TESIS YUNITA MIFTAHUL MASITA NIM.S 021308099

(1)

i

HAK REPRODUKSI PENGATURAN JUMLAH ANAK DAN PEMILIHAN ALAT KONTRASEPSI

TESIS

Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Utama Kesehatan Ibu dan Anak

Oleh :

YUNITA MIFTAHUL MASITA NIM : S 021308099

PROGRAM PASCASARJANA

PRODI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2015


(2)

ii

HALAMAN PENGESAHAN

HAK REPRODUKSI PENGATURAN JUMLAH ANAK DAN PEMILIHAN ALAT KONTRASEPSI

TESIS

Oleh :

YUNITA MIFTAHUL MASITA NIM : S 021308099

Komisi Nama Tanda Tangan Tanggal

Pembimbing

Pembimbing I Prof. Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd ... ... 2015

NIP.19560303 198603 1 001

Pembimbing II Dr. Endang Sutisna, dr., M.kes ... ... 2015

NIP.19560320 198312 1002

Telah dinyatakan memenuhi syarat Pada tanggal...2015

Kapala Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Program Pascasarjana UNS

Prof. Bhisma Murti, dr, MPH, M.Sc, Ph.D NIP. 19551021 199412 1001


(3)

iii


(4)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

N a m a : YUNITA MIFTAHUL MASITA

N I M : S 021308099

Program Studi : PASCA SARJANA ILMU KESEHATAN MASYARAKAT Angkatan : 2013/2014

Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan tesis saya yang berjudul “Hak Reproduksi Pengaturan Jumlah anak dan Pemilihan Alat Kontrasepsi ” .

Apabila nanti suatu saat terbukti saya melakukan plagiat, maka saya akan menerima sanksi yang telah ditetapkan. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar benarnya.

Surakarta, 12 Januari 2015 Yang membuat penyataaan

YUNITA MIFTAHUL MASITA NIM. S 021308099


(5)

v

Yunita Miftahul Masita. S021308099. 2015. Hak Reproduksi Pengaturan Jumlah Anak Dan Pemilihan Alat Kontrasepsi. TESIS. Pembimbing I: Hermanu Joebagio, Pembimbing II: Endang Sutisna Sulaeman. Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Program Pascasarjana, Univeritas Sebelas Maret.

ABSTRAK

Latar Belakang : Kesehatan reproduksi merupakan komponen penting bagi kesehatan pria maupun wanita.Belum terpenuhinya hak reproduksi salah satunya ditandai dengan tingginya AKI.Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan mendeskripsikan hak reproduksi dalam pengaturan jumlah anak dan pemilihan alat kontrasepsi pada karyawati Akademi Kebidanan Bina Husada Jember.

Subjek dan Metode: Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologi.Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive

sampling.Teknik analisis data menggunakan model interaktif Miles and

Hubberman.Subjek penelitian dalam penenlitian ini adalah karyawati Akademi

Kebidanan Bina Husada Jember dan Suami.

Hasil: Hasil penelitian melaporkan bahwa tidak ada kebudayaan yang mempengaruhi terhadap pengaturan jumlah anak dan pemilihan alat kontrasepsi, faktor ekonomi berpengaruh terhadap pengaturan jumlah anak tetapi tidak berpengaruh terhadap pemilihan alat kontrasepsi. Dalam hal pengaturan jumlah anak dan pemilihan alat kontrasepsi masih ada beberapa karyawati yang mendapatkan intervensi dari orang tua / mertua. Dalam hal pemilihan alat kontrasepsi sebagian besar para karyawati memutuskan sendiri terkait dengan alat kontrasepsi yang mereka gunakan.beberapa suami mendukung terhadap keputusan yang dibuat oleh istri. Tapi masih ada suami yang tidak memperbolehkan istri menggunakan alat kontrasepsi IUD, ada anggapan bahwa KB adalah urusan perempuan.

Kesimpulan:Bahwa faktor ekonomi, dukungan sosial, dukungan suami istri berpengaruh terhadap pengaturan jumlah anak dan pemilihan alat kontrasepsi, sedangkan kebudayaan tidak berpengaruh terhadap pengaturan jumlah anak dan pemilihan alat kontrasepsi.

Kata kunci: Hak reproduksi, jumlah anak, alat kontrasepsi


(6)

vi

Yunita Miftahul Masita. S021308099. 2015. Reproductive Rights To The Number of

Chlidren and Selection Tool of Contrasepstion. THESIS. Supervisor I: Hermanu

Joebagio Co-supervisor II: Endang Sutisna Sulaeman. Public Health Sciene Program, Graduate Program, Sebelas Maret University

ABSTRACT

Background : Reproductive health is a critical component to the health of both men and women. Yet the fulfillment of reproductive rights is marked by high maternal mortality rate. This study aims to explore and describe the reproductive rights in setting the number of children and the selection of contraception in employee Midwifery Academy Bina Husada of Jember.

Subject and Methods : This study used a qualitative approach of phenomenology. The sampling technique in this research is purposive sampling.Teknik analysis of the data using an interactive model of Miles and Hubberman.

Results : Results of studies reported that there is no cultural influence on setting the number of children and the selection of contraceptives, economic factors influence on setting the number of children but did not affect the election of contraception. In the case of setting the number of children and the selection of contraceptives is still some employee who received the intervention of the parents / in-laws. In terms of the selection of contraceptive average of the worker decides itself is related to contraception they use. some husbands support of the decision made by the wife. But still there is a husband who does not allow his wife use the contraceptive IUD, there is a presumption that contrasepstion is women's affairs.

Conclusion : That economic factors, social support, marital support arrangements affect the number of children and the selection of contraceptives, while culture has no effect on setting the number of children and the selection of contraceptives.

Keywords : Reproductive Rights, The Number of Chlidren, Selection Tool of Contrasepstion


(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul “Hak Reproduksi Pengaturan Jumlah Anak Dan Pemilihan Alat Kontrasepsi”.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingan baik selama proses pendidikan maupun dalam menyelesaikan tesis ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, Drs., M.S selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program Magister Ilmu Kesehatan Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Prof. Dr. Mohammad Furqon Hidayatullah, M.Pd, M.Sc selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin untuk melaksanakan penelitian ini.

3. Prof. Bhisma Murti, dr, MPH, M.Sc, Ph.D, selaku Kepala Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Ketua tim penguji tesis yang telah memberikan waktu, petunjuk dan dorongan dalam penyusunan tesis ini.

4. Prof. Dr. Ismi Dwi Astuti Nurhaeni., Msi, selaku sekretaris penguji tesis yang telah memberikan waktu, petunjuk dan saran yang berguna dalam penyusunan tesis ini. 5. Prof. Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd selaku pembimbing utama yang telah

memberikan petunjuk, perhatian, bimbingan, dorongan serta saran – saran yang sangat berguna selama penyusunan tesis ini.


(8)

viii

6. Dr. Endang Sutisna Sulaeman, dr., M.kes selaku pembimbing II dalam penelitian ini yang telah meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan tesis ini.

7. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan sehingga tesis ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan tesis ini karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan penulisan ini. Besar harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat bagi para pembaca.

Surakarta, 18 Agustus 2015 Penulis


(9)

ix DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN

HALAMAN KEASLIAN TULISAN ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka B. Penelitian Terdahulu C. Kerangka Berpikir BAB III METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian B. Jenis Penelitian

C. Subjek Penelitian D. Data dan Sumber data E. Teknik sampling

F. Teknik Pengumpulan Data G. Prosedur Penelitian

H. Keabsahan Data I. Teknik Analisa Data

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Diskripsi Lokasi penelitian B. Karakteristik Informan C. Hasil Penelitian

D. Rangkuman Hasil wawancara E. Hasil Observasi

F. Hasil Kajian Dokumen G. Pembahasan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

B. Implikasi C. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... i ii iv v vi vii ix x xi xii 1 5 5 6 8 46 53 54 54 56 56 56 57 59 62 64 66 67 75 123 124 126 128 141 143 144 commit to user


(10)

x

DAFTAR GAMBAR

Hal aman

Gambar 2.1 Gambar 3.1 Gambar 3.2

Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3

Gambar 4.4

Kerangka Berpikir ... Prosedur Penelitian... Model Inetraktif Menurut Miles dan Huberman... Kondisi sekitar lingkungan tempat tinggal Informan... Kondisi Keluarga informan... Kondisi Rumah Informan... Kartu Akseptor Karyawati...

53 59 65 125 126 126 127


(11)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1

Tabel 4.2

Tabel 4.3 Tabel 4.4

Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7

Tabel 4.8 Tabel 4.9

Tabel Karateristik Informan...

Tabel Dukungan Sosial Terhadap Pemenuhan Hak Reproduksi Dalam Menentukan Jumlah Anak...

Pemahaman Informan Karyawati Terhadap Hak Reproduksi... Pemahaman Informan Suami Karyawati Terhadap Hak Reproduski... Jumlah Anak yang Diinginkan Oleh Informan Karyawati... Jumlah Anak Yang Diinginkan Oleh Suami Karyawati... Jenis Metode Kontrasepsi yang diikuti oleh Informan karyawati... Keputusan Awal Menggunakan Alat Kontrasepsi... Bentuk Dukungan Suami Terhadap Pemilihan Alat Kontrasepsi...

67 98

107

109 110 111

115 122

122


(12)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Rencana Permohonan Persetujuan Menjadi Informan

Lampiran 2 : Rencana lembar persetujuan setelah mendapat penjelasan

(informed consent)

Lampiran 3 : Pedoman wawancara Lampiran 4 : Karakteristik Informan

Lampiran 5 : Hasil wawancara pada informan karyawati dan suami Lampiran 6 : Hasil wawancara pada informan orang tua/mertua Lampiran 7 : Hasil wawancara pada informan bidan praktek mandiri Lampitan 8 : Foto hasil penelitian

Lampiran 9 : Surat Ijin Penelitian


(13)

1 BAB 1 PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kesehatan reproduksi merupakan komponen penting bagi kesehatan pria maupun wanita. Keadaan penyakit pada wanita lebih banyak dihubungkan dengan fungsi dan kemampuan bereproduksi serta tekanan sosial karena masalah gender. Setiap manusia dilahirkan dengan hak individu yang melekat pada masing-masing individu. Hak tersebut hanya bisa dijamin dengan menekankan kewajiban masyarakat dan negara untuk memastikan kebebasan dan kesempatan warga negaranya untuk memperoleh kebebasan hak asasinya. Pemikiran mengenai hak reproduksi merupakan perkembangan dari konsep hak asasi manusia. Sebuah konsep yang berkembang sebagai bentuk reaksi terhadap pandangan yang membahas laju pertumbuhan penduduk dengan tingkat kesejahteraan masyarakat (Ekasari, 2009)

Di beberapa negara termasuk Indonesia, pengabaian terhadap hak reproduski masih sering terjadi. Salah satu bentuk pengabaian hak reproduksi, masih tingginya angka mortalitas dan morbiditas ibu di Indonesia. Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia menurut hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menyebutkan bahwa AKI untuk periode 5 tahun sebelum survei (2003-2007) sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab lain terjadinya AKI adalah dengan adanya 4 terlalu yaitu terlalu muda untuk hamil/melahirkan (<18 tahun), terlau tua untuk melahirkan (>34 tahun), terlalu sering melahirkan (>3 kali) terlalu dekat jarak antara kehamilan sebelumnya dengan kehamilan berikutnya


(14)

(<2tahun). Angka ini turun dibandingkan AKI SDKI tahun 2002-2003 yang mencapai 307 per 100.000 kelahiran hidup, namun tahun 2012 menyebutkan AKI sebesar 359 per 100.000 (Profil Kesehatan Indonesia 2012).

Sebagaimana yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tahun 61 tahun 2014 tentang hak reproduksi mengatakan bahwa Setiap orang berhak mendapatkan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang keluarga berencana. Pada pasal 22 bahwa setiap orang berhak memilih metode kontrasepsi untuk dirinya tanpa paksaan. Metode kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai pilihan pasangan suami istri dengan mempertimbangkan usia, paritas, jumlah anak, kondisi kesehatan, dan norma agama. Hal tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah didalam melindungi hak reproduksi setiap pasangan suami istri terutama dalam hal pemilihan alat kontrasepsi dan pengaturan jumlah anak.

Pada tahun 1994 diselenggarakan International Conference on Population and

Development (ICPD), konferensi tersebut menyepakati kebijakan baru tentang

pembangunan dan kependudukan, yang tercantum dalam program aksi 20 tahun ditujukan untuk menstabilkan pertumbuhan penduduk yang berorientasi pada kepentingan pembangunan manusia, Salah satu program aksi 20 tahun tersebut adalah mengintergrasikan program keluarga berencana ke dalam agenda kesehatan perempuan yang lebih luas. Hal ini berarti perempuan memiliki hak dalam hal pemilihan metode kontrasepsi yang akan digunakannya (Maryanti, 2009).

Definisi kesehatan reproduksi menurut hasil ICPD 1994 adalah keadaan sempurna fisik, mental dan kesejahteraan sosial dan tidak semata-mata ketiadaan penyakit atau kelemahan, dalam segala hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsi dan proses. Hal ini berarti bahwa setiap orang mampu memiliki


(15)

kehidupan seksual yang memuaskan dan aman bagi dirinya, juga mampu menurunkan serta memenuhi keinginannya tanpa ada hambatan apa pun, kapan, dan berapa banyak untuk memiliki keturunan (Kusmiran, 2012).

Menurut pasal 7 Program aksi Kairo yang dimaksud dengan kesehatan reproduksi adalah kondisi kesehatan yang tidak hanya menekankan pada aspek ketimpangan antara kesehatan antara laki-laki dan perempuan yang terbentuk dalam masyarakat yang disebut gender. Gender membedakan peran dan interaksi sosial antara laki-laki dan perempuan. Pembedaan ini tidak hanya berpengaruh terhadap aspek hubungan antar pribadi tapi juga semua aspek sosial seperti akses terhadap sumber daya, produksi, kerja, pendapatan dan kekuasaan (Yuliani, 2006).

Belum terpenuhinya hak reproduksi ditandai dengan masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI), sesuai dengan data yang diperoleh AKI di Indonesia pada tahun 2012 yaitu 359/100.000 KH , sedangkan target MDGs terkait dengan AKI di Indonesia yaitu 102/100.000 KH. Banyak penyebab mengapa target tersebut belum tercapai sesuai dengan target yang ditentukan salah satunya disebabkan karena belum terpenuhinya hak reproduksi itu sendiri. Selain itu jumlah penduduk yang terus melaju dapat kita lihat dalam hasil pencacahan Sensus Penduduk 2013 jumlah penduduk Indonesia adalah sebesar 248.422.956 jiwa, terdiri dari 125.058.484 laki-laki dan 123.364.472 perempuan yang sebelumnya yaitu 241.452.952 jiwa, salah satu kemungkinan penyebab dari meningkatnya penduduk Indonesia adalah peningkatan angka kelahiran.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Titik (2011) di Kabupaten Semarang menggambarkan bahwa proses pengambilan keputusan dalam pemilihan metode kontrasepsi adalah sebagian besar dengan musyawarah, peran suami sangat kurang


(16)

dan masih ada anggapan bahwa KB adalah masalah perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh Dalem (2012) di Kabupaten Klungkung, menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi bias gender dalam penggunaan kontrasepsi meliputi budaya patriarki, tradisi, ideologi gender.

Jumlah cakupan Kb di kabupaten Jember didominasi kaum wanita hal ini dibuktikan dengan data cakupan KB akitf pada tahun 2013, pengguna metode kontrasepsi MOP (Modus Operasi Pria) yaitu sebanyak 1021 akseptor , sedangkan pengguna metode kontrasepsi Implant sebanyak 30,196 akseptor, suntik 128,631 akseptor, pil 121,453 akseptor dan IUD sebanyak 93,454 akseptor. Hal ini membuktikan masih minimnya keikutsertaan para pria dalam program keluarga berencana (BP2KB Kab. Jember, 2013)

Banyak penelitian tentang pemenuhan hak-hak reproduksi wanita pada masyarakat umum khususnya ibu rumah tangga tetapi jarang sekali kita temukan pada wanita yang bekerja di unit pelayanan kesehatan atau pendidikan kesehatan, padahal para wanita ini diharapkan mampu untuk menerapkan hak-hak reproduksinya sendiri sebelum mereka memberikan pelayanan kesehatan kepada orang lain terkhusus kesehatan reproduksi.

Dari hasil wawancara awal yang dilakukan pada karyawati Akademi Kebidanan Bina Husada Jember menyatakan bahwa hak penentuan jumlah anak sebagai hak suami-istri bukan hanya terletak pada mereka tetapi juga kepada orang tua pasangan dalam hal ini orang tua pihak suami maupun istri. Beberapa karyawati menyatakan bahwa mereka lebih memilih metode kontrasepsi pil, suntik dan metode kontrasepsi alamiah dari pada metode kontrasepsi IUD (Intra Uterine

Devices) dan implant dengan alasan takut pada saat akan dilakukan pemasangan.


(17)

Latar belakang budaya, tradisi dan kepercayaan masing masing individu kemungkinan bisa mempengaruhi persepsi mereka dalam hal hak reproduksi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh tersebut terhadap persepsi masing-masing informan. Beberapa hal inilah yang mendorong peneliti untuk dilakukan penelitian tentang hak reproduksi pengaturan jumlah anak dan pemilihan alat kontrasepsi pada karyawati Akademi Kebidanan Bina Husada Jember Tahun 2015.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan dari uraian latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah persepsi tradisi budaya setempat terhadap pemenuhan hak reproduksi dalam menentukan jumlah anak dan pemilihan alat kotrasepsi ? 2. Bagaimanakah persepsi dukungan sosial terhadap pemenuhan hak reproduksi

dalam menetukan jumlah anak dan pemilihan alat kontrasepsi.

3. Bagaimanakah persepsi tingkat sosial ekonomi terhadap pemenuhan hak reproduksi dalam menentukan jumlah anak dan pemilihan alat kontrasepsi. 4. Bagaimanakah persepsi dukungan pasangan usia subur terhadap pemenuhan hak

reproduksi dalam menentukan jumlah anak dan pemilihan alat kontrasepsi. C. TUJUAN PENELITIAN

1. TUJUAN UMUM

Mengeksplorasi dan mendeskripsikan hak reproduksi dalam pengaturan jumlah anak dan pemilihan alat kontrasepsi pada karyawati Akademi Kebidanan.


(18)

2. TUJUAN KHUSUS

a. Mengeksplorasi persepsi tradisi budaya setempat terhadap pemenuhan hak reproduksi dalam menentukan jumlah anak dan pemilihan alat kontrasepsi. b. Mengeksplorasi persepsi dukungan sosial terhadap pemenuhan hak reproduksi dalam menetukan jumlah anak dan pemilihan alat kontrasepsi. c. Mengeksplorasi persepsi tingkat sosial ekonomi terhadap pemenuhan hak

reproduksi dalam menentukan jumlah anak dan pemilihan alat kontrasepsi. d. Mengeksplorasi persepsi dukungan pasangan usia subur terhadap pemenuhan hak reproduksi dalam menentukan jumlah anak dan pemilihan alat kontrasepsi.

3. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi kajian ilmiah dalam hak reproduksi dalam pengaturan jumlah anak dan pemilihan alat kontrasepsi.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Isteri

Memberikan informasi pada isteri untuk mengetahui hak reproduksi dalam hal penentuan jumlah anak dan menentukan alat kontrasepsi. b. Bagi Suami

Memberikan informasi pada suami untuk mengetahui hak reproduksi dalam hal penentuan jumlah anak dan menentukan alat kontrasepsi kontrasepsi.

c. Bagi Peneliti


(19)

Memberikan pengalaman nyata dalam melakukan penelitian tentang hak reproduksi penentuan jumlah anak dan pemilihan alat kontrasepsi kontrasepsi dan sebagian motivator tersendiri bagi peneliti untuk melaksanakan ilmu yang didapat dimasyarakat.

d. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan dan Pendidikan

Sebagai bahan masukan dalam upaya menyediakan layanan konseling, membantu dalam upaya mencarikan jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi suami isteri dan juga sebagai masukan bagi karyawan Akademi Kebidanan Bina Husada untuk lebih memahami pentingnya hak reproduksi terutama dalam hal pemilihan alat kontrasepsi dan menentukkan jumlah anak.


(20)

BAB II

LANDASAN TEORI A. KAJIAN TEORI

1. Konsep Dasar Hak Reproduksi a. Pengertian

Definisi kesehatan reproduksi menurut ICPD Kairo (1994) yaitu suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya. Dengan adanya definisi tersebut maka setiap orang berhak dalam mengatur jumlah keluarganya, termasuk memperoleh penjelasan yang lengkap tentang cara-cara kontrasepsi sehingga dapat memilih cara yang tepat dan disukai. Selain itu, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi lainnya, seperti pelayanan antenatal, persalinan, nifas dan pelayanan bagi anak, dan kesehatan remaja perlu dijamin (Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia, 2005).

Hak reproduksi adalah hak seseorang untuk mempunyai kehidupan seks yang memuaskan, aman dan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi dan kebebasan untuk menentukan apakah mereka ingin melakukannya, bilamana dan seberapa seringkah (Rahmawati, 2003).

Penyadaran terhadap perempuan atas reproduksinya perlu diberi beberapa pengertian yang lebih khusus, yaitu apa yang disebut dengan hak, kesehatan, dan reproduksi itu sendiri. Hak adalah kewenangan yang melekat pada diri untuk melakukan atau tidak melakukan, memperoleh atau tidak


(21)

memperoleh sesuatu. Kesadaran tentang hak sebagai manusia dan sebagai perempuan sebagai kekuatan bagi perempuan untuk melakukan berbagai aktivitas bagi kepentingan diri, keluarga, dan masyarakat. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis (UUD RI No 36). Reproduksi adalah menghasilkan kembali atau kemampuan perempuan untuk menghasilkan keturunan secara berulang. Ketiga aspek ini yaitu hak, kesehatan, dan reproduksi saling berhubungan satu sama lainnya dan saling mempengaruhi, yang dapat membuat seseorang sakit atau sehat (Zulifarni, 2003).

Berdasarkan definisi di atas maka makna hak kesehatan reproduksi adalah sekumpulan metode teknik, dan pelayanan yang mendukung kesehatan dan kesejahteraan reproduksi melalui pencegahan dan penyelesaian masalah kesehatan reproduksi yang mencakup kesehatan seksual, status kehidupan dan hubungan perorangan, bukan semata konsultasi dan perawatan yang bertalian dengan penyakit reproduksi yang ditularkan melalui hubungan seks. b. Hak-hak reproduksi menurut ICPD bertujuan untuk mewujudkan kesehatan

bagi individu secara utuh, baik kesehatan jasmani maupun rohani, 12 hak reproduksi tersebut adalah sebagai berikut :

1) Hak mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan dan reproduksi. 2) Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi. 3) Hak kebebasan berfikir tentang pelayanan kesehatan reproduksi. 4) Hak untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan.

5) Hak untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran anak. commit to user


(22)

6) Hak atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan reproduksinya.

7) Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan, dan pelecehan seksual.

8) Hak mendapatkan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi.

9) Hak atas pelayanan dan kehidupan reproduksinya. 10) Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga.

11) Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan berkeluarga dan kehidupan reproduksi.

12) Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi.

c. Tujuan Hak Reproduksi

Tujuan hak reproduksi menurut Sanusi dan Arma (2009) adalah:

1) Untuk memastikan informasi yang menyeluruh dan faktual serta beragam pelayanan pemeliharaan kesehatan reproduksi, tersedia, terjangkau, dan dapat diterima serta cocok untuk semua pemakai.

2) Untuk memungkinkan dan mendukung keputusan sukarela yang bertanggung jawab dalam hal kehamilan dan metode keluarga berencana pilihan mereka, dan metode lain pilihan mereka dalam hal pengaturan kesuburan yang tidak bertentangan dengan hukum serta mempunyai informasi, pendidikan, dan cara untuk memperolehnya.


(23)

3) Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kesehatan reproduksi yang mengalami perubahan sepanjang siklus hidup dan melakukan hal itu dengan cara yang peka terhadap keanekaragaman keadaan masyarakat setempat.

2. Konsep Dasar Alat Kontrasepsi a. Pengertian Kontrasepsi

Pengertian kontrasepsi adalah upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan (Winjosastro, 2006). Kontrasepsi Menurut Buku Petugas Fasilitas Pelayanan Keluarga Berencana (Depkes RI, 2005) berasal dari kata “kontra” berarti mencegah atau melawan, sedangkan “konsepsi” adalah pertemuan antara sel telur (sel wanita) yang matang dan sel sperma (sel pria) yang mengakibatkan kehamilan. Kontrasepsi adalah upaya mencegah kehamilan yang bersifat sementara ataupun menetap dan dapat dilakukan tanpa menggunakan alat, secara mekanis, menggunakan obat/alat atau dengan operasi (Manuaba, 2001).

b. Macam-macam metode kontrasepi

Macam-macam metode kontrasepsi menurut Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi (2010) adalah sebagai berikut:

1) Metode Amenorea Laktasi (MAL)

Metode Amenorea Laktasi (MAL) adalah kontrasepsi yang mengandalkan pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif, artinya hanya diberikan ASI tanpa tambahan makanan atau minuman apa pun lainnya. Metode MAL dapat dipakai sebagai kontrasepsi bila menyusui secara penuh (full breast feeding) lebih efektif bila pemberian kurang lebih


(24)

8x sehari, belum haid, umur bayi kurang dari 6 bulan. Cara kerja yaitu penudaan/penekanan ovulasi.

Keuntungan kontrasepsi Metode Amenorea Laktasi (MAL) ini adalah efektivitas tinggi, segera efektif, tidak menganggu senggama, tidak ada efek samping secara sistemik, tidak perlu pengawasan medis, tidak perlu obat atau alat, tanpa biaya.

Keuntungan nonkontrasepsi Metode Amenorea Laktasi (MAL) untuk bayi adalah mendapatkan kekebalan pasif, sumber asupan gizi yang terbaik dan sempuran untuk tumbuh kembang bayi yang optimal, terhindar dari keterpaparan kontaminasi dari air, susu formula atau alat minum yang dipakai.

Keuntungan nonkontrasepsi Metode Amenorea Laktasi(MAL)untuk ibu adalah mengurangi perdarahan pascapersalinan, mengurangi resiko anemia, meningkatkan hubungan psikologik ibu dan bayi.

Keterbatasan kontrasepsi Metode Amenorea Laktasi (MAL) perlu persiapan perawatan kehamilan agar segera menyusui dalam 30 menit pascapersalinan, mungkin sulit dilaksanakan karena kondisi sosial, efektivitas tinggi hanya sampai kembalinya haid atau samapai dengan 6 bulan.

2) Metode Keluarga Berencana Alamiah (KBA)

Pada metode ini ibu harus mengetahui kapan masa suburnya berlangsung, efektif bila dipakai dengan tertib, tidak ada efek samping, pasangan sukarela menghindari senggama pada masa subur ibu.


(25)

Ada berbagai macam metode Keluarga Berencana Alamiah (KBA). Metode lendir serviks atau dikenal sebagai Metode Ovulasi Billings

(MOB) adalah yang paling efektif. Cara yang kurang efektif misalnya sistem kalender atau pantang berkala dan metode suhu basal yang sudah tidak diajarkan lagi oleh pengajar KBA. Hal ini disebabkan oleh kegagalan yang cukup tinggi (>20%) dan waktu pantang yang lebih lama. Di Indonesia dengan surat dari BKKBN Pusat kepada BKKBN Provinsi dengan SK 6668/K.S.002/E2/90, Tgl.28 Desember 1990, Metode Ovulasi Billing (MOB) sudah diteriam sebagai salah satu metode KB (mandiri). 3) Senggama Terputus

Senggama terputus adalah metode keluarga berenacan tradisional, di mana pria mengelurarkan alat kelaminya (penis) dari vagina sebelum pria mencapai ejakulasi. Cara kerjanya adalah alat kelamin (penis) dikeluarkan sebelum ejakulasi sehingga sperma tidak masuk kedalam vagina sehingga tidak ada pertemuan antara sprema dan ovum, dan kehamilan dapat dicegah.

Manfaat kontrasepsi efektif bila dilaksanakan dengan benar, tidak mengganngu produksi ASI, dapat digunakan sebagai pendukung metode KB lainnya, tidak ada efek samping, dapat digunakan setiap waktu, tidak membutuhkan biaya. Manfaat nonkontrasepsi meningkatkan keterlibatan suami dalam keluarga berencana, untuk pasangan memungkinkan hubungan lebih dekat dan pengertian yang sangat dalam.

Keterbatasan efektivitas sangat bergantung pada kesediaan pasangan untuk melakukan sanggama terputus setiap melaksanakannya, efektifitas


(26)

akan jauh menurun apabila sperma dalam 24 jam sejak ejakulasi masih melekat pada penis, memutuskan kenikmatan dalam berhubungan seksual. 4) Metode Barier

Beberapa jenis metode barier dalam metode kontrasepi diantaranya adalah:

a) Kondom dapat dipakai bersama kontrasepsi lain untuk mencegah Infeksi Menular Seksual (IMS), termasuk HIV/AIDS pada perempuan yang beresiko terpapar penyakit tersebut. Kondom merupakan selubung/sarung karet yang dapat terbuat dari berbagai bahan diantaranya lateks (karet), plastik (vinil), atau bahan alami (produksi hewani) yang dipasang pada penis saat hubungan seksual. Kondom cukup efektif bila dipakai secara benar pada setiap kali berhubungan seksual. Manfaat kontrasepsi adalah efektif bila digunakan dengan benar, tidak mengganggu produksi asi, tidak mengganggu kesehatan klien. Manfaat nonkontrasepsi memberi dorongan suami untuk ber – KB, mencegah ejakulasi dini.

b) Diafragma adalah kap berbentuk bulat cembung, terbuat dari lateks (karet) yang diinsersikan kedalam vagina sebelum berhubungan seksual dan menutup serviks. Cara kerja menahan sperma agar tidak mendapatkan akses mencapai saluran alat reproduksi bagian atas (uterus dan tuba falopii) dan sebagai alat tempat spermisida.

c) Spermisida adalah bahan kimia (biasanya non oksinol-9) digunakan untuk menonatifkan atau membunuh sperma. Dikemas dalam bentuk: aerosol, tablet vaginal, suppositoria, atau dissolvable film, krim. Cara


(27)

kerja menyebabkan sel membran terpecah, memeperlambat pergerakan sperma, dan menurunkan pembuahan sel telur.

5) Kontrasepsi Kombinasi (Hormon Estrogen Dan Progesteron) Kontrasepsi jenis ini terbagi menjadi 2 yaitu :

a) Pil Kombinasi

Efektif dan reversibel, harus diminum setiap hari, pada bulan-bulan pertama efek samping berupa mual dan perdarahan bercak yang tidak berbahaya dan segera akan hilang, efek samping serius sangat jarang terjadi, dapat dipakai oleh semua ibu usia reproduksi, baik yang sudah mempunyai anak maupaun belum, dapat mulai diminum setiap saat bila yakin sedang tidak hamil, tidak dianjurkam pada ibu yang menyusui, dapat dipakai sebagai kontrasepsi darurat.

Cara kerjanya adalah menekan ovulasi, mencegah implantasi, lendir serviks mengental sehingga sulit dilalui oleh sperma, pergerakan tuba terganggu sehingga transportasi telur dengan sendirinya akan terganggu pula.

b) Suntikan Kombinasi

Jenis suntikan kombinasi adalah 25 mg Depo Medrosiprogesteron Asetat dan 5 mg Estradiol Sipionat yang diberikan injeksi IM, sebulan sekali (cyclofem), dan 50 mg Noretindron Enantat dan 5 mg Estradiol Valerat yang diberikan injeksi I.M sebulan sekali.

Cara kerja menekan ovulasi, membuat endir serviks menjadi lebih kental sehingga penetrasi terganggu, perubahan pada endometrium


(28)

(atrofi) sehingga implantasi terganggu, menghambat transportasi gamet oleh tuba.

6) Kontrasepsi Progestin

a) Kontrasepsi suntik progestin

Kontrasepsi ini sangat efektif, aman, dapat dipakai oleh semua perempuan dalam usia reproduksi, kembalinya kesuburan lebih lambat, rata-rata 4 bulan, cocok untuk masa laktasi karena tidak menekan produksi ASI. Tersedia 2 jenis kontrasepsi suntikan yang hanya mengandung progestin, yaitu Depo Medroksiprogesteron Asetat (Depoprovera), Depo Noretisteron Enantat (Depo Noristerat). Kedua kontrasepsi tersebut memiliki efektifitas yang tinggi, dengan 0,3 kehamilan per 100 perempuan/tahun, asalkan penyuntikan dilakukan secara teratur sesuai jadwal yang telah ditentukan.

7) Kontrasepsi Pil Progestin (Minipil)

Cocok untuk perempuan menyusui yang ingin memakai pil KB, sangat efektif pada masa laktasi, dosis rendah, tidak menurunkan produksi estrogen, efek samping utama adalah gangguan perdarahan, perdarahan bercak, atau perdarahan tidak teratur, dapat dipakai sebagai kontrasepsi darurat.

8) Kontrasepsi Implan

Efektif 5 tahun untuk Norplant, 3 tahun untuk Jadena, Indoplant atau implanon, nyaman, dapat dipakai oleh semua ibu dalam usia reproduksi, pamasangan dan pencabutan perlu pelatihan, kesuburan segera kembali setelah implan dicabut, efek samping utama berupa


(29)

perdarahan tidak teratur, perdarahan bercak dan amenorea, aman dipakai pada masa laktasi.

9) AKDR dengan Progestin

Jenis AKDR yang mengandung hormon steroid adalah progestin yang mengandung progesteron dari mirena yang mengandung levonorgestrel.

a) Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)

Jenis KB ini sangat efektif, reversibel dan berjangka panjang (dapat sampai 10 tahun: CuT-380A), haid menjadi lebih lama dan lebih banyak, pemasangan dan pencabutan memerlukan pelatihan, dapat dipakai oleh semua perempuan usia reproduksi, tidak boleh dipakai oleh perempuan yang terpapar pada infeksi Menular seksual (IMS). Jenis kontrasepsi ini adalah AKDR CuT-380A, AKDR lain yang beredar di Indonesia ialah NOVA T (Schering).

Cara kerja : mengahambat kemampuan sperma untuk masuk ke tuba falopii, mempengaruhi fertilisasi sebelum ovum mencapai kavum uteri, AKDR bekerja terutama mencegah sperma dan ovum bertemu, walaupun AKDR membuat sperma sulit masuk ke dalam alat reproduksi perempuan dan mengurangai kemampuan sperma untuk fertilisasi, memungkingkan untuk mencegah implantasi telur dalam uterus.


(30)

10) Kontrasepsi Mantap a) Tubektomi

Tubektomi adalah prosedur bedah sukarela untuk menghentikan fertilisasi (kesuburan) seorang perempuan. Sangat efektif dan permanen, tindak pembedahan aman dan sederhana, tidak ada efek samping, konseling dan informed consent

(persetujuan tindakan) mutlak diperlukan. b) Vasektomi

Vasektomi adalah prosedur klinik untuk menghentikan kapasitas reproduski pria dengan melakukan oklusi vasa deferensia sehingga alur transportasi sperma terhambat dan proses fertilisasi (penyatuan dengan ovum) tidak terjadi.

Sangat efektif, tidak ada efek samping jangka panjang, tindak bedah yang aman dan sederhana, efektif setelah 20 ejakulasi setelah 20 ejakulasi atau 3 bulan, konseling dan informed consent

mutlak diperlukan. c) Rekanalisasi

Operasi rekanalisasi dengan teknik bedah mikro sudah banyak dikembangkan. Teknik ini tidak saja menyambung kembali tuba falopii dengan baik, tetapi juga menjamin kembalinya fungsi tuba. Hal ini disebabkan oleh teknik bedah mikro yang secara akurat menyambung kembali tuba dengan trauma yang minimal, mengurangi perlekatan pascaoperasi, mempertahankan fisiologi


(31)

tuba, serta menjamin fimbriae tuba tetap bebas sehingga fungsi penangakapan ovum masih tetap baik.

c. Memilih Metode Kontrasepsi

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suatu metode kontrasepsi adalah aman/tidak berbahaya, dapat dikendalikan, sederhana, sedapat-dapatnya tidak usah dikerjakan oleh seorang dokter, murah, dapat diterima oleh orang banyak, pemakaian jangka lama (continuation rate tinggi) (Hartono, 2004). d. Faktor-faktor dalam memilih metode kontrasepsi

Dalam hal pemilihan metode kontrasepsi ada beberapa faktor yang berpengaruh diantaranya adalah :

1) Faktor pasangan yaitu motivasi meliputi hak reproduksidan menentukan jumlah anak. Rehabilitas meliputi umur, gaya hidup, frekuensi senggama, jumlah keluarga yang diingikan, pengalaman dengan kontraseptivum yang lalu, sikap kewanitaan, sikap kepriaan.

2) Faktor kesehatan yaitu kontraindikasi absolut atau relatif meliputi status kesehatan, riwayat haid, riwayat keluarga, pemeriksaan fisik, pemeriksaan panggul.

3) Faktor metode kontrasepsi yaitu penerimaan dan pemakaian berkesinambungan meliputi efektivitas, efek samping minor, kerugian, komplikasi – komplikasi yang potensial, biaya. (Hartono, 2004)

e. Memilih Metode Kontrasepsi

Dalam hal memilih metode kontrasepsi, harus dapat memandangnya dari dua sudut yang pertama adalah pihak akseptor. Ada 2 hal yang sangat penting


(32)

yang ingin diketahui oleh pasangan calon akseptor, yaitu efektifitas dan keamanan. Hal berikutnya adalah dari pihak medis/petugas KB.

Di samping kedua hal tersebut di atas, untuk pihak medis/petugas KB masih ada hal-hal lain yang penting dan perlu dipertimbangkan yaitu upaya melindungi kesuburan/fertilitas dari akseptor, keuntungan non-kontraseptif, kontraindikasi, tanda – tanda bahaya, menghindari pendekatan “Poli -farmasi”, kerjasama antara suami-istri.

3. Pengaturan Jumlah anak

Anak adalah harapan atau cita-cita dari sebuah perkawinan. Berapa jumlah yang diinginkan, tergantung dari keluarga itu sendiri. Apakah satu, dua, tiga dan seterusnya. Dengan demikian keputusan untuk menentukan jumlah anak adalah sebuah pilihan, yang mana pilihan tersebut sangat dipengaruhi oleh nilai yang dianggap sebagai satu harapan atas setiap keinginan yang dipilih oleh orang tua Program KB selain upaya untuk mewujudkan keluarga berkualitas melalui promosi, perlindungan, dan bantuan dalam mewujudkan hak-hak reproduksi juga untuk penyelenggaraan pelayanan, pengaturan, dan dukungan yang diperlukan untuk membentuk keluarga dengan usia kawin yang ideal, mengatur jumlah, jarak dan usia ideal melahirkan anak (Kusumaningrum, 2009).

Salah satu faktor yang paling mendasar mempengaruhi perilaku pemakaian kontrasepsi adalah jumlah anak yang diinginkan PUS. Sejalan dengan konsep keluarga kecil, yang saat ini dikenal dengan pesan “dua anak lebih baik”, maka konsep jumlah anak yang diinginkan PUS akan berpengaruh terhadap tercapainya konsep keluarga kecil (Hastono, 2009)


(33)

Definisi Keluarga Berencana menurut WHO (World Health Organisation) adalah tindakan yang membantu individu atau pasangan suami isteri untuk mengindari kelahiran yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang diinginkan, mengatur interval diantara kelahiran, mengontrol waktu saat kelahiran dalam hubungan dengan umur suami dan istri, menetukan jumlah anak dalam keluarga (WHO cit Hartanto, 2004).

Sementara itu menurut UU No.10 tahun 1992 Pasal 18 menyatakan bahwa setiap pasangan suami istri dapat menentukan pilihannya dalam merencanakan dan mengatur jumlah anak dan jarak antara kelahiran anak yang berlandaskan pada kesadaran dan tanggung jawab terhadap generasi sekarang maupun yang akan datang. Dalam merencanakan jumlah anak dalam keluarga, suami dan istri perlu mempertimbangkan aspek kesehatan dan kemampuan untuk memberikan pendidikan dan kehidupan yang layak. Dalam hal ini suami dan istri perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan 4 terlalu yaitu telalu muda untuk hamil/melahirkan (<18 tahun), terlalu tua untuk melahirkan (>34 tahun), terlalu sering melahirkan (> 3 kali), terlalu dekat jarak antara kehamilan sebelumnya dengan kehamilan berikutnya (< 2 tahun).

Merencanakan jumlah anak dalam keluarga dapat dilakukan dengan memperhatikan usia reproduksi istri. Program KB selama ini telah banyak mengubah struktur kependudukan Indonesia, tidak saja dalam arti menurunkan tingkat kelahiran dan laju pertumbuhan penduduk namun juga mengubah pandanganhidup penduduk terhadap nilai anak serta kesejahteraan dan ketahanan keluarga (Kusumaningrum, 2009).


(34)

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemenuhan Hak-Hak Reproduksi Anak adalah harapan atau cita- cita dari sebuah perkawinan. Berapa jumlah yang diinginkan, tergantung dari keluarga itu sendiri. Dengan demikian keputusan untuk memiliki sejumlah anak adalah sebuah pilihan, yang mana pilihan tersebut sangat dipengaruhi oleh nilai yang dianggap sebagai suatu harapan atas setiap keinginan yang dipilih orang tuanya (Kamaludin, 2012).

Selain itu pemeliharaan kesehatan reproduksi suami istri sebagai keluarga mempunyai hak untuk menentukan tindakan yang terbaik berkaitan dengan fungsi dan proses memfungsikan alat reproduksinya. Segala sesuatu yang mempengaruhi sikap dan perilaku dalam berbagai bentuk anjuran, meskipun dengan tujuan mulia hak memutuskan tetap berada pada pasangan suami istri. (Kamaludin, 2102)

Green (2005) menyatakan, terdapat 3 faktor yang mendasari perilaku pasien yaitu faktor predisposisi (presdiposing factor), faktor pemungkin

(enabling factor), dan faktor penguat (reinforcing factor). yakni :

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors)

Faktor predisposisi merupakan faktor yang memotivasi suatu perilaku atau mempermudah terjadinya perilaku seseorang (Grenn and Kreuter, 2005 cit

Glanz, Karen 2008). Pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut oleh masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan lain sebagainya. Ikhwal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : Untuk perilaku kesehatan misalnya pemeriksaan kesehatan bagi ibu hamil diperlukan pengetahuan dan kesadaran ibu tersebut tentang


(35)

manfaat periksa hamil, baik bagi kesehatan ibu sendiri dan janinnya. Disamping kepercayaan, tradisi dan sistem nilai masyarakat juga dapat mendorong atau menghambat ibu tersebut untuk periksa kehamilan. Misalnya orang hamil tidak boleh di suntik (periksa hamil termasuk suntik/imunisasi anti tetanus), karena suntikan bisa menyebabkan anak cacat. Faktor predisposisi merupakan faktor yang memotivasi suatu perilaku atau mempermudah terjadinya perilaku seseorang.

b. Faktor - faktor pemungkin (enabling factors)

Faktor pemungkin merupakan faktor yang mengikuti tingkah laku atau perubahan lingkungan yang memberikan motivasi untuk mewujudkan kebijakan lingkungan dimana motivasi untuk terjadinya perubahan perilaku bisa terwujud (Grenn and Kreuter, 2005 cit Glanz, Karen 2008). Biaya informasi tentang kesehatan, pelayanan kesehatan dan media informasi menjadi faktor pemungkin bagi setiap individu untuk berperilaku. Hal ini disebabkan karena seseorang akan mendapat dan mencari informasi kesehatan maupun mendapat atau mencari informasi mengenai pencegahan dan pengobatan apabila adanya akses informasi kesehatan dan media informasi, faktor lingkungan juga memiliki andil untuk mempengaruhi perilaku karena faktor lingkungan dapat memfasilitasi perilaku atau tindakan tersebut seperti biaya akses informasi dan biaya ke faslitas kesehatan sehingga individu dapat mencari informasi mengenai perkembangan tren kesehatan, pencegahan penyakit dan pengobatan yang dibutuhkan (Green, 2005).


(36)

Faktor - faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat , misalnya puskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktek swasta, dan sebagainya. Termasuk juga fasilitas kesehatan sepertiair bersih, tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja, ketersediaan makanan yang bergizi dan sebagainya. Untuk berperilaku sehat dan pemenuhan hak reproduksi masyarakat memerlukan sarana dan prasarana yang mendukung. Ibu yang mau menjadi akseptor KB tidak hanya karena dia tahu dan sadar manfaat dari pemakaian alat kontrasepsi saja, melainkan ibu tersebut dengan mudah harus dapat memperoleh fasilitas yang memadai, misalnya ketersediaan alat kontrasepsi, puskesmas, polindes, bidan praktek, ataupun rumah sakit. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan.

c. Faktor Penguat (reinforcing factor)

Faktor penguat yaitu faktor yang mengikuti tingkah laku yang mendorong ketekunan atau perilaku yang berulang dimana faktor tersebut diperoleh dari orang terdekat dan adanya dukungan sosial yang diberikan ke individu tersebut seperti keluarga, teman, guru, maupun petugas kesehatan yang dapat memperkuat perilaku (Grenn and Kreuter, 2005 cit Glanz, Karen 2008). Dengan adanya dukungan yang diberikan dari orang – orang terdekat diharapkan dapat mendorong terjadinya perubahan perilaku (Green, 2005)

Faktor ini meliputi sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), dukungan keluarga dan perilaku para petugas kesehatan.Termasuk juga disini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari


(37)

pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengankesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif, dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, para petugas, terlebih pada petugas kesehatan. Undang-undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut.

Dalam penelitian ini faktor yang mempengaruhi hak reproduksi pengaturan jumlah anak dan pemilihan alat kontrasepsi meliputi ke 3 faktor tersebut yaitu faktor predisposisi meliputi tradisi budaya setempat, tingkat sosial ekonomi dan tingkat pendidikan, faktor penguat meliputi dukungan sosial, dukungan suami dan dukungan istri dan faktor pemungkin yaitu sarana dan prasana dalam pelayanan kesehatan.

5. Teori Perubahan Perilaku

Teori perubahan perilaku memberikan struktur pendidik yang dapat digunakan untuk merancang program pendidikan secara sistematis, dan untuk menjelaskan bagaimana dan mengapa program ini dapat berjalan secara efektif. Berikut ini merupakan 8 komponen yang berhubungan dengan teori perubahan perilaku: 1. Seseorang telah membentuk niat positif yang kuat (membuat komitmen)

untuk melakukan perubahan perilaku.

2. Terdapat kendala lingkungan yang bisa mencegah terjadinya perubahan perilaku perilaku.

3. Seseorang harus memiliki ketrampilan yang cukup untuk melakukan perubahan perilaku.


(38)

4. Seseorang percaya bahwa perubahan perilaku mendatangkan keuntungan yang lebih besar daripada kerugian (sikap).

5. Seseorang memandang sosial (normatif) mendatangkan tekanan untuk melakukan perilaku daripada tidak melakukannya.

6. Seseorang merasakan bahwa melakukan perilaku yang lebih konsisten dengan citra diri sendiri (norma personal, pribadi standar).

7. Reaksi emosional seseorang untuk melakukan perilaku yang lebih positif dari negatif.

8. Seseorang merasakan bahwa ia memiliki kemampuan untuk melakukan perilaku pada keadaan yang berbeda (selfefficacy, kontrol perilaku). (Bartholomew et al., 2006)

Lewin (2005) berpendapat bahwa perilaku manusia adalah suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong (driving forces) dan kekuatan-kekuatan penahan (restining forces). Perilaku itu dapat berubah apabila terjadi ketidak-seimbangan antara kedua kekuatan tersebut di dalam diri seseorang sehingga ada tiga kemungkinan terjadinya perubahan perilaku pada diri seseorang, yakni:

a. Kekuatan pendorong meningkat. Hal ini terjadi karena adanya stimulus yang mendorong untuk terjadinya perubahan perilaku. Stimulus ini bisa berupa penyuluhan atau informasi sehubungan dengan perilaku yang bersangkutan. Misalnya, seseorang yang belum ikut KB (ada keseimbangan antara pentingnya mempunyai anak sedikit dengan kepercayaan banyak anak banyak rezeki) dapat berubah perilakunya dengan mengikuti KB jikalau kekuatan


(39)

pendorong, yakni pentingnya ber-KB, dinaikkan dengan penyuluhan-penyuluhan atau usaha-usaha lain.

b. Kekuatan penahan menurun. Hal ini terjadi karena adanya stimulus-stimulus yang memperlemah kekuatan penahan tersebut. Dengan keadaan semacam ini jelas juga akan terjadi perubahan perilaku. Misalnya pada contoh tersebut di atas. Dengan pemberian pengertian kepada orang tersebut bahwa banyak anak banyak rezeki banyak adalah kepercayaan yang salah, maka kekuatan penahan tersebut melemah dan akan terjadi perubahan perilaku pada orang tersebut.

c. Kekuatan pendorong meningkat, kekuatan pendorong menurun. Dengan keadaan semacam ini jelas juga akan terjadi perubahan perilaku. Seperti pada contoh di atas juga, penyuluhan KB yang memberikan pengertian terhadap orang tersebut tentang pentingnya ber-KB dan tidak benarnya kepercayaan banyak anak banyak rezeki akan meningkatkan kekuatan pendorong, dan sekaligus menurunkan kekuatan penahan.

6. Tradisi Budaya Setempat

Secara etimologis istilah tradisional berasal dari kata latin traditiwn, yaitu sesuatu yang diteruskan (tranmitet) dari masa lalu ke masa kini. Unsur yang paling menonjol dari tradisi adalah bahwa ia diciptakan melalui tindakan dan perilaku orang, yang diwariskan dari satu generasi ke genarasi berikutnya. Warisan itu berupa materi (kebendaan), tingkah laku, norma dan nilai - nilai, harapan dan cita - cita. Dalam wujud yang kongkret warisan itu tampak dalam seni, kepercayaan dan agama, seni tari, serta monumen - monumen bersejarah (FPIPS UPI, 2015)


(40)

Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa sansekerta yaitu budhhhayah yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. Adapun istilh culture yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata lain colore, artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah atau bertani. Dari asal arti tersebut yaitu colore kemudian

cultur, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan

mengubah alam (Soekanto, 2002).

Selanjutnya, Koentjaraningrat (1990), menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Sistem budaya merupakan komponen dari kebudayaan yang bersifat abstrak dan terdiri dari pikiran - pikiran, gagasan, konsep serta keyakinan. Dengan demikian sistem kebudayaan merupakan bagian dari kebudayaan yang dalam bahasa Indonesia lebih sering disebut sebagai adat istiadat (Koentjaraningrat, 1990).

Menurut Soemardjan dan Soemardi dalam Soekanto (2002) kebudayaan adalah hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarkat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material

culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar

kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat.

Walaupun setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang saling berbeda satu dengan lainnya, namun setiap kebudayaan mempunyai sifat hakikat yang berlaku umum bagi semua kebudayaan dimanapun juga. Sifat hakikat kebudayaan tadi adalah sebagai berikut kebudayaan terwujud dan tersalurkan


(41)

lewat perilaku manusia, kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu generasi tertentu, dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan, kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan tingkah lakunya, kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban, tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan yang dilarang dan tindakan yang diizinkan (Soekanto, 2002).

Baik masalah pemenuhan hak reproduksi, sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan dalam masyarakat dimana mereka berada. Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti persepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab-akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan,seringkali membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan reproduksi. (Khasanah, 2011).

7. Kondisi Sosial Ekonomi

Sosial ekonomi adalah kedudukan atau posisi seseorang dalam kelompok masyarakat yang ditentukan oleh jenis aktivitas ekonomi, pendidikan serta pendapatan (Astrawan, 2014). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sosial berarti segala sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat Sedangkan dalam konsep sosiologi, manusia sering disebut sebagai makhluk sosial yang artinyamanusia tidak dapat hidup wajar tanpa adanya bantuan orang lain disekitarnya. Sehingga kata sosial sering diartikan sebagai hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat. Sementara istilah ekonomi sendiri berasal dari kata Yunani yaitu “oikos” yang berarti keluarga atau rumah tangga dan “nomos” yaitu peraturan, aturan, hukum. Maka secara garis besar ekonomi diartikan


(42)

sebagai aturan rumah tangga atau manajemen rumah tangga. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ekonomi berarti ilmu yang mengenai asas-asas produksi, distribusi dan pemakaian barang-barang serta kekayaan (seperti keuangan, perindustrian dan perdagangan). Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sosial ekonomi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara lain sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Pemenuhan kebutuhan tersebut berkaitan dengan penghasilan (Jaya, 2011).

Dalam konteks pemilihan alat kontrasepsi dan pengaturan jumlah anak, berpengaruh terhadap laju pertumbuhan penduduk terutama pada pemakaian alat kontrasepsi.Indonesia merupakan negara yang memiliki laju pertumbuhan yang tinggi. Tindakan yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam mengontrol laju pertumbuhan penduduk asalah satunya adalah Program Keluarga berencana (KB) adalah gerakan untuk membentuk keluarga yang sehat dan sejahtera dengan membatasi kelahiran. Hal itu adalah perencanaan jumlah keluarga dengan pembatasan yang bisa dilakukan dengan penggunaan alat-alat kontrasepsi, Jumlah anak dalam sebuah keluarga yang dianggap ideal adalah dua. Gerakan ini mulai dicanangkan pada tahun akhir 1970-an. Tujuan umum adanya program Kelurga Berencana Meningkatkan kesejahteraan ibu, anak dalam rangka mewujudkan NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera) yang menjadi dasar terwujudnya masyarakat yang sejahtera dengan mengendalikan kelahiran sekaligus menjamin terkendalinya pertambahan penduduk.


(43)

Paradigma baru KB Nasional telah diubah visinya dari mewujudkan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) menjadi visi untuk mewujudkan “Keluarga Berkualitas Tahun 2015”. Keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa .

Pertambahan jumlah penduduk merupakan masalah pembangunan yang utama dan sukar diatasi, para ahli menyarankan masalah pertambahan penduduk dinegara berkembang harus segera diatasi untuk dapat mempercepat laju perkembangan ekonomi, yaitu dengan program menekan laju pertambahan penduduk. Pada umumnya di Negara yang sedang berkembang, pertambahan penduduk sangat tinggi dan besar jumlahnya. Jumlah penduduk yang besar dapat menimbulkan jumlah pengangguran tinggi, Jumlah tenaga kerja bertambah, perpindahan penduduk dari desa ke kota, Pengangguran dikota besar bertambah, tingkat kemiskinan meningkat (Darwis, 2011).

8. Dukungan Suami – Istri

Bentuk peran dan tanggung jawab bersama antara suami dan istri dalam kesehatan reproduksi dan KB akan terwujud karena alasan berikut ini. Suami-istri merupakan pasangan dalam proses reproduksi, suami-Suami-istri bertanggung jawab secara sosial, moral dan ekonomi dalam keluarga, suami-istri bersama-sama mempunyai hak-hak reproduksi yangmerupakan bagian dari hak azasi manusia yang bersifat universal, kesehatan reproduksi memerlukan peran dan tanggung jawab bersama suami-istri bukan suami atau istri saja, program KB dan Kesehatan Reproduksi berwawasan gender (Kusmiran, 2012).


(44)

9. Dukungan Sosial

Dukungan sosial merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk menerangkan bagaimana hubungan sosial menyumbang manfaat bagi kesehatan mental atau kesehatan fisik individu. Rook (1985, dalam Smet, 1994) berpendapat dukungan sosial sebagai satu diantara fungsi pertalian atau ikatan sosial. Ikatan - ikatan sosial menggambarkan tingkat tingkat dan kualitas umum dari hubungan interpersonal.

Dukungan sosial adalah kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh teman/anggota keluarga. Dukungan sosial juga dapat dilihat dari banyaknya kontak sosial yang terjadi atau yang dilakukan individu dalam menjalin hubungan dengan sumber-sumber yang ada di lingkungan (Baron dan Byrne, 2005).

Dukungan sosial timbul oleh adanya persepsi bahwa terdapat orang- orang yang akan membantu apabila terjadi suatu keadaan atau peristiwa yang dipandang akan menimbulkan masalah dan bantuan tersebut dirasakan dapat menaikkan perasaan positif serta mengangkat harga diri. Kondisi atau keadaan psikologis ini dapat mempengaruhi respon-respon dan perilaku individu sehingga berpengaruh terhadap kesejahteraan individu secara umum (Maslihah, 2011).

10.Tingkat Pendidikan

Batasan pengertian pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli tergantung dari sudut pandang yang dipergunakan dalam member arti pendidikan. Sudut pandang ini dapat bersumber dari aliran falsafah, pandangan hidup ataupun ilmu – ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan tingkah laku


(45)

manusia. Dalam UU RI No.20 Tahun 2003 tentang system pendidikan naisonal adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, sertaketrampilan yang diperlukan dirinya, , masyarakat, bangsa dan Negara (UU RI No 24 2003).

Menurut UU SISDIKNAS No. 20, indikator tingkat pendidikan terdiri dari jenjang pendidikan dan kesesuaian jurusan. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan, terdiri dari :

a. Pendidikan dasar jenjang pendidikan awal selama 9 tahun pertama masa sekolah anak-anak yang melandasi jenjang pendidikan menengah

b. Pendidikan menengah : jenjang pendidikan lanjutan pendidikan dasar

c. Pendidikan tinggi : jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pascasarjana, doktor, dan spesialis yang diselenggrakan oleh perguruan tinggi.

Semakin tinggi tingkat pendidikan atau pengetahuan seseorang maka semakin membutuhkan pusat pelayanan kesehatan sebagai tempat berobat bagi dirinya dan keluarganya. Dengan berpendidikan tinggi, maka wawasan pengetahuan semakin bertambah sehingga termotivasi untuk melakukan kunjungan kepusat-pusat pelayanan kesehatan yang baik.


(46)

11.Persepsi

a. Pengertian Persepsi

Persepsi berasal dari bahasa latin, persipere: menerima, perceptio: pengumpulan, penerimaan, pandangan, dan pengertian. Persepsi adalah sebuah proses saat individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti bagilingkungan mereka. (Wikipedia, 2012). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007) didefinisikan sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu,atau merupakan proses seseorang mengetahui beberapa hal.

Persepsi bersifat individual, karena persepsi merupakan aktivitas yang terintegrasi dalam individu, maka apa yang ada dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi. Berdasarkan hal tersebut, maka persepsi dapat dikemukakan karena perasaan dan kemampuan berfikir. Pengalaman individu tidak sama, maka dalam mempersepsi suatu struktur, hasil persepsi mungkin dapat berbeda satu dengan yang lain karena sifatnya sangat subjektif (Walgito, 2004).

b. Jenis-jenis persepsi

Menurut Walgito (2004) ada beberapa jenis persepsi yaitu: persepsi melalui indera pendengaran, persepsi melalui indera penciuman, persepsi melalui indera pengecap dan persepsi melalui indera kulit atau perasa. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa persepsi berasal dari panca indera, apabila persepsi tersebut selaras dengan pengetahuan maka hal tersebut dikatakan sebagai persepsi positif, akan tetapi jika objek persepsi


(47)

tidak selaras dengan pengetahuan maka hal tersebut akan menjadi persepsi negatif.

c. Proses terjadinya persepsi

Pertama terjadinya persepsi adalah karena adanya objek /stimulus yang merangasang untuk ditangkap oleh panca indra(objek tersebut menjadi perhatian panca indra), kemudian stimulus/objek perhatian tadi dibawa ke otak. Dari otak terjadi adanya “kesan” atau jawaban(respon) adanya stimulus, berupa kesan atau respon dibalikkan ke indra kembali berupa “tanggapan” atau persepsi atau hasi indra berupa pengalaman hasil pengolahan otak.

Walgito (2004) mengemukakan bahwa tahapan persepsi ada empat yaitu: 1) Proses fisik, yaitu proses ditangkapnya suatu stimulus oleh alat indera

manusia.

2) Proses fisiologis, yaitu diteruskannya stimulus yang diterima oleh reseptor ke otak melalui syaraf-syaraf sensorik.

3) Proses psikologis, yaitu proses timbulnya kesadaran individu tentang stimulus yang diterima reseptornya. Hasil dari proses persepsi, yaitu berupa tanggapan dan perilaku.

Berdasarkan pendapat tersebut, maka proses terjadinya persepsi yaitu adanya rangsang dari luar, adanya kesadaran individu terhadap rangsang, individu menginterpretasi rangsang tersebut, dan mewujudkan dalam bentuk tindakan. Selain itu terdapat proses fisik, fisiologis, psikologis, dan hasil dari proses persepsi.


(48)

d. Faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang 1. Minat/kebutuhan

Seseorang akan cenderung mempersepsikan sesuatu

berdasarkan kebutuhannya saat ini. Contoh sederhana, seseorang akan lebih peka mencium bau masakan ketika lapar daripada orang lain yang baru saja makan.

2. Pengalaman

Sebagai hasil dari proses belajar, pengalaman akan sangat

mempengaruhi bagaimana seseorang mempersepsikan

sesuatu. 3. Sikap

Sikap juga bisa mempengaruhi persepsi. Orang mempunyai sikap tertentu terhadap sesuatu hal kemungkinan akan melihat berbagai hal kecil yang tidak diperhatikan orang lain. 4. Informasi

Ketiadaan informasi ketika seseorang menerima stimulus yang baru bagi dirinya akan menyebabkan kekacauan dalam mempersepsi. (http://Determinan Persepsi, 2011).

Menurut Walgito (2004) dalam persepsi, individu harus mengorganisasikan dan menginterpretasikan stimulus yang diterimanya sehingga stimulus tersebut mempunyai arti bagi

individu yang bersangkutan. Dengan demikian dapat


(49)

yang berperan dalam persepsi. Faktor-faktor stimulus terdiri dari 3 yaitu pertama, objek yang dipersepsi adalah objek mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus yang datang dari luar individu langsung mengenai saraf penerima yang bekerja sebagai reseptor. Stimulus juga dapat datang dari dalam diri individu, langsung mengenai saraf penerima yang bekerja sebagai reseptor. Namun, sebagian besar stimulus datang dari luar individu tersebut. Kedua, alat indera, saraf dan susunan saraf pusat. Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus. Disamping itu juga harus ada ke susunan saraf pusat yaitu otak sebagai pusat kesadaran sebagai alat untuk mengadakan respon yang diperlukan saraf motorik. Ketiga, perhatian untuk menyadari sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek.

12. Konsep dan Perangkat Analisis Gender

Menurut Winjosastro, dkk (2006) mengatakan bahwa : a. Pembagian Pekerjaan Berbasis Gender

Dalam masyarakat, perempuan dan laki-laki melakukan aktifitas yang berbeda, walaupun karakteristik dan cakupan aktivitas tersebut berbeda melintas kelas dan komunitas. Aktifitas tersebut juga berubah sepanjang waktu. Perempuan


(50)

pekerjaan rumah tangga atau sering disebut peran reproduksi,

tetapi mereka juga terlibat dalam produksi barang – barang

untuk konsumsi rumah tangga atau pasar atau yang dikenal dengan peran reproduktif. Laki-laki biasanya bertanggung jawab memenuhi kebutuhan rumah tangga, makanan dan sumber daya terutama peran produktif.

b. Peran Gender dan Norma

Dalam masyarakat, laki-laki dan perempuan diharapkan berpilaku secara berbeda. Mereka dibiasakan untuk berperilku sesuai dengan norma dan peran maskulin dan feminin. Mereka harus berpakaian dengan cara yang berbeda, memainkn permainan yang berbeda, tertarik pada isu yang berbeda dan memiliki respon yang tidak sama dalam segala situasi. Ada persepsi yang disepakati bersama bahwa apa yang dilakukan laki-laki lebih baik dan bernilai dari apa yang dilakukan perempuan. Dampak dari peran gender yang dibentuk secara sosial dirasakan signifikan pada area seksualitas dan perilaku sosial. Perempuan diharapakan membuat diri mereka menarik

bagi laki-laki, tetapi bersikap lebih pasif, menjaga

keperawanan, tidak pernah memulai aktifitas seksual dan melindungi diri mereka dari hasrat seksual laki-laki yang tidak


(51)

perempuan dianggap memiliki dorongan seksual yang lebih rendah. Dalam masyarakat lain, cara perempuan dikendalikan adalah berdasarkan pemikiran bahwa perempuan memiliki dorongan seksual yang tidak dapat terkendali. Laki-laki sering kali diharapkan bersikap jantan dan memiliki dorongan seksual yang tidak terkendali saat dorongan tersebut muncul, memulai aktivitas seksual dan secara alami tidak dapat setia pada satu pasangan.

c. Kekuasaan dan pengambilan Keputusan

Laki-laki mempunyai akses kontrol yang besar tehadap kekuasaan dan pengambilan keputusan daripada perempuan dalam kelompok sosial manapun. Hal ini dapat menjadi kekuasaan kekuatan fisik, pengetahuan dan keterampilan, kekayaan dan pendapatan, atau kekuasaan untuk mengambil keputusan karena merekalah yang memegang otoritas. Laki-laki kerap kali memiliki keuasaan yang lebih besar dalam membuat keputusan atas reproduksi dan seksualitas.

13. Alokasi Peran Antara Suami dan Istri Dalam Kesehatan Reproduksi

Pengertian peran menurut Soekanto (2002) adalah merupakan aspek dinamis kehidupan (status). Apabila seseorang

melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan

kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peran. Berbicara


(52)

kesetaraan pria dan wanita yang dituntut di dalamnya. Menurut Ilyas dkk (2006) Terdapat enam bentuk keterlibatan pria dalam kesehatan reproduksi yaitu:

a. Supporting (Dukungan)

Yaitu keterlibatan suami dalam bentuk memberi dukungan kepada wanita menjalani tugas reproduksinya. Termasuk dalam keterlibatan suami dalam perhatian, pengertian, masukan dan empati, mendampingi dan membantu pemeliharaan kesehatan, menciptakan suasana yang nyaman, menunjukkan sikap diri dan perilaku yang positif, misalnya kemauan menunda melakukan hubungan seks di saat istri tidak menghendaki, serta turut melaksanakan tugas rumah yang ringan. Contohnya keinginan suami menunda melakukan hubungan seksual sampai istri selesai masa menstruasi.

b. Providing (ketersediaan)

Yaitu keterlibatan suami dalam bentuk menyediakan segala kebutuhan untuk memperoleh kesehatan reproduksi istri yang tidak hanya berupa materi, tetapi juga immateri. Keterlibatan dapat meliputi menyediakan berbagai kebutuhan pangan, sandang, papan, menyediakan bahan-bahan perwatan kesehatan reproduksi, menyediakan biaya dan peluang untuk pelayan kesehatan yaitu memenuhi kebutuhan gizi dan kesehatan istri dan bayi, menyediakan informasi berkenaan dengan perawatan dan pelayanan kesehatan reproduksi istri. Contohnya laki-laki (suami) dalam mencari nafkah untuk menyediakan kebutuhan keluarga.

c. Subtituting (alih peran)


(53)

Yaitu keterlibatan suami dengan mengambil alih peran yang pada umumnya dilaksanakan oleh istri dalam keluarga. Pengambilalihan ini tidak dilakukan secara total dari istri, tetapi pria menggantikannya agar istri terhindar dari resiko kesehatan reproduksi. Misalnya terlibat aktif dalam pengasuhan, perawatan dan penjagaan anak, dan mengambil alih tugas rumah di saat istri membutuhkan istirahat yang cukup. Contohnya terlibat aktif membereskan dan merapikan rumah, menyapu dan mengepel rumah, mengasuh anak. Kondisi ketika istri sedang hamil dan istri pasca melahirkan, yang membutuhkan Istri rahat yang cukup.

d. Sharing (menjalin komunikasi)

Yaitu keterlibatan suami dengan menjalin komunikasi dan dialog dengan wanita sangat bermanfaat bagipencapaian kesepakatan secara setara antara pria dan wanita untuk pengambilan keputusan dalam keluarga, meliputi kehidupan seksual bersama dengan pembagian peran dan tanggung jawab reproduksi, penentuan jumlah kelahiran, penggunaan alat kontrasepsi seperti jenis kontrasepsi dan siapa yang menggunakan, pemilihan pelayanan kesehatan, pemecahan masalah kesehatan reproduksi, khususnya yang dialami istri dan pendidikan anak. Dengan keterlibatan ini, suami memberi peluang bagi istri untuk menyatakan kehendak, prinsip, pandangan, pertimbangan, dan kebutuhan reproduksinya. Komunikasi berperan paling utama dalam kehidupan berumah tangga. Contohnya komunikasi dua arah untuk membicarakan perihal hubungan seksual, suami dan istri harus mengkomunikasikan dan sama-sama menikmati ketika melakukannya,menikmati hubungan seks bukan hanya urusan suami saja, namun urusan istri juga.


(54)

e. Decision making (pengambil keputusan)

Yaitu keterlibatan suami dalam pengambilan keputusan kesehatan reproduksi yang berpihak pada istri. Dengan keterlibatan ini suami akan mengambil keputusan dalam keluarga yang berpihak kepada istri, baik melalui diskusi dengan istri maupun tidak. Keterlibatan ini dalam wilayah publik, suami menempatkan posisi yang membuatnya memiliki otoritas untuk mengambil keputusan yang juga berpihak kepada istri, mulai dari penyusunan undang-undang dan pengembangan teknologi hingga penyediaan pelayanan kesehatan reproduksi. Contohnya merencanakan jumlah anak, mengasuh anak dan mendidik anak.

f. Practicing (keterlibatan suami dalam kontrasepsi)

Yaitu keterlibatan suami dalam kontrasepsi. Alat kontrasepsi dan pemakaiannya seharusnya tidak selalu ditujukan pada istri, tetapi juga pada suami. Keterlibatan ini secara psikologis tidak akan menempatkan tubuh istri sebagai obyek dari kebijakan pengembangan teknologi dan kependudukan yang diambil korporasi dan negara. Secara etis, dalam lingkup keluarga keharusan pemakaian alat kontrasepsi itu menjadi semakin kuat untuk menghindarkan istri dari IMS (Infeksi Menular Seksual) dan resiko pemakaian alat untuk mengendalikan kelahiran (KB). Contohnya Bentuk partisipasi laki-laki (suami) dalam KB dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Partisipasi laki-laki atau suami secara langsung (sebagai peserta KB) adalah keikutsertaan suami dalam menggunakan salah satu cara atau metode pencegahan kehamilan, seperti kondom, vasektomi (kontrasepsi pria).

14. Teori Peran


(55)

Pengertian peran menurut Soerjono Soekanto (2002), yaitu peran merupakan aspek dinamis kedudukan (status), apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan.

Menurut BKKBN (2007) Peran dan tanggung jawab pria

dalam kesehatan reproduksi khususnya pada Keluarga

Berencana (KB) sangat berpengaruh terhadap kesehatan. a. Peran Suami Sebagai Motivator

Dalam melaksanakan Keluarga Berencana, dukungan suami sangat diperlukan. Seperti diketahui bahwa di Indonesia, keputusan suami dalam mengizinkan istri adalah pedoman penting bagi si istri untuk menggunakan alat kontrasepsi. Bila suami tidak mengizinkan atau mendukung, hanya sedikit istri yang berani untuk tetap memasang alat kontrasepsi tersebut. Dukungan suami sangat berpengaruh besar dalam pengambilan keputusan menggunakan atau tidak dan metode apa yang akan dipakai.

b. Peran suami sebagai edukator

Selain peran penting dalam mendukung mengambil keputusan, peran suami dalam memberikan informasi juga sangat berpengaruh bagi istri. Peran seperti ikut pada saat konsultasi pada tenaga kesehatan saat istri akan memakai alat kontrasepsi, mengingatkan istri jadwal minum obat atau


(56)

dilakukan saat memakai alat kontrasepsi dan sebagainya akan sangat berperan bagi isri saat akan atau telah memakai alat kontrasepsi. Besarnya peran suami akan sangat membantunya dan suami akan semakin menyadari bahwa masalah kesehatan reproduksi bukan hanya urusan wanita (istri) saja. c. Peran suami sebagai fasilitator

Peran lain suami adalah memfasilitasi (sebagai orang yang menyediakan fasilitas), memberi semua kebutuhan istri saat akan memeriksakan masalah kesehatan reproduksinya. Hal ini dapat terlihat saat suami menyediakan waktu untuk mendampingi istri memasang alat kontasepsi atau kontrol, suami bersedia memberikan biaya khusus untuk memasang alat kontrasepsi, dan membantu istri menentukan tempat pelayanan atau tenaga kesehatan yang sesuai.

Menurut Romauli dan Vindari (2012) peran wanita adalah serangkaian perilaku yang diharapakan sesuai dengan teori

posisi sosial yang diberikan kepada wanita. Peran

menerangkan pada apa yang harus dilakukan wanita dalam suatu situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan mereka sendiri dan harapan orang lain. Dalam penelitian ini menekankan peran wanita dalam keluarga. Menurut Romauli dan Vindari (2012), peran wanita dalam keluarga antara lain:


(57)

a. Peran wanita sebagai istri dan pendamping suami

Keberhasilan suami didukung oleh dukungan dari seorang istri. Untuk itu peran wanita sebagai istri pendamping suami diantaranya memposisikan diri sebagai istri sekaligus ibu, teman, dan kekasih bagi suami. Menjadi teman diskusi seraya memberikan dukungan motivasi

kepada suami. Berbagi rasa suka dan duka serta

memahami keadaan keadaan, kedudukan, tugas

dan tanggung jawab suami. Menjaga kesesuaian

hubungan suami istri.

b. Peran wanita sebagai ibu dan pendidik bagi anak-anak

Setelah melahirkan, wanita akan berperan sebagai ibu. Bila ibu tersebut mampau menciptakan iklim psikis yang gembira, bahagia dan bebas sehingga suasana rumah tangga menjadi semarakdan bisa memberikan rasa aman, bebas, hangat dan menyenangkan. Selain berperan sebagai

ibu, wanita juga berperan dalam mendidik dan

menciptakan moralitas dan akhlak yang baik bagi anak-anaknya.

c. Peran wanita sebagai partner seks

Tujuan berumah tangga adalah meneruskan keturunan, dengan begitu hubungan intim pasangan suami istri sudah

menjadi satu kesatuan. Ada relasi seksual yang


(58)

memuaskan. Kehidupan seks yang memuaskan disebabkan karena kehidupan psikis yang stabil, imbang tanpa konflik-konflik batin yang serius. Ada kesediaan untuk memahami partnernya serta rela berkorban.

d. Peran wanita sebagai pengatur/pengelola rumah tangga

Dalam hal ini terdapat relai-relasi formal dan semacam pembagian kerja diaman suami bertindak sebagai pencari nafkah, istri berfungsi sebgai pengurus rumah tangga tetapi seringkali juga berperan sebagai pencari nafkah. Dalam pengurusan rumah tangga hal yang sangat terpenting adalah faktor kemampuan membagi waktu dan tenaga untuk melakukan berbagai macam tugas rumah tangga.


(59)

B. Penelitian Terdahulu

1. Judul penelitian Faktor Pendukung dan Penghambat Istri Pasangan Usia Subur Dalam Penggunaan Alat Kontrasepsi Implant di Puskesmas I Denpasar Utara. Ditulis oleh Gustikawati (2014). Studi Penelitian ini menggunakan rancangan kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor pendukung dalam penggunaan alat kontrasepsi implant yaitu: tersedianya alat kontrasepsi implant, terjangkaunya fasilitas untuk mengakses pelayanan implant, serta adanya dukungan suami. Faktor penghambat dalam penggunaan alat kontrasepsi implant yaitu: masih adanya faktor budaya di Bali seperti jumlah anak serta nilai anak yang mempengaruhi dalam penggunaan alat kontrasepsi implant, tidak semua tenaga kesehatan mendapatkan pelatihan tentang implant, kurangnya promosi serta sosialisasi tentang alat kontrasepsi

implant di masyarakat.

2. Judul penelitian Studi Kualitatif Tentang Pengambilan Keputusan Dalam Pemilihan Metode Kontrasepsi Pada PUS di kota semarang. Ditulis oleh Kurniawati, (2011). Jenis penelitian menggunkan pendekatan kualitatif. Hasil


(60)

penelitian menunjukkan bahwa proses pengambilan keputusan dalam pemilihan metode kontrasepsi adalah sebagian besar dengan musyawarah, peran suami sangat kurang dan masih ada anggapan KB adalah masalah perempuan

3. Judul penelitian adalah Peningkatan Minat dan Keputusan Berpartisipasi Akseptor KB. Ditulis oleh Sudarti dan Prasetyaningtyas (2011) Rancangan penelitian kuantitatif, dengan menggunakan traditional statistical model dengan menggunakan pendekatan yamane. Tujuan dari studi ini adalah untuk menemukan dampak dari kualitas layanan dan konseling yang disediakan oleh PLKB dan persepsi pengguna kontrasepsi pada budaya lingkungan yang berkontribusi terhadap ketertarikan dan keputusan para pengguna alat kotrasepsi. Penelitian ini menunjukkan mayoritas pengguna kontrasepsi adalah usia rawan untuk melahirkan, memiliki lebih dari dua anak, dan relatif memiliki latar belakang pendidikan rendah.

4. Judul penelitian adalah Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Bias Gender Penggunaan Kontrasepsi Pada Pasangan Usia Subur di Desa Dawan Kaler Kecamatan Dawan Klungkung. Ditulis oleh Dalem, (2012). Penelitian ini menggunakan Metode deskriptif Kualitatif, dan teknik pengumpulan data dengan caraobservasi, wawancara mendalam, Focus Gruop Disscution (FGD). Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi bias gender dalam penggunaan kontrasepsi pada pasangan usia subur di Desa Dawan Kaler Desa meliputi budaya patriarki, tradisi, kekhawatiran istri atas penggunaan kontrasepsi oleh suami, ideologi gender, dan sikap egois suami yang sulit untuk berubah.


(61)

5. Judul penelitian Partisipasi Pria dalam Kontrasepsi sebagai pengguna dan partner. Menggunakan metode kuantitatif. Ditulis oleh Aspilcueta-Gho D; (2013). Tulisan ini membahas tentang faktor – faktor yang memprioritaskan keputusan - keputusan mengenai pelaksanaan seksualitas dan bagaimana mengatur reproduksi. Laki-laki pertama kali memulai kehidupan seksualnya, mereka pada usia 16,8 tahun. Sekitar 54,2% pria menyatakan menggunakan metode kontrasepsi. Dari hasil penelitian, 39,5% memilih metode modern sedangkan 14,5% memilih metode kontrasepsi tradisional. Di Peru, metode modern yang tersedia adalah metode penghalang (kondom yang paling sering digunakan), metode kimia atau spermisida, dan metode bedah (vasektomi). Dan metode tradisional yang sering digunakan adalah adalah "ritme" yaitu metode pantang berkala berdasarkan fase subur dari siklus menstruasi, dan interruptus coitus. disini peran suami sangat berpengaruh kuat. Berhubungan dengan relagi gender meliputi hubungan kekuasaan, dan menjadi orang tua. Kekuasaan ayah adalah diatas semua, dan juga sebagai Penentu keturunan. Mereka mendukung penuh secara optimal pada pasangan mereka dalam hal kehamilan, dan persalianan demi terwujudnya persalinan yang aman.

6. Judul penelitian Peran pria dalam pengambilan keputusan dalam pemilihan kontrasepsi. Ditulis oleh Edwards (2004), menggunakan metode penelitian kualitatif. Tulisan ini menjelaskan bahwa ke ikutsertaaan pria dalam hal kaitan pengambilan keputusan dalam ber Kb memiliki prioritas dan tujuan yang berbeda, tergantung pada bidang keahlian. Beberapa merasa bahwa tidak cukup hanya dilakukan penelitian untuk mendukung pria dalam hal keikutsertaan dalam kontrasepsi. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa melibatkan


(62)

laki-laki dalam hal metode kontrasepsi merupakan langkah positif dan perlu, tetapi tidak ada program yang cukup untuk mefasilitasi pelayanan kesehatan reproduksi bagi pria.

7. Judul penelitian Pandangan Pria dan perempuan tentang keterlibatan laki-laki dan perempuan dalam keluarga berencana. Ditulis oleh Marcolino C (2001). Menggunakan pendekatan fenomenologi. Tulisan ini menganalisis tentang pandangan pria dan wanita terhadap keterlibatan dalam keluarga berencana. Peneliti melakukan wawancara terhadap beberapa wanita dan pria mengenai Pendapat mereka tentang keterlibatan pria dan wanita dan dianalisis menggunakan sudut pandang gender Hasil Menunjukkan bahwa harus ada keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam kaitannya reproduksi, seksualitas dan kehidupan keluarga. Penulis menyarankan bahwa harus ada sarana pelayanan kesehatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. 8. Judul penelitian Pasangan usia subur dan Pengambilan Keputusan dalam

Pemilihan Metode Kontrasepsi: Pendapat para Lelaki. Ditulis oleh Bankole dan Singh (1998). Data dalam penelitian ini menggunakan analisis survei nasional dari Demografi dan Survei Kesehatan (DHS) antara tahun 1990 - 1996 di 18 negara berkembang. Analisis regresi logistik dilakukan untuk meneliti bagaimana sikap pasangan usia subur dalam pengambilan keputusan pemilihan metode kontrasepsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasangan Pria dan wanita di negara-negara ini menginginkan keluarga yang cukup besar; Namun, suami cenderung menginginkan anak lebih dari istri-istri mereka. Dalam kebanyakan pasangan, sebagian besar menginginkan memiliki dua orang anak, presentasi pasangan yang mengingkan anak lebih dari dua yaitu sebesar 10-26%.


(1)

Lampiran 8. Gambar Penelitian


(2)

Kondisi Rumah Informan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id


(3)

Kondisi lingkungan sekitar informan


(4)

Kartu Akseptor KB

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id


(5)

(6)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id