Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Setiap manusia pasti akan mengalami tahap-tahap kehidupan dimulai dari balita, anak-anak, remaja, dewasa, orang tua sampai ia meninggal. Biasanya pada usia dewasa dan sudah memiliki pekerjaan, manusia baru akan memikirkan tentang perkawinan. Perkawinan merupakan suatu saat yang sangat penting dimana hubungan persaudaraan berubah dan diperluas. Perkawinan juga merupakan rencana untuk meneruskan keturunan yaitu untuk menjaga kesinambungan satu keluarga. Secara umum, perkawinan adalah penggabungan antara seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk sebuah rumah tangga. Dalam pelaksanaan sebuah perkawinan, diperlukan tata cara tertentu yang mengatur individu-individu yang bersangkutan. Sistem, nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan yang mengatur masyarakat sehubungan dengan perkawinan disebut dengan pranata perkawinan Rifai Abu, 1984:51. Koentjaraningrat 1997:92, mengatakan bahwa hampir setiap masyarakat, hidupnya dibagi-bagi ke dalam tingkat-tingkat. Tingkatan tersebut dinamakan tingkat-tingkat sepanjang daur hidup yang meliputi: masa bayi, masa anak-anak, masa remaja, masa dewasa, masa sesudah menikah, masa kehamilan dan masa tua. Pada masa peralihan antara satu tingkat kehidupan ke tingkat berikutnya, biasanya diadakan pesta atau upacara yang sifatnya universal. Universitas Sumatera Utara Upacara perkawinan adalah tahapan acara yang dilakukan mulai dari awal menentukan pasangan sampai kepada pesta pernikahan dan sesudahnya, yang mana didalamnya mengandung unsur-unsur ritual dan nilai-nilai. Upacara perkawinan adalah kegiatan-kegiatan yang telah dilazimkan dalam usaha mematangkan, melaksanakan dan menetapkan suatu perkawinan Depdikbud;19781979:10. Oleh perkembangan zaman, terutama karena kemajuan industrinya yang telah menempatkan Jepang sebagai negara maju, umumnya keluarga Jepang sekarang berubah menjadi keluarga-inti, yang terdiri dari suami, istri dan anak- anak. Anakpun jumlahnya mulai dibatasi, karena kesulitan perumahan dan keuangan Ajip Rosidi, 1981:94. Bentuk perkawinan sangat erat kaitannya dengan bentuk keluarga. Dalam masyarakat Jepang dikenal ada dua buah konsep keluarga yaitu keluarga sebagai Kazoku dan keluarga sebagai Ie. Keluarga Kazoku menurut Situmorang 2006:22, adalah hubungan suami istri, hubungan orang tua dan anak, dan diperluas pada hubungan persaudaraan yang didasarkan pada struktur masyarakat tersebut. Kazoku merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang merupakan komponen terpenting dalam pembentukan sistem kekerabatan, dari Kazoku inilah akan lahir sistem keluarga tradisional Jepang yang disebut dengan Ie. Ie 家 , yang banyak diungkapkan dengan katakana イエ adalah sekelompok orang yang tinggal di sebuah lingkungan rumah, memiliki keterikatan antara anggota. Ikatan sosial para anggota khususnya di bidang kepercayaan pemujaan, ekonomi dan moral Situmorang, 2000:98. Universitas Sumatera Utara Ariga Kizaemon dalam Situmorang 2006:24, mengatakan bahwa pada awalnya Ie terbentuk karena adanya pernikahan yaitu terbentuknya keluarga inti. Tetapi setelah mereka mempunyai anak dan apabila suami atau ibu di dalam keluarga tersebut meninggal maka kepala keluarga tersebut diganti oleh anak laki- laki tertua. Jika keluarga tersebut tidak mempunyai anak laki-laki, maka suami dari anak perempuan dapat diangkat menjadi kepala keluarga. Jadi dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang paling utama antara keluarga Kazoku dengan keluarga Ie adalah, bahwa Kazoku dapat berakhir karena kematian suami atau istri atau karena perceraian, jadi keberadaan Kazoku adalah satu generasi. Sedangkan unsur keluarga Ie terbentuk minimal dua generasi, oleh karena itu Ie tidak hancur karena perceraian atau meninggalnya salah satu pihak suami atau istri dalam keluarga tersebut Situmorang, 2006:23. Peranan Nakoodo sangat penting sebagai perantara Ie dengan Ie dalam perkawinan di Jepang. Nakoodo adalah orang yang bertugas mencarikan pasangan calon pengantin. Berdasarkan pendapat Martha 1995:6, perkawinan dalam bahasa Jepang dikenal dengan istilah Kekkon atau Kon’in. Upacara perkawinan di Jepang dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu: Shinzen kekkon shiki perkawinan berdasarkan agama Shinto, Butsuzen kekkon shiki perkawinan berdasarkan agama Budha, Kiritsutokyoo kekkon shiki perkawinan berdasarkan agama Kristen. Saat ini di Jepang, terdapat dua tata cara pernikahan yaitu, tata cara pernikahan modern yang dilangsungkan di Gereja dengan sistem agama Kristen dan tata cara pernikahan tradisional yang dilangsungkan di Kuil dengan sistem Budha atau Shinto. Masyarakat Jepang sendiri saat ini lebih tertarik pada upacara Universitas Sumatera Utara pernikahan dengan cara yang modern, yaitu menikah dengan tata cara Kristen di Gereja meski keduanya tidak beragama Kristen, tetapi yang menikahkan keduanya tetap pendeta. Banyak diantara mereka tertarik dengan tata cara ini karena ingin memakai gaun pengantin berwarna putih yang indah serta disaksikan oleh keluarga, teman dan kerabat dekat. Sebelum diadakan upacara perkawinan biasanya pasangan pengantin terlebih dahulu mendaftarkan diri ke kantor catatan sipil untuk mendapatkan pengakuan yang sah sesuai hukum yang berlaku. Oleh karena itu dalam penelitian ini, suku Tapanuli Selatan diambil sebagai bahan perbandingan kebudayaan untuk mewakili bangsa Indonesia secara keseluruhan. Sedangkan untuk kajian Jepang yang diambil secara keseluruhan karena kebudayaan Jepang dianggap bisa mewakili seluruh sub-sub di daerah tersebut. Jenis-jenis perkawinan di Tapanuli Selatan ada berbagai macam, tetapi di dalam penelitian ini penulis hanya fokus kepada jenis pernikahan berdasarkan agama, adat dan pemerintahhukum. Pada masa sekarang ini, mayoritas masyarakat Tapanuli Selatan adalah penganut agama Islam. Setelah melakukan perkawinan berdasarkan agama islam, dan sudah mendaftarkan diri ke kantor urusan agama, biasanya mereka melanjutkan lagi dengan perkawinan berdasarkan adat. Masyarakat Tapanuli Selatan adalah masyarakat yang memegang teguh adat istiadatnya. Adat masyarakat Tapanuli Selatan lazim disebut adat Dalihan Natolu, karena setiap pelaksanaan aktivitas yang didasarkan kepada kaidah-kaidah adat, seperti pelaksanaan berbagai upacara, harus didukung oleh tiga unsur fungsional Universitas Sumatera Utara dari sistem sosial masyarakat Tapanuli Selatan yang dinamakan Dalihan Natolu tiga tumpuan. Ketiga unsur fungsional dari sistem sosial Dalihan Natolu itu masing- masing disebut Mora, Kahanggi dan Anak Boru. Mora merupakan anggota kerabat yang berstatus sebagai pemberi anak dara dalam perkawinan kelompok calon pengantin perempuan. Kahanggi adalah anggota kerabat satu keturunan atau satu klen. Anak Boru adalah anggota kerabat yang berstatus sebagai penerima anak dara dalam perkawinan kelompok calon pengantin laki-laki. Antara para kerabat yang berstatus sebagai Mora dan berstatus sebagai Anak Boru terdapat hubungan afinal perkawinan. Diantara sesama kerabat yang berstatus sebagai Kahanggi terdapat hubungan konsanguinial atau hubungan darah. Sehingga ada ungkapan yang berbunyi: “Somba marmora elek maranak boru, manat-manat markahanggi” yang artinya: “hormat terhadap mora, pandai-pandai mengambil hati anak boru, bersikap cermat terhadap kahanggi” menunjukkan hak dan kewajiban seseorang terhadap para kerabatnya yang punya status sebagai mora, anak boru dan kahanggi Ritonga, 1997:5-7. Bagi masyarakat Tapanuli Selatan perkawinan bukan saja menyangkut penggabungan dua insan saja, tetapi lebih kepada penyatuan dua keluarga besar. Garis keturunan pada masyarakat Tapanuli Selatan adalah patrilineal garis keturunan dari pihak Ayah. Berdasarkan garis keturunan yang patrilineal itu, masyarakat Tapanuli Selatan membentuk kelompok-kelompok kekerabatan besar yang disebut marga clan sebagai gabungan dari orang-orang yang merupakan keturunan dari seorang kakek bersama Ritonga, 1997:6. Universitas Sumatera Utara Menurut kaidah adat masyarakat Tapanuli Selatan, orang-orang yang semarga tidak boleh kawin. Dengan demikian pembatasan jodoh dan perkawinan yang didasarkan pada prinsip eksogami marga. Sampai sekarang prinsip perkawinan eksogami marga itu masih terus diikuti oleh sebagian besar dari anggota masyarakat Tapanuli Selatan meskipun agama Islam atau agama Kristen yang mereka anut tidak melarang perkawinan antara orang-orang yang semarga. Terlarangnya orang-orang yang semarga melakukan perkawinan karena menurut prinsip adat masyarakat Tapanuli Selatan orang-orang yang semarga adalah keturunan dari seorang kakek bersama. Oleh karena itu mereka dipandang sebagai orang-orang yang “sedarah” atau markahanggi berabang-adik Lubis,1998:166. Namun pada masa belakangan ini generasi muda masyarakat Tapanuli Selatan sudah tidak begitu terikat oleh prinsip perkawinan seperti yang dikemukakan di atas. Generasi muda sudah cenderung untuk dibebaskan memilih sendiri jodoh yang mereka sukai. Kemajuan pendidikan, keadaan pergaulan muda- mudi yang sudah cukup bebas dan masuknya dengan mudah berbagai pengaruh dari luar melalui bermacam sarana komunikasi modern dan mass media, mungkin sekali merupakan faktor-faktor yang mendorong generasi muda untuk membebaskan diri dari prinsip perkawinan yang tradisional itu. Tetapi meskipun demikian, masih cukup banyak juga orang tua yang cenderung untuk mengkawinkan anak mereka dengan yang semarga, agar hubungan kekerabatan antara mereka tetap terpelihara keeratannya seperti yang dikehendaki oleh adat Lubis, 1998:167. Universitas Sumatera Utara Satu diantara kegiatan yang khas pada upacara perkawinan di Tapanuli Selatan adalah Mangaririt Boru. Yang dimaksud dengan Mangaririt Boru adalah tahapan meresek boru yang akan dipinang, dengan maksud mengetahui apakah boru itu telah dipinang oleh orang lain atau belum. Yang pergi untuk melakukan Mangaririt Boru ini adalah anak boru dari pihak laki-laki. Pada tradisi perkawinan di Tapanuli Selatan zaman dahulu yang juga dikenal dengan istilah Upacara Mengantar Tanda. Mengantar Tanda adalah pihak laki-laki menyerahkan kepada pihak wanita tanda sebagai ikatan dan wanita pun memberikan tanda sebagai balasannya. Biasanya tanda yang diberikan terdiri dari: sejumlah uang, emas, barang tekstil. Pihak wanita juga akan memberikan tanda balasan dan jumlahnya sama Lubis, 1998:173. Upacara mengantar tanda juga terdapat pada tradisi upacara perkawinan di Jepang. Menurut Situmorang dalam Dani 2005:20, menjelaskan bahwa bukti- bukti janji perkawinan yang berasal dari calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan disebut Yuuino. Benda pengikat dari bukti tersebut disebut Yuinomono yang biasanya terdiri dari sejumlah uang, barang tekstil, beras, sake dan lain-lain. Hal ini dipertegas lagi oleh Wibowo 2005:19, bahwa tata cara untuk meresmikan kedua calon pengantin dalam masyarakat Jepang dimulai dari Yuinoo. Yuinoo dibagi dua yaitu Yuinoohin dan Yuinookin. Pertukaran barang- barang sebagai tanda pertunangan disebut Yuinoohin, sedangkan pemberian uang sebanyak dua atau tiga bulan gaji calon pengantin pria disebut dengan Yuinookin. Sebagai balasan Yuinookin, pihak wanita akan memberikan setengah dari uang yang diterimanya. Universitas Sumatera Utara Pada dasarnya tahapan-tahapan upacara perkawinan dalam masyarakat Tapanuli Selatan dan masyarakat Jepang sama-sama memiliki tiga fase yaitu: masa pra upacara perkawinan, upacara perkawinan, dan paska perkawinan. Disamping mempunyai perbedaan dalam substansi kegiatan pada fase tersebut, terdapat juga persamaan-persamaannya. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini akan berusaha mengungkapkan persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam upacara perkawinan tradisional masyarakat Jepang dan masyarakat Tapanuli Selatan melalui skripsi yang berjudul “Perbandingan Tahapan Upacara Perkawinan Pada Masyarakat Jepang dan Masyarakat Tapanuli Selatan”.

1.2 Perumusan Masalah