Menggali spiritualitas pelayanan Katekis yang bersumber dari Injil Yohanes 13:1-20.

(1)

ABSTRAK

Judul skripsi ini adalah “MENGGALI SPIRITUALITAS PELAYANAN KATEKIS YANG BERSUMBER DARI INJIL YOHANES 13:1-20”. Judul ini dipilah atas dasar ketertarikan penulis terhadap isi Injil Yohanes terutama perikop Yohanes 13: 1-20. Perikop ini mengisahkan pembasuhan kaki yang dilakukan Yesus pada Perjamuan Terakhir dan wejangan-wejangan terakhir Yesus sebelum disalib.

Penulis mencoba untuk menggali pesan dari Yohanes 13: 1-20 untuk mencari nilai-nilai spiritual. Dari perikop tersebut, penulis menemukan nilai-nilai spiritual, yaitu cinta kasih, pelayanan terhadap kehendak Allah, keberanian untuk berkorban dan kerendahan hati . Nilai-nilai spritual ini sangat relevan bagi katekis di dalam menjalankan tugasnya untuk mewartakan Kabar Gembira.

Penulis juga membahas sosok kategis dengan lebih mendalam dalam kaitannya dengan peran, tugas, kategori dan kualitas. Penulis juga menyinggung tantangan katekis di era globalisasi dan pembinaan katekis. Untuk dapat membantu katekis di dalma menghayati spiritualitas katekis yang bersumber dari Yohanes 13: 1-10, penulis merangcang sebuah program pembinaan. Diharapkan dengan pelaksanaan proram tersebut, para katekis dapat menghidupi nilai-nilai spiritual di dalam tugasnya mewartakan Kabar Gembira.


(2)

ABSTRACT

The title of this thesis is “Unearthing the Spirituality of Catechist Service from the Passage John 13: 1-20”. This title is chosen due to the author’s interest on the content of the Gospel John, especially the passage 13: 1-20. From the passage the author unearths and finds out the spiritual values concerning with the catechist service. The passage describes Jesus washing the feet of his disciples during the Last Supper and parting the last words before the crucifixion.

The author tries to unearth the message from the passage John 13: 1-20 in order to find out the spiritual values. The author finds out the spiritual values from the passage, namely love, the servitude toward God, the spirit of sacrifice, and humility. The values are of highly relevance to the task of the catechist to pronounce the Good News.

The author works on the figure of catechist more extensively in term of the role, task, category and quality. The challenge of catechist in the globalization era and the formation of catechist are also incorporated in this work. To facilitate the catechist in living up the spirituality inspired form John 13: 1-20, the author designs a formation program. It is expected that the program can be administered to foster the spirituality among the catechists in working for pronouncing the Good News.


(3)

MENGGALI SPIRITUALITAS PELAYANAN KATEKIS YANG BERSUMBER DARI INJIL YOHANES 13:1-20

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Albertus Ari Septiawan NIM: 101124036

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016


(4)

(5)

(6)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk:

Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang selalu menjaga, mendoakan dan menerangi hati dan pikiran saya serta Mamaku yang selalu mendukung dalam berbagai


(7)

MOTTO

Sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang (Matius 20:28)


(8)

(9)

(10)

viii ABSTRAK

Judul skripsi ini adalah “MENGGALI SPIRITUALITAS PELAYANAN KATEKIS YANG BERSUMBER DARI INJIL YOHANES 13:1-20”. Judul ini dipilah atas dasar ketertarikan penulis terhadap isi Injil Yohanes terutama perikop Yohanes 13: 1-20. Perikop ini mengisahkan pembasuhan kaki yang dilakukan Yesus pada Perjamuan Terakhir dan wejangan-wejangan terakhir Yesus sebelum disalib.

Penulis mencoba untuk menggali pesan dari Yohanes 13: 1-20 untuk mencari nilai-nilai spiritual. Dari perikop tersebut, penulis menemukan nilai-nilai spiritual, yaitu cinta kasih, pelayanan terhadap kehendak Allah, keberanian untuk berkorban dan kerendahan hati . Nilai-nilai spritual ini sangat relevan bagi katekis di dalam menjalankan tugasnya untuk mewartakan Kabar Gembira.

Penulis juga membahas sosok kategis dengan lebih mendalam dalam kaitannya dengan peran, tugas, kategori dan kualitas. Penulis juga menyinggung tantangan katekis di era globalisasi dan pembinaan katekis. Untuk dapat membantu katekis di dalma menghayati spiritualitas katekis yang bersumber dari Yohanes 13: 1-10, penulis merangcang sebuah program pembinaan. Diharapkan dengan pelaksanaan proram tersebut, para katekis dapat menghidupi nilai-nilai spiritual di dalam tugasnya mewartakan Kabar Gembira.


(11)

ABSTRACT

The title of this thesis is “Unearthing the Spirituality of Catechist Service from the Passage John 13: 1-20”. This title is chosen due to the author’s interest on the content of the Gospel John, especially the passage 13: 1-20. From the passage the author unearths and finds out the spiritual values concerning with the catechist service. The passage describes Jesus washing the feet of his disciples during the Last Supper and parting the last words before the crucifixion.

The author tries to unearth the message from the passage John 13: 1-20 in order to find out the spiritual values. The author finds out the spiritual values from the passage, namely love, the servitude toward God, the spirit of sacrifice, and humility. The values are of highly relevance to the task of the catechist to pronounce the Good News.

The author works on the figure of catechist more extensively in term of the role, task, category and quality. The challenge of catechist in the globalization era and the formation of catechist are also incorporated in this work. To facilitate the catechist in living up the spirituality inspired form John 13: 1-20, the author designs a formation program. It is expected that the program can be administered to foster the spirituality among the catechists in working for pronouncing the Good News.


(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, yang karena berkat kasih karuniaNya penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: MENGGALI SPIRITUALITAS PELAYANAN KATEKIS YANG BERSUMBER DARI INJIL YOHANES 13:1-20.

Penulisan skripsi ini berangkat dari ketertarikan penulis dengan Injil Yohanes dan keinginan untuk membantu para katekis dan calon katekis memperdalam spiritualitas katekis yang bersumber dari Yesus berdasarkan Injil Yohanes 13:1-20. Penulis mempunyai maksud untuk membantu para katekis untuk menghayati spiritualitas yang bersumber dari Yesus khususnya yang berdasarkan dari kisah pembasuhan kaki dalam Injil Yohanes 13:1-20. Penulis berharap dengan adanya tulisan ini, para katekis dan calon katekis dapat menghayati spiritualitas katekis dari Injil Yohanes 13:1-20 sehingga para katekis memiliki semangat penuh cinta untuk melayani kehendak Allah, berani berkorban dan rendah hati yang terwujud dalam sikap dan tindakannya dalam kehidupan sehari-hari dan dalam tugas pelayanannya sebagai katekis. Selain itu, skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini penulis mendapatkan dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:


(13)

1. Drs. FX. Heryatno W.W., SJ., M.Ed selaku Kaprodi Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma, dosen pembimbing akademik dan dosen penguji dua yang telah memberikan dukungan, arahan dan semangat kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

2. Dr. V. Indra Sanjaya, Pr selaku dosen pembimbing utama dan dosen penguji satu yang telah dengan sabar dan sepenuh hati mendampingi, meluangkan waktu serta memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Yoseph Kristianto, SFK, M.Pd selaku Wakaprodi Pendidikan Agama Katolik dan dosen penguji tiga yang telah memberikan dukungan dan masukan kepada penulis sehingga semakin termotivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Segenap staf dosen Prodi Pendidikan Agama Katolik, Jurusan Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik dan membimbing penulis selama belajar hingga selesainya skripsi ini.

5. Segenap staf karyawan Prodi Pendidikan Agama Katolik yang telah membantu dalam mengarahkan pengurusan administrasi dan memberikan semangat hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

6. Kepada Ayah, Ibu, adik dan seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan baik moral maupun materiil yang tiada hentinya sehingga penulis


(14)

xii

7. Kepada Natalia Yustika yang selalu menemani, mendukung dan dengan setia memberikan semangat serta motivasi yang membangun sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dan studi ini.

8. Teman-teman mahasiswa khususnya angkatan 2010 yang ikut berperan dalam proses belajar di Pendidikan Agama Katolik dan ikut membentuk pribadi serta memurnikan motivasi penulis menjadi pewarta Kabar Gembira yang terampil.

9. Kepada anggota Band D’kill: Yongki, Edo, Nanang, Andrey, Ana dan Ucup yang selalu menjadi teman di dalam berbagai keadaan selama menjalani studi.

10. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis dari awal studi hingga selesainya skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran serta kritik yang membangun demi perkembangan skripsi ini. Penulis berharap berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membaca.

Yogyakarta, 7 April 2016 Penulis


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 6

E. Metode Penulisan ... 7

F. Sistematika Penulisan ... 7

BAB II. SPIRITUALITAS YANG BERSUMBER DARI INJIL YOHANES 13:1-20 ... 10

A. Injil Yohanes ... 10

1. Latar Belakang Penulisan injil Yohanes ... 10

2. Tujuan Penulisan ... 12


(16)

xiv

b. Bukti-bukti dari Dalam Injil Yohanes ... 17

4. Isi Injil Yohanes ... 20

B. Kekhasan Injil Yohanes ... 24

1. Perbedaan Injil Yohanes dengan Injil Sinoptik ... 24

2. Cara Pewartaan Injil Yohanes ... 25

C. Injil Yohanes 13:1-20 ... 26

1. Pendahuluan (ayat 1-3) ... 28

2. Pembasuhan Kaki (ayat 4-5) ... 33

3. Dialog antara Yesus dengan Petrus (ayat 5-11) ... 35

4. Diskursus/Penjelasan dari Yesus (ayat 12-17) ... 40

5. Peringatan Pengkhianatan Yesus (ayat 18-20) ... 45

D. Spiritualitas yang bersumber dari Yohanes 13:1-20 ... 47

1. Penuh Cinta ... 48

2. Melayani Kehendak Allah ... 49

3. Berani Berkorban ... 50

4. Rendah Hati ... 51

E. Penutup ... 54

BAB III. KATEKIS DAN SPIRITUALITAS KATEKIS ... 56

A. Katekis ... 56

1. Umat Awam Terlibat Aktif ... 57

2. Siapakah Sosok Katekis? ... 58

3. Peran Katekis ... 61

4. Kategori Katekis ... 63

5. Tugas Katekis... 64

6. Kualitas Diri Katekis... 65

a. Pengetahuan Katekis ... 66

1) Akrab terhadap harta kekayaan iman Gereja ... 66

2) Penguasaan terhadap metode ... 67

3) Pengenalan terhadap peserta ... 68


(17)

b. Spiritualitas Katekis ... 69

1) Pengertian Spiritualitas` ... 70

2) Pengertian Spiritualitas Katekis ... 71

3) Spiritualitas Katekis yang Kristosentris ... 72

c. Ketrampilan Katekis ... 74

1) Ketrampilan dalam Kehidupan Rohani ... 74

2) Ketrampilan Berkomunikasi ... 76

3) Ketrampilan Menyusun, Melaksanakan dan Mengevaluasi Kegiatan Katekese ... 77

B. Tantangan Katekis di Era Globalisasi ... 78

1. Hakikat Globalisasi ... 78

2. Tantangan Katekis di Era Globalisasi ... 81

C. Spiritualitas yang Bersumber dari Inji Yohanes 13:1-20 ... 83

1. Penuh Cinta ... 83

2. Melayani Kehendak Allah ... 85

3. Berani Berkorban ... 86

4. Rendah Hati ... 88

D. Pembinaan Katekis ... 90

1. Pembinaan Kehidupan Rohani ... 91

2. Pengayaan Harta Kekayaan Iman Gereja ... 93

3. Pembinaan Ketrampilan ... 94

E. Penutup ... 96

BAB IV. USULAN KEGIATAN PEMBINAAN KATEKIS DALAM RANGKA MENUMBUHKAN SPIRITUALITAS KATEKIS YANG BERSUMBER DARI INJIL YOHANES 13:1-20 ... 98

A. Andragogi dalam Pembinaan Katekis... 98

1. Usia Dewasa Dini dan Usia Madya ... 99

2. Tahap-Tahap Perkembangan Iman menurut Fowler... 100

3. Penerapan Prinsip Andragogi dalam Pembelajaran ... 102


(18)

xvi

B. Pembinaan dalam Menumbuhkan Spiritualitas Katekis ... 107

C. Menumbuhkan Spiritualitas Katekis yang Bersumber dari Injil Yohanes 13:1-20 ... 108

1. Pembinaam yang berkelanjutan ... 108

2. Melatih Diri ... 111

D. Usulan Kegiatan Pembinaan Katekis dalam Menumbuhkan Spiritualitas Katekis yang Bersumber dari Injil Yohanes 13:1-20 .... 111

1. Contoh Kegiatan ... 111

E. Penutup ... 122

BAB V. PENUTUP ... 125

A. Kesimpulan ... 125

1. Menggali Spiritualitas Katekis yang bersumber dari Injil Yohanes 13:1-20 ... 125

2. Menghayati Spiritualitas Katekis yang bersumber dari Injil Yohanes 13:1-20 ... 128

B. Saran... 130

1. Bagi Keuskupan dan Paroki ... 130

2. Bagi Katekis ... 131

3. Bagi Prodi Pendidikan Agama Katolik ... 131


(19)

DAFTAR SINGKATAN A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Alkitab Perjanjian Lama dan Baru dalam terjemahan baru yang diselenggarakan oleh Lembaga Alkitab Indonesia, LAI, 2005.

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

AA : Apostolicam Actuositatem (Dekrit Konsili Vatikan II tentang kerasulan awam)

LG : Lumen Gentium (Konstitusi dogmatis Konsili Vatikan II tentang Gereja)

KWI : Komisi Waligereja Indonesia

EG : Evangelii Gaudium (Seruan Apostolik Paus Fransiskus tentang Sukacita Injil)

AG : Ad Gentes (Dekrit Konsili Vatikan II tentang kegiatan misioner Gereja)

CT : Catechesi Tradendae (Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang penyelanggaraan katekese)

ASG : Ajaran Sosial Gereja

C. Singkatan Lain


(20)

xviii PAK : Pendidikan Agama Katolik


(21)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan Skripsi

Injil Yohanes sebagai sumber cerita peristiwa pembasuhan kaki merupakan Injil keempat dalam Tradisi Gereja. Markus-Matius-Lukas bersama sering disebut sebagai Injil Sinoptik (Darmawijaya, 1998: 16). Penyebutan Sinoptik berasal dari bahasa Yunani συν (syn = bersama) dan οψις (opsis = melihat) untuk menandakan bahwa isi dari ketiga Injil tersebut dapat dilihat berdampingan. Injil sinoptik dapat dibaca secara bersama atau paralel karena bahan yang ditampilkan berasal dari sumber yang sama. Injil Yohanes tidak termasuk dalam golongan itu. Ada 3 perbedaan besar antara Injil Yohanes dengan sinoptik yakni pertama mengenai tempat, Sinoptik menceritakan hidup Yesus lebih banyak di Galilea sedangkan Yohanes menceritakan Yesus empat kali ke Yerusalem dan sebagian besar tugas-Nya di Yudea; kedua mengenai kronologi, sinoptik menceritakan awal karya Yesus sesudah Yohanes Pembabtis dipenjara dan berkarya selama satu tahun sedangkan Yohanes menceritakan awal karya Yesus sebelum Yohanes Pembabtis dipenjara dan berkarya selama dua tahun; yang ketiga mengenai mukjizat, sinoptik menyebutnya sebagai mukjizat sedangkan Injil Yohanes menyebutnya sebagai tanda yang diinterpretasikan sebagai tanda kasih Allah kepada manusia.

Dari perbedaan di atas nampak jelas Yohanes memiliki keistimewaan dari ketiga Injil sebelumnya. Keistimewaan itu penulis temukan juga dalam


(22)

perkuliahan di prodi Pendidikan Agama Katolik. Mata kuliah Injil Yohanes terpisah dari mata kuliah Injil Sinoptik. Mata kuliah Injil Sinoptik dilakukan pada tahun pertama sedangkan mata kuliah Injil Yohanes dilangsungkan pada tahun ke tiga. Bagi penulis ini memberi makna bahwa Injil Yohanes menuntut pemikiran yang lebih matang dan waktu pembasahan yang lebih lama.

Penulis tertarik terhadap peristiwa pembasuhan kaki yang dilakukan Yesus yang hanya terdapat dalam Injil Yohanes. Dalam peristiwa itu Yesus mengatakan,“Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan (Yoh 13: 13)”, memberi makna penegasan kepada para murid bahwa memang tepat para murid mengikuti-Nya. Pernyataan ini dikatakan Yesus setelah membasuh kaki para murid-Nya beberapa saat sebelum peristiwa penangkapan diri-Nya di Taman Getsemani. Peristiwa pembasuhan kaki oleh Yesus kepada para murid hanya ditemukan dalam Injil Yohanes dan tidak ada dalam ketiga Injil lain. Peristiwa pembasuhan kaki memiliki tempat di hati pengarang Injil Yohanes sehingga menampilkan di tempat strategis sebelum kisah sengsara Yesus.

Pembasuhan kaki yang dilakukan oleh Yesus ternyata juga menarik bagi Gereja. Gereja sebagai murid Yesus memandang bahwa peristiwa ini memiliki banyak makna bagi perkembangan Gereja masa kini. Kita dapat mengingat kembali peristiwa pembasuhan kaki dalam perayaan Kamis Putih. Kamis Putih adalah penggabungan dari dua tradisi Injil yakni Injil Yohanes dan Injil Sinoptik. Di dalam perayaan Kamis Putih, kita mengikuti prosesi pembasuhan kaki dan perjamuan terakhir. Kisah pembasuhan kaki hanya ada dalam Injil Yohanes,


(23)

sedangkan perjamuan terakhir diceritakan secara detail dalam Injil Sinoptik. Injil Yohanes menceritakan perjamuan terakhir secara berbeda dengan yang diceritakan Sinoptik. Injil Yohanes hanya menuliskan bahwa saat itu sedang terjadi makan bersama. Yohanes kemudian menceritakan peristiwa pembasuhan kaki secara jelas. Dalam perayaan Kamis Putih, Gereja mengenang kembali perjamuan terakhir yang dilakukan Yesus termasuk di dalamnya dipraktekkan pembasuhan kaki. Pembasuhan kaki pada perayaan Kamis Putih dilakukan oleh Pastur sebagai peringatan akan pembasuhan kaki yang dilakukan Yesus pada jaman-Nya. Pastur membasuh kaki umat atau perwakilan umat sebagai ilustrasi Yesus membasuh kaki para murid. Pada saat itu, Gereja merasakan getaran akan detik-detik menjelang sengsara Yesus yang penuh kemuliaan.

Yesus menyampaikan hal-hal penting mengenai kemuridan dalam peristiwa pembasuhan kaki. Seorang murid adalah yang mengikuti teladan dari gurunya. Demikian juga yang dikatakan Yesus,”Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh, sebab telah Aku memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu (Yoh 13: 14-15)”. Gereja sebagai murid Yesus juga termasuk ikut melakukan perintah itu. Para murid Yesus tidak hanya meneladan Yesus soal pembasuhan kaki, tetapi ini berarti meneladan seluruh hidup Yesus.

Katekis adalah orang dipanggil atau terpanggil untuk mewartakan ajaran Yesus. Kata katekis berasal dari kata dasar katechein yang yang mempunyai


(24)

yang berkaitan dengan iman (Indra Sanjaya, 2011: 16). Yesus dapat kita sebut sebagai katekis. Indra Sanjaya (2011: 16) memberikan gambaran bahwa Yesus dapat kita sebut sebagai katekis. Yesus tidak dipanggil sebagai katekis dalam Injil tetapi tindakan Yesus yang memberi pengajaran tentang Kerajaan Allah dan ajakan untuk menyambut Kerajaan Allah adalah tindakan seorang katekis.

Saat ini sebutan katekis dialamatkan kepada kaum awam yang memiliki tugas pewartaan dalam bidang pengajaran dan pembinaan iman. Katekis memiliki peranan penting pada perkembangan Gereja dari masa ke masa. Pada awal perkembangan Gereja Perdana, katekis yang terlibat dalam pewartaan adalah Para Rasul yang dibantu murid-murid lain. Perkembangan selanjutnya, Uskup yang merupakan pengganti Para Rasul meneruskan tugas sebagai katekis. Para Uskup tidak dapat bekerja sendiri maka dibantu oleh para imam dalam wilayah keuskupannya. Dikarenakan jumlah yang banyak, cakupan wilayah yang luas dan jumlah imam yang sedikit, para imam melibatkan awam untuk membantu tugasnya dalam hal pengajaran dan pembinaan iman umat. Para awam inilah yang disebut katekis. Para katekis awam tidak berdiri sendiri dalam hierarki Gereja karena sifatnya yang membantu tugas imam. Katekis yang utama dalam sebuah keuskupan/paroki adalah Uskup/imam.

Dalam mengemban tugas pewartaan, para katekis harus memiliki ketrampilan dan spiritualitas yang mendalam. Ketrampilan yang baik akan membantu katekis dalam hal pewartaan terutama dalam pembinaan dan pengajaran iman. Selain membantu katekis, ketrampilan yang dimiliki katekis juga secara tidak langsung membantu para umat memahami maksud ajaran yang


(25)

diberikan katekis. Spiritualitas juga wajib dimiliki oleh seorang katekis. Spiritualitas akan mendorong dan menyemangati katekis dalam tugasnya. Spiritualitas menjadi kekuatan untuk menapaki tugasnya sebagai katekis. Spiritualitas juga menjadi api semangat yang terus menghidupi iman dan tugasnya sebagai katekis. Ada banyak sumber referensi yang membahas mengenai spiritualitas katekis. Spiritualitas seorang katekis yang utama digali dari Injil sebagai kisah Yesus, teladan para katekis. Melalui kehidupan Yesus, perbuatan dan ajaran-Nya, katekis dapat menggali spiritualitas untuk memberikan semangat dalam melayani. Demikian pula dalam Injil Yohanes 13: 1-20 katekis dapat menggali spiritualitas bagi kehidupan dan pelayannya kepada Yesus dan Gereja.

Dengan melihat kenyataan di atas maka penulis mencoba mendalami tulisan ini dengan judul : MENGGALI SPIRITUALITAS PELAYANAN KATEKIS YANG BERSUMBER DARI INJIL YOHANES 13: 1-20. Adapun maksud dari penulisan ini adalah untuk membantu para katekis menggali dan menghayati spiritualitas yang ada dalam Yoh 13: 1-20 sebagai spiritualitas bagi dirinya untuk menyemangati dan mendorong dalam pelayanaanya.

B. Rumusan Masalah

Bagian Rumusan masalah terdiri dari tempat rumusan, berisi tentang permasalahan yang akan coba dijawab oleh penulis dalam skripsinya seperti yang tertulis di bawah ini:


(26)

2. Bagaimanakah Spiritualitas yang bersumber dari Injil Yohanes 13: 1-20 dapat menjadi spiritualitas katekis?

3. Apakah yang dimaksud dengan katekis dan spiritualitas katekis?

4. Usaha-usaha apa yang dilakukan katekis untuk mendalami spiritualitas katekis yang bersumber dari Injil Yohanes 13: 1-20?

C. Tujuan Penulisan

Bagian tujuan penulisan terdiri dari empat rumusan, berisi tentang tujuan dari penulisan yang akan coba dicapai oleh penulis dalam skripsinya seperti yang tertulis di bawah ini:

1. Menggali spiritualitas yang bersumber dari Yoh 13: 1-20

2. Memberikan pemahaman kepada katekis bahwa spiritualitas yang bersumber dari Yoh 13: 1-20 dapat menjadi spiritualitas katekis

3. Mengetahui dan memahami pengertian katekis dan spiritualitas katekis

4. Membantu para katekis dalam menghayati spiritualitas yang bersumber dari Yoh 13: 1-20 menjadi sumber semangat katekis dalam melayani

D. Manfaat Penulisan

Bagian manfaat penulisan terdiri dari tiga rumusan, berisi tentang manfaat dari penulisan yang akan coba dicapai oleh penulis seperti yang tertulis di bawah ini:


(27)

1. Bagi katekis, menjadi pengetahuan dan masukan baru, untuk membantu katekis menggali spiritualitas yang bersumber dari Yoh 13: 1-20

2. Membantu katekis menghayati spiritualitas yang bersumber dari Yoh 13: 1-20 untuk menjadi sumber semangat mereka dalam melayani

3. Menjadi masukan untuk para katekis dan calon katekis

E. Metode Penulisan

Penulisan ini menggunakan metode deskriptif analitis. Pada tulisan ini, penulis akan memaparkan dan menganalisis permasalahan dengan bantuan kepustakaan untuk memecahkan permasalahan. Penulis akan mengupas sebuah teks Kitab Suci dari Yoh 13: 1-20 dan pengertian spiritualitas katekis dengan bantuan sumber-sumber tertulis untuk menjawab permasalah-permasalahan yang tertulis dalam rumusan masalah. Metode ini membutuhkan banyak sumber kepustakaan sebagai dasar ilmu untuk memecahakan permasalahan yang tertulis dalam tulisan ini. Oleh sebab itu, tantangan dengan metode ini adalah menemukan sumber-sumber referensi yang tepat agar dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang dikemukakan dengan baik.

F. Sistematika Penulisan

Tulisan ini mengambil judul Menggali Spiritualitas Pelayanan Katekis Yang Bersumber Dari Injil Yohanes 13: 1-20 dengan menggali spiritualitas


(28)

katekis di dalamnya sebagai sumber semangat katekis dalam melayani yang dikembangkan dalam lima bab yakni:

Bab I. Bab Pendahuluan ini merupakan bagian pendahuluan yang terdiri dari latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II. Spiritualitas dalam Yoh. 13: 1-20. Pada bab ini, penulis akan menguraikan spiritualitas katekis yang terkandung dalam perikop Yoh. 13: 1-20. Untuk menguraikan perikop ini penulis sebelumnya mengemukaan hal-hal yang berkaitan dengan Injil Yohanes yakni; latar belakang penulisan injil, tujuan penulisan injil, pengarang injil, perbedaan Injil Yoh dengan Sinoptik, cara pewartaan dalam Injil Yohanes dan Isi Injil Yohanes secara garis besar. Setelah mengenal Injil Yohanes secara umum, penulis memfokuskan pada perikop Yoh. 13: 1-20 tentang kisah pembasuhan kaki. Penulis dalam bagian ini akan mengupas isi perikop Yoh 13: 1-20 guna menemukan spiritualitas yang dapat digunakan untuk spiritualitas katekis.

Bab III. Yoh. 13: 1-20 sebagai sumber spiritualitas katekis. Katekis dan Spiritualitas Katekis akan menjadi pembahasan berikutnya. Pada bagian ini penulis akan mengemukakan siapa sosok katekis dalam Gereja Katolik. Bagian ini berisi mengenai siapa katekis, spiritualitas yang menjiwai pelayanan katekis, apa tugas seorang katekis, dan ketrampilan apa yang dibutuhkan katekis. Pada bagian


(29)

akhir penulis akan mengaplikasikan spiritualitas yang bersumber dari Yoh. 13: 1-20 menjadi spiritualitas katekis.

Bab IV. Program Pembinaan katekis dalam menghayati spiritualitas katekis dalam Yoh. 13: 1-20. Bab ini juga nantinya berisi usulan program pembinaan bagi katekis untuk menghayati spiritualitas katekis yang bersumber dari Yoh. 13: 1-20.

Bab V. Kesimpulan dan Saran. Bagian ini merupakan bagian terakhir yang terdiri dari kesimpulan dan saran.


(30)

BAB II

SPIRITUALITAS YANG BERSUMBER DARI YOHANES 13:1-20

Pada bab ini penulis akan membahas mengenai latar belakang, tujuan penulisan, pengarang Injil Yohanes, isi Injil Yohanes, kekhasan Injil Yohanes, isi Injil Yohanes 13:1-20 dan nilai spiritual yang terkandung dalam Yohanes 13:1-20.

A. Injil Yohanes

Pada bagian ini, penulis akan memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan Injil Yohanes. Penulis akan memaparkan latar belakang penulisan Injil Yohanes, tujuan penulisan Injil Yohanes, pengarang Injil Yohanes dan isi Injil Yohanes. Pemaparan hal-hal tersebut agar kita dapat lebih mudah mengenal hal-hal yang berkaitan dengan Injil Yohanes, sehingga akan lebih mudah memahami Injil Yohanes secara umum.

1. Latar Belakang Penulisan Injil Yohanes

Injil Yohanes adalah Injil keempat dalam Perjanjian Baru. Injil Yohanes dilambangkan dengan rajawali terbang. Injil Yohanes dimulai dengan prolog yang tinggi dan melambung guna menembus masuk hingga kekedalaman yang paling dalam dari misteri-misteri Tuhan, hubungan antara Bapa dan Putra dan misteri inkarnasi. Jika kita ingin mempelajari Injil Yohanes salah satu pijakan yang kita gunakan adalah latar belakang penulisan Injil ini. Untuk memahami latar belakang penulisan Injil Yohanes tidak bisa lepas dengan mengetahui jemaat dari Injil


(31)

Yohanes. Dengan mengetahui siapa jemaat dari Injil ini, maka dapat dipahami apa yang terjadi sehingga Injil ini ditulis.

Penulisan Injil Yohanes ditujukan untuk umat Kristen Yahudi Diaspora yang tersebar sejak Yerusalem dihancurkan sekitar tahun 70 M. Pada saat itu benturan antara agama kristen dan adat Yahudi begitu kuat yang menyebabkan kegalauan diantara umat Kristen Yahudi. Umat Kristen Yahudi mengalami kebingungan, saat jurang pemisah antara kekristenan dan Yudaisme semakin dalam. Di sisi lain mereka adalah orang Yahudi tetapi mengikuti Yesus dan di lain pihak Yudaisme tidak mengakui kekristenan. Mereka mengalami krisis iman karena “Kristen Diaspora menghadapi perdebatan dan penolakan kaum farisi terhadap Yesus dan para pengikut-Nya dengan pemisahan tegas dari Sinagoga dan Yudaisme melalui “Schemone-es’re” (Delapanbelas doa kutukan yang memaksa orang Kristen Yahudi untuk meninggalkan Sinagoga)” (Brown, 1966: LXXIV).

Dalam situasi perubahan semacam itu, bergemalah suara pewarta Kristen yang penuh wibawa yakni Injil Yohanes (Darmawijaya, 1988: 17). Injil Yohanes menegaskan kembali tradisi Kristen dan memberi semangat baru bagi umat Kristen Yahudi Diaspora dengan kemuliaan Yesus dengan berbagai “tanda” yang dikisahkan penginjil. Kisah-kisah Injil Yohanes yang lebih dramatik dari tulisan sinoptisi menguatkan iman umat Kristen Yahudi.

Injil keempat menampilkan Yesus yang sering berdialog bahkan bertikai dengan orang-orang Yahudi. Pertikaian antara Yesus dan orang-orang Yahudi banyak ditemui dalam Injil Yohanes dengan bahasa yang cukup tajam. Dapat


(32)

diandaikan Injil ini mau memberi informasi bahwa pertikaian dengan orang-orang Yahudi tidak hanya dialami oleh Yesus tetapi juga dengan murid-murid Yesus/umat Kristen Purba.

Injil Yohanes ditulis dalam bahasa Yunani. Bagaimana pun juga dunia Perjanjian Baru adalah dunia helenis. Dengan tulisan berbahasa Yunani, maka bisa dikatakan pendengar/pembaca injil ini adalah kelompok berbahasa Yunani. Hal ini terbukti dari beberapa istilah dalam bahasa Ibrani harus diterjemahkan seperti: Mesias (1:41), Rabbi (1:28), Golgota (19:17), Siloam (9:7). Dengan menjelaskan bahasa Ibrani ke dalam bahasa Yunani, penulis injil ini memahami dengan baik bahasa Ibrani. Dapat dikatakan bahwa pembaca injil Yohanes adalah orang kristen keturunan Yahudi yang tersebar di luar Palestina dan terpengaruh budaya Helenisme. Injil ini memang diperuntukkan bagi orang-orang Yahudi yang mendapat banyak tekanan dari luar karena percampuran budaya agar tetap percaya diri dengan imannya kepada Yesus.

2. Tujuan Penulisan Injil Yohanes

Injil Yohanes ditulis dengan tujuan tertentu. Kita dapat menemukan tujuan dari dalam Injil Yohanes itu sendiri. Tujuan penulisan Injil Yohanes dirumuskan sebagai berikut:

a. Tujuan pertama dari Injil Yohanes adalah mengajak pembacanya untuk percaya. Dari dalam Injil kita dapat menemukan ajakan dari penulis Injil untuk percaya. Dalam Yoh. 20:31 dikatakan,”...tetapi semua yang tercantum di sini telah


(33)

dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya.” Injil Yohanes mengajak kita untuk semakin percaya bahwa Yesus adalah Mesias. Tidak ada Mesias yang lain selain Yesus. Injil Yohanes juga mengajak kita untuk semakin percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah. Dia adalah Putra Tunggal Allah yang diutus Bapa-Nya untuk menyelamatkan manusia. Setiap orang yang mengimani Yesus sebagai Mesias, Anak Allah akan mendapat ganjaran yakni hidup bersama Yesus. Ganjaran itu ditegaskan kembali dalam Yoh. 3:16 yang mengatakan, karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Ganjaran dari iman akan Yesus adalah hidup kekal bersama-Nya. Ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah mengasihi setiap orang dan ingin menyelamatkan semua orang. Yang perlu dilakukan oleh manusia adalah terus-menerus percaya kepada Yesus, Putra-Nya yang diutus untuk menyelamatkan. Siapapun yang percaya kepada Yesus berarti percaya kepada Allah yang mengutus. Maka, percaya kepada Allah yang mengutus Yesus untuk menyelamatkan manusia menjadi dasar iman bagi manusia yang ingin selamat.

b. Injil Yohanes bertujuan memberikan pemahaman secara lebih jelas mengenai status Yohanes Pembaptis dan Yesus dalam rangka karya pewartaan Kerajaan Allah. Dalam Injil termuat bagaimana murid-murid Yohanes mempertanyakan Yesus yang juga membaptis. Dalam Yoh. 3:26 murid-murid Yohanes Pembaptis menyampaikan berita kepadanya,”Rabi, orang yang bersama


(34)

dengan engkau di seberang sungai Yordan dan yang tentang Dia engkau telah memberi kesaksian, Dia membaptis juga dan semua orang pergi kepada-Nya.” Murid-murid Yohanes Pembaptis menganggap Yesus bisa mengancam eksistensi Yohanes. Yohanes Pembaptis mengatakan bahwa dirinya sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan Yesus. Yohanes Pembaptis (Yoh. 3:30) mengatakan ,”Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin.” Hal ini karena Yohanes Pembaptis bukanlah tokoh utama dari karya keselamatan Allah. Yohanes Pembaptis mengajak para muridnya untuk percaya kepada Yesus karena “barangsiapa percaya kepada Anak, ia beroleh hidup yang kekal, tetapi barangsiapa tidak taat kepada Anak, ia tidak akan melihat dunia, melainkan murka Allah tetap di atas kepala” (Yoh. 3:36).

c. Injil Yohanes ditujukan untuk melawan ajaran doketisme yang mengancam iman akan Yesus Kristus. Melalui Injil Yohanes, ditegaskan kembali iman akan Yesus Kristus. Doketisme berasal dari kata doketis, yang artinya apa yang tampak. Ajaran doketisme menolak unsur kemanusiawian Yesus. Ajaran ini menganggap bahwa Yesus yang ada di dunia hanya tampak seperti Yesus, bukan Yesus yang sebenarnya. Ajaran ini berbahaya pada abad II Masehi karena dapat meruntuhkan iman akan Yesus yang hidup. Injil Yohanes digunakan untuk melawan ajaran ini dengan menegaskan bahwa Yesus adalah Firman yang menjadi manusia (Yoh. 1:14). Yesus itu nyata dan “diam di antara kita” (Yoh 1: 14) sekalipun dunia tidak mengenal-Nya (Yoh. 1:10). Semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya (Yoh. 1:12). Ditambahkan lagi dalam Yoh. 13:19


(35)

Yesus mengatakan ,”supaya jika hal itu terjadi, kamu percaya bahwa Akulah Dia” yang menegaskan bahwa kisah sengsara yang Ia jalani tidak digantikan oleh orang lain, tetapi benar Dialah yang dengan rela menderita sengsara demi menebus dosa manusia. Maka, sekali lagi Injil Yohanes adalah soal percaya kepada Yesus Sang Mesias, yang diutus Allah ke dunia, untuk membawa manusia kepada keselamatan kekal bersama Allah.

3. Pengarang Injil Yohanes

Bila berhadapan dengan Injil, entah itu Matius, Markus, Lukas maupun Yohanes maka yang menjadi pertanyaan adalah siapa di balik penulisan Injil itu. Demikian juga injil Yohanes memberi pertanyaan siapakah orang yang mengarang Injil Keempat? Apakah seseorang atau beberapa orang/kelompok? Brown (1966: LXXXVII-CII) menguraikan cukup panjang untuk membahas mengenai penulis Injil Yohanes. Pembahasan mengenai penulis Injil Yohanes ini berdasarkan tulisan Brown. Untuk mengemukakan siapakah penulis Injil Yohanes kita akan melihat dari dua pendekatan yakni pendekatan dari luar Injil Yohanes dan pendekatan dari dalam Injil Yohanes.

a. Bukti-bukti dari Luar Injil Yohanes

Yohanes anak Zebedeus, Rasul Yesus disebut-sebut menjadi penulis Injil Keempat. Jika berdasarkan tradisi penulisan yang diakhiri akhir abad ke-2 mengidentifikasi Yohanes Rasul sebagai penulis Injil Keempat. Tetapi tidak bisa


(36)

langsung kepada Yohanes anak Zebedeus, Rasul Yesus. Injil Yohanes sendiri menyebut murid yang dikasihi-Nya sebagai sumber informasi Injil ini, tetapi Irenaeus menganggap tidak semudah itu mengatakan bahwa murid yang dikasihi-Nya yang tidak disebutkan namanya adalah Yohanes (Brown, 1966: XC).

Di dalam kitab Wahyu 1: 9, disebutkan bahwa Yohanes yang diberikan penglihatan berada di Patmos dekat Efesus. Apakah benar Yohanes itu adalah anak Zebedeus? Di dalam Wahyu 18:20 (Bersukacitalah atas dia, hai sorga, dan kamu, hai orang-orang kudus, rasul-rasul dan nabi-nabi, karena Allah telah menjatuhkan hukuman atas dia karena kamu.") dan 21:14 (Dan tembok kota itu mempunyai dua belas batu dasar dan di atasnya tertulis kedua belas nama kedua belas rasul Anak Domba itu.), penulis menyebutkan Rasul sebagai orang ketiga, menunjukkan penulis bukan bagian dari Rasul. Yohanes Anak Zebedeus lebih banyak berkarya di Yerusalem dan Palestina, sedangkan publikasi Injil Yohanes dilakukan di Efesus.

Ada juga tradisi yang mengatakan bahwa Yohanes anak Zebedeus meninggal saat masih muda (Brown, 1966: LXXXIX). Ia dibunuh oleh orang-orang Yahudi bersama Yakobus saudaranya. Ireneaus berpendapat bahwa Yohanes yang ada di Efesus bukan Yohanes Rasul, tetapi Yohanes lain. Kemungkinan pertama adalah Yohanes Markus, kerabat Barnabas, pendamping Paulus. Tradisi abad ke-6 dari Cirus menyebutkan bahwa Yohanes Markus hadir ketika Yesus melakukan mukjizat di kolam Bethesda yang kisahnya hanya ada dalam Injil Yohanes. Tetapi Yohanes Markus tidak selalu bersama-sama Yesus. Banyak bagian dari kisah Injil ini yang diceritakan secara detail seolah-olah


(37)

pencerita turut hadir dalam kisah itu. Kemungkinan kedua adalah Yohanes Imam. Tampaknya Yohanes Imam merupakan Rasul Yesus yang bisa menjadi tokoh kuat untuk menuliskan Injil ini. Tetapi semua bukti-bukti tidak dapat menumbangkan argumen yang beredar bahwa Yohanes anak Zebedeus adalah penulis Injil Keempat.

b. Bukti-bukti dari dalam Injil Yohanes

Bukti dari dalam banyak membahas mengenai siapakah murid yang dikatakan dikasihi oleh Yesus. Dan orang yang melihat hal itu sendiri yang memberikan kesaksian ini dan kesaksiannya benar, dan ia tahu, bahwa ia mengatakan kebenaran, supaya kamu juga percaya (Yoh. 19:35). Menegaskan bahwa kesaksian ini berasal dari orang yang dekat dengan Yesus, murid yang disebutkan dikasihi Yesus ketika dia di bawah salib Yesus bersama Ibu Yesus (bdk. Yoh. 19:26-27). Dialah murid, yang memberi kesaksian tentang semuanya ini dan yang telah menuliskannya dan kita tahu, bahwa kesaksiannya itu benar (Yoh. 21:24) kembali menegaskan penulis Injil ini mengarah kepada murid yang dikasihi. Siapakah sebenarnya murid yang dikasihi Yesus itu?

Ada tiga tipe penyebutan yang menunjuk pada murid yang dikasihi. Pertama, muncul pada Yoh. 1:37-42 yakni murid Yohanes Pembaptis yang bersama-sama dengan Andreas mengikuti Yesus. Kedua, disebut sebagai murid yang lain yang ada dalam Yoh. 18:15-16 dan Yoh. 20:2-10. Ketiga, yang disebutkan murid yang dikasihi Yesus yang muncul dalam Yoh. 13:23-26, 19:25-27, 20:2-10, 21:7, 21:20-23 dan 21:24. Brown (1966: XCIV) menuliskan bahwa kemungkinan


(38)

pendapat ini sulit dipertahankan karena sebutan-sebutan itu menunjuk kepada seseorang yang terlibat dalam cerita. Lazarus adalah salah satu orang yang dikasihi Yesus. Yesus menangis saat menghadapi kenyataan Lazarus telah mati (Yoh. 11:35). Walaupun demikian, pendapat bahwa murid yang dikasihi Yesus adalah Lazarus tidak dapat dipertahankan. Kandidat lain adalah Yohanes Markus. Yohanes Markus diidentifikasi sebagai penulis Injil Keempat karena ia memiliki rumah di Yerusalem, sebagai pendamping Paulus sama seperti Lukas dan memiliki kontak dengan Petrus yang memungkinkan dirinya dapat menuliskan Injil Keempat. Kandidat lain adalah Yohanes anak Zebedeus, Rasul Yesus. Yohanes anak Zebedeus diyakini karena ia lama bersama Petrus dan Yakobus dan murid yang terus-menerus bersama Yesus. Hal ini menjadikan dirinya mampu memiliki informasi mengenai Yesus lebih banyak dari yang lain.

Brown menarik kesimpulan berdasarkan bukti dari luar dan dalam Injil Yohanes bahwa sangat sulit mengidentifikasi murid yang dikasihi sebagai Yohanes Markus, Lazarus atau yang lainnya. Berdasarkan bukti dari luar dan dalam bahwa Injil Keempat dengan Yohanes anak Zebedeus sebagai penulisnya merupakan hipotesa terkuat. Maka, Brown mempercayai bahwa Yohanes anak Zebedeus adalah penulis dari Injil Keempat.

Jaubert (1980: 18) mengatakan bagaimana mungkin Yohanes yang adalah nelayan mampu menulis injil dengan tingkat sastra yang tinggi. Hal lain yang menyulitkan pendapat bahwa penulis injil adalah Yohanes sendiri adalah sebutan “Murid yang dikasihi” yang dialamatkan kepada Yohanes dan Yakobus anak


(39)

Zebedeus. Rasanya cukup mengherankan jika Yohanes menyebutkan diri sendiri sebagai “murid yang dikasihi”.

Tidak ada bukti yang pasti bahwa penulis Injil Yohanes adalah Yohanes anak Zebedeus. Yang lebih masuk akal adalah bahwa memang Yohanes melatarbelakangi penulisan injil ini, namun ia sendiri tidak menyusunnya, Injil Yohanes mengalami proses pengggubahan yang lama dalam lingkungan Yahudi-Yunani (Jaubert, 1980: 18). Kemungkinan yang menyusun injil ini adalah murid-murid Yohanes yang mendapatkan sumber dari Yohanes sendiri. Pada perkembangannya tulisan injil Yohanes mengalami penggubahan oleh beberapa pihak. Hal ini dibuktikan dengan adanya tulisan mengenai penjelasan akan kebenaran saksi mata dalam Yoh 21:24 : Dialah murid, yang memberi kesaksian tentang semuanya ini dan yang telah menuliskannya dan kita tahu, bahwa kesaksiannya itu benar. Dengan ini dapat disimpulkan siapapun yang menulis injil Yohanes mendapatkan sumber dari seorang saksi mata (Yoh. 21:24) yang dipercaya yang dikaitkan dengan murid yang dikasihi Yesus (Yoh. 21:20-23) sebagai wibawa dalam injil Yohanes. Bagi penulis, Injil Yohanes ditulis oleh orang yang dekat dengan Yesus. Mengikuti Brown penulis meyakini salah satu murid-Nya yang disebut murid yang dikasihi Yohanes anak Zebedeus sebagai sumber dari penulisan Injil Yohanes. Yohanes anak Zebedeus sulit dipercaya menulis Injil dengan sastra demikian indah. Maka, penulis menyimpulkan bahwa para murid Yohanes adalah penulis Injil Yohanes dengan sumber utama cerita berasal dari Yohanes.


(40)

4. Isi Injil Yohanes

Injil Yohanes memiliki bagian penting yang terbagi dalam beberapa bagian. Menurut Darmawijaya (1988: 23-29) secara garis besar isi Injil Yohanes tersusun secara demikian:

 Prolog/Prakata (Yoh. 1:1-18)  Buku Tanda (Yoh. 1:19 – 12:50)  Buku Kemuliaan (Yoh. 13:1 – 20:29)  Penutup (Yoh. 20:30-31)

 Tambahan-tambahan pada Injil Yohanes (Yoh. 7:53 – 8:11 daan 21:1-25)

1) Prolog/Prakata (Yoh. 1:1-18)

Yohanes 1:1-18 kerap disebut prakata/prolog Injil Keempat (Darmawijaya 1988: 24). Prolog/prakata ini merupakan himne yang menciptakan suasana dan menyajikan tema-tema penting yang kemudian diolah dalam Injil ini. Dengan kata lain di sini Injil mulai menampakkan diri dalam prolog/prakata. Prakata/prolog menampilkan Keilahian Yesus yang merupakan Firman yang hidup. Di dalam Prolog juga disampaikan mengenai peran Yohanes Pembaptis. Yohanes Pembaptis bukan terang yang dimaksudkan tetapi saksi dan pembuka jalan bagi terang itu.


(41)

2) Buku tanda (Yoh. 1:19-12:50)

Buku ini berisi tujuh tanda yang dibuat oleh Yesus. Tanda dalam Yohanes adalah mukjizat dalam sinoptik yang dibuat Yesus. Tanda dalam Tujuh tanda itu ialah: Tanda pertama adalah perubahan air menjadi anggur pada peristiwa pernikahan di Kana (Yoh. 2: 1-11), yang menyimbolkan kuasa Yesus untuk mengubah¨ segala sesuatu; Ia mengubah kegelapan menjadi terang, mengubah kematian menjadi kehidupan. Tanda yang kedua adalah peristiwa penyembuhan anak pegawai istana di Kapernaum (Yoh. 4: 46-54). Penyembuhan yang terjadi hanya oleh kata-kata yang diucapkan Yesus dari jarak jauh yang menyimbolkan kuasa kata-kata Yesus yang membawa kehidupan.

Tanda ketiga adalah penyembuhan seorang yang telah menderita sakit selama tiga puluh delapan tahun yang terbaring di dekat Pintu Gerbang Domba di Yerusalem, di tepi kolam Betesda (Yoh. 5: 1-9). Peristiwa penyembuhan ini melanjutkan tema air pembaptisan demi pembaharuan hidup. Tanda yang keempat dan kelima terjadi dalam Yohanes bab 6, peristiwa pergandaan lima roti dan dua ikan untuk memberi makan lima ribu orang (6:1-15), dan peristiwa Yesus berjalan di atas air (Yoh. 6:16-21). Kedua tanda ini menjadi symbol akan suatu eksodus baru, peristiwa penyeberangan budak dosa menuju Tanah Terjanji. Di tempat tujuan perjalanan itu kita tak akan lagi dikenyangkan oleh manna duniawi serta susu dan madu sebagaimana dijanjikan dalam Perjanjian Lama, tetapi dikenyangkan oleh santapan surgawi Tubuh Kristus sendiri.

Tanda keenam dapat ditemukan dalam bab 9 tentang penyembuhan seorang yang buta sejak lahir. Ketika para murid bertanya dosa siapa yang


(42)

menyebabkan ia dilahirkan buta, Yesus menjawab bahwa ia dilahirkan untuk menjadi tanda pernyataan kekuasaan Allah, bahwa Ia adalah terang dunia. Tanda ketujuh yang sekaligus merupakan klimaks dari semua tanda dalam Injil Yohanes adalah peristiwa kebangkitan Lazarus dari kematian (Yoh 11:1-44). Lazarus menjadi simbol kehidupan baru, yang berbicara tentang kemenangan Yesus akan kematian serta semua orang lain yang percaya dalam nama-Nya. Setiap orang yang percaya kepada Yesus akan memperoleh kehidupan yang kekal.

Buku tanda bukan hanya menampilkan tanda-tanda yang dibuat Yesus, penginjil juga menyampaikan hal lain seperti kesaksian Yohanes (Yoh. 3:22-36), percakapan dengan Nikodemus (Yoh. 3:1-21), percakapan dengan perempuan Samaria (Yoh. 4:1-42). Dalam buku tanda, penginjil menampilkan Yesus yang tampil di depan publik. Yesus mengajar banyak orang di tempat-tempat umum. Dalam buku tanda Yesus hadir di tengah-tengah orang.

3) Buku kemuliaan (Yoh. 13:1 – 20:29)

Jika dalam buku tanda-tanda Yesus tampil di depan umum, maka dalam buku kemulian Yesus memberikan pengajaran kepada para muridNya. Buku kemuliaan dibagi menjadi tiga bagian yakni; perjamuan terakhir (Yoh. 13:1 – 17:26), kisah sengsara dan Wafat Yesus (Yoh. 18:1 – 19:42) dan kebangkitan Yesus (Yoh. 20:1-29).

Bagian perjamuan terakhir berisi cerita panjang yang diawali perjamuan makan yang tidak biasa yakni adanya pembasuhan kaki pembasuhan kaki oleh Yesus pada saat perjamuan makan berlangsung dan dilanjutkan dengan wejangan


(43)

panjang yang diberikan khusus untuk para murid-Nya yang kemudian ditutup dengan doa Yesus untuk murid-murid-Nya. Pada bagian inilah penulis akan membuka lebih dalam mengenai pembasuhan kaki oleh Yesus kepada murid-murid-Nya.

Bagian kisah sengsara Yesus adalah bagian yang dimulai dengan penangkapan Yesus yang dramatis, pengadilan Yesus yang dibarengi kisah penyangkalan Petrus, dilanjutkan hukuman mati Yesus hingga kematian Yesus dan ditutup dengan penguburan Yesus.

Bagian kebangkitan Yesus diawali kisah kesaksian para perempuan yang menjenguk kubur Yesus yang kosong yang diikuti beberapa penampakan yang dilakukan Yesus kepada murid-murid-Nya.

4) Penutup (Yoh. 20:30-31)

Bagian penutup berisi mengenai tujuan dari penulisan Injil ini yakni supaya pembaca percaya kepada Yesus dan terselamatkan karena kepercayaan para pembaca yang tidak melihat langsung.

5) Tambahan-tambahan (Yoh. 7:53 – 8:11 dan 21:1-25)

Tambahan-tambahan adalah isi Injil yang bukan karya asli penulis tetapi tambahan dari redaksi kedua yang sudah dibahas sebelumnya. Hal ini karena adanya perbedaan dari gaya tulisan sehingga beberapa bagian memang nyata dan


(44)

disetujui oleh ahli bahwa itu bukan bagian dari karya asli penulis tetapi tetap menjadi kanon.

B. Kekhasan Injil Yohanes

Injil Yohanes memiliki kekhasan yang membedakan Injil ini dengan ketiga Injil lain. Ada tiga perbedaan yang akan dibahas di sini antara Injil Yohanes dengan Injil Sinoptik. Selain perbedaan dengan Injil Sinoptik, Injil Yohanes memiliki cara pewartaan yang lain dari Injil Sinoptik menjadikan kekhasan tersendiri dari Injil Yohanes.

1. Perbedaan Injil Yohanes dengan Injil Sinoptik

Injil Yohanes memiliki perbedaan dengan injil sinoptik. Menurut Darmawijaya (1988: 22-23) perbedaan yang muncul dari Injil Yohanes dan Injil Sinoptik adalah rangkaian kata yang digunakan, gaya bahasa dan susunan bahan yang dikemukakan di dalamnya. Darmawijaya menambahkan Injil Yohanes mencolok sekali dengan bentuk-bentuk renungan panjang sesudah kisah, teknik drama dan dialog, simbolik dan kata-kata dengan arti mendua atau ambigue. Sedangkan Injil Sinoptik tidak banyak renungan setelah kisah, menggunakan teknik monolog dan tidak banyak menggunakan simbol-simbol dalam kisahnya.

Y. Haryanto dalam bukunya yang berjudul “Injil Yohanes; Beberapa Catatan” menuliskan ada 3 perbedaan besar antara Yohanes dan sinoptik yakni:


(45)

1) Tempat: para pengarang Sinoptik memusatkan sebagian besar dari hidup Yesus di Galilea dan Kafernaum sebagai pusat, sedangkan Yohanes menceritakan Yesus pergi emapt kali ke Yerusalem dan sebagian besar tugas-Nya di Galilea

2) Kronologi: dalam Sinoptik Yesus mengawali tugas-Nya setelah Yohanes Pembaptis dipenjara (Mat. 4:12, Mrk. 1:14, Luk. 3:20), tugas-Nya berlangsung selama satu tahun karena paska hanya disebut satu kali setelah kisah sengsara Yesus. Sedangkan Yohanes menceritakan Yesus memulai tugas sebelum Yohanes Pembaptis dipenjara (Yoh. 3:24-26) dan karya-Nya berlangsung selama dua tahun karena pesta paska disebut sebanyak tiga kali (Yoh. 2:13-23, 6:4, 12:1)

3) Mukjizat: Injil Sinoptik menyebutkan mukjizat yang dibuat Yesus sebanyak dua kali yakni perbanyakan roti dan berjalan di atas air. Sedangkan Yohanes menceritakan Yesus membuat lima mukjizat; perkawinan di Kana, penyembuhan anak pegawai istana, penyembuhan orang lumpuh, penyembuhan orang buta sejak lahir dan Lazarus dihidupkan kembali.

2. Cara Pewartaan Injil Yohanes

Yohanes menuliskan cara pewartaan Yesus dengan bentuk yang lain dari yang lain. Yohanes menampilkan Yesus yang mewartakan dengan cara pidato, dialog dan penggunaan kiasan atau simbolik. Pidato/wejangan yang diungkapkan Yohanes dengan menggunakan jenis sastra “surat wasiat” yang lazim digunakan pada masa kehidupan Yesus. Wejangan-wejangan yang diungkapkan Yesus berisi


(46)

Penggunaan dialog dalam injil Yohanes juga merupakan sastra yang dikenal baik dalam sastra modern dan kuno (Jaubert, 1980: 22). Dengan dialog, diungkap Yesus yang dekat dengan para pendengar-Nya. Dialog yang terjadi antara Yesus dengan yang lain mengakibatkan banyak hal salah paham dan salah arti. Hal itu ditegaskan oleh Yohanes untuk menunjukkan pemikiran Yesus yang melampaui manusia, sehingga manusia sulit mengimbangi yang membuat menjadi salah paham/salah arti.

Kiasan/simbolik adalah cara berikutnya yang digunakan Yohanes. Kiasan membantu penginjil mengungkapkan sebuah pernyataan lain di balik kiasan itu. Namun hal ini menuntut pembaca memahami dengan seksama apa yang dimaksud dari kiasan itu. Lambang-lambang biasa digunakan oleh orang Yahudi untuk mengungkapkan sesautu yang konkret.

C. Injil Yohanes 13:1-20

Injil Yohanes memasuki bagian Buku Kemuliaan dengan kisah pembasuhan kaki sebagai pembukanya. Yesus menutup perjalanan panjang selama dua tahun berkarya untuk orang banyak dan memasuki akhir dari perjalanan karya-Nya di dunia. Yesus ingin memberikan warisan kepada para murid-Nya sebelum Ia meninggalkan mereka. Warisan yang diberikan Yesus bukanlah harta benda yang dapat hilang dalam waktu singkat, tetapi warisan wejangan-wejangan yang berguna bagi Rasul-rasul dan para pengikut Yesus sampi saat ini.


(47)

Buku Kemuliaan dimulai dengan kisah pembasuhan kaki. Pembasuhan kaki adalah kisah yang hanya ada dalam Injil Yohanes. Yesus mulai memberikan warisan-Nya kepada Para Rasul juga dalam pembasuhan kaki. Brown (1970: 558) mengatakan “ayat 6-10 mengindikasikan bahwa apa yang Yesus lakukan dalam pembasuhan kaki adalah hal yang perlu karena ingin memberikan nasehat/wejangan kepada para murid dan membersihkan dosa mereka.” Apakah sebenarnya warisan yang diberikan Yesus dalam pembasuhan kaki? Jawaban atas pertanyaan itu terus digali oleh para cendikiawan Gereja untuk menemukan warisan-warisan yang diberikan Yesus dalam pembasuhan kaki. Banyak pendapat dari mereka mengenai apa yang Yesus maksudkan dari tindakan pembasuhan kaki hingga diskusi setelahnya. Brown (1970: 560) mengutip dari Boismard mengatakan bahwa “ Moral dan Sakramental adalah dua makna yang dapat ditafsirkan dari perisiwa pembasuhan kaki.” Sejalan dengan pemikiran itu, jika dilihat dengan perspektif moral maka pembasuhan dipandang sebagai tanda kematian Yesus, tanda aksi nyata pelayanan Yesus, tanda akan cinta Yesus dan tanda kerendahan hati Yesus. Jika dilihat dari sudut pandang sakramental, Cullman yang telah menghidupkan kembali teori Loisy dan Bauer W. mengatakan bahwa “pembasuhan kaki merujuk pada Baptis dan Ekaristi (Brown, 1970: 559). Ada juga rujukan lain dari pembasuhan kaki yakni Tobat dengan kata kunci dari ayat 10 “.. tidak perlu mencuci seluruh badan kecuali kaki.” Pada tulisan ini kita akan membahas sedalam mungkin untuk menemukan banyak hal yang akan mengantar kita menemukan spiritualitas dari Injil Yohanes 13:1-20.


(48)

Schnackenburg (1975: 15-27) membagi Yoh. 13:1-20 menjadi empat bagian utama yakni; pendahuluan dan pembasuhan kaki (13:1-5), dialog Yesus dengan Petrus (13:6-11), Pembasuhan Kaki sebagai teladan untuk para murid (13:12-17) dan peringatan pengkhianatan dan penekanan akan iman (13:18-20). Brown (1970: 563-572) membagi Yoh. 13:1-20 menjadi lima bagian yakni; Pendahuluan Buku Kemuliaan (13:1), Pendahuluan Pembasuhan Kaki (13:2-3), Pembasuhan Kaki (13:4-5), Penjelasan Pembasuhan Kaki (Dialog) (13:6-11) dan Penjelasan Pembasuhan Kaki (Diskursus) (13:12-20).

Berdasarkan Schnackenburg dan Brown, penulis akan membagi Yohanes 13:1-20 menjadi 5 bagian utama yakni:

 Pendahuluan (13:1-3)  Pembasuhan kaki (13:4-5)

 Dialog antara Yesus dan Petrus (13:6-11)  Diskursus/penjelasan dari Yesus (13:12-17)  Peringatan pengkhianatan Yudas (13:18-20) Kita akan membahas per-bagian agar lebih mudah memahami.

1. Pendahuluan (ayat 1-3)

1. Sementara itu sebelum hari raya Paskah mulai, Yesus telah tahu, bahwa saat-Nya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa. Sama seperti Ia senantiasa mengasihi murid-murid-Nya demikianlah sekarang Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya. 2. Mereka sedang makan bersama, dan Iblis telah membisikkan rencana dalam hati Yudas Iskariot, anak Simon, untuk mengkhianati Dia. 3. Yesus tahu, bahwa Bapa-Nya telah menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya dan bahwa Ia datang dari Allah dan kembali kepada Allah.


(49)

Peristiwa pembasuhan kaki berada dalam konteks perayaan Paskah. Dalam Yohanes, ini adalah perayaan Paskah yang ketiga (bdk. Yoh. 2:13,23; 6:4) sepanjang karya Yesus (O’day, 1995: 721). Yesus melakukan pembasuhan kaki dalam sebuah perjamuan makan malam bersama murid-murid-Nya. Perjamuan makan malam diadakan “sebelum hari Raya Paskah mulai” (Yoh. 13:1). Tanggal perjamuan malam sebelum wafat Yesus memiliki perbedaan antara Injil Sinoptik dengan Injil Yohanes. Menurut Injil Sinoptik (Mrk. 14:12, Mat. 26:17 dan Luk. 22:7) Yesus makan perjamuan Paskah bersama para murid di malam sebelum Dia wafat (Brown, 1970: 555). Ketiga Injil Sinoptik menuliskan hampir serupa yakni bahwa hari itu akan diadakan hari raya Roti Tak Beragi, kemudian diceritakan Yesus meminta murid-murid-Nya untuk pergi ke kota dan mempersiapkan tempat perjamuan Paskah yang terakhir (bdk. Mrk. 14:14, Mat. 26:18 dan Luk. 22:11). Maka, dapat disimpulkan bahwa perjamuan makan malam sebelum Yesus ditangkap adalah perjamuan Paskah. Injil Yohanes memiliki penanggalan yang berbeda mengenai perjamuan makan malam sebelum Yesus ditangkap. Brown (1970: 555) mengatakan bahwa Yohanes memberikan gambaran waktu perjamuan makan malam terakhir yang berbeda. Perjamuan Terakhir berada dalam periode sebelum Paskah (13:1), dan penghukuman dan penyaliban Yesus ditanggal persiapan Perayaan Paskah , Nisan tanggal 14 (Yoh. 18: 28, 39; 19: 14). Jika kita melihat berdasarkan urutan kejadian, kita mulai dari Yoh. 13:1 yang saat itu merupakan makan malam yang disebutkan sebelum Paskah. Setelah Yesus selesai memberi wejangan-wejangan terakhir, Ia berdoa (Yoh. 13:21-17:26). Masih malam yang sama kemudian Yesus ditangkap dan dibawa kepada Hanas sampai


(50)

pagi hingga peristiwa penyangkalan Petrus (Yoh. 18:1-27). Saat pagi, Yesus dibawa ke gedung pengadilan tetapi orang Israel tidak ikut masuk yang disebabkan takut najis karena mereka hendak makan Paskah (Yoh. 18:28). Yesus kemudian berhadapan dengan Pilatus (Yoh. 18:29-19:16a). Dalam Yoh. 18:39 Pilatus memberi hadiah Paskah kepada orang Israel dengan membebaskan tahanan. Dari sini jelas bahwa perayaan Paskah baru akan berlangsung. Untuk lebih jelas, dalam Yoh. 19:14 dikatakan bahwa “hari itu ialah hari persiapan Paskah, kira-kira jam dua belas.” Maka perjamuan malam yang disertai pembasuhan kaki malam sebelumnya bukan perjamuan Paskah, tetapi perjamuan malam terakhir Yesus bersama murid-murid-Nya.

Ayat 1 adalah pendahuluan dari Buku Kemuliaan. Buku Kemuliaan merupakan kisah dimana Yesus akan meninggalkan dunia melalui kematian di salib. Yohanes menuliskan bahwa “Yesus telah tahu, bahwa saat-Nya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa.” (Yoh. 13:1). Kata “tahu” memperlihatkan keilahiaan Yesus yang mengetahui rencana Allah yang Agung. Kata “saat-Nya” menunjuk kepada kematian Yesus yang tidak akan lama lagi. Saat kematian Yesus itu sama artinya dengan waktunya memimpin dengan kemuliaan-Nya yang lebih besar (Schnackenburg, 1975: 15). Hal ini karena melalui kematian-Nya yang sudah Ia ketahui, Yesus akan mengakhiri aktifitas-Nya di dunia ini dan akan kembali kepada Bapa. Bersama Bapa-aktifitas-Nya Yesus akan melakukan pekerjaan menyelamatkan manusia sebagai Putra Allah Yang Tunggal yang sudah tidak lagi berwujud manusia. Kematian Yesus bukan merupakan akhir dari hidup Yesus. Melalui kebangkitan-Nya, Yesus mengalahkan maut dan


(51)

melalui kenaikan-Nya ke surga Ia dipermuliakan sebagai Anak Tunggal Allah, Sang Penebus Dosa. Yesus akan memimpin para murid dan dunia dengan kemuliaan Putra Bapa yang duduk di sisi kanan Bapa. Kematiaan Yesus menandakan untuk kembali kepada Bapa. Apapun yang berasal dari Bapa akan kembali kepada Bapa, maka Yesus yang berasal dari Bapa akan kembali kepada Bapa melalui jalan terjal dan kematian.

Di frase kedua Yesus menunjukkan cinta-Nya kepada siapapun dan sampai selama-lamanya. Frase kedua (1b. Sama seperti Ia senatiasa mengasihi murid-murid-Nya demikianlah sekarang Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya) merupakan pendahuluan dari pembasuhan kaki dan perjamuan terakhir karena di sana Yesus menunjukkan cinta-Nya yang begitu besar kepada para murid. Yesus mencintai semua orang. Kematiaan-Nya bukan semata untuk para murid dan orang-orang dekat Yesus tetapi untuk semua orang demi penebusan dosa dunia. Kata “mereka” menunjuk kepada siapa yang mencintai, mendengarkan dan mengikuti jalan-Nya (Schnackenburg, 1975: 16). Yesus mencintai sampai pada kesudahan-Nya merupakan tanda bagaimana kualitas cinta Yesus (O’day, 1995: 721). Cinta yang ditunjukkan Yesus adalah cinta seorang gembala kepada dombanya yang akan mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi domba-domba yang dicintainya. Yesus melakukan tindakan cinta itu pada saat pembasuhan kaki. Tetapi bukti cinta sampai akhir akan diwujudkan ketika Ia menyerahkan hidup-Nya di kayu salib.

Ayat 2 dan 3 adalah pendahuluan pembasuhan kaki. Sekalipun ayat 1 juga demikian, dalam ayat 2 dan 3 tampak lebih jelas. Dalam ayat 2 dikisahkan bahwa


(52)

mereka sedang makan bersama dan saat yang bersamaan iblis membisikkan rencana kepada Yudas untuk mengkhianati Yesus. Mengenai saat iblis membisikkan rencana pengkhianatan kepada Yudas, Injil Yohanes berbeda dengan Injil Sinoptik. Injil Sinoptik menceritakan bahwa Yudas telah dibisikkan rencana untuk mengkhianati Yesus dan melakukannya sebelum perjamuan makan malam berlangsung (bdk. Mat. 26:14-16, Mrk. 14:10-11, Luk. 23:3-6). Dalam Injil Sinoptik, Yesus mengatakan tentang pengkhianatan akan diriNya saat makan bersama. Yohanes mengisahkan bahwa iblis baru membisikkan rencana pengkhianatan saat mereka makan bersama dan akan dilaksanakan dalam ayat 27. Pengkhianatan masuk dalam ayat 2 yang sudah masuk dalam buku kemuliaan, sehingga pembaca dapat menghubungkan pembasuhan kaki dan kematian Yesus secara lebih jelas (Brown, 1970: 563).

“Yesus tahu” dalam ayat 3, dapat menunjukkan 2 hal sekaligus. Yesus mengetahui bahwa iblis telah membisikkan rencana pengkhianatan kepada Yudas dan Yesus juga tahu bahwa Ia diberi kuasa untuk memilih jalan-Nya oleh Bapa. Yohanes menunjukkan kekuatan dan kemuliaan Yesus melalui ini. Kita tidak perlu kaget dengan kemuliaan, kekuatan dan pengetahuan Yesus. Kita sudah mengetahuinya dalam ayat 1 melalui kata “saatnya” yang menunjukkan pengetahuan Yesus, dan bahwa diri-Nya akan dipermuliakan pada nantinya. Yesus diberi kuasa oleh Bapa untuk menentukan nasib-Nya sendiri. Yesus tahu bahwa bisa saja Ia menolak kematian yang menghadang di depan, tetapi Ia adalah Putra yang taat kepada Bapa. Kedatangan-Nya di dunia memiliki tujuan dan Ia akan menyelesaikan tujuan itu sekalipun Ia harus melalui kematian. Yesus berasal


(53)

dari Bapa dan akan kembali kepada Bapa. Frase ini menunjukkan hubungan erat antara Yesus dengan Bapa. Hal ini seperti menegaskan bahwa Yesus adalah Putra Bapa yang berasal dari Bapa, datang ke dunia menyelesaikan tugas dari Bapa-Nya. Saat semua tugas telah selesai, Ia akan kembali ke rumah, kembali kepada Bapa-Nya. Yesus memiliki kekuatan yang besar, tetapi Ia akan menunjukkan sesuatu dari sisi yang lain dari kekuatan-Nya. Pada saat pembasuhan kaki nantinya, sekalipun Yesus memiliki kekuatan dan kemuliaan yang jauh lebih besar dari manusia, Ia menunjukkan kerendahan hati seorang pelayan kepada para murid-Nya.

2. Pembasuhan kaki (ayat 4-5)

4 Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, 5 kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu Pembasuhan kaki merupakan sebuah tradisi Yahudi. Dalam tradisi Yahudi, jika seorang tamu akan memasuki rumah seorang tuan rumah, sebelum masuk rumah budak/hamba akan membersihkan kaki mereka dengan membasuh dan mengeringkan karena telah kotor selama dalam perjalanan (O’day, 1995: 722). Sebagai tanda pengabdian, kadang murid-murid akan memberikan layanan ini kepada guru atau rabbi mereka (Brown, 1970: 565). Dengan kata lain, pembasuhan kaki merupakan bentuk pelayanan kepada orang yang memiliki status sosial yang lebih tinggi dari yang membasuh.

Yesus memiliki pandangan yang berbeda dengan tradisi ini. Ia merubah hal ini secara luar biasa, yakni pelayanan dilakukan oleh guru kepada murid.


(54)

Perubahan yang dilakukan Yesus bukan hanya menggetarkan hati para murid, tetapi juga banyak orang setelah membaca Injil ini. Bagaimana bisa seorang Guru yang bahkan Tuhan merunduk dan membasuh kaki murid-Nya yang hanya manusia biasa? Yang perlu kita ingat bahwa Yesus dalam hal ini sedang memberikan warisan kepada murid-murid-Nya. Bisa jadi ini adalah warisan juga dari Yesus. Warisan macam apa yang diberikan Yesus akan dijelaskan oleh Yesus melalui dialog dengan Petrus dan penjelasan-Nya secara langsung.

Yesus membasuh kaki para murid tanpa basa-basi atau pendahuluan. Ia langsung bangkit dan menanggalkan jubah-Nya dan mengikatkan kain lenan di pinggang-Nya. Yesus menanggalkan pakaian luar-Nya adalah kata kerja sama yang digunakan oleh Yesus untuk menggambarkan meletakkan/menyerahkan nyawa-Nya (O’day, 1995: 722). Jubah adalah tanda kebesaran seseorang bagi si pemakai. Dengan Yesus menanggalkan jubah-Nya, maka Ia juga menanggalkan segala kebesaran yang Ia punya. Kemudian Ia mengikatkan kain lenan di pinggan-Nya. Kain lenan digunakan oleh budak untuk mengeringkan kaki para tamu setelah dibasuh. Yesus merendahkan diri dan mengambil rupa seorang hamba (Brown, 1970: 564). Tindakan Yesus yang menanggalkan jubah yang diteruskan dengan mengikatkan kain lenan berurutan. Ia meninggalkan kemuliaan yang Ia punya kemudian mengambil peran seorang hamba yang akan melayani murid-Nya. Ketika Yesus mengikat dirinya dengan kain lenan, dia menganggap posisi hamba, tetapi tindakan keramahan yang ditunjukkan adalah tindakan dari tuan rumah.


(55)

Yesus menuangkan air (ayat 5) menandakan Ia mulai membasuh kaki para murid satu demi satu. Penggunaan air di sini dapat melambangkan sebuah pembaptisan. Yesus menggunakan air untuk membersihkan kaki para murid dari debu. Bila kita hubungkan dengan pembaptisan, Yesus membersihkan para murid dari dosa. Yesus mempunyai dua peran dalam pembasuhan kaki yakni sebagai hamba dan tuan rumah. Ketika Yesus membasuh kaki dan menyeka dengan kain lenan Ia mengambil peran seorang hamba, tetapi saat Ia memberikan keramahan saat pembasuhan Yesus mengambil peran tuan rumah yang menyambut tamu (O’day, 1995: 722-723). Tidak begitu jelas mengapa Yesus membasuh kaki di tengah-tengah perjamuan. Brown (1970: 565) mengatakan,”Pembasuhan kaki harusnya dilakukan saat akan masuk ke dalam rumah, bukan dilakukan saat sedang makan. Bisa jadi ini memang dimaksudkan Yesus akan melakukan tindakan ini saat semua murid berkumpul jadi lebih mudah juga untuk menjelaskan langsung kepada semua. Yesus tidak akan melakukan tindakan tanpa maksud, kemungkinan pembasuhan kaki yang dilakukan Yesus bukan dimaksudkan untuk mengubah tradisi, tetapi tentang cinta Yesus kepada murid-murid-Nya.

3. Dialog antara Yesus dengan Petrus (ayat 6-11)

6. Maka sampailah Ia kepada Simon Petrus. Kata Petrus kepada-Nya: "Tuhan, Engkau hendak membasuh kakiku?" 7. Jawab Yesus kepadanya: "Apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang, tetapi engkau akan mengertinya kelak." 8. Kata Petrus kepada-Nya: "Engkau tidak akan membasuh kakiku sampai selama-lamanya." Jawab Yesus: "Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku." 9. Kata Simon Petrus kepada-Nya: "Tuhan, jangan hanya kakiku saja, tetapi juga tangan dan kepalaku!" 10. Kata Yesus kepadanya: "Barangsiapa telah


(56)

mandi, ia tidak usah membasuh diri lagi selain membasuh kakinya, karena ia sudah bersih seluruhnya. Juga kamu sudah bersih, hanya tidak semua." 11. Sebab Ia tahu, siapa yang akan menyerahkan Dia. Karena itu Ia berkata: "Tidak semua kamu bersih.

Percakapan antara Petrus dengan Yesus dalam pembasuhan kaki menjadi awal dari penafsiran maksud pembasuhan kaki. Brown (1970: 565) mengatakan bahwa sulit menentukan apakah Petrus menanggapi tindakan Yesus untuk mewakili para murid yang lain atau untuk dirinya sendiri. Petrus menolak ketika Yesus tiba untuk membasuh kakiknya karena Ia mengerti bahwa Yesus adalah Tuhan dan Gurunya (Riyadi, 2011: 303). Sebagai seorang Yahudi, Petrus sangat paham mengenai posisi dan status sosial. Yesus memiliki status yang lebih tinggi dari Petrus. Ia Guru dan bahkan Tuhan, maka jelas Petrus tidak mau orang yang sangat Ia hormati berlutut dan membasuh kakinya. Petrus dalam posisi yang sulit. Ia ingin menunjukkan rasa hormatnya kepada Yesus dengan menolak dibasuh karena Petrus merasa tak layak mendapat perlakukan seperti itu dari Yesus. Yohanes seperti sebelumnya menggambarkan murid-murid Yesus adalah orang-orang yang sangat sulit memahami setiap tindakan Yesus (Schnackenburg, 1975: 18). Percakapan Petrus dan Yesus menjadi bukti nyata mengenai pendapat ini. Gail R. O’day (1995: 722) mengetengahkan pendapat bahwa “yang dapat menjadi perhatian dari ayat 6 adalah Yesus membasuh kaki Petrus di urutan pertama (seperti yang diyakini Agustinus) atau terakhir (seperti yang diyakini Origen)”. Jika Petrus yang pertama bisa jadi sikapnya mempengaruhi murid lain, tetapi jika Petrus yang terakhir bisa jadi ia terpengaruh oleh yang lain. Tetapi berdasarkan keyakinan penulis, jika kita melihat awal dari ayat 6 (Maka sampailah Ia kepada Simon Petrus) dengan melihat ayat 5 bagian akhir (dan mulai membasuh kaki


(57)

murid-murid-Nya), Petrus tidak berada pada urutan pertama. Penulis setuju dengan Origen bahwa Petrus berada pada urutan terakhir karena setelah berdialog dengan Petrus, Yesus menyudahi pembasuhan kaki. Petrus adalah orang yang keras kepala, penulis meyakini sekalipun terakhir Petrus tidak terpengaruh murid lain. Petrus memiliki prinsip yang kuat, pendirian yang teguh, itu sebabnya Petrus ditunjuk menjadi batu penjuru Gereja.

Yesus memberi jawaban atas penolakan yang dilakukan Petrus. Yesus mengatakan dengan jelas bahwa yang dilakukan-Nya adalah sebuah tindakan simbolik. Tindakan yang dilakukan Yesus memiliki makna tersembunyi yang akan dipahami murid-murid-Nya kelak. Yesus berkata “..., tetapi engkau akan mengerti kelak.”, adalah sebuah simbol kematian-Nya. Para murid benar-benar paham dengan semua yang dilakukan Yesus setelah kematian Yesus. Dengan bantuan Roh Kudus, para murid akan memahami setiap ajaran Yesus dengan mengingat-ingat kembali setelah Yesus kembali kepada Bapa. Brown (1970: 565) dalam bukunya mengatakan,”Yesus melakukan pelajaran dalam tindakan tentang kerendahan hati kepada para murid agar lebih mudah dimengerti.” Yohanes memberi perhatian bahwa yang dilakukan Yesus mengandung pelajaran berharga, tidak hanya tindakan yang terjadi begitu saja tanpa maksud dan tujuan.

Petrus masih mempertahankan argumen bahwa Yesus adalah Guru dan Tuhan yang harus dihormati. Petrus masih sungkan kalau harus dilayani oleh Yesus, karena kesehariaannya dia bersama murid lain melayani Yesus. Brown (1970: 565) berpendapat bahwa “pembasuhan kaki sangat penting karena tanpa ini para murid akan kehilangan warisan dari Yesus.” Karena begitu pentingnya


(58)

pembasuhan kaki, Yesus sampai memberikan pilihan yang sulit kepada Petrus agar ia menerima pembasuhan kaki ini. Yesus melepas batas sosial dalam pembasuhan kaki. Ia tidak memperlihatkan bahwa Ia harus dilayani, tetapi juga melayani. Jikalau ingin mendapat bagian dari Yesus, tidak lain jalannya adalah mengikuti Yesus dan segala tindakan-Nya.

Brown (1970: 548) mengutip Injil di ayat 8 yang berbunyi, Peter

replied,”You shall not wash my feet-ever!” “If I do not wash you,” Jesus

answered, “you will have no heritage with me.” Sedangkan Schnackenburg

(1975: 18) mengutip Injil di ayat 8 yang berbunyi, Peter said to him,’You shall

never wash my feet’. Jesus answered him,’If I do not wash you, you have no part

in me’. Penulis menggaris bawahi kata “heritage” (yang berarti warisan) dan

“part” (yang berarti bagian) dari kedua kutipan di atas untuk memberi penekanan kedua kata ini masing-masing menjadi pokok dari kalimat di ayat 8. Penulis menganggap bahwa kata “warisan” dan “bagian” bisa kita artikan sama yakni sesuatu yang diberikan Yesus jika Petrus menerima pembasuhan kaki dari Yesus.

Petrus sadar dengan teguran Yesus (ay. 8). Jika ia menolak untuk dibasuh, bisa saja ia akan kehilangan hubungan dengan Yesus yang bisa menyebabkan kehilangan warisan yang dibagikan Yesus. Schnackenburg (1975: 19) mengatakan bahwa,”sepertinya Petrus mulai mengerti, tetapi itu dapat menjadi dugaan yang salah dari maksud perkataan Yesus bahwa yang sebenarnya Dia berikan adalah diri-Nya sendiri dalam kematian dan aksi keselamatan melalui kematian itu digambarkan dalam pembasuhan.” Brown (1970: 566) mengatakan bahwa Petrus berfikir kalau dengan dibasuh kaki ia mendapatkan bagian dari Yesus, ia ingin


(59)

mendapatkan lebih dengan meminta dibasuh tangan juga kakinya (ay. 9). Pernyataan Petrus semakin menegaskan bahwa yang dilakukan Yesus belum dipahami sebagai sebuah simbol, bukan faktanya seperti itu. Petrus menganggap pembasuhan kaki adalah sebuah kekuatan, padahal Yesus menekankan hubungan erat dengan para murid melalui aksi pembasuhan kaki ini.

Brown, Schnackenburg dan O’day berpendapat hampir serupa bahwa ayat 10a dipandang sebagai Baptis. Yesus yang mengatakan “Barangsiapa telah mandi, ia tidak usah membasuh diri lagi..”, memberi gambaran bahwa mandi adalah kata yang menunjuk pada pembaptisan. Brown (1970: 567) membedakan mandi (Pembaptisan murid-murid yang telah dipunyai, misalnya, oleh Yohanes Pembaptis) dan pembasuhan kaki (pengampunan terhadap dosa). “kecuali kaki” (10a) yang dikatakan Yesus sulit untuk dipahami. Jika memang tidak perlu membasuh mengapa kaki menjadi pengecualian? Schnackenburg (1975: 20) yang mengutip pendapat Bultman menarik kesimpulan bahwa,”seseorang yang telah mandi belum bersih secara keseluruhan.” Jika dalam perjalanan terkena debu, maka ia menjadi kotor kembali. Namun tidak semua bagian tubuhnya kotor, yang paling mungkin kotor adalah kaki yang bersentuhan langsung dengan tanah. Kita tahu bahwa di Timur Tengah didominasi oleh tanah berpasir. Cara berpakaian orang-orang Yahudi dan sekitarnya mengikuti kondisi alam. Mereka menggunakan pakaian yang hampir menutupi seluruh tubuhnya kecuali mata/wajah dan kaki.

Setiap orang yang sudah dibaptis tidak perlu meminta baptis untuk membersihkan dirinya, tetapi hanya perlu melakukan pertobatan. Ayat 10a jika


(1)

Katekis harus memiliki semangat untuk berani berkorban demi tercapainya kehendak Allah. Pengorbanan adalah hal yang tak terelakkan jika ingin melayani Tuhan. Yesus juga melakukan pengorbanan dengan menyerahkan harga diri dan kehormatan bahkan nyawanya untuk menebus dosa manusia demi keselamatan manusia. Katekis berani mengorbankan pikiran, tenaga, waktu, materi bahkan mental/psikis untuk menawarkan keselamatan kepada banyak orang. Katekis juga adalah pribadi yang rendah hati sama seperti Yesus yang rendah hati. Katekis tidak merasa besar kepala sekalipun ia utusan Allah untuk mewartakan Injil. Katekis melayani tidak dengan keangkuhan, tetapi dengan penuh kerelaan dan kerendahan hati. apabila ia dihina karena tugasnya, katekis tidak marah tetapi menyapa mereka yang menghina dan menolak dengan ramah untuk diajak ke jalan yang benar.

Maka, katekis yang memiliki spiritualitas melayani kehendak Allah, berani berkorban, rendah hati dan penuh cinta yang bersumber dari Yesus akan memiliki semangat hidup yang membuat katekis terus tergerak, termotivasi, terbimbing dan terdorong untuk mewartakan iman akan Yesus Kristus di dalam kehidupan nyata.

2. Menghayati Spiritualitas Katekis ysng bersumber dari Injil Yoh. 13:1-20

Bagi katekis menghayati spiritualitas katekis merupakan bukan sesuatu yang instan. Menghayati spiritualitas katekis adalah proses mempelajari spiritualitas dengan pikiran dan hati yang menghasilkan semangat dari Roh yang nampak dalam tindakan nyata sehari-hari. Katekis perlu memiliki spiritualitas katekis


(2)

sebagai bekal menjalai tugas pewartaannya. Maka paroki atau keuskupan harus memberikan pembinaan untuk menumbuhkan spiritualitas katekis.

Katekis harus memahami pentingnya menumbuhkan spiritualitas katekis yang bersumber dari Yesus sebagai identitas pribadi para katekis. Program-program dari paroki atau keuskupan tidak banyak berarti bila katekis sendiri tidak menyadari pentingnya memiliki spiritualitas katekis. Katekis perlu berkorban untuk melatih dirinya menumbuhkan spiritualitas katekis dalam dirinya. Ada banyak katekis di daerah-daerah yang tidak memahami spiritualitas-spiritualitas katekis yang ada. Paroki dan keuskupan harus aktif memberikan pemahaman mengenai spiritualitas katekis kepada katekis-katekis di lingkungan umat basis.

Program pembinaan untuk menumbuhkan spiritualitas katekis adalah salah satu program untuk mengenalkan, memahami dan menghayati spiritualitas katekis. Program yang penulis susun dalam Bab IV merupakan salah satu usaha untuk memberikan bekal spiritualitas katekis khususnya spiritualitas katekis yang bersumber dari Yesus dalam kisah pembasuhan kaki dari Yoh. 13:1-20. Program tersebut harus ditunjang dengan kemauan dari katekis untuk menghayati spiritualitas. Maka, dalam menghayati spiritualitas katekis yang bersumber dari Yesus dalam kisah pembasuhan kaki dari Yoh. 13:1-20 katekis harus memiliki keinginan pribadi untuk memiliki spiritualitas yang ditunjang dengan program pembinaan menumbuhkan spiritualitas katekis, sehingga spiritualitas katekis benar-benar dapat menjadi bagian dari diri para katekis.


(3)

B. Saran

Pada bagian ini penulis akan mengajukan beberapa saran sebagai upaya menggali dan menghayati spiritualitas katekis yang bersumber dari Yesus dalam Injil Yohanes 13:1-20.

1. Bagi Keuskupan dan Paroki

Keuskupan dan paroki perlu mengangkat minimal satu katekis profesional. Katekis profesional akan fokus memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan katekese termasuk katekis sebagai penyelenggara katekese. Dengan adanya katekis profesional membuat keuskupan dan paroki tidak kehilangan fokus untuk menghadirkan katekese yang membantu memperkembangkan iman umat. Program-program katekese yang tematis seperti Bulan Kitab Suci Nasional, Masa Adven dan Masa Prapaskah perlu menjadi perhatian keuskupan karena saat-saat tersebut menjadi saat penting menjadi titik tolak perkembangan iman. Katekis profesional juga diharapkan memperhatikan katekis-katekis di lingkungan basis. Katekis profesional dapat membuat program-program untuk membantu katekis-katekis di lingkungan basis mengembangkan kualitas pribadi para katekis-katekis.

Paroki dan keuskupan dapat membuat program-program pembinaan bagi katekis agar katekis semakin memiliki keyakinan dalam menjalankan tugas perutusannya dan memiliki kualitas pribadi yang mumpuni untuk melaksankan tugas-tugasnya. Misalnya diadakan program pembinaan spiritualitas katekis yang berlangsung secara berkesinambungan, sehingga katekis benar-benar didampingi hingga sampai tahap pengahayatan.


(4)

2. Bagi katekis

Para ketekis perlu menyadari pentingnya spiritualitas katekis bagi kehidupan dan pelayanan mereka. Spiritualitas katekis akan menjadi citra diri apabila katekis mampu menghayati spiritualitas katekis hingga menjadi bagian dirinya. Spiritualitas katekis hendaknya bersumber dari pribadi Yesus. Yesus adalah sosok inti karena Ia adalah Guru dan Tuhan serta pribadi yang diwartakan katekis. Bila katekis memiliki spiritualitas katekis yang bersumber dari Yesus, maka setiap tindakan dan perkataannya akan menampakkkan pribadi Yesus di dalamnya. Spiritualitas dari Yoh. 13:1-20 adalah salah satu spiritualitas katekis yang bersumber dari Yesus. Dari Yoh 13:1-20 katekis akan belajar untuk menjadi katekis yang memiliki semangat melayani kehendak Allah, berani berkorban, rendah hati dan penuh cinta dalam melaksanakan tugas perutusannya di dunia. Maka, katekis diharapkan menghayati mau menghayati spiritualitas katekis yang bersumber dari Yesus dalam Yoh 13:1-20.

3. Bagi Prodi Pendidikan Agama Katolik

Prodi Pendidikan Agama Katolik telah memiliki mata kuliah untuk memberikan pengkaderan kepada katekis dan pemandu katekese yang diberikan pada Semester VII. Mata kuliah ini baik karena Prodi Pendidikan Agama Katolik sebagai institusi yang fokus terhadap katekese dan Pendidikan Agama Katolik memiliki kesempatan langsung untuk membantu para katekis dan pemandu katekese secara langsung. Menurut penulis waktu untuk memberikan pengkaderan


(5)

kepada katekis dan pemandu katekese terlalu singkat. Prodi disarankan untuk memberikan waktu lebih lama dalam memberikan kaderisasi kepada katekis dan pemandu katekese, sehingga manfaatnya dapat langsung dirasakan. Misalnya, mata kuliah kaderisasi ini dapat dilangsungkan dari Semester VI dengan program pendampingan yang lebih lama sehingga para praktikan dapat belajar lebih banyak juga para katekis dan pemandu katekese dapat didampingi hingga benar-benar dapat menjadi katekis dan pemandu katekese yang berkualitas baik.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Alkitab Deuterokanonika. (1976). Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia dan Lembaga Biblika Indonesia.

Brown, Raymond E. (1966). The Gospel According to John (i-xii). New York: Doubleday & Company, Inc.

Brown, Raymond E. (1970). The Gospel According to John (xiii-xxi). New York: Doubleday & Company, Inc.

Darmawijaya, St. (1988). Pesan Injil Yohanes. Yohyakarta: Kanisius. Haryanto, Y. (______). Injil Yohanes, Beberapa Catatan.

Jaubert, Annie. (1980). Mengenal Injil Yohanes. Yogyakarta: Kanisius.

Komisi Kateketik KWI. (1997). Pedoman Untuk Katekis. Yogyakarta: Kanisius. Komisi Kateketik KWI. (2005). Identitas Katekis di tengah Arus Perubahan

Jaman. Jakarta: KomKat KWI.

KWI. (1996). Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius; Jakarta: Obor. KWI. (2006). Kitab Hukum Kanonik. Jakarta: KWI

KWI. (2008). Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Obor.

Paus Fransiskus. (2014). Evangelii Gaudium. Jakarta: Dokpen KWI

Lalu, Yosef. (2007). Katekese Umat. Jakarta: KomKat KWI; Yogyakarta: Kanisius.

Malik, Halim dalam

http://www.kompasiana.com/unik/teori-belajar-andragogi-dan-penerapannya_55008878a33311ef6f511659. diakses pada 16 November

2015 pukul 11.30

O’Day, Gail R. (1995). The Gospel Of John. Nashville: Abingdon Press.

Paus Benediktus XVI. (2012). Youcat Indonesia,Katekismus Populer. Yogyakarta. Kanisius.

Paus Yohanes Paulus II. (1992). Catechesi Tradendae. Bogor: SMT Mardi Yuana. Prasetya, L. (2007). Menjadi Katekis, Siapa Takut?. Yogyakarta: Kanisius.

Priyono, B. Herry. (2012). Pewartaan di Zaman Global (editor oleh B.A. Rukiyanto, SJ). Yogyakarta: Kanisius.

St. Eko Riyadi. (2011) Yohanes “Firman Menjadi Manusia”. Yogyakarta: Kanisius

Rukiyanto, B. A. (2012). Pewartaan di Zaman Global Yogyakarta: Kanisius. V. Indra Sanjaya. (2011). Belajar dari Yesus “Sang Katekis”. Yogyakarta:

Kanisius.

Schnackenburg, Rudolf. (1975). The Gospel According to St. John. Freiburg Im Breisgau: Verlag Herder.

Staf Dosen IPPAK. (2010). Panduan Program Studi IPPAK. Yogyakarta: IPPAK-USD.

Wono Wulung, F.X. Heryatno. (2012). Secercah Lentera Kehidupan. Yogyakarta: Kanisius.

Wono Wulung, F.X. Heryatno. (2014). Diktat Mata Kuliah Pengantar PAK Sekolah. Yogyakarta.