pada λ 400 nm

Volume pereaksi

Replikasi I Replikasi II Replikasi III

1 0,399 0,383 0,395

2 0,601 0,579 0,587

3 0,661 0,657 0,656

4 0,683 0,698 0,688

5 0,755 0,763 0,757

6 0,781 0,779 0,783

7 0,859 0,853 0,857

8 0,868 0,859 0,860

9 0,868 0,863 0,861

10 0,871 0,859 0,865

Volume pereaksi mulai dari 7 ml sampai 10 ml menghasilkan serapan yang stabil. Pada volume pereaksi tersebut semua ampisilin dalam larutan telah bereaksi dengan pereaksi. Selanjutnya volume pereaksi yang ditambahkan adalah 7 ml.

D. Penetapan Panjang Gelombang Serapan Maksimum (λmaks)

Panjang gelombang serapan maksimum adalah panjang gelombang (λ) saat suatu senyawa menghasilkan serapan yang paling besar. Penentuan λmaks pada

penelitian ini diukur pada rentang λ 300-500 nm. Pengukuran serapan dilakukan pada rentang λ tersebut karena dalam literatur yang diacu pengukuran serapan senyawa berwarna kuning hasil reaksi antara sefaleksin dengan asetilaseton dan formalin dilakukan pada λ 400 nm. Gugus pada sefaleksin yang berperan dalam pembentukan senyawa kuning tersebut adalah gugus amin primer. Penetapan kadar ampisilin pada penelitian ini juga didasarkan pada reaksi antara gugus amin primer dari ampisilin dengan hasil kondensasi asetilaseton dan formalin yang juga menghasilkan senyawa berwarna kuning. Dengan demikian, dapat diperkirakan λmaks untuk reaksi ampisilin


(64)

46

Penentuan λmaks dilakukan 3 kali dengan seri konsentrasi berbeda yaitu

0,081; 0,113; dan 0,145 mg/ml. Hal tersebut dilakukan dengan maksud untuk melihat apakah pada konsentrasi ampisilin yang berbeda terjadi perubahan λmaks.

Konsentrasi ampisilin baku 0,081 mg/ml Konsentrasi ampisilin baku 0,113 mg/ml

Konsentrasi ampisilin baku 0,145 mg/ml

Gambar 9. Spektra hasil penetapan panjang gelombang serapan maksimum ampisilin pada konsentrasi 0,081; 0,113; dan 0,145 mg/ml yang direaksikan dengan asetilaseton dan formalin

Dari gambar 9 dapat dilihat bahwa ada 2 puncak serapan pada tiap spektrum. Puncak yang lebih tinggi muncul pada λ 335,0 nm (pada konsentrasi ampisilin baku 0,081 dan 0,113 mg/ml) dan λ 338,0 nm (pada konsentrasi ampisilin baku 0,145 mg/ml), sedangkan puncak yang lebih pendek muncul pada λ 398,0 nm (pada semua seri konsentrasi ampisilin baku). Puncak serapan senyawa hasil reaksi ampisilin dengan pereaksi adalah puncak serapan yang lebih pendek yaitu pada λ


(65)

398,0 nm. Dasar dari penentuan ini adalah hasil reaksi ampisilin dan pereaksi berupa larutan warna kuning. Larutan berwarna bila diukur serapannya akan menghasilkan puncak serapan pada daerah λ sinar tampak. Puncak serapan yang lebih tinggi bukan merupakan puncak serapan senyawa hasil reaksi ampisilin dengan perekasi karena puncak tersebut muncul pada λ sinar UV. Kemungkinan puncak tersebut dihasilkan oleh kromofor dari gugus benzen pada ampisilin.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa λmaks senyawa hasil reaksi ampisilin dan

pereaksi adalah 398,0 nm dan perbedaan konsentrasi ampisilin tidak menimbulkan pergeseran λmaks. Penentuan λmaks merupakan syarat dalam analisis kuantitatif secara

spektrofotometri karena pada λmaks perubahan serapan untuk tiap satuan konsentrasi

besar. Dengan kata lain pengukuran serapan pada λmaks memberikan sensitivitas yang

besar. Selain itu, daerah di sekitar λmaks adalah datar. Hal tersebut mengurangi

kesalahan pada pengukuran berulang (Mulja dan Suharman, 1990). Untuk pengukuran selanjutnya digunakan λ 398,0 nm sebagai λmaks.

E. Penetapan Kurva Baku Ampisilin

Hasil penetapan kurva baku ampisilin adalah suatu persamaan garis regresi linier yang dapat digunakan untuk menghitung kadar ampisilin dalam sampel. Bila serapan sampel diketahui maka kadar ampisilin dalam sampel dapat dihitung dengan cara memasukkan serapan sampel ke dalam persamaan garis regresi linier. Persamaan garis regresi linier tersebut menggambarkan hubungan antara konsentrasi ampisilin dengan serapan senyawa hasil reaksi ampisilin dengan pereaksi. Penetapan kurva baku pada penelitian ini menggunakan 5 seri konsentrasi yaitu 0,065; 0,081;


(66)

48

0,097; 0,113; dan 0,129 mg/ml dengan masing-masing konsentrasi dilakukan 3 kali replikasi. Penetapan kurva baku diukur pada λmaks yaitu 398,0 nm. Hasil penetapan

kurva baku ampisilin tersaji pada tabel VII.

Tabel VII. Hasil penetapan kurva baku ampisilin sesudah direaksikan dengan asetilaseton dan formalin

Serapan senyawa hasil reaksi antara ampisilin dengan asetilaseton dan formalin pada λ 398,0 nm

Konsentrasi ampisilin (mg/ml)

Replikasi I Replikasi II Replikasi III

0,065 0,411 0,406 0,416

0,081 0,497 0,506 0,494

0,097 0,590 0,589 0,589

0,113 0,679 0,672 0,687

0,129 0,745 0,755 0,748

A = 0,0691 A = 0,0618 A = 0,0672 B = 5,3125 B = 5,4000 B = 5,3563 r = 0,9984 r = 0,9992 r = 0,9975

α = 79,34o α = 79,51o α = 79,42o Pers. garis

regresi linier

y=5,3125x+0,0691 y=5,4000x+0,0618 y=5,3563x+0,0672

Dari hasil penetapan kurva baku ampisilin pada tabel VII, ketiga persamaan garis regresi yang diperoleh memiliki nilai α yang besar sehingga bila dibuat kurva hubungan konsentrasi ampisilin dengan serapan senyawa hasil reaksi ampisilin dengan pereaksi akan dihasilkan kurva dengan kemiringan yang kurang baik. Oleh karena itu, dilakukan modifikasi yaitu konsentrasi ampisilin dikalikan 5 sehingga diperoleh hasil seperti yang tersaji pada tabel VIII.


(67)

Tabel VIII. Hasil modifikasi data penetapan kurva baku ampisilin sesudah direaksikan dengan asetilaseton dan formalin

Serapan senyawa hasil reaksi antara ampisilin dengan asetilaseton dan formalin pada λ 398,0 nm

Konsentrasi ampisilin (mg/5ml)

Replikasi I Replikasi II Replikasi III

0,325 0,411 0,406 0,416

0,405 0,497 0,506 0,494

0,485 0,590 0,589 0,589

0,565 0,679 0,672 0,687

0,645 0,745 0,755 0,748

A = 0,0691 A = 0,0618 A = 0,0672 B = 1,0625 B = 1,0800 B = 1,0713 r = 0,9984 r = 0,9992 r = 0,9975

α = 46,74o α = 47,20o α = 46,97o Pers. garis

regresi linier

y=1,0625x+0,0691 y=1,0800x+0,0618 y=1,0713x+0,0672

Dari data di atas diperoleh 3 persamaan garis regresi linier dengan nilai α yang lebih baik dan semuanya memiliki nilai koefisien korelasi (r) hitung yang lebih besar dari nilai koefisien korelasi (r) tabel dengan df = 3 dan taraf kepercayaan 99% yaitu 0,959 (Cann, 2003). Hal tersebut berarti bahwa terdapat korelasi bermakna antara konsentrasi ampisilin dengan serapan senyawa hasil reaksi ampisilin dengan pereaksi. Namun, persamaan garis regresi linier yang paling baik adalah y=1,0800x + 0,0618 karena persamaan garis regresi linier tersebut memiliki nilai r hitung yang paling mendekati 1 yaitu 0,9992. Oleh karena itu, persamaan garis regresi linier tersebut digunakan untuk penetapan kadar ampisilin dalam sampel. Hubungan antara konsentrasi ampisilin dengan serapan senyawa hasil reaksi ampisillin dengan asetilaseton dan formalin tersaji pada gambar 10.


(68)

50 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8

0,3 0,4 0,5 0,6 0,7

Konsentrasi ampisilin (mg/5ml)

S e ra p a n s e n y a w a h a sil r e a k si a m p is ilin d g n a se tila se to n d a n f o rm a lin

Gambar 10. Hubungan antara konsentrasi ampisilin dengan serapan senyawa hasil reaksi ampisilin dengan asetilaseton dan formalin

F. Penetapan Kadar Ampisilin dalam Kapsul “X”

Kadar ampisilin dalam kapsul “X” dihitung dengan cara mengolah data pengukuran serapan larutan hasil reaksi sampel ampisilin (kapsul “X”) dan pereaksi dengan persamaan garis regresi linier y = 1,0800x + 0,0618. Penetapan kadar ampisilin dalam kapsul “X” dilakukan sebanyak 3 kali replikasi dengan penimbangan yang berbeda. Dari setiap penimbangan dilakukan 3 kali pemipetan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui keterulangannya (repeatability). Hasil penetapan kadar ampisilin dalam kapsul “X” disajikan pada tabel IX dan perhitungannya dapat dilihat di lampiran 3.


(1)

Contoh perhitungan : • Kadar ampisilin terukur:

y = 1,0800x + 0,0618 0,538 = 1,0800x + 0,0618 x = 0,4409 mg/5ml = 0,0882 mg/ml

• Kadar ampisilin yang didapat = 0,0882 mg/ml x ml

ml

1 25

= 2,2050 mg/ml

• % perolehan kembali = x 100% sebenarnya ampisilin kadar didapat ampisilin kadar

= 100%

/ 1540 , 2 / 2050 , 2 x ml mg ml mg

= 102,37 %

Perhitungan % perolehan kembali yang lain sama seperti contoh di atas.

2. Penetapan % perolehan kembali ampisilin baku

Persamaan garis regresi linier y = 1,0800x + 0,0618 Kadar ampisilin sebenarnya (mg/5ml) Serapan* pada 398,0nm Kadar ampisilin terukur (mg/5ml)

% perolehan kembali

0,325 0,406 0,319 98,15 0,405 0,506 0,411 101,48 0,485 0,589 0,488 100,62 0,565 0,672 0,565 100,00 0,645 0,755 0,642 99,53 * = senyawa hasil reaksi antara ampisilin dengan asetilaseton dan formalin


(2)

Contoh perhitungan :

Kadar ampisilin sebenarnya = 0,325 mg/5ml Serapan = 0,406

• Kadar ampisilin hitung : y = 1,0800x + 0,0618 0,406 = 1,0800x + 0,0618 x = 0,319 mg/5ml

• % perolehan kembali = x 100% sebenarnya

ampisilin kadar

hitung ampisilin kadar

= x 100% 5ml

mg/ 0,325

5ml mg/ 319 , 0

= 98,15 %


(3)

Lampiran 5. Perhitungan nilai koefisien variasi fungsi (Vx0)

Persamaan garis regresi linier y = bx + a

y = 1,0800x + 0,0618

X x y ŷ (y- ŷ)2

0,325 0,319 0,406 0,413 4,9 x 10-5 0,405 0,411 0,506 0,499 4,9 x 10-5

0,485 0,488 0,589 0,586 9 x 10-6

0,565 0,565 0,672 0,672 0

0,645 0,642 0,755 0,758 9 x 10-6

x = 0,485 Σ = 1,16 x 10-4

Keterangan :

X = konsentrasi ampisilin sebenarnya (mg/5ml)

x = konsentrasi ampisilin terukur (mg/5ml), diperoleh dengan memasukkan nilai serapan terukur ke dalam persamaan garis regresi linier

y = serapan terukur (hasil penetapan kurva baku ampisilin replikasi II)

ŷ = serapan sebenarnya, diperoleh dengan memasukkan nilai konsentrasi sebenarnya ke dalam persamaan garis regresi linier

Contoh perhitungan :

Sy =

2 ) ˆ

( 2

− − ∑

N y y

=

3 10 16 ,

1 x −4


(4)

Sx0 = b Sy

=

0800 , 1

10 218 ,

6 x −3

= 5,757 x 10-3

• Vx0 = 0 x100%

x Sx

= 100% 485

, 0

10 757 ,

5 3

x x


(5)

(6)

Arnie Roosita, lahir di Kulon Progo pada tanggal 18 Maret 1985, merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Yohanes Sutadi dan Agnes Suparti. Penulis skripsi yang berjudul “Validasi Metode Spektrofotometri Visibel untuk Penetapan Kadar Ampisilin Menggunakan Pereaksi Asetilaseton dan Formalin” ini menempuh pendidikan di TK Sang Timur, Kenteng pada tahun 1990-1991, kemudian melanjutkan sekolah di SD Kanisius Kenteng pada tahun 1991-1997. Selanjutnya penulis menempuh pendidikan di SLTP Negeri I Nanggulan pada tahun 1997-2000 dan melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 2 Yogyakarta pada tahun 2000-2003. Penulis menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.


Dokumen yang terkait

VALIDASI DAN PENGEMBANGAN PENETAPAN KADAR TABLET BESI (II) SULFAT DENGAN SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL DAN SERIMETRI SEBAGAI PEMBANDING.

0 2 18

Validasi metode spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi fenantrolina pada penetapan kadar hidrokuinon dalam krim simulasi.

2 12 75

Validasi metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar sefadroksil menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin.

3 23 103

Validasi metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar amoksisilin menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin.

3 24 78

Validasi Metode Penetapan Kadar Ampisilin Trihidrat Berdasarkan Hasil Hidrolisis Secara Spektrofotometri Ultraviolet (UV) - Ubaya Repository

0 0 1

Validasi metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar amoksisilin menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin - USD Repository

0 0 76

Validasi metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar ampisilin menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin - USD Repository

0 0 87

Validasi metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar sefadroksil menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin - USD Repository

0 0 101

PENETAPAN KADAR BESI DALAM SUSU CAIR UNTUK IBU HAMIL SECARA SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL DENGAN PEREAKSI 1, 10-FENANTROLIN

0 0 86

VALIDASI METODE SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL MENGGUNAKAN PEREAKSI o-FENANTROLINA PADA PENETAPAN KADAR HIDROKUINON DALAM KRIM SIMULASI SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Ilmu Farmasi

0 0 73