Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan sering dimaknai sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi – potensi pembawaan, baik potensi jasmani maupun rohani, sesuai dengan nilai – nilai yang ada pada masyarakat dan kebudayaan. 1 Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Pendidikan mempunyai tujuan menyediakan lingkungan yang memungkinkan anak didik untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya secara optimal, sehingga ia dapat mewujudkan dirinya dan berfungsi sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan pribadinya dan kebutuhan masyarakat. Pendidikan yang dibutuhkan manusia adalah pendidikan seumur hidup. Telah disabdakan oleh Nabi Muhammad tentang pendidikan seumur hidup dalam haditsnya, yaitu: “Carilah ilmu dari buaian sampai liang lahat atau kubur” 2 Allah SWT juga menjanjikan kepada semua umat manusia yang hidup di dunia bahwa Allah SWT akan mengangkat orang-orang yang berilmu, yang 1 Zurinal Z. Ilmu Pendidikan Pengantar Dan Dasar – Dasar Pelaksanan Pendidikan. Jakarta:UIN Jakarta press, 2006,h5 2 M. Ichsan Hadisaputra, Anjuran al-Quran dan Hadits Untuk Menuntut Ilmu pemgetahuan, Pendidikan dan Pengalamannya, Surabaya: al-Ikhlas, 1981, h. 43 diberi pengetahuan dan ilmu itu selanjutnya diamalkan. Ini sesuai dengan firman Allah SWT pada surat al-Mujadalah ayat 11, yaitu: “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan ” 3 Menurut Quraish Shihab, manusia yang dijadikan khalifah itu bertugas memakmurkan atau membangun bumi ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan oleh yang menugaskan, yaitu Allah. 4 Atas dasar hal tersebut, Shihab melanjutkan bahwa tujuan pendidikan Al-Quran adalah membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya guna membangun dunia ini sesuai dengan ko nsep yang ditetapkan Allah.” Atau dengan kata yang lebih singkat dan sering digunakan oleh Al- Quran, “untuk bertakwa kepada-Nya.” 5 Sehingga dapat disimpulkan bahwa manusia dituntut berpendidikan tujuan akhirnya adalah untuk kebutuhan pribadinya sendiri, yaitu untuk kemakmuran dan kesejahteraan mereka. Setiap orang bahkan para ahli pendidikan memiliki cara pandang yang berbeda tentang hakekat anak, seperti yang di ungkapkan oleh aliran behavioristik, bahwa anak tidak memiliki potensi apa-apa dari sejak lahir, mereka seperti kertas putih yang masih kosong dan mereka dapat dibentuk sesuai dengan apa yang kita inginkan yang terkenal dengan konsep Tabula rasa, sedangkan aliran konstruktivis mengungkapkan bahwa anak bersifat aktif dan memiliki kemampuan untuk membangun pengetahuannya. Tentunya dari beberapa pandangan yang telah diuraikan, hal ini yang melandasi seseorang dalam memberikan pendidikan dan pembelajaran kepada anak. 3 Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam IPI, Bandung: CV Pustaka Utama, 1998. h.175 4 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran : Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994, h. 172 5 Shihab, Membumikan Al- Quran…., h. 172 Telah kita yakini bersama, bahwa anak harus mendapatkan hak-haknya sebagai seorang manusia, salah satu hak yang harus didapatkan oleh seorang anak adalah hak mendapatkan pendidikan yang layak, hal tersebut sesuai dengan konvensi dunia tentang hak anak untuk mendapatkan pendidikan Education For All atau PUS Pendidikan Untuk Semua. Dipertegas dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat I berbunyi : Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Dengan kata lain, bahwa pemerintah sangat peduli terhadap pendidikan warga negaranya dan setiap warga negara harus mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang layak tanpa membeda-bedakan status sosial ekonomi maupun batasan usia agar hak tersebut dapat dirasakan adil oleh seluruh rakyat, seperti yang tercantum dalam pancasila sila ke 2 yang berbunyi : Kemanusiaan yang adil dan beradab. dan sila ke 5 yang berbunyi : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Begitu seriusnya pemerintah terhadap pendidikan dan kesejahteraan rakyat, maka UndangUndang tentang Pendidikan Nasional pun di susun agar pendidikan tidak sekedar terselenggara saja, melainkan pendidikan memiliki standar kualitas yang baik, sehingga dikeluarkannya Undang-Undang tentang Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 sebagai landasan hukum dalam penyelenggaraan pendidikan. Untuk mendapatkan standar pendidikan dengan kualitas yang baik, maka diperlukan model - model pembelajaran yang sesuai dengan lingkungan dimana model itu akan di implementasikan. Dalam situasi masyarakat yang selalu berubah, idealnya pendidikan tidak hanya berorientasi pada masa lalu dan masa kini, tetapi sudah seharusnya merupakan proses yang mengantisipasi dan membicarakan masa depan. Pendidikan hendaknya melihat jauh ke depan dan memikirkan apa yang akan dihadapi peserta didik dimasa yang akan datang. Salah satu masalah pokok dalam pembelajaran pada pendidikan formal atau sekolah dewasa ini adalah masih rendahnya daya serap peserta didik. Hal ini Nampak pada hasil belajar peserta didik yang senantiasa masih sangat memprihatinkan. Prestasi ini merupakan hasil kondisi pembelajaran yang masih bersifat konvensional dan tidak menyentuh ranah dimensi peserta didik itu sendiri, yaitu bagaimana sebenarnya belajar itu belajar untuk belajar. Dalam arti yang lebih substansial, bahwa proses pembelajaran hingga dewasa ini masih memberikan dominasi guru dan tidak memberikan akses bagi anak didik untuk berkembang secara mandiri melalui penemuan dan proses berpikirnya. Pada pembelajaran ini suasana kelas cenderung teacher – centered sehingga siswa menjadi pasif. Meskipun demikian guru lebih suka menerapkan model tersebut, sebab tidak memerlukan alat dan bahan praktek, cukup menjelaskan konsep – konsep yang ada pada buku ajar atau referensi lain. Disini siswa tidak diajarkan strategi belajar yang dapat memahami bagaimana belajar, berpikir dan memotivasi diri sendiri. 6 Lembaga – lembaga pendidikan lebih banyak melakukan kegiatan - kegiatan yang berorientasi pada pengembangan akademik dan menjejali siswa dengan berbagai data dan informasi yang belum diperlukan. Pendidikan menjadi bersifat verbalitis dan mekanistis, dimana anak lebih banyak mengenal dan menghapal serangkaian kata – kata dan istilah serta rumusan angka dan simbol – simbol tanpa memahami makna dan kegunaannya untuk kehidupan. Dunia sekolah kehilangan makna. Pendidikan yang diharapkan dapat melahirkan generasi yang cerdas, kreatif, mandiri, berkepribadian, dan percaya diri digantikan oleh generasi yang tidak punya sikap, generasi “yes man “, ABS Asal Bapak Senang, dan seterusnya. Matematika adalah mata pelajaran yang diajarkan di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Matematika merupakan ilmu dengan objek abstrak dan dengan pengembangan melalui penalaran deduktif telah mampu mengembangkan model – model yang merupakan contoh dari sistem itu yang pada akhirnya telah digunakan untuk memecahkan persoalan dalam kehidupan sehari – hari. Matematika juga dapat mengubah pola pikir 6 Trianto, Model - Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik,Jakarta: Prestasi Pustaka,2007 hal 1-2 seseorang menjadi pola pikir yang matematis, sistematis, logis, kritis dan cermat. Tetapi sistem matematika ini tidak sejalan dengan tahap perkembangan mental anak, sehingga yang dianggap logis dan jelas oleh orang dewasa pada matematika, masih merupakan hal yang tidak masuk akal dan menyulitkan bagi anak. Padahal matematika bertujuan untuk mendidik siswa agar berpikir logis dan memiliki kemampuan nalar yang tinggi. Pada saat ini masih ada guru yang memberikan konsep-konsep matematika sesuai jalan pikirannya, tanpa memperhatikan bahwa jalan pikiran siswa berbeda dengan jalan pikiran orang dalam memahami konsep- konsep matematika yang abstrak. Sesuatu yang dianggap mudah menurut logika orang dewasa dapat dianggap sulit dimengerti oleh seorang anak. Selain itu setiap anak merupakan individu yang berbeda. Perbedaan pada tiap individu dapat dilihat dari minat, bakat, kemampuan kepribadian, pengalaman lingkungan dan lain –lain. Menurut Piaget anak usia 7 – 12 tahun masih berpikir pada tahap operasi konkrit artinya mereka belum bisa berpikir secara formal. Ciri – ciri anak pada tahap ini hanya dapat memahami operasi logis dengan bantuan benda – benda konkrit, mereka belum dapat berpikir deduktif, berpikir transitif. Padahal matematika adalah ilmu deduktif, formal, hirarki dan menggunakan bahasa simbol yang memiliki arti yang padat. Karena adanya perbedaan karakteristik antara matematika dan anak usia 7 – 12 tahun, maka akan sulit dipahami oleh mereka jika tidak diajarkan tanpa memperhatikan tahap berpikir sesuai usia mereka. Berbicara mengenai pembelajaran matematika terutama pada jenjang SD tentu masih banyak kekurangan – kekurangan yang terjadi. Umumnya metode ceramah dan pemberian tugas sangatlah mendominasi dari setiap kegiatan pembelajaran. Sangat jarang dijumpai guru merencanakan pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran yang nyata yang bisa mengaktifkan siswa, karena mereka menganggap pembelajaran yang demikian tidak bermanfaat, membingungkan dan menyita banyak waktu. Disamping itu, kenyataan menunjukan bahwa bekal kemampuan materi matematika dari guru SD masih kurang memadai sehingga tidaklah mengherankan bila pembelajaran matematika yang dikelolanya menjadi kurang maksimal. Melihat fenomena tersebut serta begitu pentingnya perkembangan seorang anak, maka seorang tokoh pendidikan bernama Maria Montessori memperkenalkan model pendidikan yang mencakup melatih panca indera dan melatih keterampilan anak, dengan alat peraga khusus, Maria Montessori berpendapat jika anak diberi materi dan lingkungan yang tepat, anak cenderung bisa mengerjakan aktifitas secara spontan. Lewat aktifitas, anak mendapatkan pengetahuan dan keterampilan. Anak akan belajar sesuai keinginan pribadi dan mengatasi ketidakmampuan tanpa bantuan dan campur tangan orang tua. Ide utama Montessori tentang bagaimana anak berperilaku dan berkembang merupakan kreatifitas spontan dan perkembangan menyeluruh. Kreatifitas spontan merujuk pada hakekat kreatifitas makhluk hidup. Anak spontan beraktifitas menurut keinginan dan inisiatif, tanpa diberitahu apa dan kapan harus dilaksanakan. Anak otomatis menyalurkan energi dan usaha untuk membangun tubuh, kepribadian dan semua aspek kehidupan. Pendidikan Montessori membantu anak memuaskan dan memenuhi keinginan sekaligus menunjang perkembangan total. Ini berarti memberikan setiap aspek pertumbuhan seperti fisik, intelektual, linguistik, emosi, spiritual, atau sosial, yang proporsional setiap saat agar membantu anak berkembang menjadi manusia utuh. Montessori berpendapat manusia kreatif sangat haus ilmu dari berbagai disiplin ilmu. Berdasarkan permasalahan diatas penulis tertarik untuk melakukan sebuah penelitian dengan Model pendidikan Montesorri. Adapun judul yang penulis ajukan adalah : ” ”PENGARUH MODEL PENDIDIKAN MONTESSORI TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA”

B. Identifikasi Masalah