25
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hutan Tanaman Industri
Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat 1 Undang -Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undang-
Undang tersebut, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Dari defenisi hutan tersebut, terdapat unsur-unsur yang meliputi:
a. Suatu kesatuan ekosistem
b. Berupa hamparan lahan
c. Berisi sumberdaya alam hayati beserta alam lingkungannya yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya. d.
Mampu memberi manfaat secara lestari. Lebih lanjut Zain 1996, menyatakan bahwa keempat ciri pokok di atas
dimiliki suatu wilayah yang dinamakan hutan, merupakan rangkaian kesatuan komponen yang utuh dan saling ketergantungan terhadap fungsi ekosistem di bumi.
Eksistensi hutan sebagai subekosistem global menempatkan posisi penting sebagai paru-paru dunia.
Sumberdaya hutan mempunyai peran penting dalam penyediaan bahan baku industri, sumber pendapatan, menciptakan lapangan dan kesempatan kerja. Hutan
8
Universitas Sumatera Utara
26
merupakan hasil komoditi yang dapat diubah menjadi hasil olahan dalam upaya mendapat nilai tambah serta membuka peluang kesempatan kerja dan kesempatan
berusaha. Upaya pengolahan hasil hutan tersebut tidak boleh mengakibatkan rusaknya hutan sebagai sumber bahan baku industri. Untuk menjaga keseimbangan
antara kemampuan penyediaan bahan baku dengan industri pengolahannya, maka diperlukan pengaturan regulasi, pembinaan dan pengawasan. Pemanfaatan hutan
tidak terbatas hanya produksi kayu dan hasil hutan non kayu, tetapi juga hasil hutan lainnya seperti plasma nuftah, jasa lingkungan, sehingga manfaat hutan lebih optimal.
Hutan tanaman industri secara umum diartikan masyarakat sebagai hutan yang dikelola dengan menanam tumbuh-tumbuhan tertentu untuk kepentingan industri,
keadaan ini menyebabkan tanaman pada hutan tanaman industri selalu tanaman sejenis monokultur dan merupakan tanaman yang sangat dibutuhkan oleh industri
pemilik hutan tanaman industri Arifin, 2001. Ngadiono 1984, menjelaskan bahwa pembangunan Hutan Tanaman Industri
bertujuan untuk menanggulangi masalah seperti: a Menurunnya kondisi kelestarian sumberdaya hutan khususnya hutan produksi; b Menciutnya hutan produksi akibat
kebutuhan lahan hutan oleh sektor lain makin tinggi; c Kekurangan bahan baku akibat semakin berkembangnya industri; serta d Kenaikan total kebutuhan hasil
hutan, akibat pertumbuhan penduduk. Sementara menurut Departemen Kehutanan 2009, tujuan pembangunan Hutan Tanaman Industri adalah meningkatkan
produktifitas hutanlahan dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku industri perkayuan dan penyediaan lapangan usaha pertumbuhan ekonomipro-growth,
Universitas Sumatera Utara
27
penyediaan lapangan kerja pro-job terutama tenaga kerja yang tidak terampil labor intensive, pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar hutanlahan pro-poor,
perbaikan kualitas lingkungan hidup pro-enviroment dan juga membuka isolasi daerah-daerah pedalaman yang sangat diperlukan dalam pembangunan ekonomi
indonesia. Menurut Manan 1991, bahwa dalam mencapai tujuan pembangunan Hutan
Tanaman Industri terdapat berbagai tantangan yang dihadapi, antara lain penentuan tujuan pengembangan hutan tanaman, pemilihan lokasi, pemilihan tanaman yang
sesuai, pengadaan sejumlah tenaga profesional maupun pekerja di lapangan, perlindungan tanaman terhadap bahaya kebakaran, serangan hama dan penyakit serta
penggembalaan liar, dan dibutuhkannya berbagai jenis penelitian kehutanan. Keterlibatan masyarakat dalam pengembangan hutan tanaman industri sangat
tergantung dari sistem dan model yang dikembangkan antara masyarakat dengan pengusaha industri yang secara umum selalu difasilitasi oleh pemerintah daerah
Soetrisno, 1995. Soedjarwo dalam Notohadiningrat 2006, menyatakan bahwa HTI
dikembangkan di lahan hutan alami yang kurang produktif hutan belukar, bekas penebangan hutan alami berproduktivitas rendah, bekas perladangan dan padang
alang-alang. Tidak ada angka pasti berapa luas keseluruhan lahan-lahan tersebut. Juga tidak ada juga catatan apakah lahan-lahan itu akan digunakan seluruhnya untuk
HTI ataukah sebagaian. Lebih lanjut Atmawijaya 1986, menjelaskan bahwa HTI dikelola dengan silvikultur intensif, ditanam secara monokultur, dan dipanen secara
Universitas Sumatera Utara
28
tebang habis. Sedangkan tingkat intensifikasi diukur menurut jumlah kegiatan dan uang yang ditanam dalam tiap satuan luas atau dalam tiap satuan hasil. Kegiatan
mencakup pemeliharaan jenis pengadaan sumber benih, pengaturan jarak tanam, pemangkasan, penjarangan dan lama rotasi. Pengelolaan tanah dan perlindungan
tanaman tidak tersebut sebagai bahan hakiki silvikultur intensif. Pada akhir tahun 1980-an industri pulp dan kertas mulai berkembang.
Perkembangan ini dipercepat oleh subsudi pemerintah yang besar. Pada tahun 1988 hingga 2001 produksi pulp meningkat sepuluh kali lipat dari 606.000 kg menjadi 6, 1
juta tontahun, dan tahun 2008 menjadi 4.784.733 ton, Departemen Kehutanan, 2010. Sementara produksi kertas tahun 1988 sebesar 2,1 juta ton meningkat tujuh
kali lipat pada tahun 2001 yaitu menjadi 8,3 juta ton Scotland, 1999. Pembangunan HTI menurut Kartodiharjo dan Supriono 2000, dilaksanakan
baik secara mandiri, maupun dikaitkan dengan hak pengusahaan hutan HPH yang sudah ada. Pembangunan HTI yang dilaksanakan secara mandiri dapat berupa HTI
Pulp dan HTI PerkakasPertukangan. Sedangkan pembangunan HTI yang dikaitkan dengan HPH biasanya menanam kayu perkakaspertukangan.
2.2. Pengelolaan Hutan Tanaman Industri