perokok di DKI Jakarta 2013 29,2, prevalensi perokok pada penelitian ini lebih tinggi.
Berdasarkan Riskesdas Nasional 2013 rata-rata batang rokok yang dihisap per hari pada kelompok usia 15-24 tahun adalah 12,3 batang, sedangkan pada
Riskesdas DKI Jakarta 2013 rata-rata batang rokok yang dihisap per hari pada kelompok usia yang sama yaitu 10,6 batang. Berdasarkan Riskesdas 2010
menunjukkan bahwa rata-rata batanng rokok yang dihisap per hari pada kelompok usia 15-24 tahun paling banyak berkisar 1-10 batang rokok per hari yaitu sebesar
65,8. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian ini, yaitu sebanyak 68 responden 61,8 responden termasuk dalam perokok ringan karena merokok 1-9 batang
setiap hari nya.
C. Status Merokok berdasarkan IMT pada Mahasiswa Universitas Esa Unggul
tahun 2016
Status gizi merupakan ukuran tubuh seseorang sebagai akibat dari keseimbangan antara asupan makanan dan pengeluaran zat-zat gizi dari dalam
tubuh. IMT merupakan salah satu hasil ukur untuk mengetahui status gizi seseorang yang sudah berusia 18 tahun ke atas. IMT didapatkan dengan melakukan
pengukuran berat badan dan tinggi badan, kemudian berat badan kg di bagi tinggi badan m
2
.
Hasil analisis IMT Indeks Masa Tubuh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata IMT responden perokok adalah sebesar 22,42 kgm
2
dan bukan perokok sebesar 23,07 kgm
2
yang berarti berstatus gizi normal, jika menggunakan
batas ambang Kemenkes RI 2010. Berdasarkan hasil kategorik, sebanyak 120 responden 54,5 memiliki status gizi normal, namun masih banyak mahasiswa
yang mengalami permasalahan gizi, yaitu gizi kurang dan gizi lebih. Persentase status gizi kurang pada penelitian ini yaitu 16,36. Angka tersebut sudah melebihi
prevalensi nasional gizi kurang pada laki-laki, yaitu 12,1. Selain itu, persentase gizi kurang pada penelitian ini juga lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi
DKI Jakarta 2013. Malnutrisi kekurangan gizi dan kelebihan gizi merupakan masalah yang dapat
menimbulkan dampak negatif. Seseorang yang mengalami gizi kurang dapat berdampak memiliki kerentanan terhadap morbiditas akut, jika dibandingkan
dengan mereka yang memiliki status gizi normal. Seseorang yang mengalami gizi kurang lebih beresiko mengalami penyakit diare, malaria, serta infeksi pernafasan.
Selain itu mereka juga berpeluang lebih besar untuk menderita penyakit tersebut dengan durasi yang lama Gibney, 2009. Sedangkan untuk mereka yang
mengalami gizi lebih memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami penyakit degeneratif, seperti diabetes melitus, penyakit jantung, stroke dan juga dapat
mempengaruhi sindrome metabolik Toney, 2010. Hasil analisis perbedaan IMT antara perokok dan bukan perokok pada
penelitian ini menunjukkan bahwa IMT perokok lebih rendah dibandingkan dengan bukan perokok. Hasil tersebut dikarenakan tingginya aktivitas fisik pada
perokok dan terlihat bahwa asupan gizi lebih tinggi pada perokok, kemungkinan terjadi keseimbangan antara asupan yang tinggi dan aktivitas fisik yang tinggi
sehingga IMT pada perokok lebih rendah. Namun, uji statistik tidak menunjukkan
adanya hubungan dan perbedaan yang signifikan p value = 0,307 rata-rata IMT antara perokok dan bukan perokok. Hasil tersebut dikarenakan tingginya aktivitas
fisik pada perokok dan terlihat bahwa asupan energii dan aktivitas fisik tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Jitnarin 2014 dan McClure 2009 yang melaporkan tidak adanya perbedaan yang bermakna antara IMT perokok dengan non-perokok.
Hasil tersebut juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Rosiana, 2012 yang menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna antara IMT perokok
dengan non-perokok. Hal tersebut karena, dalam penelitiannya terlihat bahwa aktivitas fisik, asupan energi, lemak dan protein tidak memiliki perbedaan yang
signifikan sehingga membuat tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada IMT dikedua kelompok tersebut.
Merokok dapat menurunkan berat badan dengan cara meningkatkan laju metabolisme, menurunkan efisiensi metabolik atau menurunkan absorbsi kalori
mengurangi nafsu makan Chiolero, 2008. Wack, dkk 1982 juga melaporkan bahwa berat badan lebih rendah pada perokok karena terjadi perubahan jalur
metabolisme yang menghasilkan penyimpanan kalori dalam tubuh menjadi lebih sedikit. Selain itu, penyimpanan kalori dalam tubuh perokok cenderung lebih besar
untuk melakukan penyimpanan energi dalam bentuk protein daripada lemak. Penyimpanan kalori dalam bentuk protein jauh lebih membutuhkan energi yang
sangat besar dibandingkan lemak dengan kalori yang sama. Dengan begitu, proses metabolisme protein yang dibutuhkan pun lebih lama dibandingkan lemak. Salah
satu penyebab tubuh perokok cenderung melakukan metabolisme protein adalah
untuk memperbaiki sel-sel atau jaringan yang rusak akibat nikotin yang terkandung dalam rokok.
Nikotin yang terkandung dalam rokok bekerja di reseptor nikotinik kolinergik di otak dan ganglia otonom. Ikatan nikotin dengan reseptor ini membuka kanal
ion, menarik masuk sodium dan kalsium, yang selanjutnya meningkatkan pengeluaran berbagai neurotransmiter. Proses ini menyebabkan pengeluaran
sistemik katekolamin yang berperan meningkatkan laju metabolisme, serta pengeluaran dopamin, serotonin, norepinefrin dan epinefrin yang efeknya
meningkatkan satiety system sehingga terjadi penurunan nafsu makan Govern, 2011. Penurunan nafsu makan yang terus menerus atau berlangsung lama dapat
menyebabkan berat badan menurun dan mempengaruhi status gizi.
D. Status Merokok berdasarkan Asupan gizi energi dan protein pada