BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Krisis ekonomi melanda Indonesia sejak Tahun 1997 yang ditandai dengan terjadinya krisis moneter hingga berlakunya kebijakan menaikkan Bahan
Bakar Minyak BBM awal Maret 2005, mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Kelompok ini disebut
juga oleh Suyanto sebagai “masa rentan, kelompok marjinal” atau masyarakat miskin. Saat ini ada 37,4 dari total penduduk yang mencapai 227 juta jiwa lebih
berada di bawah garis kemiskinan. Prosiding Seminar Program Pengembangan Diri 2006 Bidang Ilmu Sosiologi, 2007: 180.
Tidak ada angka yang pasti mengenai jumlah anak jalanan saat ini. KPAI Komisi Perlindungan Anak Indonesia memperkirakan, pada Tahun 2006 lalu
terdapat sekitar 150 ribu anak jalanan di Indonesia, dengan konsentrasi terbesar di Jakarta. Sementara pada Tahun 2007 di Sumatera Utara, Yayasan KKSP
Kelompok Kerja Sosial Perkotaan memperkirakan jumlah anak jalanan di seluruh 25 Kabupaten dan Kota sekitar 5000 anak jalanan.
http:www.kksp.or.id.
Universitas Sumatera Utara
Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang kompleks. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan
pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak memiliki masa depan yang jelas, dimana keberadaan mereka seringkali menjadi
“masalah” bagi banyak pihak; keluarga, masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum begitu besar, padahal mereka
adalah saudara kita, mereka juga adalah amanah Allah yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang menjadi manusia dewasa yang
bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah. Dalam pandangan Soetarso 2004 yang dikutip dari Huraerah, 2006: 78
bahwa dampak krisis moneter dan ekonomi dalam kaitannya dengan anak jalanan adalah:
1. Orang tua mendorong anak untuk bekerja membantu ekonomi keluarga.
2. Pola pendidikan dan pengasuhan yang salah terhadap anak oleh orang tua
sehingga menyebabkan anak lari ke jalanan. 3.
Anak terancam putus sekolah karena orang tua tidak mampu membayar uang sekolah.
4. Makin banyak anak yang hidup di jalanan karena biaya kontrak rumah
meningkat. 5.
Timbul persaingan dengan pekerja dewasa di jalanan, sehingga terpuruk melakukan pekerjaan berisiko tinggi terhadap keselamatannya dan eksploitasi
anak oleh orang dewasa di jalanan.
Universitas Sumatera Utara
6. Anak lebih lama berada di jalanan sehingga mengundang masalah lain.
7. Anak jalanan menjadi korban pemerasan dan eksploitasi seksual, terutama
terhadap anak jalanan perempuan. Sesungguhnya ada banyak faktor yang menyebabkan anak-anak
terjerumus dalam kehidupan di jalanan. Berdasarkan pra riset yang penulis peroleh dari Dinas Sosial yakni, Bapak Umur Ginting selaku bagian penanganan
anak jalanan mengatakan bahwa konkritnya di Kota Medan ada tiga faktor umum yang menjadi persoalan mengapa anak turun ke jalanan, yaitu:
1. Kondisi ekonomi keluarga yang kurang atau tekanan kemiskinan akibat krisis
ekonomi yang berkepanjangan. 2.
Ketidakharmonisan rumah tangga sehingga menyebabkan si anak tidak betah tinggal di rumah, dan
3. Akibat pengaruh lingkungan komunitas anak yang menyebabkan anak
terjerumus dalam kehidupan di jalanan. Ternyata dari ketiga faktor tersebut, bahwa faktor kondisi ekonomi
keluarga yang kurang atau tekanan kemiskinanlah yang menjadi masalah utama seringkali orang tua memaksa anaknya untuk bekerja dan juga atas inisiatif si
anak tersebut mencari nafkah untuk membantu orang tuanya atau hidup mandiri di jalanan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan anak jalanan berikut yakni Rianto,
berusia 16 tahun yang merupakan salah seorang anak yang dibina oleh Yayasan Econom yang mengatakan bahwa:
Universitas Sumatera Utara
“Saya turun ke jalanan untuk bekerja, karena saya ingin membantu tambahan pendapatan orang tua. Pekerjaan Bapak saya pedagang asongan, saya
ada enam bersaudara dan itu tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup kami, jadi saya harus membantu Bapak untuk meringankan beban mereka”.
Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh Yayasan KKSP Kelompok Kerja Sosial Perkotaan, pusat-pusat kegiatan anak jalanan di Kota Medan berada
pada sejumlah titik. Diantaranya, simpang Ramayana jalan Brigjen Katamso, jalan Letda Sudjono, simpang jalan A.H Nasution, kawasan Titi Kuning, Café Harapan
di seputar jalan Imam Bonjol Medan. Kemudian di Terminal Terpadu Amplas di jalan Panglima Denai, di seputar lapangan jalan Gajah Mada, simpang Sei
Kambing di jalan Kapten Muslim, simpang jalan Guru Patimpus, Pasar Pringgan, Pasar Petisah dan Pusat Pasar. http:www.kksp.or.id.
Dari keseluruhan tempat tersebut, pendataan sementara Tahun 2007 yang dilakukan oleh Yayasan KKSP Kelompok Kerja Sosial Perkotaan keseluruhan
anak jalanan yang kerap beraktifitas di kawasan tersebut berjumlah 481 orang. Namun, data ini selalu berubah-ubah, ada anak yang sudah mendapatkan
pekerjaan tetap atau pindah ke daerah lain, namun selalu muncul wajah baru. Aktifitas anak-anak jalanan di Kota Medan beraneka ragam, diantaranya
sebagai pengamen, pedagang koran, pedagang rokok, pembersih kaca mobil, pengemis, tukang sapu angkot dan lain sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Mereka terutama beroperasi di tempat-tempat keramaian atau umum seperti di perempatan jalan traffic light, pusat-pusat pasar, stasiunterminal bus
dan pusat perbelanjaan. Menurut Huraerah, 2006: 79, tidak jarang anak jalanan seringkali menjadi objek kekerasan. Anak-anak jalanan ditantang oleh risiko yang
mau tidak mau harus dihadapi saat mereka berada di jalanan. Dengan mengacu pada International Conference on Street Children yang diselenggarakan di
Yogyakarta tanggal 10-11 September 1996, risiko-risiko yang dapat diidentifikasi adalah menjadi korban kekerasan pemerasan, penganiyaan, eksploitasi seksual,
penangkapan dan perampasan modal kerja; kelangsungan hidup terancam, kurangsalah gizi; minuman keras, penyalahgunaan obat terlarang, tindakan
kriminal dan seks bebas; ancaman tidak langsung zat polutan, kecelakaan lalu lintas, HIVAIDS serta keterkucilan dan stigmatisasi sosial.
Kehadiran anak-anak di jalanan adalah sesuatu yang dilematis. Di satu sisi mereka mencari nafkah dan mendapatkan pendapatan yang membuat mereka bisa
bertahan hidup dan dapat menopang kehidupan keluarga. Namun, di sisi lain mereka bermasalah, karena tindakannya seringkali merugikan orang lain. Mereka
acapkali melakukan tindakan yang tidak terpuji seperti sering berkata kotor, mengganggu ketertiban di jalanan misalnya; memaksa pengemudi kendaraan
bermotor untuk memberi sejumlah uang walaupun tidak seberapa, merusak body mobil dengan goresan dan melakukan tindakan kriminal lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Mengapa sebagian anak jalanan bertahan hidup dengan cara-cara yang secara sosial kurang atau bahkan tidak dapat diterima? Menurut Farid dalam
Sularto, 2000: 54, tantangan kehidupan yang mereka hadapi pada umumnya berbeda dengan kehidupan normatif yang ada di masyarakat. Dalam banyak
kasus, anak jalanan sering hidup berkembang di bawah tekanan dan stigma atau dicap sebagai pengganggu ketertiban. Perilaku mereka sebenarnya merupakan
konsekuensi logis dari stigma sosial keterasingan mereka dalam masyarakat. Tidak ada yang berpihak kepada mereka dan justru perilaku mereka sebenarnya
mencerminkan cara masyarakat memperlakukan mereka sebagai kelompok masyarakat yang terpinggirkan.
Menurut UUD 1945 yang tercantum dalam pasal 34 ayat 1 “Anak terlantar itu dipelihara oleh Negara”, artinya Pemerintah mempunyai tanggung
jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Beberapa perangkat hukum dan kebijakan telah dikeluarkan Pemerintah
sebagai upaya untuk menangani permasalahan anak jalanan tersebut. Di tingkat Provinsi, memang Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara belum ada
mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Penetapan Program Pembinaan Anak Jalanan, namun mengeluarkan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2004 tentang
Pencegahan dan Penanggulangan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak.
Universitas Sumatera Utara
Sementara di tingkat Nasional, telah ada UU No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO No.182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak dan Keputusan Presiden No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional RAN Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Keputusan
Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of the Child Konvensi tentang hak-hak Anak. Mereka perlu mendapatkan hak-
haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan civil righ and freedoms, lingkungan keluarga dan pilihan
pemeliharaan family envionment and alternative care, kesehatan dasar dan kesejahteraan basic health and welfare, pendidikan, rekreasi dan budaya
education, laisure and culture activites, dan perlindungan khusus special protection.
http:www.depsos.go.idBalitbangPuslitbang 20uksexecutive2004.htm. Akan tetapi, instrumen hukum dan kebijakan tersebut belum
terimplementasi dengan baik, kenyataan menunjukkan bahwa hak-hak seperti yang tercantum dalam konvensi hak anak dan UU yang mengaturnya belum
sepenuhnya didapatkan oleh anak jalanan, orang tua memang merupakan pihak utama untuk memberikan hak-hak kepada anaknya, tetapi karena kondisi ekonomi
keluarga yang tidak mendukung maka peran Pemerintahlah khususnya melalui Dinas Sosial berkewajiban memberikan hak-hak yang seharusnya diperoleh anak.
Universitas Sumatera Utara
Melihat berbagai kondisi yang dialami oleh anak jalanan, maka Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara melalui Dinas Sosial harus
mengadakan program pembinaan anak jalanan, dimana dengan program yang realistis akan tercipta kebijakan utama untuk mengentaskan masalah anak jalanan.
Disamping itu, kelanjutan dari program pembinaan anak jalanan yang dilakukan oleh Dinas Sosial adalah implementasi yang nyata, dan yang paling diharapkan
oleh anak jalanan misalnya dengan terciptanya lapangan pekerjaan, bila memang pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan usia anak dan tidak terlalu
membahayakan keselamatan jiwanya sehingga mereka tidak turun ke jalanan untuk bekerja, serta masih mendapat kesempatan untuk sekolah dan bermain maka
tidak akan berpengaruh terhadap perkembangan anak. Anak akan terdidik melalui pekerjaan itu untuk menjadi manusia yang bertanggung jawab.
Terlepas dari pembinaan yang diberikan kepada anak jalanan agar mereka terampil dan mandiri dalam menuju kedewasaan nantinya, hal terpenting yang
juga harus diperhatikan oleh Dinas Sosial adalah pembinaan terhadap keluarga anak jalanan tersebut. Jika karena kondisi ekonomi keluarga yang kurang
mendukung menjadi faktor anak turun ke jalanan untuk bekerja membantu orang tuanya, maka pembinaan terhadap keluarga yang harus dilakukan oleh Dinas
Sosial adalah dengan pemberdayaan ekonomi keluarga yang menciptakan kemandirian, sehingga akhirnya dengan berbagai program pembinaan yang
diberikan, baik kepada si anak maupun kepada keluarganya diharapkan mereka tidak kembali lagi ke jalanan.
Universitas Sumatera Utara
Dari uraian latar belakang masalah tersebut, penulis ingin melihat bagaimana implementasi kebijakan program pembinaan Dinas Sosial terhadap
anak jalanan di Kota Medan.
1.2 Perumusan Masalah