Luas pada geometri hiperbolik.

(1)

vii ABSTRAK

Singgih Satriyo Wicaksono, 2015. Luas pada Geometri Hiperbolik. Skripsi. Program Studi Pendidikan Matematika, Jurusan Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Geometri hiperbolik adalah geometri yang berdasarkan pada postulat

kesejajaran Lobachevski. Postulat tersebut berisi, “Diasumsikan suatu garis l dan suatu titik P yang tidak pada l, paling tidak ada dua garis �′, �′′ yang memuat P dan sejajar dengan l.” Defek suatu segitiga didefinisikan sebagai 180 dikurang jumlah sudut dalam segitiga. Di dalam geometri hiperbolik jumlah sudut dalam segitiga

adalah kurang dari 180.

Dalam geometri hiperbolik, luas daerah segitiga (daerah triangular)

didefinisikan sebagai defek dari segitiga yang bersesuaian. Suatu daerah

segibanyak dapat diekspresikan sebagai gabungan daerah triangular yang terbatas

jumlahnya. Luas dearah segibanyak didefinisikan sebagai total defek suatu daerah

segibanyak, yaitu jumlah defek daerah triangular dari sembarang triangulasi

terhadap daerah segibanyak tersebut.


(2)

viii ABSTRACT

Singgih Satriyo Wicaksono, 2015. Hyperbolic Geometry Area. Thesis. Mathematics Education Study Program, Mathematics and Science Education Deparment, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University, Yogyakarta.

Hyperbolic geometry is geometry which depends on Lobachevski Parallel

Postulate. That postulate states, “Given a line l and a point P not on l, there are at least two lines l', l" which contain P and are parallel to l.” The defect of triangle is

defined as 180 minus the angle sum of a triangle. Under hyperbolic geometry the

angle sum of a triangle is less than 180.

In hyperbolic geometry, the area of triangle region is defined as the defect

of the corresponding triangle. Polygon region can be expressed as the union of a

finite number of triangular regions. The area of a polygon region is defined as total

defect of a polygon region, that is the sum of the defect of the triangular region of

any triangulation of that polygon region.


(3)

i

LUAS PADA GEOMETRI HIPERBOLIK

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Matematika

Oleh :

Singgih Satriyo Wicaksono

NIM : 111414064

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(4)

ii

SKRIPSI

LUAS PADA GEOMETRI HIPERBOLIK

Oleh :

Singgih Satriyo Wicaksono

NIM : 111414064

Telah disetujui oleh :

Pembimbing,


(5)

iii

SKRIPSI

LUAS PADA GEOMETRI HIPERBOLIK

Dipersiapkan dan ditulis oleh :

Singgih Satriyo Wicaksono

NIM : 111414064

Telah dipertahankan di depan panitia penguji

pada tanggal 29 Juli 2015

dan dinyatakan memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua : Dr. Marcellinus Andy Rudhito, S.Pd. ………... Sekretaris : Ch. Enny Murwaningtyas, S.Si., M.Si. ……….. Anggota : 1. Drs. Sukardjono, M.Pd. ………... 2. Ch. Enny Murwaningtyas, S.Si., M.Si. ………... 3. Veronika Fitri Rianasari, M.Sc. ………...

Yogyakarta, 29 Juli 2015

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sanata Dharma

Dekan,


(6)

iv

PERSEMBAHAN

Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan.

Amsal 1 : 7

Skripsi ini untuk

Ibuku dan adikku,


(7)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daft ar pustaka s eb agaiman a lay akny a kary a ilmi ah.


(8)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA

ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama

NIM

: Singgih Satriyo Wicaksono :111414064

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma sebuah karya ilmiah yang berjudul :

LUAS PADA GEOMETRI HIPERBOLIK

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata

Dharma

untuk

menyimpannya, mengalihkan dalam bentuk

media lain,

mengolahnya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di internet atau media lain demi kepentingan akademis tanpa meminta

ijin

dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Yogyakarta,29 luh 2015 Yang menyatakan,


(9)

vii

ABSTRAK

Singgih Satriyo Wicaksono, 2015. Luas pada Geometri Hiperbolik. Skripsi. Program Studi Pendidikan Matematika, Jurusan Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Geometri hiperbolik adalah geometri yang berdasarkan pada postulat

kesejajaran Lobachevski. Postulat tersebut berisi, “Diasumsikan suatu garis l dan suatu titik P yang tidak pada l, paling tidak ada dua garis ′, ′′ yang memuat P dan sejajar dengan l.” Defek suatu segitiga didefinisikan sebagai 180 dikurang jumlah sudut dalam segitiga. Di dalam geometri hiperbolik jumlah sudut dalam segitiga

adalah kurang dari 180.

Dalam geometri hiperbolik, luas daerah segitiga (daerah triangular)

didefinisikan sebagai defek dari segitiga yang bersesuaian. Suatu daerah

segibanyak dapat diekspresikan sebagai gabungan daerah triangular yang terbatas

jumlahnya. Luas dearah segibanyak didefinisikan sebagai total defek suatu daerah

segibanyak, yaitu jumlah defek daerah triangular dari sembarang triangulasi

terhadap daerah segibanyak tersebut.


(10)

viii

ABSTRACT

Singgih Satriyo Wicaksono, 2015. Hyperbolic Geometry Area. Thesis. Mathematics Education Study Program, Mathematics and Science Education Deparment, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University, Yogyakarta.

Hyperbolic geometry is geometry which depends on Lobachevski Parallel

Postulate. That postulate states, “Given a line l and a point P not on l, there are at least two lines l', l" which contain P and are parallel to l.” The defect of triangle is

defined as 180 minus the angle sum of a triangle. Under hyperbolic geometry the

angle sum of a triangle is less than 180.

In hyperbolic geometry, the area of triangle region is defined as the defect

of the corresponding triangle. Polygon region can be expressed as the union of a

finite number of triangular regions. The area of a polygon region is defined as

total defect of a polygon region, that is the sum of the defect of the triangular

region of any triangulation of that polygon region.


(11)

ix

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,

karena atas berkat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Luas pada Geometri Hiperbolik” ini.

Banyak tantangan dan hambatan yang penulis temui selama proses

menyelesaikan skripsi ini. Namun penulis bersyukur dapat melaluinya. Dukungan,

bantuan, dan doa dari banyak pihak telah menjadikan penulis tetap bersemangat

dalam menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu pada kesempatan kali ini penulis

dengan sepenuh hati ingin mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak,

diantaranya:

1. Bapak Rohandi, Ph.D. selaku dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Dr. M. Andy Rudhito, S.Pd. selaku kaprodi Pendidikan

Matematika, Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak Drs. Sukardjono, M.Pd. selaku dosen pembimbing yang telah

banyak memberikan masukan dan nasihat kepada penulis selama

menyusun skripsi.

4. Ibu V. Fitri Rianasari, S.Pd, M.Sc. selaku dosen pembimbing akademik

yang telah banyak membimbing dan memberikan perhatian kepada


(12)

x

5. Ibu Ch. Enny Murwaningtyas, S.Si., M.Sc. selaku dosen penguji yang

telah banyak memberikan masukan dan kritik yang membangun sehingga

skripsi ini menjadi lebih baik.

6. Seluruh dosen Pendidikan Matematika yang telah memberikan ilmu

selama penulis berkuliah di Universitas Sanata Dharma.

7. Seluruh staf sekretariat JPMIPA, Ibu Tari, Bapak Sugeng, Mas Arif, dan

Mas Made yang telah banyak membantu memberikan pelayanan

kesekretariatan selama ini.

8. Ibuku dan adikku Cahyo yang selalu mendukung, memberikan semangat,

serta selalu berdoa untukku.

9. Keluarga Pakde Mulyana yang telah memberi banyak bantuan dan

dukungan selama penulis kuliah. Juga mas Ony dan mas Anto yang

banyak memberi bimbingan dan bantuan.

10.Keluarga Bapak Mattew Warren dan Ibu Selvi Kastanya yang telah

banyak sekali membantu dan membimbing penulis selama kuliah.

11.Teman seperjuangan Pilipus Neri Agustima, yang telah banyak membantu

penulis. Teman bertukar pikiran, teman main dota, teman yang baik dan

juga menginspirasi.

12.Teman-teman Pendidikan Matematika angkatan 2011 dan teman-teman

bimbingan Bapak Sukardjono yang selalu memberikan semangat, juga

sebagai tempat berbagi suka duka mengerjakan skripsi.

13.Teman-teman PMK Oikumene. Trimakasih atas kesaksian-kesaksian yang


(13)

xi

14.Teman-teman Youth GBI Bethesda atas segala canda tawa dan semangat

yang diberikan kepada penulis. Juga buat Kak Eva, pendengar yang baik

untuk cerita-cerita penulis.

15.Semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat disebutkan satu

persatu.

Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat dan wawasan lebih kepada

setiap pembaca. Tuhan memberkati.

Yogyakarta, 29 Juli 2015


(14)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR SIMBOL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Batasan Masalah ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 3

1.6 Metode Penelitian ... 4

1.7 Sistematika Penulisan ... 4

BAB II ... 6

LANDASAN TEORI ... 6

2.1 Pengenalan Geometri Non-Euclid ... 6

2.2 Geometri Insiden ... 8

2.3 Fungsi Jarak ... 11

2.4 Keantaraan ... 13


(15)

xiii

2.6 Kekonvekan dan Pemisahan ... 31

2.7 Kekontinuan ... 44

2.8 Ukuran Sudut ... 47

2.9 Postulat Luas ... 51

2.10 Sudut Luar Segitiga dan Konsekuensinya ... 55

2.11 Segiempat Saccheri dan Jumlah Sudut dalam Segitiga ... 62

2.12 Fungsi Kritis ... 67

BAB III ... 75

LUAS PADA GEOMETRI HIPERBOLIK ... 75

3.1 Jumlah Sudut dalam Segitiga pada Geometri Hiperbolik ... 75

3.2 Defek Segitiga ... 82

3.3 Triangulasi dan Subdivisi ... 90

3.4 Defek Daerah Segibanyak ... 97

BAB IV ... 115

PENUTUP ... 115

4.1 Kesimpulan ... 115

4.2 Saran ... 116


(16)

xiv

DAFTAR SIMBOL

: himpunan semua titik

ℒ : himpunan garis-garis

� : himpunan bidang-bidang

ℝ : himpunan bilangan real

ℛ : himpunan daerah segibanyak

, , : titik-titik

, , : garis-garis

̅̅̅̅ : ruas garis atau segmen garis dengan titik akhir A dan B

⃡ : garis yang melalui titik A dan titik B

: sinar garis dengan titik akhir A

: panjang ̅̅̅̅ atau jarak ke

− − : titik B diantara titik A dan titik C

∠ : sudut ABC

∠ : ukuran sudut ABC

∆ : segitiga ABC

□ : segiempat ABCD

, : bidang setengah : bilangan kritis

� : defek

∥ : sejajar

| : asimtotik


(17)

xv

~ : sebangun

≅ : kongruen : gabungan

: irisan

: elemen atau anggota

∞ : tak hingga sup : supremum


(18)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.2.1 Garis ... 9

Gambar 2.2.2 Segmen Garis ... 9

Gambar 2.2.3 Sinar Garis ... 9

Gambar 2.3.1 Garis Bilangan I ... 11

Gambar 2.4.1 Keantaraan I ... 13

Gambar 2.4.2 Keantaraan II ... 13

Gambar 2.4.3 Garis Bilangan II... 17

Gambar 2.4.4 Ilustrasi Teorema 2.4.6 ... 19

Gambar 2.5.1 Segmen Garis ... 19

Gambar 2.5.2 Sinar Garis ... 20

Gambar 2.5.3 Sudut ... 20

Gambar 2.5.4 Segitiga ... 21

Gambar 2.5.5 Sudut-sudut Berpotongan ... 22

Gambar 2.5.6 Ilustrasi Teorema 2.5.2 ... 23

Gambar 2.5.7 Ilustrasi I Teorema 2.5.3 ... 25

Gambar 2.5.8 Ilustrasi II Teorema 2.5.3 ... 25

Gambar 2.5.9 Ilustrasi III Teorema 2.5.3 ... 26

Gambar 2.5.10 Sudut Yang Sama ... 27

Gambar 2.5.11 Ilustrasi I Teorema 2.5.5 ... 29

Gambar 2.5.12 Ilustrasi II Teorema 2.5.5... 30

Gambar 2.6.1 Himpunan Konvek ... 31

Gambar 2.6.2 Himpunan Tidak Konvek ... 32

Gambar 2.6.3 Pemisahan Bidang ... 33

Gambar 2.6.4 Ilustrasi Teorema 2.6.1 ... 34

Gambar 2.6.5 Ilustrasi Teorema 2.6.3 ... 36

Gambar 2.6.6 Ilustrasi Teorema 2.6.4 ... 37


(19)

xvii

Gambar 2.6.8 Ilustrasi Teorema 2.6.5 ... 38

Gambar 2.6.9 Interior dan Eksterior Sudut... 40

Gambar 2.6.10 Ilustrasi Teorema 2.6.7 ... 40

Gambar 2.6.11 Ilustrasi Teorema 2.6.8 ... 41

Gambar 2.6.12 Ilustrasi Teorema 2.6.9 ... 42

Gambar 2.6.13 Interior Segitiga ... 43

Gambar 2.7.1 Ilustrasi Teorema 2.7.1 ... 44

Gambar 2.7.2 Ilustrasi Teorema 2.7.2 ... 45

Gambar 2.7.3 Teorema Crossbar ... 46

Gambar 2.8.1 Ukuran Sudut I ... 47

Gambar 2.8.2 Ukuran Sudut II ... 48

Gambar 2.8.3 Pembentukan Sudut ... 49

Gambar 2.8.4 Pembentukan Sudut ... 49

Gambar 2.8.5 Dua Sudut Membentuk Pasangan Linear ... 50

Gambar 2.8.6 Dua Sudut Berpelurus ... 50

Gambar 2.9.1 Daerah Triangular ... 51

Gambar 2.9.2 Daerah Segibanyak ... 51

Gambar 2.9.3 Pembagian Daerah Jajargenjang ... 52

Gambar 2.9.4 Postulat Penjumlahan ... 54

Gambar 2.9.5 Triangulasi ... 54

Gambar 2.10.1 Ilustrasi I Teorema 2.10.1 ... 55

Gambar 2.10.2 Ilustrasi II Teorema 2.10.1... 56

Gambar 2.10.3 Ilustrasi Teorema 2.10.2 ... 57

Gambar 2.10.4 Ilustrasi Teorema 2.10.3 ... 58

Gambar 2.10.5 Ilustrasi I Teorema 2.10.4 ... 59

Gambar 2.10.6 Ilustrasi II Teorema 2.10.4... 59

Gambar 2.10.7 Ilustrasi Teorema 2.10.5 ... 60

Gambar 2.11.1 Segiempat Saccheri I ... 62

Gambar 2.11.2 Segiempat Saccheri II ... 63

Gambar 2.11.3 Segiempat Saccheri III ... 64


(20)

xviii

Gambar 2.11.5 Ilustrasi Teorema 2.11.4 ... 66

Gambar 2.12.1 Supremum dan Infimum ... 67

Gambar 2.12.2 Garis Sejajar Pada Geometri Hiperbolik ... 69

Gambar 2.12.3 Fungsi Kritis ... 70

Gambar 2.12.4 Ilustrasi Teorema 2.12.1 ... 71

Gambar 2.12.5 Ilustrasi Teorema 2.12.2 ... 72

Gambar 3.1.1 Segitiga Terbuka ... 76

Gambar 3.1.2 Segitiga Asimtotik ... 77

Gambar 3.1.3 Ilustrasi Teorema 3.1.1 ... 77

Gambar 3.1.4 Segiempat Saccheri IV ... 79

Gambar 3.1.5 Jumlah Sudut Dalam Segitiga Siku-siku Pada Geometri Hiperbolik ... 80

Gambar 3.1.6 Jumlah Sudut Dalam Segitiga Pada Geometri Hiperbolik ... 81

Gambar 3.2.1 Ilustrasi Teorema 3.2.1 ... 82

Gambar 3.2.2 Segitiga Kongruen Pada Geometri Hiperbolik ... 83

Gambar 3.2.3 Ilustrasi I Teorema 3.2.3 ... 85

Gambar 3.2.4 Ilustrasi II Teorema 3.2.3 ... 85

Gambar 3.2.5 Ilustrasi I Teorema 3.2.4 ... 87

Gambar 3.2.6 Ilustrasi II Teorema 3.2.4 ... 88

Gambar 3.3.1 Segibanyak Konvek ... 91

Gambar 3.3.2 Triangulasi Bintang ... 92

Gambar 3.3.3 Ilustrasi Teorema 3.3.1 ... 93

Gambar 3.3.4 Ilustrasi I Teorema 3.3.2 ... 94

Gambar 3.3.5 Ilustrasi II Teorema 3.3.2 ... 95

Gambar 3.3.6 Ilustrasi III Teorema 3.3..2 ... 95

Gambar 3.3.7 Segibanyak Yang Ekuivalen ... 96

Gambar 3.4.1 Segitiga ... 97

Gambar 3.4.2 Jumlah Defek Triangulasi Bintang ... 99

Gambar 3.4.3 Triangulasi Bintang Daerah Segibanyak ... 101

Gambar 3.4.4 Triangulasi Batas ... 102


(21)

xix

Gambar 3.4.6 Ilustrasi II Teorema 3.4.3 ... 104

Gambar 3.4.7 Ilustrasi I Teorema 3.4.4 ... 106

Gambar 3.4.8 Ilustrasi II Teorema 3.4.4 ... 108


(22)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kata “geometri” berasal dari kata Yunani “geometrein” (geo =

bumi, dan metrein = ukuran) yang berarti ilmu pengukuran bumi. Pada mulanya, geometri adalah ilmu yang digunakan untuk mengukur lahan

pertanian. Sejarahwan Yunani, Herodotus (5 tahun sebelum masehi),

mengatakan orang-orang Mesir lah yang pertama kali menggunakan

subjek geometri, tetapi negara-negara kuno lain (Babylonia, India, Cina)

juga mempunyai beberapa informasi geometri (Greenberg, 1980 : 5).

Selama lebih dari 2000 tahun, “Elements” buku yang ditulis oleh

Euclid sekitar 300 tahun sebelum masehi dianggap sebagai model dari

penalaran matematika. Sampai abad ke-20, buku Euclid ini masih menjadi

dasar pembelajaran geometri di sekolah-sekolah. Geometri Euclid ini

mengandung postulat kesejajaran (parallel postulate) yang merupakan postulat terakhir dari lima postulat yang ada dalam geometri Euclid.

Beberapa matematikawan menganggap postulat kesejajaran ini tidak

sederhana dan mencoba membuktikannya. Beberapa matematikawan yang

mencoba membuktikan postulat kesejajaran Euclid adalah Proclus

(410-485), John Wallis (1616-1703), dan Girolamo Saccheri (1667-1733).

Namun usaha ini tidak berhasil. Kegagalan dalam 20 abad akhirnya


(23)

pada 1830 J. Bolyai (1802-1860), seorang staf angkatan darat Hungaria,

N.I. Lobachevsky (1793-1856), seorang Profesor matematika Rusia pada

Universitas Kazan, dan sang agung Gauss sendiri telah mengembangkan

secara independen teori geometri berdasarkan kontradiksi postulat

kesejajaran Euclid (Prenowitz & Jordan, 1965: 53). Kemudian geometri

ini dinamakan geometri hiperbolik.

Area atau luas dalam geometri Euclid dinyatakan dalam

banyaknya persegi satuan yang tepat menimpa suatu bangun. Prosedur ini

tidak dapat diterapkan dalam geometri hiperbolik karena dalam geometri

hiperbolik tidak terdapat persegi. Lalu bagaimana menyatakan ukuran luas

dalam geometri hiperbolik? Selama ini geometri yang telah dipelajari oleh

penulis merupakan geometri Euclid. Oleh karena itu penulis ingin

mengetahui geometri Non-Euclid terutama luas pada geometri hiperbolik.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud geometri hiperbolik?

2. Bagaimana nilai defek segitiga dan segibanyak pada geometri

hiperbolik?


(24)

1.3 Batasan Masalah

Luas yang dibahas dalam skripsi ini adalah luas dalam geometri

hiperbolik.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui definisi geometri hiperbolik.

2. Untuk mengetahui nilai defek segitiga dan segibanyak pada

geometri hiperbolik.

3. Untuk mengetahui luas segitiga dan segibanyak pada geometri

hiperbolik.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagi Pembaca

Pembaca dapat menambah pengetahuan mengenai geometri

hiperbolik dan luas pada geometri hiperbolik.

2. Bagi Penulis

Penulis dapat menambah pengetahuan mengenai geometri

hiperbolik dan luas pada geometri hiperbolik.

3. Bagi Universitas

Universitas dapat menambah koleksi skripsi dalam bidang


(25)

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode

studi pustaka, yaitu dengan membaca referensi-referensi mengenai

geometri hiperbolik. Pembahasan dalam skripsi ini banyak mengacu pada

buku Elementary Geometry from an Advanced Standpoint Third Edition, karangan Edwin E. Moise (1990) dan buku Geometry : A Metric Approach with Model Second Edition, karangan Richard S. Milman dan George D. Parker (1991).

Langkah-Langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:

1. Membaca berbagai referensi mengenai topik geometri hiperbolik.

2. Menyajikan kembali definisi-definisi serta teorema-teorema yang

menjadi dasar dalam mempelajari geometri hiperbolik, khususnya

dalam skripsi ini mengenai luas dalam geometri hiperbolik.

3. Menyusun seluruh materi yang telah dikumpulkan secara runtut

agar memudahkan pembaca dalam memahaminya.

1.7 Sistematika Penulisan

Bab pertama berupa pendahuluan. Pendahuluan ini berisi tentang

latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan, manfaat,

metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab dua berisi tentang dasar-dasar yang akan digunakan dalam


(26)

postulat-postulat dan definisi-definisi dasar dalam geometri yang

terangkum dalam materi geometri insiden, fungsi jarak, segmen, sinar,

sudut, dan segitiga, ukuran sudut, dan postulat luas. Kemudian dibahas

mengenai keantaraan, kekonvekkan dan pemisahan, serta kekontinuan

yang akan banyak digunakan dalam membahas materi selanjutnya.

Selanjutnya diberikan materi mengenai jumlah sudut dalam segitiga pada

geometri hiperbolik yang terangkum dalam materi sudut luar segitiga dan

konsekuensinya, segiempat Saccheri dan jumlah sudut dalam segitiga, dan

fungsi kritis.

Bab tiga membahas mengenai luas pada geometri hiperbolik.

Materi-materi yang disajikan adalah jumlah sudut dalam segitiga pada

geometri hiperbolik, defek segitiga, triangulasi dan subdivisi, dan defek

segibanyak.

Bab empat berisi kesimpulan dari pembahsan pada bab tiga serta

saran yang diberikan penulis kepada pembaca yang ingin melanjutkan


(27)

6

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengenalan Geometri Non-Euclid

Sub bab ini berisi sejarah singkat penemuan geometri hiperbolik

(geometri Lobachevsky) dan geometri Eliptik (geometri Riemann) yang

termasuk dalam geometri non-Euclid. Selama lebih dari 2000 tahun,

“Elements” buku yang ditulis oleh Euclid sekitar 300 tahun sebelum

masehi dianggap sebagai model dari penalaran matematika. Buku yang

ditulis Euclid ini mengandung lima postulat. Postulat yang kelima disebut

postulat kesejajaran (kemudian disebut postulat kesejajaran Euclid).

Dalam kurun waktu yang lama matematikawan percaya bahwa geometri

Euclid merupakan satu-satunya teori ruang yang mungkin dan

mendeskripsikan secara tepat dunia nyata. Tetapi ketika posisi dari

geometri Euclid dikritisi oleh penemuan geometri non-Euclid pada abad

sembilan belas, para matematikawan mulai tergoncang. Sebuah revolusi

pada matematika terjadi, sebanding dengan revolusi Copernicus pada

astronomi dan revolusi Darwin pada biologi.

Sebelum ditemukannya geometri non-Euclid, ada beberapa

matematikawan yang menganggap bahwa postulat kesejajaran Euclid tidak

sederhana dan mencoba membuktikannya. Beberapa matematikawan yang

mencoba membuktikan postulat kesejajaran Euclid adalah Proclus


(28)

Namun usaha ini tidak berhasil. Kegagalan dalam setiap usaha pembuktian

postulat kesejajaran Euclid pada akhirnya menuntun pada kesadaran

bahwa postulat kesejajaran tersebut tidak pasti, dan dimungkinkan adanya

teori lain dari geometri. Teori yang lain tersebut dinamakan geometri

non-Euclid, yaitu teori yang tidak berdasarkan pada posulat kesejajaran Euclid.

Kegagalan dalam 20 abad akhirnya memicu sebuah pencetusan

keraguan pemikiran matematikawan sehingga pada 1830 J. Bolyai

(1802-1860), seorang staf angkatan darat Hungaria, N.I. Lobachevsky

(1793-1856), seorang Profesor matematika Rusia pada Universitas Kazan, dan

sang agung Gauss sendiri telah mengembangkan secara independen teori

geometri berdasarkan kontradiksi postulat kesejajaran Euclid (Prenowitz &

Jordan, 1965: 53). Kemudian geometri ini dinamakan geometri hiperbolik.

Bolyai dan Lobachevsky berhasil menyaingi postulat kesejajaran

Euclid. Kemudian matematikawan meniru untuk membangun teori

geometri non-Euclid lainnya. Selanjutnya, pada 1854, seorang

matematikawan Jerman B. Riemann memperkenalkan teori non-Euclid

yang berbeda dari geometri hiperbolik berdasarkan pada asumsi bahwa

tidak ada garis yang sejajar. Kemudian geometri Riemann ini dinamakan

geometri eliptik.

Geometri Euclid, geometri hiperbolik, dan geometri eliptik

merupakan teori-teori geometri yang berbeda. Ketiga geometri ini berdasar


(29)

geometri eliptik termasuk dalam geometri non-Euclid karena postulat

kesejajarannya tidak berdasarkan pada postulat kesejajaran Euclid.

2.2 Geometri Insiden

Menurut Prenowitz dan Jordan (1965: 119), insiden merupakan

suatu relasi geometri yang paling dasar. Sebagai contoh diberikan relasi

insiden dengan pernyataan berikut, “Sebuah titik terletak pada sebuah

garis,” yang ekuivalen dengan “Sebuah garis melalui suatu titik.” Pernyataan lain yang mengekspresikan relasi insiden adalah, “Sebuah titik pada sebuah bidang”, “Sebuah garis pada sebuah bidang”, “Dua garis berpotongan.” Jadi relasi insiden mengekpresikan keterkaitan posisi antara

titik, garis, dan bidang.

Ruang (space) akan dianggap sebagai himpunan , adalah himpunan semua titik pada ruang. Selanjutnya diberikan himpunan bagian

dari , yang disebut garis-garis (lines) dinyatakan dengan ℒ, dan himpunan bagian dari yang disebut bidang-bidang (planes) dinyatakan dengan �. Maka anggota dari , ℒ, dan � berturut-turut disebut titik-titik, garis-garis, dan bidang-bidang.

Titik, garis, dan bidang tidak didefinisikan.

Suatu garis akan memanjang sampai tak hingga pada kedua


(30)

Tanda panah mengindikasikan bahwa walaupun garis digambar

terbatas dengan panjang tertentu, namun garis tetap memanjang sampai tak

hingga.

Selanjutnya akan dibahas tentang segmen atau ruas garis, yang

dapat digambarkan sebagai berikut :

Suatu Segmen dengan titik pangkal P dan Q, seperti Gambar 2.2.2

dilambangkan dengan ̅̅̅̅.

Suatu segmen diperpanjang sampai tak hingga hanya pada salah

satu arah disebut sinar, dan dapat digambarkan seperti berikut :

Suatu sinar dengan titik pangkal P dan melalui ̅̅̅̅, seperti Gambar 2.2.3 dilambangkan dengan . Segmen dan sinar akan dibahas lebih lanjut pada sub bab 2.5.

Berikut akan dijelaskan postulat geometri insiden (Moise, 1990: 44).

Gambar 2.2.1 Garis

Gambar 2.2.3 Sinar Garis

P Q

P Q


(31)

I-0 Semua garis dan bidang adalah himpunan dari titik-titik.

Jika suatu garis l adalah himpunan bagian dari suatu bidang E, maka dikatakan l berada pada E. Jika titik P himpunan bagian dari suatu garis l, maka dikatakan P pada l atau l melalui P. Jika P himpunan bagian dari E, maka dikatakan P pada E atau E melalui P.

Definisi 2.2.1 (Moise, 1990: 44)

Titik-titik yang berada pada satu garis disebut kolinear, dan titik-titik yang

berada pada satu bidang disebut koplanar.

I-1 Diberikan sembarang dua titik berbeda, ada tepat satu garis yang

memuat dua titik tersebut.

Jika titik-titik tersebut adalah P dan Q, maka garis yang memuat

titik-titik tersebut dilambangkan dengan ⃡ .

I-2 Diberikan sembarang tiga titik non kolinear berbeda, ada tepat satu

bidang yang memuat titik-titik tersebut.

I-3 Jika dua titik berada pada suatu bidang, maka garis yang memuat

titik-titik tersebut berada pada bidang yang sama.

I-4 Jika dua bidang berpotongan, maka perpotongannya adalah suatu


(32)

2.3 Fungsi Jarak

Setiap pasang titik akan berkorespodensi dengan suatu bilangan

real yang disebut jarak antara kedua titik tersebut. Diperlukan suatu fungsi

jarak d, yang tergantung pada postulat berikut (Moise, 1990: 56):

D-0 d adalah suatu fungsi

d : × → ℝ.

D-1 Untuk setiap P, Q, , .

D-2 , = jika dan hanya jika P = Q.

D-3 , = , untuk setiap P dan Q.

Selanjutnya agar lebih ringkas , akan ditulis dengan PQ.

Penandaan titik pada suatu garis dengan bilangan-bilangan dapat

diterapkan seperti penandaan titik pada sumbu-x dalam geometri analitik.

Jika ini dilakukan, akan didapat korespodensi satu-satu

: ↔ ℝ

Gambar 2.3.1 Garis Bilangan I

-1 0 1

P R Q


(33)

diantara titik-titik pada dan bilangan real. Jika = , maka x disebut sebagai koordinat titik P. Pada Gambar 2.3.1 koordinat P, Q, R, dan T

adalah 0, , 1, dan .

Selanjutnya akan dijelaskan jarak antara dua titik.

Definisi 2.3.1 (Moise, 1990: 58)

Diberikan

: ↔ ℝ

adalah korespondensi satu-satu diantara suatu garis dan bilangan real.

Untuk semua titik-titik A, B pada , didapat

= | − |,

Kemudian f adalah suatu sistem koordinat untuk . Untuk setiap titik A pada , bilangan = disebut koordinat titik A.

Sebagai contoh diberikan titik A dan B, sehingga = dan =

− . Tentukan AB ! Jawab :


(34)

= | − − | = | | =

D-4 Postulat aturan (The Ruler Postulate).

Setiap garis memiliki sistem koordinat.

2.4 Keantaraan

Titik B dikatakan berada diantara A dan C pada garis l jika titik-titik tersebut pada kondisi seperti ini :

atau seperti ini :

Gambar 2.4.1 Keantaraan I

A B C

Gambar 2.4.2 Keantaraan II


(35)

Definisi 2.4.1 (Moise, 1990: 60)

Diberikan A, B, dan C adalah tiga titik berbeda yang kolinear. Jika

+ = ,

maka B diantara A dan C. Kemudian ini dilambangkan dengan A-B-C.

Teorema 2.4.1 (Moise, 1990: 60)

Jika A-B-C, maka C-B-A.

Bukti :

+ = +

= +

= =

Didapat bahwa + = .

Jika + = , maka + = .


(36)

Lema 2.4.2 (Moise, 1990: 61)

Diberikan suatu garis l dengan sistem koordinat f dan tiga titik berbeda A, B, dan C pada l dengan koordinat berturut-turut x, y, dan z. Jika x-y-z, maka A-B-C.

Bukti :

(1) Jika < < , maka

= | − | = −

Karena − > . Untuk alasan yang sama

= | − | = −

dan

= | − | = − .

Oleh karena itu

+ = − + −

= − = | − | =

Sehingga A-B-C

(2) Jika < < . Dengan cara yang sama seperti (1) didapat C-B-A. Dengan Teorema 2.4.1 didapat A-B-C. □


(37)

Teorema 2.4.3 (Moise, 1990: 61)

Sembarang tiga titik berbeda pada suatu garis, ada tepat satu titik berada

diantara dua titik yang lain.

Bukti :

(1) Diberikan f sistem koordinat untuk suatu garis dan x, y, z adalah koordinat titik-titik A , B, dan C. Satu dari bilangan x, y, dan z berada

diantara dua yang lain. Dengan Lema 2.4.2, ini berarti titik A, B, atau

C berada diantara dua titik yang lain.

(2) Akan dibuktikan bahwa jika A-B-C, maka tidak ada diantara dua

kondisi B-A-C dan A-C-B yang terpenuhi. Jika B-A-C, maka

+ = .

Telah diberikan

+ = .

Dengan menjumlahkannya didapat

+ + + = +

atau

= .

Sehingga AB = 0. Ini tidak mungkin, sebab A ≠ B.

Pembuktian untuk A-C-B tidak terpenuhi sama seperti


(38)

Teorema 2.4.4 (Moise, 1990: 63)

Jika A dan B sembarang dua titik, A ≠ B, maka (1) ada titik C sehingga A -B-C dan (2) ada titik D sehingga A-D-B.

Bukti :

Ambil suatu sistem koordinat f untuk suatu garis ⃡ yang memuat A dan B.

Andaikan x, y koordinat titik A dan B, dengan x < y. Diberikan

= − + .

Maka A-B-C, karena < < + .

Selanjutnya, diberikan

= − ( + )

Sebab x < y, maka

< + <

sehingga

Gambar 2.4.3 Garis Bilangan II

A D B

+

C


(39)

< + <

Jadi A-D-B. □

Teorema 2.4.5 (Moise, 1990: 63)

Jika A-B-C, maka A, B, dan C adalah tiga titik berbeda pada garis yang

sama.

Bukti :

Berdasarkan Definisi 2.4.1, titik A, B, dan C adalah tiga titik berbeda. □

Teorema 2.4.6

Jika A-B-C dan A-C-D, maka A-B-D.

Bukti :

Ambil a, b, c, d berturut-turut sebagai koordinat titik A, B, C, dan D.

Karena A-B-C maka a < b < c atau c < b < a. Karena A-C-D, maka a <

c < d atau d < c < a.

Dari A-B-C dapat dipilih salah satu dari kondisi a < b < c atau c < b < a.

Ambil a < b < c, didapat a < c. Dari A-C-D, kondisi d < c < a akan


(40)

Telah diambil a < b < c dan a < c < d, sehingga didapat a < b < c < d.

Akibatnya a < b < d. Berdasarkan Lema 2.4.2 karena a-b-d, maka A-B-D.□

2.5 Segmen, Sinar, Sudut, dan Segitiga

Definisi 2.5.1 (Moise, 1990: 64)

Jika A dan B adalah dua titik, maka segmen ̅̅̅̅ adalah himpunan yang memuat A dan B, bersama dengan semua titik diantara A dan B.

Definisi 2.5.2 (Moise, 1990: 65)

Sinar didefinisikan sebagai himpunan semua titik C pada garis ⃡ sehingga A tidak diantara B dan C. Sinar juga dapat didefinisikan

Gambar 2.5.1 Segmen Garis

A B

̅̅̅̅ ⃡

A B C D


(41)

sebagai gabungan dari (1) segmen ̅̅̅̅ dan (2) himpunan semua titik C sehingga A-B-C. Titik A disebut titik pangkal dari sinar .

Definisi 2.5.3 (Moise, 1990: 65)

Sudut adalah gabungan dari dua sinar yang memiliki titik pangkal yang

sama, tetapi dua sinar tersebut tidak pada garis yang sama. Jika suatu sudut

adalah gabungan dari dan , maka sinar-sinar tersebut disebut sisi dari sudut. Titik A disebut titik sudut. Sudut tersebut disimbolkan dengan

∠ . Catatan ∠ = ∠ .

Gambar 2.5.3 Sudut

A

B

C

A B


(42)

Definisi 2.5.4 (Moise, 1990: 65)

Jika A, B, dan C adalah tiga titik yang tidak segaris, maka himpunan

̅̅̅̅ ̅̅̅̅ ̅̅̅̅

disebut segitiga.

Segmen ̅̅̅̅, ̅̅̅̅, dan ̅̅̅̅ disebut sisi. Titik A, B, dan C disebut titik sudut. Segitiga dengan titik sudut A, B, dan C dilambangkan dengan

∆ABC.

Sudut-sudut ∆ adalah ∠ , ∠ , dan ∠ . Tetapi ∆ tidak memuat ketiga sudut tersebut, karena sisi suatu sudut adalah sinar

dan sisi segitiga adalah segmen. Jika semua sudut digambar, maka

gambarnya akan terlihat seperti gambar berikut.

A B

C

̅̅̅̅

̅̅̅̅ ̅̅̅̅


(43)

Teorema 2.5.1 (Moise, 1990: 66)

Diberikan titik A dan titik B sembarang titik yang berbeda, maka ̅̅̅̅ =

̅̅̅̅.

Bukti :

Diketahui A dan B sembarang titik berbeda. Dari Definisi 2.5.1, segmen

̅̅̅̅ adalah himpunan titik A dan titik B, bersama dengan semua titik X, sehingga A-X-B. Dapat ditulis ̅̅̅̅ = {A B X′ | X′ adalah himpunan semua titik X sehingga A-X-B}

Segmen ̅̅̅̅ adalah himpunan titik B dan titik A, bersama dengan semua titik X, sehingga B-X-A. Dapat ditulis ̅̅̅̅ = {B A X′ | X′ adalah himpunan semua titik X sehingga B-X-A}

Teorema 2.4.1 menjamin bahwa untuk setiap titik X, jika A-X-B maka

B-X-A. Sehingga,

̅̅̅̅ = {B A X′ | X′ adalah himpunan semua titik X sehingga B-X-A}

Gambar 2.5.5 Sudut-sudut Berpotongan

A

B C


(44)

= {A B X′ | X′ adalah himpunan semua titik X sehingga A-X-B}

= ̅̅̅̅ □

Teorema 2.5.2

Jika A-B-C, maka ̅̅̅̅ ̅̅̅̅ = ̅̅̅̅.

Bukti :

Dari Definisi 2.5.1, ̅̅̅̅ adalah himpunan titik A dan C, bersama dengan semua titik di antara A dan C. Dapat ditulis ̅̅̅̅ = { A C Z′ | Z′ adalah himpunan semua titik Z sehingga A-Z-C}.

Diketahui A-B-C. Dari Definisi 2.4.1, A, B, dan C adalah titik-titik yang

kolinear. Dari Teorema 2.4.4 dapat diambil titik X dan Y sehingga A-X-B

dan B-Y-C.

̅̅̅̅ = {A B X′ | X′ adalah himpunan semua titik X sehingga A-X-B}

̅̅̅̅ = {B C Y′ | Y′ adalah himpunan semua titik Y sehingga B-Y-C}

Diketahui A-B-C dan A-X-B, sehingga berdasarkan pada Teorema 2.4.6

didapat A-X-C untuk setiap X.

Gambar 2.5.6 Ilustrasi Teorema 2.5.2

A B C


(45)

Diketahui A-B-C dan B-Y-C, sehingga berdasarkan pada Teorema 2.4.6

didapat A-Y-C untuk setiap Y.

Oleh karena itu setiap anggota dari X′ dan Y′ berada diantara A dan C, sehingga X′ dan Y′ merupakan anggota dari Z′. Sehingga Z′ = {X′ Y′ B | X′ adalah himpunan semua titik X sehingga A-X-B, Y′ adalah himpunan semua titik Y sehingga B-Y-C }.

̅̅̅̅ ̅̅̅̅ = { A B C X′ Y′ | X′ adalah himpunan semua titik X

sehingga A-X-B, Y′ adalah himpunan semua titik Y sehingga B-Y-C }

= { A C Z′ | Z′ adalah himpunan semua titik Z sehingga A-Z-C}

= ̅̅̅̅ □

Teorema 2.5.3 (Moise, 1990: 66)

Jika C adalah titik pada , C ≠ A, maka = .

Bukti :

Dari Definisi 2.5.2, sinar adalah gabungan dari segmen ̅̅̅̅ dan himpunan semua titik Q sehingga A-B-Q. Dapat ditulis = {̅̅̅̅ Q′ |


(46)

Jika B = C, maka dan adalah himpunan yang sama, sehingga =

. Selanjutnya akan diambil B ≠ C. Dari Teorema 2.4.4 dapat diambil

titik C sehingga A-C-B dan A-B-C.

Untuk kondisi A-C-B, dari Teorema 2.5.2 didapat ̅̅̅̅ ̅̅̅̅ = ̅̅̅̅. Sinar

adalah gabungan dari segmen ̅̅̅̅ dan himpunan semua titik R

sehingga A-C-R. Dapat ditulis = {̅̅̅̅ R′ | R′ adalah himpunan semua titik R sehingga A-C-R}.

Ambil titik S sembarang titik pada ̅̅̅̅ − . Setiap titik S memenuhi A-C-S, sehingga ̅̅̅̅ − .

Untuk setiap Q Q′, A-C-B dan A-B-Q, maka A-C-Q (Teorema 2.4.6), sehingga Q′ .

̅̅̅̅ ̅̅̅̅ − dan ̅̅̅̅ ̅̅̅̅ merupakan himpunan yang sama, sehingga

̅̅̅̅ ̅̅̅̅ − = ̅̅̅̅ ̅̅̅̅ = ̅̅̅̅.

A B Q

Gambar 2.5.7 Ilustrasi I Teorema 2.5.3

Gambar 2.5.8 Ilustrasi II Teorema 2.5.3


(47)

Sehingga = {̅̅̅̅ ̅̅̅̅ Q′ | Q′ adalah himpunan semua titik Q sehingga A-B-Q}

= {̅̅̅̅ Q′ | Q′ adalah himpunan semua titik Q sehingga A-B-Q}

=

Untuk kondisi A-B-C, dengan Teorema 2.5.2 didapat ̅̅̅̅ ̅̅̅̅ = ̅̅̅̅. Sinar = {̅̅̅̅ T′ | T′ adalah himpunan semua titik T sehingga A-C-T}.

Ambil U sembarang titik pada ̅̅̅̅ − . Setiap titik U memenuhi A-B-U, maka setiap titik U Q′. Setiap titik T memenuhi A-B-T, maka setiap titik T Q′.

̅̅̅̅ ̅̅̅̅ − dan ̅̅̅̅ ̅̅̅̅ merupakan himpunan yang sama, sehingga

̅̅̅̅ ̅̅̅̅ − = ̅̅̅̅ ̅̅̅̅ = ̅̅̅̅.

Sehingga = {̅̅̅̅ ̅̅̅̅ T′ | T′ adalah himpunan semua titik T sehingga A-C-T}

= {̅̅̅̅ T′ | T′ adalah himpunan semua titik T sehingga A-C-T}

Gambar 2.5.9 Ilustrasi III Teorema 2.5.3


(48)

=

Telah ditunjukan bahwa dimanapun letak C pada , dengan A ≠ C, maka

= . □

Teorema 2.5.4 (Moise, 1990: 66)

Jika dan adalah titik-titik pada dan , dengan , ≠ , maka

∠ = ∠ .

Bukti :

pada dan ≠ , maka berdasarkan Teorema 2.5.3 didapat =

.

pada dan ≠ , maka berdasarkan Teorema 2.5.3 didapat =

.

A

B

C


(49)

Berdasarkan Definisi 2.5.3, sudut adalah gabungan dari dua sinar yang

memiliki titik pangkal yang sama, tetapi dua sinar tersebut tidak pada garis

yang sama. Dapat ditulis

∠ = { | = A}

= { | = A}

=∠ □

Teorema 2.5.5 (Moise, 1990: 66)

Jika ̅̅̅̅ = ̅̅̅̅, maka titik A, B sama dengan titik C, D.

Bukti :

Andaikan A, B tidak sama dengan titik C, D. Ambil a dan b sebagai

koordinat titik A dan B, sehingga a < b. Ambil c dan d sebagai koordinat

titik C dan D, sehingga c < d. Andaikan A, B, C dan D terletak pada garis

l.

Berikut akan diberikan kemungkinan letak a, b, c, dan d.

(1) a < b < c < d

(2) a < c < b < d

(3) a < c < d < b


(50)

(5) c < d < a < b

Gambar berikut merepresentasikan kemungkinan-kemungkinan di atas.

Dari kemungkinan (1), (2), (3), (4), dan (5) terlihat bahwa anggota

himpunan segmen ̅̅̅̅ dan ̅̅̅̅ tidak sama. Sebagai contoh pada kondisi (3) a < c < d < b. Berdasarkan Teorema 2.4.4 ada titik X dengan koordinat x

sehingga A-X-C. Karena a < c maka a < x < c.

Dari Definisi 2.5.1 segmen ̅̅̅̅ adalah himpunan titik A dan B bersama dengan semua titik di antara titik A dan B. Titik X berada di

antara A dan B karena a < x < b, sehingga X ̅̅̅̅. Titik X ̅̅̅̅ karena x < c < d, yang berarti X tidak di antara C dan D. Karena ada titik X

sehingga X ̅̅̅̅ dan X ̅̅̅̅, maka ̅̅̅̅ ≠ ̅̅̅̅. Hal ini kontradiksi dengan pernyataan ̅̅̅̅ = ̅̅̅̅, sehingga A, B sama dengan titik C, D.

b

a c d a c b d

(1) (2)

b

a c d c a d b

(3) (4)

b a

c d

(5)


(51)

Untuk kasus A, B pada garis l dan C, D pada garis k, dengan lk. Ada tiga kemungkinan posisi segmen ̅̅̅̅ terhadap segmen ̅̅̅̅ yang akan dipaparkan sebagai berikut :

(1) l dan k sejajar, sehingga segmen ̅̅̅̅ sejajar dengan segmen ̅̅̅̅. (2) L dan k berpotongan, segmen ̅̅̅̅ tidak memotong segmen ̅̅̅̅. (3) L dan k berpotongan, segmen ̅̅̅̅ memotong segmen ̅̅̅̅.

Untuk kasus (1) dan (2), A, B tidak kolinear dengan C, D sehingga

setiap titik di antara A dan B tidak di antara C dan D. Jadi ̅̅̅̅ ≠ ̅̅̅̅. Untuk kasus (3) ̅̅̅̅ dan ̅̅̅̅ berpotongan disuatu titik. Andaikan titik potong tersebut adalah titik X. Maka A-X-B dan C-X-D. Berdasarkan

Teorema 2.4.4 ada titik Y sehingga Y-X. Telah didapat Y-X dan

A-A

B

C

D (2) A

B

C

D

(1)

A B

C D

(3)


(52)

X-B, berdasarkan Teorema 2.4.6, maka didapat A-Y-B. Titik Y di antara

A dan B, tetapi titik Y tidak di antara C dan D karena C, D, dan Y tidak

kolinear. Ada titik Y sehingga Y ̅̅̅̅ dan Y ̅̅̅̅, maka ̅̅̅̅ ≠ ̅̅̅̅.

Telah ditunjukan bahwa untuk kasus (1), (2), dan (3) didapat ̅̅̅̅ ≠ ̅̅̅̅. Hal ini kontradiksi dengan pernyataan ̅̅̅̅ = ̅̅̅̅, sehingga A, B tidak sama dengan C, D. □

2.6 Kekonvekan dan Pemisahan

Definisi 2.6.1 (Moise, 1990: 72)

Suatu himpunan A dikatakan konvek jika untuk setiap dua titik P,

Q A, setiap segmen ̅̅̅̅ berada di dalam A. Sebagai contoh diberikan tiga bangun yang konvek.

Himpunan A, B, dan C adalah daerah bidang. Sebagai contoh, A

adalah gabungan segitiga dan himpunan semua titik yang ada di dalam

P

Q A

P

Q

C P

Q

B


(53)

segitiga. Pada Gambar 2.6.1 terlihat bahwa setiap segmen ̅̅̅̅ selalu berada di dalam A, B, dan C.

Selanjutnya akan diberikan contoh bangun yang tidak konvek.

Himpunan D, E, dan F adalah contoh bangun yang tidak konvek.

Untuk menunjukan suatu bangun tidak konvek, misal bangun D, cukup

ditunjukan bahwa ada dua titik P, Q D sehingga segmen ̅̅̅̅ tidak berada di dalam D.

Suatu himpunan konvek bisa saja tipis dan kecil. Sebagai contoh,

setiap segmen ̅̅̅̅ adalah himpunan konvek. Himpunan yang beranggotakan satu titik juga konvek.

Suatu himpunan konvek juga bisa sangat besar. Sebagai contoh,

himpunan ruang S adalah suatu himpunan konvek. Semua garis dan bidang

juga konvek, karena tidak dapat ditemukan suatu segmen ̅̅̅̅ dimana P,Q

anggota suatu garis atau bidang sehingga segmen ̅̅̅̅ tidak di dalam himpunan suatu garis atau bidang tersebut.

D P

Q

P Q

F P

Q E


(54)

Definisi 2.6.2

Diberikan sembarang garis l pada bidang E, himpunan bagian dari E yang tidak pada l membentuk dua himpunan yang disebut bidang setengah dan garis l disebut batas dari bidang setengah.

Sebagai contoh pada Gambar 2.6.3 adalah bagian dari bidang

pada sebelah kiri atas garis l dan adalah bagian dari bidang pada sebelah kanan bawah garis l. Himpunan dan disebut bidang setengah. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dengan menunjukan

beberapa contoh segmen ̅̅̅̅, dan merupakan himpunan konvek.

Gambar 2.6.3 Pemisahan Bidang

P

Q P

Q

l

P


(55)

Postulat Pemisahan Bidang atau Plane Separation Axiom (PSA)

(Moise, 1990: 74)

Diberikan suatu garis dan bidang yang memuat garis tersebut. Himpunan

semua titik pada bidang yang tidak pada garis adalah gabungan dua

himpunan berbeda sehingga :

(1) Kedua himpunan tersebut konvek

(2) Jika titik P pada salah satu himpunan dan titik Q pada himpunan yang

lain, maka segmen ̅̅̅̅ memotong garis.

Teorema 2.6.1 (Moise, 1990: 74)

Diberikan ∆ABC dan garis l. Jika l memuat titik E, dengan A-E-C, maka l

memotong ̅̅̅̅ atau ̅̅̅̅.

A C

B

E

l


(56)

Bukti :

Andaikan l tidak memotong ̅̅̅̅ atau ̅̅̅̅. Maka A dan B pada pihak yang sama terhadap l dan B dan C pada pihak yang sama terhadap l. Oleh karena itu A dan C pada pihak yang sama terhadap l. Ini tidak mungkin karena A-E-C. □

Teorema 2.6.2 (Moise, 1990: 75)

Jika A dan B adalah himpunan konvek, maka juga konvek.

Bukti :

Teorema ini akan dibuktikan dengan kontradiksi. Andaikan tidak

konvek. Ambil titik-titik , , maka , dan , . ̅̅̅̅ dan ̅̅̅̅ karena A dan B konvek dan ada titik R dimana P-R-Q sehingga . Ini tidak mungkin karena A dan B konvek.

Kontradiksi. □

Definisi 2.6.3 (Moise, 1990: 76)

Andaikan E suatu bidang. Jika


(57)

seperti pada postulat pemisahan bidang, maka dan disebut pihak

yang berlawanan terhadap l.

Teorema 2.6.3 (Moise, 1990: 76)

Jika A dan B pada pihak yang berlawanan terhadap garis l dan B dan C pada pihak yang berlawanan terhadap garis l, maka A dan C pada pihak yang sama terhadap l.

Bukti :

Ambil suatu bidang E dan garis l pada E. l membagi E kedalam dua bidang setengah dan . Andaikan A pada , maka B pada karena A dan

B pada pihak yang berlawanan terhadap l. B pada , maka C pada karena B dan C pada pihak yang berlawanan terhadap l. Didapat A dan C pada , sehingga A dan C berada pada pihak yang sama terhadap l. □

A

B

C

l


(58)

Teorema 2.6.4 (Moise, 1990: 76)

Jika A dan B pada pihak yang berlawanan terhadap garis l dan B dan C pada pihak yang sama terhada l, maka A dan C pada pihak yang berlawanan terhadap l.

Bukti :

Ambil suatu bidang E dan garis l pada E. l membagi E kedalam dua bidang setengah dan . Andaikan A pada , maka B pada karena

A dan B pada pihak yang berlawanan terhadap l. B pada , maka C pada karena B dan C pada pihak yang sama terhadap l. Jadi A dan C pada pihak yang berlawanan terhadap garis l. □

Definisi 2.6.4 (Moise, 1990: 76)

Jika A-B-C, maka sinar dan disebut sinar yang berlawanan.

Gambar 2.6.6 Ilustrasi Teorema 2.6.4

A

B

C


(59)

Teorema 2.6.5 (Moise, 1990: 76)

Diberikan sebuah garis dan sinar yang memiliki titik pangkal pada garis

yang diberikan, tetapi tidak berhimpit dengan garis tersebut. Kemudian

semua titik pada sinar, kecuali titik pangkal, berada pada pihak yang sama

terhadap garis tersebut.

Bukti :

Diberikan garis l dan sinar dengan . Akan dibuktikan − berada pada pihak yang sama terhadap garis tersebut.

Andaikan memuat titik C sehingga B dan C berada pada pihak yang berlawanan terhadap l. Maka ̅̅̅̅ memotong l disuatu titik, dan titik ini harus A, karena ̅̅̅̅ terletak pada , dan memotong l hanya di A.

A B C

Gambar 2.6.7 Sinar Yang Berlawanan

Gambar 2.6.8 Ilustrasi Teorema 2.6.5

A

B

l


(60)

Oleh karena itu C-A-B. Tetapi ini tidak mungkin. Dengan Definisi 2.5.2,

sinar adalah himpunan titik C dari garis ⃡ sehingga A tidak diantara B dan C. Oleh sebab itu semua titik pada sinar, selain A, berada pada

pihak yang sama terhadap l.

Teorema 2.6.6 (Moise, 1990: 77)

Diberikan garis l dan A titik pada l, dan B titik yang tidak pada l. Maka semua titik dari ̅̅̅̅ − berada pada pihak yang sama terhadap l.

Bukti :

Berdasarkan Teorema 2.6.5 − berada pada pihak yang sama terhadap l. Karena ̅̅̅̅ − berada pada − , maka ̅̅̅̅ − juga berada pada pihak yang sama terhadap l. □

Definisi 2.6.5 (Moise, 1990: 77)

Diberikan ∠ . Interior ∠ adalah irisan pihak ⃡ yang memuat B dan pihak ⃡ yang memuat C. Maka suatu titik D interior ∠ jika D dan B berada pada pihak yang sama dari ⃡ dan jika D dan C berada pada pihak yang sama dari ⃡ . Jadi, interior suatu sudut adalah irisan dua bidang setengah. Eksterior ∠ adalah himpunan semua titik yang tidak pada ∠ dan interior ∠ .


(61)

Teorema 2.6.7 (Moise, 1990: 78)

Setiap sisi segitiga, kecuali titik sudutnya berada di dalam interior sudut di

hadapannya.

Diberikan ∆ , ∠ = ∠ merupakan sudut dihadapan sisi ̅̅̅̅.

Bukti :

(1) Pertama gunakan Teorema 2.6.6 pada garis ⃡ dan segmen ̅̅̅̅. Didapat ̅̅̅̅ − berada pada pihak yang memuat B.

(2) Selanjutnya gunakan Teorema 2.6.6 pada garis ⃡ dan segmen ̅̅̅̅. Didapat ̅̅̅̅ − berada pada pihak ⃡ yang memuat C.

(3) Dari (1) dan (2), ̅̅̅̅ − { , } berada pada interior ∠ . □

Gambar 2.6.9 Interior dan Eksterior Sudut

Interior Eksterior

Eksterior A

B

C D

A

B

C


(62)

Teorema 2.6.8 (Moise, 1990: 78)

Jika F berada di dalam interior ∠ , maka − berada di dalam interior ∠ .

Bukti :

(1) Dari Definisi 2.6.5, F dan B pada pihak yang sama terhadap ⃡ . Dengan Teorema 2.6.5, − berada pada pihak yang sama terhadap

⃡ yang memuat F. Oleh karena itu − terletak pada pihak yang

memuat B.

(2) Dari Definisi 2.6.5, F dan C pada pihak yang sama terhadap ⃡ . Dengan Teorema 2.6.5, − berada pada pihak yang sama terhadap

⃡ yang memuat F. Oleh karena itu − terletak pada pihak yang

memuat C.

Dari (1) dan (2) memenuhi bahwa − berada di dalam interior ∠ .

A

B

C F


(63)

Teorema 2.6.9 (Moise, 1990: 79)

Diberikan ∆ABC dan titik F,D,G sehingga B-F-C, A-C-D, dan A-F-G. Maka G di dalam interior ∠ .

Bukti :

(1) Karena A-F-G, G berada pada ⃡ , dan A tidak di antara G dan F. Oleh karena itu G pada . Karena G ≠ A, G pada − .

(2) Dengan Teorema 2.6.7, titik F di dalam interior ∠ . Dari Teorema 2.6.8, − berada pada interior ∠ . Oleh karena itu G dan B pada pihak yang sama terhadap ⃡ (=⃡ ).

(3) A dan G pada pihak yang berlawanan terhadap ⃡ , dan A dan D pada pihak yang berlawanan terhadap ⃡ . Oleh karena itu G dan D pada pihak yang sama terhadap ⃡ .

Dari (2) dan (3), G di dalam interior ∠ . □

A C

B

D

F G


(64)

Selanjutnya akan didefinisikan interior suatu segitiga.

Definisi 2.6.6 (Moise, 1990: 80)

Interior ∆ABC didefinisikan sebagai irisan tiga himpunan berikut :

(1) Pihak ⃡ yang memuat C (2) Pihak ⃡ yang memuat B (3) Pihak ⃡ yang memuat A

Teorema 2.6.10 (Moise, 1990: 80)

Interior segitiga adalah himpunan konvek.

Bukti :

Diberikan sembarang ∆ABC. ⃡ sebagai bidang setengah yang memuat

C, sebagai bidang setengah yang memuat B dan sebagai bidang

setengah yang memuat A. Dari Definisi 2.6.6, interior ∆ABC adalah

A

B

C


(65)

⃡ ⃡ ⃡ . ⃡ , ⃡ , dan ⃡ konvek. Sehingga ⃡ ⃡

⃡ juga konvek (lihat Teorema 2.6.2). □

2.7 Kekontinuan

Teorema 2.7.1 (Moise, 1990: 81)

Diberikan garis l, titik-titik A dan B pada l, A ≠ B, dan F dan G titik pada

pihak yang berlawanan terhadap l. Maka ̅̅̅̅ tidak memotong .

Bukti :

(1) Dari Teorema 2.6.6, ̅̅̅̅ − berada pada pihak yang memuat F. (2) Dari Teorema 2.6.5, − berada pada pihak yang memuat G.

Dari (1) dan (2) didapat bahwa − tidak memotong ̅̅̅̅ − . Oleh karena itu dan ̅̅̅̅ tidak berpotongan. □

Gambar 2.7.1 Ilustrasi Teorema 2.7.1

A

B F


(66)

Teorema 2.7.2 (Moise, 1990: 81)

Dalam ∆ABC diberikan F titik diantara A dan C, dan D suatu titik

sehingga D dan B pada pihak yang sama terhadap ⃡ . Maka memotong ̅̅̅̅ atau ̅̅̅̅.

Bukti :

(1) Diberikan G suatu titik sehingga G-F-D. Maka G dan D berada pada

pihak yang berlawanan terhadap ⃡ , jadi G dan B pada pihak yang berlawanan terhadap ⃡ . Terlihat

⃡ =

(2) Gunakan Teorema 2.7.1 pada garis ⃡ , segmen ̅̅̅̅, dan sinar . Ini berlaku bahwa tidak memotong ̅̅̅̅.

(3) Dengan cara yang sama, didapat tidak memotong ̅̅̅̅.

Gambar 2.7.2 Ilustrasi Teorema 2.7.2

D

F G

A C

B


(67)

(4) Dengan Teorema Pasch didapat bahwa ⃡ memotong ̅̅̅̅ atau ̅̅̅̅. Telah ditunjukan bahwa tidak memotong ̅̅̅̅ atau ̅̅̅̅, maka pastilah memotong ̅̅̅̅ atau ̅̅̅̅. □

Teorema 2.7.3 The Crossbar Theorem (Moise, 1990: 82)

Jika D di dalam interior ∠ , maka memotong ̅̅̅̅, pada titik di antara B dan C.

Bukti :

(1) Diberikan F suatu titik sehingga F-A-C. Maka ⃡ = ⃡ , dan F dan C pada pihak yang berlawanan terhadap ⃡ .

(2) Karena D di dalam interior ∠ , maka B dan D pada pihak yang sama terhadap ⃡ (= ⃡ ). Dengan Teorema 2.7.2, memotong ̅̅̅̅ atau ̅̅̅̅.

Gambar 2.7.3 Teorema Crossbar

D

F

E ?

A

C B


(68)

(3) Karena F dan C pada pihak yang berlawanan terhadap ⃡ , dan C dan D pada pihak yang sama terhadap ⃡ , maka F dan D pada pihak yang berlawanan terhadap ⃡ .

(4) Gunakan Teorema 2.7.1 pada garis ⃡ , segmen ̅̅̅̅, dan sinar . Didapat tidak memotong ̅̅̅̅.

Dari (2) dan (4) memenuhi bahwa memotong ̅̅̅̅, di titik E yang berbeda dengan B. Jika E = C, maka A, D, dan C kolinear, dan ini tidak

benar. Oleh karena itu B-E-C. □

2.8 Ukuran Sudut

Definisi 2.8.1 (Moise, 1990: 93)

Diberikan suatu fungsi ∶ � → ℝ, dengan � adalah himpunan semua sudut dan ℝ adalah himpunan bilangan real. Tulis ∠ untuk menyimbolkan ukuran dari ∠ . Agar lebih ringkas, selanjutnya

∠ akan ditulis dengan ∠ .

Gambar 2.8.1 Ukuran Sudut I

B

D A


(69)

Ukuran ∠ dan ∠ dapat ditulis ∠ = dan

∠ = . Ukuran ∠ tidak ditulis ∠ = , karena nilai dari fungsi m adalah bilangan real. Pada sisi yang lain, penandaan sudut pada gambar menggunakan tanda derajat untuk mengindikasikan bahwa

huruf atau angka dengan tanda derajat berarti ukuran suatu sudut.

Gambar 2.8.2 menunjukan bahwa

∠ =

dan

∠ = .

Berikut akan diberikan beberapa postulat ukuran sudut. (Moise, 1990: 95)

M-1 m adalah fungsi � → ℝ, dimana � adalah himpunan semua sudut dan ℝ adalah himpunan bilangan real.

M-2 Untuk setiap ∠ , ∠ adalah antara 0 dan 180.

Gambar 2.8.2 Ukuran Sudut II

Q R

P

B

A


(70)

M-3 Postulat Pembentukan Sudut (The Angle Construction Postulate). Diberikan suatu sinar pada batas bidang setengah H. untuk setiap bilangan r diantara 0 dan 180, ada tepat satu sinar , dengan P pada H, sehingga ∠ = .

M-4 Postulat Penjumlahan Sudut (The Angle Addition Postulate). Jika D di dalam interior ∠ , maka

∠ = ∠ + ∠

Dua sudut membentuk suatu pasangan linear jika sudut-sudut tersebut

terlihat seperti berikut :

Gambar 2.8.3 Pembentukan Sudut

Q R

P

Gambar 2.8.4 Pembentukan Sudut

D

+

A B


(71)

Jika dan sinar yang berlawanan, dan suatu sinar yang tidak pada ⃡ , maka ∠ dan ∠ membentuk pasangan linear.

Definisi 2.8.2 (Moise, 1990: 96)

Jika ∠ + ∠ = , maka kedua sudut tersebut dikatakan berpelurus. Definisi ini tidak tergantung pada letak sudut, tetapi hanya

tergantung pada ukuran sudutnya. Artinya kedua sudut yang dimaksud

tidak harus bersisian.

M-5 Postulat Pelurus (The Supplement Postulate). Jika dua sudut membentuk pasangan linear, maka kedua sudut tersebut berpelurus.

Gambar 2.8.5 Dua Sudut Membentuk

Pasangan Linear

D

A B

C

Gambar 2.8.6 Dua Sudut Berpelurus

A B C


(72)

2.9 Postulat Luas

Definisi 2.9.1 (Moise, 1990: 184)

Suatu daerah triangular adalah bangun yang terbentuk dari gabungan

segitiga beserta interiornya, seperti gambar berikut :

Sisi segitiga disebut batas daerah, dan titik sudut segitiga disebut

titik sudut daerah.

Suatu daerah segibanyak adalah bangun seperti salah satu di bawah ini :

Gambar 2.9.1 Daerah Triangular


(73)

Definisi 2.9.2 (Moise, 1990: 184)

Suatu daerah segibanyak adalah bangun bidang yang dapat diekspresikan

sebagai gabungan dari daerah triangular yang terbatas jumlahnya, sehingga

jika dua daerah triangular beririsan, irisannya adalah suatu batas atau suatu

titik sudut dari dua daerah triangular tersebut.

Gambar 2.9.2 menandakan bahwa daerah segibanyak dapat dibagi

ke dalam daerah-daerah triangular. Tentunya, tidak ada kekhasan

bagaimana cara suatu daerah segibanyak dapat dibagi ke dalam

daerah-daerah triangular. Pada faktanya jika pembagian ini dilakukan untuk suatu

bentuk tertentu, ini dapat dilakukan dalam banyak sekali cara (tak hingga).

Sebagai contoh, suatu jajargenjang dengan interiornya dapat dibagi dalam

paling tidak beberapa cara ini.

Definisi 2.9.3 (Moise, 1990: 185)

Diberikan suatu fungsi luas �, dimana untuk setiap daerah segibanyak berkorespondensi dengan suatu bilangan positif yang disebut luas.


(74)

Diberikan ℛ sebagai himpunan semua daerah segibanyak, sehingga

�: ℛ ⟶ ℝ.

Selanjutnya akan diberikan beberapa postulat luas.

A-1 � adalah fungsi ℛ ⟶ ℝ, dimana ℛ adalah himpunan semua daerah segibanyak dan ℝ adalah himpunan semua bilangan real. Dapat ditulis �: ℛ ⟶ ℝ; ℛ = { | adalah daerah segibanyak}; ℝ = himpunan semua bilangan real.

A-2 Untuk setiap daerah segibanyak , � > . Dapat ditulis � > , ∀ ℛ.

A-3 The Congruence Postulate. Jika dua daerah triangular kongruen, maka keduanya memiliki luas yang sama.

Diberikan , adalah daerah triangular, � = � , ≅ .

A-4 The Additivity Postulate. Jika dua daerah segibanyak berpotongan hanya pada batas dan titik sudutnya, maka luas gabungan dua

daerah segibanyak tersebut adalah gabungan dari luasnya.

Diberikan , adalah daerah segibanyak. Jika = ℓ, dengan ℓ = himpunan garis-garis, maka � = � +


(75)

Definisi 2.9.4 (Moise, 1990: 204)

Diberikan suatu daerah segibanyak R, diekspresikan sebagai gabungan

dari daerah triangular yang terbatas, beririsan hanya pada batas dan titik

sudutnya. Himpunan K yang anggota-anggotanya daerah triangular disebut

komplek, dan disebut triangulasi dari R.

Pada Gambar 2.9.5, komplek K adalah himpunan

{ , , , , }.

Gambar 2.9.4 Postulat Penjumlahan


(76)

R dan K adalah objek yang berbeda. R adalah himpunan titik-titik yang

banyaknya tak hingga, sedangkan K adalah himpunan daerah triangular

yang terbatas.

2.10 Sudut Luar Segitiga dan Konsekuensinya

Teorema 2.10.1 (Prenowitz & Jordan, 1965: 22)

Sebuah sudut luar segitiga lebih besar dari kedua sudut dalam yang tidak

bersisian dengan sudut tersebut.

Bukti :

Diberikan sembarang ∆ABC, ambil D pada , sehingga B − C − D. Pertama-tama akan ditunjukan bahwa ∠ACD lebih besar dari ∠A.

Ambil E sebagai titik tengah AC̅̅̅̅ dan ambil F pada sehingga = .

Sebab = , = , dan ∠ = ∠ , maka ∆ ≅

Gambar 2.10.1 Ilustrasi I Teorema 2.10.1

E

A F


(77)

∆ (Sisi,Sudut,Sisi), akibatnya ∠ = ∠ . Karena ∠ >

∠ , maka ∠ > ∠ = ∠ .

Selanjutnya ambil H pada , sehingga A-C-H. Akan ditunjukan

∠ > ∠ .

Cara yang digunakan sama dengan pembuktian diatas. Ambil M sebagai

titik tengah ̅̅̅̅, kemudian ambil N pada sehingga = . Sebab

= , = , dan ∠ = ∠ , maka ∆ ≅ ∆ . Sehingga ∠ = ∠ . Karena ∠ > ∠ , maka

∠ > ∠ = ∠ . □

Teorema 2.10.2 (Prenowitz & Jordan, 1965: 24)

Jumlah ukuran dua sudut segitiga kurang dari 180.

N

Gambar 2.10.2 Ilustrasi II Teorema 2.10.1

B

A

C

H M


(78)

Bukti:

Diberikan sembarang ∆ . Akan ditunjukan ∠ + ∠ < . Ambil D pada sehingga C-B-D. ∠ adalah sudut luar ∆ . Dari Teorema 2.10.1, didapat ∠ > ∠ . Kemudian ∠ = −

∠ . Dengan substitusi didapat

− ∠ > ∠ > ∠ + ∠

Oleh sebab itu m∠ + ∠ < . □

Teorema 2.10.3 (Milman & Parker, 1991: 138)

Jika dua sisi segitiga tidak sama panjang, bersama dengan sudut dihadapan

dua sisi segitiga tersebut, maka sudut yang lebih besar adalah sudut

dihadapan sisi yang lebih panjang.

Dengan kata lain dalam ∆ jika > , maka ∠ > ∠ .

Bukti :

Gambar 2.10.3 Ilustrasi Teorema 2.10.2

A

B


(79)

Ambil titik D sehingga A-C-D dan = . Titik C didalam interior

∠ dan ∠ < . ∆ adalah segitiga samakaki sehingga

∠ = ∠ . Dengan Teorema 2.10.1 untuk segitiga ∆ ,

∠ < ∠ . Maka

∠ < ∠ = ∠ < ∠ ,

sehingga ∠ > ∠ . □

Selanjutnya akan ditunjukan konvers dari Teorema 2.10.3.

Teorema 2.10.4 (Milman & Parker, 1991: 139)

Dalam ∆ jika ∠ > ∠ , maka > .

Bukti :

D

B A

C


(80)

Andaikan . Untuk = , maka ∆ adalah segitiga sama kaki. Akibatnya ∠ = ∠ . Hal ini kontradiksi dengan pernyataan

∠ > ∠ .

Selanjutnya untuk > , dapat diambil titik D pada ̅̅̅̅ sehingga

= . Maka dapat dibuat ∆ dan ∆ . Dengan menerapkan Teorema 2.10.1 pada ∆ didapat ∠ = ∠ > ∠ =

∠ . Kemudian ∠ < ∠ < ∠ , sehingga didapat ∠ > ∠ . Ini kontradiksi dengan pernyataan ∠ > ∠ . Jadi > . □

B C

Gambar 2.10.5 Ilustrasi I Teorema 2.10.4

Gambar 2.10.6 Ilustrasi II Teorema 2.10.4

A

B

C


(81)

Teorema 2.10.5 Triangle Inequality (Milman & Parker, 1991: 139)

Panjang salah satu sisi segitiga kurang dari jumlah panjang dua sisi yang

lain.

Bukti :

Akan ditunjukan dalam ∆ , < + .

Ambil D pada dengan C-B-D, sehingga = . Maka

= + = + .

B pada interior ∠ sehingga ∠ < ∠ . Karena ∆ adalah segitiga samakaki, ∠ = ∠ sehingga ∠ < ∠ . Dengan Teorema 2.10.4 pada ∆ , didapat

< = + ,

sehingga

A

B

C D


(82)

< + . □

Teorema ini dapat diperumum menjadi teorema berikut.

Teorema 2.10.6 (Milman & Parker, 1991: 141)

Diberikan A, B, C adalah tiga titik berbeda, maka + .

Bukti :

Jika A, B, C tidak kolinear dengan ketaksamaan segitiga maka terpenuhi

< + . Kemudian = + apabila A, B, C kolinear dengan A-B-C. Jadi untuk sembarang tiga titik berbeda A, B, C berlaku

+ .

Teorema 2.10.7 Pertidaksamaan Segibanyak atau Polygon Inequality

(Milman & Parker, 1991: 180)

Diberikan titik-titik berbeda , , … , , untuk , maka

+ + ⋯ + − .


(83)

Untuk = , dengan Teorema 2.10.6 maka persamaan di atas terpenuhi. Selanjutnya andaikan benar untuk = , maka didapat

+ + ⋯ + − .

Akan dibuktikan benar untuk = + .

+ + + .

Dengan mensubtitusikan pertidaksamaan sebelumnya didapat

+ + + ⋯ + + + . □

2.11 Segiempat Saccheri dan Jumlah Sudut dalam Segitiga

Definisi 2.11.1 (Moise, 1990: 152)

□ dikatakan segiempat Saccheri jika ∠ dan ∠ adalah sudut siku-siku, B dan C pada pihak yang sama terhadap ⃡ , dan = . Segmen

̅̅̅̅ disebut sisi bawah dan ̅̅̅̅ disebut sisi atas. ∠ dan ∠ disebut sudut bawah. ∠ dan ∠ disebut sudut atas.

A B

D C


(84)

Teorema 2.11.1 (Milman & Parker, 1991: 180)

Diberikan segiempat Saccheri □ (dengan sisi bawah ̅̅̅̅), maka .

Bukti :

Dibentuk banyak segiempat Saccheri yang kongruen seperti pada gambar

berikut.

Ambil = , = , = , = . Untuk setiap , diberikan suatu titik pada ⃡ sehingga − dan = . Catatan bahwa + = . Umtuk setiap diberikan suatu titik pada pihak yang sama dengan B terhadap ⃡ dengan ̅̅̅̅̅̅̅ ⊥ ⃡ dan

= .

Dengan pertidaksamaan segibanyak didapat

+ + + ⋯ + + + + + .

Karena = + + dan + = , maka

+ , untuk .

Gambar 2.11.2 Segiempat Saccheri II

+

+

=

= =

=

...

...


(85)

Maka

− , untuk . (2-1) Pertidaksamaan (2-1) terpenuhi untuk dan ruas kanan akan sangat

kecil apabila n cukup besar. Sehingga didapat − . Oleh karena itu

. □

Teorema 2.11.2 (Moise, 1990: 155)

Pada sembarang segiempat Saccheri □ (dengan sisi bawah ̅̅̅̅), maka ∠ ∠ .

Bukti :

Dari Definisi 2.11.1 diketahui bahwa = . Andaikan ∠ >

∠ . Dengan Teorema 2.10.4 didapat > dan ini kontradiksi dengan Teorema 2.11.1. Jadi ∠ ∠ . □

A B

D C


(86)

Teorema 2.11.3 (Moise, 1990: 155)

Jika ∆ memiliki sudut siku-siku di A, maka

∠ + ∠ .

Bukti :

Ambil titik C sehingga □ adalah segiempat Saccheri.

Maka

∠ + ∠ = ,

Karena ∠ adalah sudut siku-siku. Dengan Teorema 2.11.2 didapat

∠ ∠ .

Oleh karena itu

− ∠ ∠ , sehingga ∠ + ∠ . □

A B

D C 1

2 3


(87)

Teorema 2.11.4 (Moise, 1990: 157)

Dalam sembarang ∆ ,

∠ + ∠ + ∠ .

Bukti :

Andaikan ̅̅̅̅ adalah sisi terpanjang dari ∆ dan ̅̅̅̅ adalah garis tinggi dari B ke ̅̅̅̅, sehingga A-D-C.

∠ + ∠

dan

∠ + ∠ .

Oleh karena itu

∠ + ∠ + ∠ + ∠ .

Karena ∠ + ∠ = ∠ , maka

Gambar 2.11.5 Ilustrasi Teorema 2.11.4

A

B

C D


(88)

∠ + ∠ + ∠ . □

2.12 Fungsi Kritis

Pada sub bab ini akan dibahas mengenai garis-garis sejajar dan

sudut kesejajaran pada geometri hiperbolik. Untuk itu selanjutnya akan

diberikan postulat kesejajaran hiperbolik yang juga sering disebut postulat

kesejajaran Lobachevsky. Pada sub bab ini juga disisipkan materi pada

analisis real, yaitu menegenai supremum dan infimum.

Postulat 2.12.1 Postulat Kesejajaran Lobachevsky (The Lobachevskian Parallel Postulate) (Moise, 1990: 139)

Diasumsikan suatu garis l dan suatu titik P yang tidak pada l, paling tidak ada dua garis ′, ′′ yang memuat P dan sejajar dengan l.

Gambar 2.12.1 Supremum dan Infimum

inf sup

batas bawah S batas atas S


(89)

Definisi 2.12.1 (Bartle & Sherbert, 2011: 37)

Diberikan S suatu himpunan bagian tak kosong dari ℝ.

(1) Himpunan S dikatakan terbatas ke atas jika ada suatu bilangan

ℝ sehingga untuk semua . Setiap bilangan disebut batas atas dari .

(2) Himpunan S dikatakan terbatas ke bawah jika ada suatu bilangan

ℝ sehingga untuk semua . Setiap bilangan disebut batas bawah dari .

Definisi 2.12.2 (Bartle & Sherbert, 2011: 37)

Diberikan S suatu himpunan bagian tak kosong dari ℝ.

(1) Jika S terbatas ke atas, maka suatu bilangan dikatakan supremum

(atau batas atas terkecil) dari S jika memenuhi kondisi berikut :

(a) adalah batas atas S, dan

(b) jika sembarang batas atas S, maka . Ditulis = sup . (2) Jika S terbatas ke bawah, maka suatu bilangan dikatakan

infimum (atau batas bawah terbesar) dari S jika memenuhi kondisi

berikut :

(a) adalah batas bawah S, dan

(b) jika sembarang batas bawah S, maka . Ditulis =


(90)

Diberikan garis l dan titik P yang tidak pada l. Ambil A pada l

sehingga ̅̅̅̅ ⊥ , dan B titik lain pada l. Untuk setiap bilangan r diantara 0 dan 180 ada tepat satu sinar , dengan D pada pihak yang sama dengan B terhadap ⃡ , sehingga ∠ = .

Tentu saja untuk beberapa r, akan memotong . Sebagai contoh ambil = ∠ . Untuk , tidak akan memotong .

Definisi 2.12.3 (Moise, 1990: 371)

Diberikan

� = { | akan memotong }

A B

P

C

E D


(91)

Ambil = sup �. Sup menyatakan supremum yaitu batas atas terkecil. Bilangan disebut bilangan kritis untuk P dan . ∠ dengan ukuran

disebut sudut kesejajaran dan P.

Selanjutnya akan dibahas fungsi kritis.

Definisi 2.12.4 (Moise, 1990: 373)

Diberikan suatu fungsi → dan dilambangkan dengan c dan disebut fungsi kritis. Maka untuk setiap > , melambangkan bilangan kritis yang berkorespondensi dengan = . memotong ketika

∠ < , tetapi tidak memotong ketika ∠ .

Gambar 2.12.3 Fungsi Kritis

A

D

B P


(92)

Teorema 2.12.1 (Moise, 1990: 373)

Jika ′> , maka ′ .

Bukti :

Diberikan , ′ dengan = dan ′ = ′. Ambil sehingga

∠ = dan ambil ′ ′ sehingga ∠ ′ ′ = , dengan dan ′ pada pihak yang sama terhadap ⃡ . Maka dan ′ ′ sejajar. Semua titik pada ′ ′ berada pada pihak ⃡ yang memuat ′. Semua titik berada pada pihak ⃡ yang memuat A. Oleh karena itu ′ ′ tidak memotong .

Sekarang ambil �′= { | ′ ′ memotong }. Seperti pada Definisi 2.12.3 dan Definisi 2.12.4, sudut kritis ′ = sup �′. Kemudian adalah batas atas �′, karena ′ ′ tidak memotong . ′ adalah batas atas terkecil dari �′. Jadi ′ . □

A

D

B P


(93)

Teorema ini memungkinkan < ketika cukup besar, = ketika sangat kecil. Tetapi faktanya ini tidak mungkin terjadi, seperti

yang ditunjukan dua teorema berikut.

Teorema 2.12.2 (Milman & Parker, 1991: 193)

Jika < , maka / < .

Bukti :

Diberikan P, ′ seperti pada Gambar 2.12.5. Dengan = dan ′=

/ . Ambil sehingga ∠ = < , dan ambil ⃡ ⊥ ⃡ ′ pada ′. Jika tidak memotong ⃡ ′ seperti pada Gambar 2.12.5 (i), maka

/ ∠ = < .

(ii)

P

P’

D

F E

G

A B

H

(i)

E P

P’

A B

D’

D


(94)

Selanjutnya, andaikan memotong ′ pada titik F seperti Gambar 2.12.5 (ii). Ambil sembarang titik G sehingga P-F-G. G pada interior

∠ ′ , maka ∠ ′ < . Ambil H sehingga P′-G-H. A dan H pada pihak yang berlawanan terhadap ⃡ , B dan H pada pihak yang berlawanan terhadap ⃡ , maka tidak memotong . Akibatnya ′ tidak memotong . Ini berarti

/ ∠ ′ < . □

Teorema 2.12.3 (Moise, 1990: 374)

Jika < untuk beberapa , maka < untuk setiap .

Bukti :

Untuk setiap n, ambil

= .

Dengan induksi, berdasarkan Teorema 2.12.2, maka

< untuk setiap n.

Selanjutnya akan dibuktikan tidak mungkin = .

Andaikan ada b sehingga = . Karena lim

→∞ = , maka


(95)

< , tetapi < . Ini kontradiksi dengan Teorema 2.12.1. Jadi


(1)

, , … ,

adalah garis yang memuat batas dari � atau batas dari � .

membagi pada � (dan setiap ′ pada � ) ke dalam dua daerah konvek yang lebih kecil. Dari Teorema 3.4.4, diketahui bahwa setiap

tahapan tersebut tidak mengubah total defek. Ketika semua garis telah

digunakan, dibuat triangulasi bintang pada setiap daerah segibanyak

konvek yang merupakan hasil dari proses di atas. Proses ini juga tidak

mengubah total defek. Kemudian didapat subdivisi yang sama dari � dan

� , yaitu � sehingga

� � = � � dan � � = � �

Oleh karena itu � � = � � . □

Dari Teorema 3.4.5 diatas, defek sembarang segibanyak dapat

didefinisikan seperti berikut.

Definisi 3.4.5 (Milman & Parker, 1991: 269)

Total defek suatu daerah segibanyak R, � adalah jumlah defek daerah triangular dari sembarang triangulasi terhadap R.


(2)

Selanjutnya � akan didefinisikan sebagai fungsi luas sembarang daerah segibanyak R dengan menunjukan � memenuhi postulat luas A-1, A-2, A-3, dan A-4 (lihat sub bab 2.9).

Teorema 3.4.6 (Milman & Parker, 1991: 269)

Dibawah HPP fungsi total defek �: ℛ ⟶ ℝ adalah fungsi luas.

Bukti :

(1) � adalah fungsi ℛ ⟶ ℝ, dimana ℛ adalah himpunan semua daerah segibanyak dan ℝ adalah himpunan semua bilangan real. Berdasarkan Definisi 3.4.5, total defek suatu daerah segibanyak R, � adalah jumlah defek daerah triangular dari sembarang triangulasi terhadap R.

Defek daerah triangular adalah bilangan real, sehingga defek daerah

segibanyak juga merupakan bilangan real. Ini memenuhi postulat luas

A-1.

(2) Berdasarkan Definisi 3.4.5, � adalah jumlah defek daerah triangular dari sembarang triangulasi terhadap R. Defek daerah

triangular T, � > . Akibatnya untuk setiap daerah segibanyak

, � > . Ini memenuhi postulat luas A-2.

(3) Untuk setiap daerah triangular yang kongruen, maka keduanya

memiliki luas yang sama. Ini memenuhi postulat luas A-3 (lihat


(3)

(4) Jika daerah segibanyak R dibagi ke dalam dan , berpotongan

hanya pada batas dan titik sudutnya, maka � = � + � (memenuhi A-4). □


(4)

115 BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. Geometri hiperbolik adalah geometri yang berdasarkan pada

postulat kesejajaran Lobachevsky. Postulat kesejajaran

Lobachevsky berisi, “Diasumsikan suatu garis l dan suatu titik P yang tidak pada l, paling tidak ada dua garis ′, ′′ yang memuat P dan sejajar dengan l.”

2. Defek ∆ didefinisikan sebagai

− ∠ − ∠ − ∠ .

Nilai defek suatu segitiga merupakan suatu bilangan real dan selalu

positif karena dalam geometri hiperbolik

∠ + ∠ + ∠ < .

Untuk setiap bilangan < , ada segitiga yang memiliki defek lebih besar dari . Dengan kata lain bahwa ada segitiga yang memiliki defek mendekati 180.

Defek � dari daerah segibanyak konvek R adalah jumlah defek dari daerah triangular dari triangulasi bintang pada R. Untuk defek

sembarang daerah segibanyak didefinisikan sebagai berikut. Total

defek suatu daerah segibanyak R, � , adalah jumlah defek daerah triangular dari sembarang triangulasi terhadap R.


(5)

3. Defek suatu segitiga memenuhi postulat luas. Sehingga luas suatu

daerah segitig a atau daerah triangular didefinisikan sebagai defek

dari segitiga yang bersesuaian. Defek dari suatu daerah segibanyak

juga memenuhi pustulat luas. Sehingga luas dearah segibanyak

didefinisikan sebagai total defek suatu daerah segibanyak R, � , yaitu jumlah defek daerah triangular dari sembarang triangulasi

terhadap R.

4.2 Saran

Pada skripsi ini hanya dibahas luas pada geometri hiperbolik secara

teori. Untuk pembahasan selanjutnya, dapat dibahas ukuran luas geometri

hiperbolik pada bidang kompleks. Materi ini akan banyak menggunakan

materi kalkulus dan bilangan kompleks. Materi ini dapat ditemukan dalam

buku Hyperbolic Geometry Second Edition, karangan James W. Anderson


(6)

117

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, J.W. (2005). Hyperbolic Geometry Second Edition. London :

Springer-Verlag

Bartle, R.G., & Sherbert, D.R. (2011). Introduction to Real Analysis Fourth

Edition. Urbana : John Wiley & Sons, Inc

Greenberg, M.J. (1980). Euclidean and Non Euclidean Geometries : Development

and History. San Fransisco : W.H. Freeman and Company

Millman, R.S., & Parker, G.D. (1991). Geometry : A Metric Approach with Model

Second Edition. New York : Springer

Moise, E.E. (1990). Elementary Geometry from an Advanced Standpoint Third

Edition. Reading : Addison-Wesley Publishing Company

Prenowitz, W., & Jordan, M. (1965). Basic Concepts of Geometry. Massachusetts: