Data Wawancara Responden II

d. Data Wawancara

1 Latar belakang keluarga Sekitar 23 tahun yang lalu, lahirlah sepasang anak kembar perempuan di Kutapadang, Asahan. Kedua bayi mungil itu diberi nama Mira dan Mari. Mereka berdua adalah anak ke 7 dan 8 dari 10 bersaudara. Sayangnya, dua orang dari saudara kandungnya telah meninggal dunia sebelum si kembar ini lahir. Hal ini lah yang kemudian membuat keduanya tidak mengetahui bagaimana karakter dari saudaranya tersebut. Sementara itu, 5 dari 6 saudara kandungnya yang lain telah menikah dan mempunyai anak. Usaha warung dan bertani merupakan sumber utama perekonomian keluarga mereka. Dari hasil warung dan bertani inilah, kedua orang tuanya menafkahi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan di dalam keluarganya. Usaha ini telah bertahan lama semenjak kedua kakak adik ini kecil, hingga sekarang. Hanya saja, sekarang sang ayah telah mengalihkan usaha warung ini untuk kakak kandungnya yang pertama untuk dikelola bersama suaminya. Walaupun begitu, pemasukan dari warung ini nantinya tetap akan dibagi sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat dalam keluarganya. Orang tua Mari dan Mira saat ini lebih memilih memperhatikan tumbuh kembangnya keluarga-keluarga kecil dari anak-anaknya. Mari dan Mira lahir dari keluarga yang cukup berada. Keduanya tumbuh dalam keluarga yang demokratis. Dari kecil, mereka berdua sudah dilatih untuk bisa mengeluarkan pendapat di dalam keluarganya. Hal ini yang kemudian membuat hubungan mereka dengan keluarga besar terjalin dengan Universitas Sumatera Utara sangat baik, walaupun mereka semua harus tinggal berjauhan. Ada saatnya keseluruhan anggota keluarga ini akan berkumpul bersama. Keadaan ini biasanya dilakukan bila sedang ada acara-acara besar, seperti pernikahan atau hari raya besar. Tidak hanya cara untuk mengeluarkan pendapat yang diajarkan di dalam keluarga. Keluarga si kembar ini juga mengajarkan pengetahuan mengenai agama. Dari kecil mereka berdua sudah diajarkan mengenai mana hal-hal yang bisa dilakukan dan mana tidak. Ilmu agama sudah diterapkan kepada keduanya sejak kecil. Walaupun begitu, keduanya mengaku hanya diajar sebatas hal-hal yang biasa untuk dilakukan, seperti sholat, puasa atau mengaji. Kakak beradik ini kemudian mendapat pengetahuan mengenai agama lebih lanjut ketika memasuki masa kuliah. Dari lingkungan kampus juga lah mereka berdua mengetahui proses ta’aruf dan tertarik untuk menjalaninya. Semenjak SD, Mari dan Mira telah hidup terpisah dengan keluarga besarnya. Setelah menamatkan pendidikannya di sekolah dasar, keduanya memutuskan untuk pindah dan melanjutkan pendidikan di Medan. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan sikap mandiri diantara keduanya. Pendidikan SMP dan SMA pun mereka siapkan di kota Medan. Setelah menamatkan pendidikan SMA, keduanya kembali melanjutkan pendidikan Diploma di USU, dengan jurusan yang berbeda. Mari memilih D3 jurusan MIPA, sedangkan Mira memilih jurusan D3 akuntansi. Mereka berdua sempat terpisah saat keduanya hendak melanjutkan pendidikan S1 di USU. Hal ini dikarenakan Mira telat untuk mendaftar program ekstensi yang berada di Universitas Sumatera Utara USU. Karena kejadian inilah keduanya sempat terpisah selama setahun. Mari berada di Medan, sedangkan Mira kembali ke rumah orang tuanya di Asahan. Tetapi, sekitar setahun kemudian, Mira kembali menyusul Mari yang ada di Medan untuk menyambung kuliah S1-nya. Semenjak hari itu hingga sekarang, Mari dan Mira kembali hidup berdua di Medan. Mari dan Mira adalah anak yang lahir secara bersamaan dalam suatu proses kelahiran. Proses kelahiran ini disebut juga dengan proses kelahiran kembar. Kelahiran keduanya pun memiliki selisih waktu sekitar 15 menit, diawali oleh Mira dan tak lama Mari pun lahir. Semenjak keduanya lahir, mereka berdua selalu mendapat perlakuan yang sama dari keluarganya. Tak jarang mereka sering diberikan barang-barang yang sama. Persamaan barang- barang yang diberikan oleh keluarganya dimulai dari warna hingga bentuk dari barangnya. Alasan keluarga melakukan hal ini karena mereka ingin menunjukkan kalau ada anak kembar di dalam keluarganya. “…soalnya kan kembar kan.. Jadi ya sekalian aja lah diliatin kalo kami kembar..” R1.W1b.28-30hal 1 “..waktu masih kecil, kami sering disama-samain sama keluarga, eh emang sering malah..” R2.W1b.4-6hal1 Perlakuan yang sama selalu diberikan oleh keluarga Mari dan Mira hingga mereka berdua mencapai usia SD. Selain perlakuan yang sama, mereka juga sering mendapatkan barang-barang yang sama dari keluarganya. Barang- barang yang diberikan itu bisa berupa baju, mainan atau barang-barang Universitas Sumatera Utara lainnya. Hal ini yang kemudian membuat keduanya lebih suka diberikan barang-barang yang sama oleh keluarganya. Seandainya saja barang yang diberikan oleh keluarganya berbeda, kedua anak kembar ini pasti akan langsung ribut. Sebagai jalan tengahnya, keluarga akhirnya lebih memilih untuk membelikan keduanya barang-barang yang sama. Kalaupun barang yang dibelikan berbeda, keluarganya pasti akan mengusahakan bentuk atau warna dari barang itu tetap sama. Mau bagaimanapun caranya, keluarga mereka berdua pasti akan tetap membelikan barang yang sama untuk keduanya. “..trus satu lagi ya biar gak berantam, karena kalo beda pasti kan aku mau yang ini, dua-duanya suka yang ini. Jadi biar enak dikasih barang yang sama aja..” R1.W1b30-34hal1 “..iya harus sama..tapi dulu waktu pertama kali kalo ada beda dikit aja, nanti berebut tuh..aku mau yang itu, yang satu lagi aku mau yang itu..” R2.W1b. 19-23 hal. 1 Perlakuan sama yang diberikan oleh keluarganya, lantas membuat mereka berdua selalu tampil bersama. Kebersamaan keduanya selama ini yang akhirnya membuat mereka selalu melakukan kegiatan bersama-sama. Tidak mengherankan kalau hal ini kemudian membuat keduanya mempunyai minat dan kegemaran yang juga sama. Dari pengakuan keduanya, mereka sama- sama suka membaca buku. Buku apapun itu, baik novel atau komik tidak menjadi masalah untuk mereka. Mereka berdua juga mengaku tidak tertarik untuk mengikuti situs jejaring sosial yang sedang marak saat ini, seperti facebook. Universitas Sumatera Utara “..ya karena pada dasarnya hobinya sama, ya sama semua..kan suka baca komik tuh, jadi ya dua-duanya sama-sama suka baca komik juga..” R1.W1b.36-40.hal.1-2 “..sama, kayak kami gak hobi facebook-an, suka baca komik, novel, nonton..emang sama..” R2.W2b. 1478-1480 hal. 33 Kedekatan yang telah terjalin sejak kecil ini, yang kemudian membuat mereka selalu tampil bersama. Tak jarang, mereka juga sering mendapatkan pengalaman-pengalaman yang seru. Pengalaman-pengalaman ini kemudian membuat mereka lebih dekat secara emosional dan membuat keduanya saling mengerti satu sama lain. Kedekatan secara emosional ini membuat keduanya merasa tidak nyaman apabila harus pergi seorang diri. Ada yang hilang dari tubuhnya bila mereka pergi seorang diri. Bagi Mari, menjadi anak kembar adalah pengalamannya yang paling menyenangkan. Tidak ada yang perlu ia khawatirkan, selama kembarannya ikut pergi bersamanya. Bersama kembarannya, Mari selalu merasa siap untuk pergi kemanapun. “.. soalnya kalau gak ada pasti kehilangan, kayak gak lengkap.. kalo cuma sendiri kayak separo badanlah..” RI.W1b.536-538hal.12 “..enak, kemana-mana ada kawan senyum. Walaupun ke tempat baru gitu kan, misalnya cuma coba-coba, walaupun misalnya kita.. misalnya ke tempat baru, yang gak pernah kesana.. cuman kalo udah berdua kayaknya udah nekat aja gitu kan.. pokoknya ada kawan kita untuk cerita gitu kan, pokoknya nekat aja.. ah.. tempat perbelanjaan yang baru pun kalo misalnya kita gak pernah kesana kan, dimana parkirnya dimana apanya.. kan kalo berdua, walaupun baru-baru ya coba aja..” R1.W1b.567-581hal.14 Universitas Sumatera Utara Mira pun merasakan hal yang sama. Baginya, menjadi anak kembar merupakan pengalaman yang istimewa. Selalu ada seseorang yang setia dan siap sedia berada disampingnya bila ia ingin mencoba hal-hal yang baru. Disamping kembarannya, ia tidak pernah merasa takut apabila ingin menjahili teman-temannya yang lain. Karena itulah, ia merasa tidak nyaman apabila harus bepergian seorang diri. Didalam tubuhnya seperti ada yang hilang kalau kembarannya tidak ikut serta dengannya. Kalau tidak karena keperluan yang sangat mendesak, Mira lebih memilih untuk tidak pergi kemana-mana. “..kalo lagi jailin orang, bisa langsung ada kawan, bisa langsung berdua, ayok ayook, gak ada pake istilah tawaran, langsung maen aja gitu berdua..trus kalo itu lah mau jalan kemana-mana ada kawan yang kita rasanya..ya langsung ada kawan gitu kemana-mana berdua..tapi yang gak enaknya kalo satunya gak bisa, gak enak piginya..” R2.W2b.441-452hal. 11 “..kalo emang gak perlu-perlu kali, iya langsung gak jadi pergi..tapi kalo keperluan kita, gak bisa ditunda, pergi..tapi ya itu..tetep aja gak enak..” R2.W2b.461-465hal. 11 Mereka berdua selalu merasa beruntung dilahirkan sebagai sepasang anak kembar. Karena, tidak banyak orang yang dapat merasakan pengalaman- pengalaman seperti yang telah dilaluinya . Selain itu, status sebagai anak kembar membuat mereka dapat dikenal banyak orang, meskipun baru sekali bertemu dengan mereka. Bagi Mira, hal-hal seperti ini tentu saja menyenangkan. Lebih dari itu, ada banyak pengalaman-pengalaman seru yang dirasakannya selama menjadi anak kembar. Mereka berdua sangat bersyukur karena dapat mendapat pengalaman seperti ini. Dalam berkomunikasi misalnya, mereka berdua tidak perlu susah-susah untuk berbicara dengan Universitas Sumatera Utara kembarannya. Hanya dengan saling pandang saja mereka berdua sudah tahu apa yang ingin dikatakan oleh kembarannya. “..kebetulan ketemu, trus saling pandang aja sambil memandang ke arah lain, senyum, trus saling pandang aja.. Langsung kami berdua ngomong, ‘kan’.. Maksudnya mau bilangkan kalo yang ku tengok itu pas. Bening gitu..” R1.W1b.101-108hal.3 “kalo masalah pandangan kami melihat sesuatu atau orang sih sama..pandangan kita, ukuran-ukurannya, maunya..kebetulan kami liat kayaknya ini sesuai lah..soalnya cara liat cowoknya juga sama, R2.W2 b. 1467-1473 hal. 33 Sebagai anak kembar, yang lahir duluan akan menjadi kakak, dan yang terakhir akan menjadi adik. Di sini yang berperan sebagai kakak adalah Mira, sedangkan Mari berperan sebagai seorang adik. Statusnya sebagai adik sekaligus anak yang paling kecil di dalam keluarga membuat Mari merasa sangat beruntung. Menurutnya, posisinya sebagai adik sekaligus anak yang paling kecil sangat menguntungkannya. Mari selalu mendapat keistimewaan dari keluarganya. Apapun barang-barang yang diinginkannya, pasti akan selalu dikabulkan. Tidak perlu waktu untuk menunggu, seluruh anggota keluarganya pasti akan langsung memberikan apapun yang diinginkannya. Dalam hal ini, keluarganya memberikan perlakuan yang berbeda terhadap kakak kembarannya. “..namanya posisi adek ini mau gimana pun pasti ada enaknya..” R1.W1b. 586-587 hal. 14 “..kadang aku berpikir kayak gini, dari segi duit aja pun kayaknya lebih gampang ngasi sama awak gitu kan, ntahlah..emang kata adek itu gak bisa ilang dimana-mana makanya senang..” Universitas Sumatera Utara R1.W1b. 631-637 hal. 15 Mira pun merasakan perbedaan sikap yang diberikan keluarganya terhadap mereka berdua. Terkadang, Mira merasa keluarganya lebih menyayangi sang adik daripada dirinya. Setiap barang yang diinginkannya, selalu lama diberikan kepadanya. Berbeda dengan sang adik yang selalu langsung diberikan apapun yang diinginkannya. Ayahnya sendiri pernah mengatakan kepada mereka, agar jangan memaksanya untuk memberikan rasa sayang sama. Ayahnya mengibaratkan rasa sayangnya seperti jari-jari di tangannya. Di tangannya, tidak ada jari yang tingginya sama, semua berbeda. Untuk itulah, rasa sayang sang ayah kepada kedua anaknya juga tidak bisa dipaksakan untuk sama. “..trus rasa sayangnya juga..orang tua kayaknya lebih sayang sama Mari daripada aku.. R2.W2 b. 1509-1511 hal. 34 “..trus kemaren itu ayah itu ngambil contoh, jariku ada lima, gak ada kan yang sama persis kan, yang sama persis tingginya.. jadi rasa sayang ke klen juga gak bisa ku paksakan sama katanya.. jadi klen terimalah dengan keadaaan itu.. kan gak bisa juga berlaku adil.. ada yang salah satunya lebih kusukai lebih kuperhatikan, jadi kalo seandainya kalo kalian liat aku seperti itu.. jadi kalo seandainya terlalu berlebihan kalian ingatkan, tapi kalo seandainya kalian bisa terima ya kalian terima.. Jadi Mira sendiri sih sebenarnya terima gak palah ini kali..” R2. W2 b. 1515-1532 hal. 34 Mari sendiri mengakui perlakuan seperti ini terkadang membuatnya merasa tidak enak dengan kakaknya. Mari juga tidak mengetahui dengan pasti mengapa keluarganya memperlakukan mereka berdua berbeda. Mari sendiri lebih menganggap kalau perbedaan perlakuan ini disebabkan oleh oleh rasa Universitas Sumatera Utara bersalah kakak-kakaknya kepadanya. Mari bercerita mengenai kejadian yang menimpanya pada saat ia masih kecil. Saat itu, seluruh keluarganya sedang pergi, dan tinggallah Mari bersama salah seorang kakaknya. Namun malangnya sang kakak meninggalkan Mari seorang diri di rumah. Ketika sang kakak kembali ke rumah, tiba-tiba api sudah menjalar kemana-mana. Kejadian ini mengakibatkan Mari mengalami kecacatan pada salah satu jari tangannya. Ini yang kemudian menurut Mari, membuatnya lebih sering mendapatkan perlakuan istimewa. Apapun keinginan Mari selalu dikabulkan oleh kakak yang kala itu menjaganya. Hal ini mungkin saja digunakan sebagai penebus rasa bersalahnya kepada Mari. “..Kan ini.. dia disuruh jaga cuma ditinggalnya ntah kemana, keluar bentar lah.. jadi ketika dia balik masuk ke dalam dah terbakar gitu..jadi mungkin dia masih diingatnya lah gimana kondisi api nya waktu itu menyala-nyala, jadi kalo aku minta misalnya kak gak ada lah hp aku.. ya udah dikasihnya aku handphone.. duluan aku dapat handphone daripada dia..” R1. W3 b. 2437-2448 hal. 54 Di lain pihak, Mira lebih merasa perlakuan istimewa yang didapatkan Mari dikarenakan Mira mempunyai sifat pemalas. Dari pengakuannya, Mira mempunyai sifat malas yang berlebihan dibandingkan dengan Mari. Sering sekali orang tuanya meminta pertolongan kepada Mira, dan selalu ia jawab nanti. Saat ia menjawab nanti, apapun yang disuruh oleh orang tuanya benar- benar akan ia lakukan nanti. Berbeda dengan sang adik yang selalu melakukan apapun yang diminta orang tuanya, walaupun ia sedang malas melakukan sesuatu. Mira menganggap hal inilah yang membuat perlakuan yang diberikan kepada Mira dan adiknya berbeda. Universitas Sumatera Utara “..trus emang dulu tertawa kenapa emang mereka lebih sayang sama Mari daripada Mira tertawa karena dulu Mira orangnya malaaaass kali.. trus kalo disuruh ntar lagi, ah malas lah.. Mari aja.. kebetulan kalo si Mari sekali disuruh mau, kalo Mira banyak kali alasannya tertawa alah capeklah, kalo dia ya mau.. namanya orang itu mana yang paling gampang disuruh itulah yang disayang..” R2. W2 b. 1537-1549 hal. 34-35 Meskipun keadaannya seperti itu, hal ini tidak membuat hubungan persaudaraan mereka berdua menjadi renggang. Kedua kakak adik ini saling menghormati satu sama lain. Di satu sisi, Mari sangat bersyukut mempunyai kakak yang dapat sabar dalam menghadapi segala tingkah lakunya. Di sisi lain, Mira bisa dengan sabar dalam menerima setiap perlakuan yang diberikan oleh keluarganya. Adanya saling pengertian inilah yang membuat hubungan keduanya terjalin dengan sangat baik. “..enak sih sebenarnya sama dia, dia orangnya bisa dibilang sabar dengan keegoisanku..” R1.W1b. 637-639hal. 15 ”.. tapi aku terima.. terima.. soalnya gak ada manusia yang bisa adil, jadi aku gak perlu sakit hati.. gitu aja..” R2. W2 b. 1512-1515 hal. 34 2 Faktor yang Mempengaruhi Proses Pemilihan Pasangan pada Kembar Saat ini usia Mari dan Mira sudah menginjak 23 tahun. Usia dimana sudah seharusnya mereka berdua mulai mencari dan memilih pasangan hidupnya. Memilih calon pendamping hidup bukanlah suatu proses yang mudah, tapi juga bukan berarti hal ini tidak penting untuk dilakukan. Setiap Universitas Sumatera Utara orang pasti menginginkan calon pasangan yang baik untuk kehidupannya nanti, termasuk juga Mari dan Mira. Menurut keduanya, proses pemilihan pasangan merupakan hal penting yang harus mereka lakukan. “..Perlu lah, namanya menikah kan harapan kita sekali seumur hidup, jadi ya pastinya kita mencari yang terbaik diantara yang kita suka. Bukan berarti yang terbaik yang gak kita suka pun, akhirnya kita bantai juga..” R1.W1b.45-51hal.2 “..pemilihan pasangan, pentinglah.. kalo seandainya kita jumpa.. ya seandainya lah kita emang ada rencana kemananya ya kan..” R2.W2b.576-579hal. 14 a Latar Belakang Keluarga Ketika suatu hubungan sudah mulai berjalan dengan serius, hubungan ini akan mulai melibatkan keluarga. Latar belakang keluarga dari masing-masing pasangan mulai akan diperhatikan. Mari dan Mira sendiri tidak terlalu mempermasalahkan bagaimana latar belakang keluarganya calonnya nanti. Bagi keduanya, yang paling penting adalah bagaimana cara mereka menyesuaikan diri dengan calon keluarganya nanti. Selama penyesuaian diri yang mereka lakukan baik, keluarga dari pasangan juga pasti dapat menerima mereka dengan baik. “..Gak, gak terlalu sih, gak ada kepikiran kayak gitu.. kalo kita liat ekonominya emang udah mapan kan, keluarganya sih gak jadi masalah.. asal.. kita ke dianya juga udah cocok.. kalo keluarganya sih, ya kita nya kan bisa menyesuaikan diri.. kan kita nya juga gak jahat-jahat kali, yang penting diterima.. R2.W1 b. 310-318 hal. 7 “..gak sih sebenarnya.. gak penting kalo menurut aku.. kalo kayak financial gitu kan misalnya yang terlalu hebat juga ya gak terlalu mau sih.bukan gak terlalu mau.. bukan itu soalnya patokannya kan.. kecuali Universitas Sumatera Utara kalo emang dapat apa salahnya, ngapai kita nyari yang susah gitu kan.. tertawa cuman gak harus itu.. kan ada orang yang penting kaya gitu kan.. dia yang.. kalo misal dari keluarga yang penting kita lihat kan, waktu mereka udah jumpa kan, mereka cocok atau gak, dalam artian mereka terima gak dengan kita.. karna kan ketika ketemu kan ada dipertemukan dulu, jadi kan kita hanya bertanya dengan dia.. gak terlalu apa sih..” R1. W3 b. 2171-2189 hal. 49 1 Status Sosioekonomi Salah satu hal yang umum diperhatikan oleh kebanyakan orang adalah mengenai status sosioekonomi dari keluarga pasangan. Status sosioekonomi disebut sebagai salah satu faktor yang dapat membuat suatu hubungan pernikahan menjadi lebih baik. Mengenai hal ini, Mari berpendapat bahwa status sosioekonomi bukanlah suatu permasalahan, selama pasangannya telah mempunyai pekerjaan yang mapan. Lebih lanjut Mari katakan bahwa ada hubungan yang terjalin antara status sosioekonomi dengan hubungan yang dijalaninya. Mari sendiri lebih memilih pasangan yang mempunyai status sosioekonomi yang sama atau malah lebih tinggi daripada dirinya. Umumnya, pihak pria akan merasa down bila status sosioekonomi pasangannya lebih tinggi. Untuk itulah Mari lebih memilih pria yang status sosioekonominya setara dengannya atau malah lebih tinggi. “..Sebenarnya sih pasti ada hubungannya.. kalo dia yang sama kan, satu pasti dia saling mengerti.. kalo misalnya timpang kali, pasti ada satu yang merasa direndahkan.. iya lah aku kayak gini-gini.. lalu ada sebagian orang yang kadang baru megang duit, kadang ada yang gelap mata juga.. kalo untuk bahasa sekarang yang tiba-tiba kaya gitu kan jadi jadi congkak juga gitu kan.. jadi kan memang kita mengharapkan kalo bisa sama..dan kalo Mari sendiri pengennya lebih bagus daripada kita.. soalnya satu kadang laki-laki ini ketika kita lebih tinggi daripada dia, dia itu merasa down gitu, Universitas Sumatera Utara harga dirinya kayak jatuh gitu.. tapi itu sebenarnya bagi yang terlalu kepikiran sih sebenarnya..” R1. W3 b. 2249-2269 hal. 50 Sedikit berbeda dengan adiknya, Mira merasa status sosioekonomi dari pasangannya tidak begitu penting. Baginya yang paling penting pasangannya telah mempunyai pekerjaan yang mapan. Setelah mempunyai pekerjaan yang mapan, masalah rezeki dan hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi keluarga nantinya dapat dicari. Mira sendiri memang mengakui bahwa status sosioekonomi memiliki pengaruh dalam suatu hubungan. Pria biasanya akan merasa down bila pasangannya mempunyai status yang lebih tinggi, tapi Mira hanya merasa sebatas itu saja. Mira sendiri tidak terlalu mempermasalahkan bagaimana status sosioekonomi dari pasangannya. “..kelas sosioekonomi itu gak penting, yang penting itu dianya udah punya penghasilan yang kira-kira cukup untuk kami berdua, kalo untuk rezeki bisa dicari lah untuk kedepannya..” R2. W3 b. 1656-1662 hal. 38 2 Pendidikan dan Inteligensi Latar belakang pendidikan dari pasangan menjadi hal yang penting bagi Mari dan Mira. Keduanya berharap mempunyai pasangan dengan latar belakang pendidikan yang sama, yaitu S1. Mari dan Mira sendiri tidak terlalu berharap mempunyai pasangan yang latar belakang pendidikannya berada di bawah mereka. Hal ini dikarenakan, pria sering merasa down apabila pendidikan pasangannya lebih tinggi daripadanya. Untuk alasan itulah mereka berdua lebih memilih pasangan dengan latar belakang pendidikan yang sama, atau yang lebih tinggi daripada mereka berdua. Universitas Sumatera Utara “..kalo untuk S1 S2 sendiri kan gitu.. kadang kalo kitanya yang lebih tinggi nanti orang itu mikirnya gini ah ntar aku pula yang diatur-atur gitu lah.. pengennya sih yang dengan yang lebih tinggi dari agamanya maupun segi dunaianya gitu.. walaun jurusannya beda tapi kita ngarepinnya yang setara.. karena kalo lebih rendah kita takutnya lebih down..” R1. W3 b. 2367-2378 hal. 52 “..Kalo pendidikan sih, setara ya.. karena kan orang tua juga mengharapkan kalo bisa anaknya dapt suami yang setara.. tapi kalo Mira sendiri sih.. pengennya yang setara soalnya takut juga kalo dia tiba-tiba ngerasa rendah diri sama kita.. takutnya sih disitu..” R2. W3 b. 1800-1807 hal. 41 3 Agama Faktor yang paling mereka pertimbangkan ketika memilih pasangan adalah faktor agama. Pasangan dengan latar belakang agama yang sama, adalah harapan mereka. Agama menjadi fokus utama mereka dalam memilih pasangan. Mira sendiri percaya, apabila seseorang telah mempunyai dasar agama yang kokoh, sudah mampu menjalankan setiap kewajibannya sebagai seorang muslim, itu menandakan bahwa ia sudah bisa bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Saat ia sudah mampu bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, itu juga menandakan ia siap bertanggung jawab terhadap orang lain. Sebaliknya, bila pria itu belum mampu bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, belum tentu ia bisa menyanggupi untuk bertanggung jawab terhadap orang lain. “..Iya..biasanya disitunya.. apa kan.. kalo biasanya orang bertanggung jawab dengan dirinya, minimal untuk amal-amal ibadahnya, berarti dia kan sudah bisa bertanggung jawab dengan kita, dengan dia memiliki pasangan kan, berarti dia udah bisa bertanggung jawab untuk itu.. soalnya kan kalo seandainya kita pikir-pikir aja, untuk dirinya sendiri aja ibadahnya dia gak Universitas Sumatera Utara mampu, tau kan konsekuensinya.. dia gak bisa menutupi itu.. gimana dia mau bertanggung jawab untuk kita.. gitu aja..” R2. W2 b. 1028-1043 hal. 23-24 Begitu pula yang ada di dalam pikiran Mari. Menurut Mari, agama adalah prioritas utamanya dalam memilih pasangan. Apabila pria itu telah memiliki ibadah yang baik, tentunya ia juga sudah bisa bertanggung jawab untuk dirinya sendiri. Setelah ia bisa bertanggung jawab terhadap diri, tentu ia pun sudah mampu bertanggung jawab kepada orang lain. Rasa tanggung jawab ini yang kemudian akan membuat seorang pria untuk mencari pekerjaan yang layak, guna menghidupi kehidupan keluarga kecilnya nanti. “..Kalo untuk sekarang si, ibadahnya.. kalo emang udah ibadahnya bagus, kalo masalah pekerjaan ya sebenarnya kita juga berharap dia bekerja, cuman kalo untuk yang ibadahnya udah bagus, untuk pernikahan itu pasti dia berpikir, kalo aku sudah menikah. Istri dan anakku itu pasti jadi tanggunganku.. jadi pasti dia berpikir, dan bergiat untuk mencari pekerjaan yang halal..” R1. W2 b. 1351-1362 hal. 29 4 Suku atau Ras Suku tidak menjadi permasalahan yang penting bagi Mari dan Mira. Sebaliknya, masalah suku ini menjadi masalah bagi keluarga besarnya, terutama sang ayah. Ayah mereka berdua pernah sangat menentang calon suami yang dibawa oleh kakak kandungnya. Calon suami dari kakaknya ini ditentang karena masih mempunyai hubungan darah dengan keluarga mereka. Karena itulah sang ayah sangat menentang hubungan itu. Hal lain yang juga pernah dipermasalahkan oleh sang ayah adalah mengenai marga dari calon suami kakaknya yang kedua. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, Universitas Sumatera Utara masalah suku ini pun tidak lagi terlalau menjadi suatu masalah yang besar bagi ayahnnya. Sama halnya dengan sang ayah, ibunya pun mempunyai sedikit masalah apabila calon yang dibawa oleh anak-anaknya tidak berasal dari suku yang sama. Menurut Mari, hal ini dikarenakan ibunya kurang lancar dalam berbahasa Indonesia, sehingga beliau lebih menginginkan anak- anaknya memiliki pasangan yang juga berasal dari suku batak. Hal ini agar sang ibu bisa dengan lancar berkomunikasi dengan anak dan menantunya. ”.. jadi adek mamak menikah sama perempuan, abangnya perempuan ini menikah sama kakak.. naah.. jadi kan masih deket kali kan? Makanya ditolak.. tapi lama-lama pun diterima juga, soalnya menurut islam juga gak ada masalah kan, gak ada hubungan juga. Lalu yang kedua gara-gara marga sih, yang ditawarkannya ini marganya sa.. saragih.. trus ayah bilang mau kayak manapun kau bilang kalo itu aku gak terima.. gak tau alasannya apa.. gak ngerti juga..” R1. W1 b. 268-282 hal. 6-7 “..mungkin, satu mereka lebih terima budaya mereka karena udah paham gitu kan.. jadi gak capek ngejelasin gitu kan.. baru.. satu lagi.. mungkin karena dari suku sendiri kan kita tau kayakmana sifatnya kan.. trus dari mamak sendiri kan, bahasa Indonesia kan kurang pande.. maksudnya tau tau, cuman dia emang bahasanya masih agak kurang, masih kaku lah.. jadi ketika kita cari yang bermarga bisa bahasa batak dia malah lebih enak kan gitu..” R1.W3b.2120-2133hal.47 Dari apa yang diceritakan Mari mengenai sikap kedua orang tuanya, menunjukkan bahwa suku masih menjadi bahan pertimbangan untuk mereka. Namun, bagi mereka berdua pribadi, suku tidaklah menjadi masalah yang penting. Menurut Mira, kebaikan dan keburukan dari seseorang tidak bisa dilihat dari suku asalnya. Ada hal lain yang lebih penting untuk melihat kebaikan dan keburukan seseorang. Senada dengan kakaknya, Mari pun tidak Universitas Sumatera Utara terlalu mempermasalahkan suku dari pasangannya. Walau dengan nada bercanda, ia tetap mempunyai suatu stereotype terhadap salah satu suku yang ada. “..padahal kalo kita sendiri gak ada istilah kayak gitu.. kan baek ato gak bukan berdasarkan sukunya.. yang penting kan pribadinya.. suku gak ada hubungannya dengan baik ato buruknya seseorang..” R2. W1 b. 164-170 hal. 4 “..Gak masalah lah.. tapi Mari sendiri kalo untuk orang padang, hati agak- agak nolak emang tertawa tapi mungkin gak ketemu yang agak-agak gimana gitu kan.. dan satu mungkin karena gambarannya yang kita dapat belum cukup apa kan..” R1. W3 b. 2142-2149 hal. 47 b Karakteristik Personal 1 Sikap dan Tingkah Laku Ketertarikan bukan hanya sekedar masalah fisik, tapi juga mengenai sifat dan kepribadian yang dimiliki oleh seseorang. Bagi Mari, sifat yang dimiliki pasangannya lebih penting daripada masalah fisik. Mari pun lebih tertarik dengan seseorang yang mempunyai sifat penyayang dan mempunyai sikap bertanggung jawab. Sikap bertanggung jawab ini harus ada dalam pasangannya kelak. Alasan mengapa ia menginginkan pasangan yang bertanggung jawab adalah karena ia sering melihat sikap dari suami kakaknya yang sering bermalas-malasan. Dari pengalaman kakaknya itulah yang kemudian membuat Mari ingin mencari suami yang bertanggung jawab, agar nasibnya tidak sama seperti apa yang dialami oleh kakaknya. “..kalo sifat kalo bisa yang menyayangi kita.. kalo sifat pun yang bisa mengerti kita, bertanggung jawab.. soalnya kalo nengok-nengok sekarang ini kan.. apa.. istrinya yang.. kalo di kampung gitu kan, istrinya yang bekerja, suaminya yang di warung, malas.. kita kayaknya malas untuk Universitas Sumatera Utara membiayai uang rokoknya, minum-minumnya lagi.. cuman.. ya orang itu.. kalo cerai hubungan orang itu apa, satu lagi orang itu cinta gitu, jadi kayak mana bilangnya, jadi kalo apa pengennya suami yang mencintai kita senyum dan soleh pastinya..” R1. W2 b. 706-722 hal. 17 Senada dengan Mari, Mira pun berharap pasangannya mempunyai sifat pembimbing. Dengan adanya sifat pembimbing dari pasangannya, Mira berharap pasangannya dapat mengarahkannya ke arah yang lebih baik lagi. Tidak hanya sekedar masalah duniawi, tapi juga yang berhubungan dengan akhirat. Mira juga berharap, pasangannya nanti dapat jujur terhadapnya. Mau mengatakan dimana letak kesalahannya, menegur, mengingatkan dan membimbingnya kembali ke arah yang lebih baik. “..membimbinglah.. mendekatkan diri pada yang kuasa.. yang itu.. kalo bicara apa.. ya.. aku.. pokokonya pengen diarahin, kalo kita salah pengen diingatkan.. pengennya yang kayak gitu.. jangan dibiarin.. pokoknya gitu lah, sama-sama mengingatkan gitu ya.. tapi jangan lah sampe kita yang segala sesuatunya yang dibawah bendera suami kita kan,, jangan seperti itu.. maunya suami kita jangan sampe yang kayak gitu..” R2. W2 b. 666-679 hal. 15-16 2 Usia Pasangan yang mempunyai usia yang lebih dewasa pun menjadi pilihan dari mereka berdua. Selain memang karena keinginan dari mereka pribadi, hal ini juga berhubungan dengan orang tua mereka. Kedua orang tuanya pasti akan menolak pasangan yang mempunyai usia lebih muda daripada mereka. Daripada kemudian mereka mendapat penolakan dari keluarganya, lebih baik mereka tidak memulai untuk berhubungan dengan seseorang yang usiannya lebih muda. Universitas Sumatera Utara “..Em.. ada sih.. maksudnya lebih suka sama yang lebih tua sikit, kalo seumuran pun boleh.. tapi kalo lebih muda kayaknya ada penolakan sendiri dari keluarga, karena belum ada yang seperti itu jadi males aja mau memulainya..” R1. W1 b. 356-361 hal. 8-9 “Kalo aku sih sebenarnya pengen yang usianya lebih tua daripada aku.. 30 tahunan kalo bisa.. jangan lebih tua daripada itu,, kalo lebih tua lagi nanti kayak usia ayah.. tertawa gak lah.. R2. W3 b. 1817-1822 hal. 41 Selain karena takut ditentang oleh kedua orang tuanya, ada kekhawatiran lainnya yang membuat keduanya tidak mau mempunyai pasangan yang usianya lebih muda. Mereka takut kalau nantinya akan ditinggal pasangannya, saat hubungan mereka sudah berlangsung lama. Menurut keduanya, hal ini dikarenakan wajah wanita lebih cepat menua bila dibanding pria. Apalagi kalau usia yang pria lebih muda daripada usia yang wanita. Untuk itulah mereka menghindari mempunyai pasangan dengan usia yang lebih muda. ”.. Soalnya takut juga sih kalo kita yang lebih tua, takut ditinggal juga.. soalnya muka perempuan ini kan lebih cepet tua daripada laki-laki..” R1. W1 b. 370-374 hal. 9 “..Yah.. kasian aja.. nanti awaknya udah tua, dianya masih muda, masih imut-imut.. aduuh.. tidaak..” R2. W1 b. 177-180 hal. 5 3 Kesamaan Sikap dan Nilai Kenyamanan dalam berhubungan merupakan hal mutlak yang harus ada dalam setiap hubungan. Tanpa ada kenyamanan, hubungan tidak akan bisa bertahan lama. Bagi Mari, kenyamanan itu ditandai ketika mereka berdua dapat saling berbagi satu sama lain. Berbagi mengenai hal apapun tanpa harus Universitas Sumatera Utara ada lagi yang ditutup-tutupi. Dengan ada perasaan saling berbagi, akan membuat keduanya lebih mampu untuk saling memahami. “..saling berbagi itu apa yang kita alami..tapi ada juga yang gak.. ada juga kan orang yang ada masalah tapi dipendam sendiri aja.. sebenarnya kita kan pengen bantu, cuma kalo kita gak dikasih tau, gimana kita bisa membantunya.. jadi saling berbagi itu sebenarnya saling memahami, saling berbagi, saling cerita apa yang kita inginkan..” R1. W2 b. 1454-1464 hal. 31 Mira pun merasakan hal yang sama dengan apa yang dirasakan oleh Mari. Bagi Mira, kenyamanan itu bisa dilihat ketika mereka sudah dapat saling berbagi. Tidak ada lagi yang harus ditutup-tutupi. Kecuali, kalau memang cerita yang ingin dibaginya itu telah mendapat persyaratan agar tidak diketahui siapapun, termasuk suaminya. Kalau sudah begitu, barulah Mira tidak akan menceritakan apapun kepada suaminya. “..Iya iya.. pengennya sih semua, pengennya gak ada yang disembunyiin.. tapi misalnya kalo lagi ada masalah sama kawan yang dia bilang gak boleh bilang-bilang, ya udah, karena kita juga uda janji kan gak akan bilang- bilang orang.. berarti suami kita juga orang ato pasangan kita kan juga manusia tertawa. Ya udah jangan dikasih tau kalo emang kita udah janji kayak gitu..” R2. W2 b. 1348-1359 hal. 30-31 4 Peran Gender dan Kebiasaan Pribadi Setelah kenyamanan didapat dari suatu hubungan, tentu ada perasaan lain untuk saling berbagi. Bukan mengenai kegiatan yang biasa dilakukannya, tapi lebih kepada perasaan saling berbagi peran dan harapan di masa depan. Dalam proses ta’aruf yang akan dijalaninya, hal ini memungkinkan Mira untuk saling berbagi mengenai harapan kedepannya saat telah menikah. Mira sendiri Universitas Sumatera Utara berharap nantinya diberikan izin untuk bekerja oleh suaminya. Selain itu, Mira juga berharap nantinya akan ada pembagian tugas di dalam rumah tangga yang mereka jalanin. Apalagi ketika nantinya sudah mempunyai anak, Mira menginginkan pasangannya dapat mengerti kerepotan yang akan ia hadapi. Dengan sikap pengertian dari pasangannya, Mira berharap hubungannya dapat berjalan semakin baik. “..trus kalo pekerjaan, pekerjaan dirumah kan harapannya kita sama-sama bekerja kan, yang Mira liat kalo suami kerja, istri kerja, yang beres-beres di rumah tetep perempuan..harapan Mira, karna diluar kita sama-sama punya aktifitas, pengennya dirumah kita sama-sama bagi tugas.. trus harapannya kalo seandainya udah punya anak, sama-sama ngurus anak.. jangan sementang.. eh.. biasanya kan nampak juga sih, kayak keluarga abang-abang kita kan, misalnya anaknya minta susu yang bangun cuma istrinya aja,, jangan gitu, kan sama-sama pengen punya anak jadi ya berbagi.. harapan Mira sih seperti itu..” R2. W2 b. 1285-1304 hal. 29 Seperti halnya Mira, Mari pun menginginkan hal yang sama. Mari menginginkan adanya pembagian peran dalam kehidupan rumah tangganya nanti. Apalagi kalau nanti keduanya sama-sama bekerja. Pasti akan sangat repot kalau hanya salah satu pihak yang membereskan dan mengatur kehidupan di rumah. Untuk itulah ia menginginkan pengertian dari pasangannya untuk saling tolong menolong dalam mengurus rumah tangga. “..pokoknya adalah dia berbagi.. Apalagi kalo jam kerjanya padat kan, sama-sama pulang jam segini, makanya suami istri itu harus saling berbagi..perempuan juga kan bukan robot kan, ya saling tolong menolong lah.. Itu kalo belum punya anak, kalo udah punya anak lagi, ya bangun tengah malam, inilah.. makanya kalo dilimpahkan ke perempuan semua kayaknya kurang etis ya..” R1. W2 b. 1630-1642 hal. 35 Universitas Sumatera Utara 3 Proses Pemilihan Pasangan yang dilakukan oleh Kembar

a Area yang ditentukan The Field of Eligibles

Mari dan Mira sudah menganggap bahwa proses pemilihan pasangan adalah hal yang penting. Keduanya pun pasti menginginkan pasangan yang terbaik untuk hidupnya. Mereka berdua pun mulai membuat kriteria-kriteria dari pasangan yang diharapkannya. Bagi Mari, pasangannya nanti tidak boleh berpoligami selama ia masih mampu melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Persyaratan yang kedua, pasangannya nanti harus bisa mengerti kondisi keluarganya. Kondisi keluarga yang dimaksud Mari adalah kondisi dimana keluarganya tinggal berjauhan dan meninggalkan kedua orang tuanya tinggal seorang diri. Karena itu, Mari ingin nantinya ia dan suaminya bisa tinggal bersama dengan kedua orang tuanya. Mari ingin ia yang menjaga kedua orang tuanya nanti. Namun, syarat ini tidak menjadi hal mutlak yang harus dilakukan, karena seiring berjalannya waktu, Mari tidak lagi menganggap ini sebagai suatu persyaratan. Mari sudah lebih memasrahkan bagaimana kondisi yang dialami olehnya dan suaminya nanti. Untuk sekarang ini, Mari pun menitipkan keadaan kedua orang tuanya kepada abangnya yang masih tinggal di sana. ”..kalo kemanapun mau dibawa gak masalah, kalo harus tinggal dirumah mertua pun gak masalah, mau dibawa keluar kota pun gapapa.. soalnya dulu sempet ada syarat kalo dia harus mau tinggal di rumah orang tua kita.. soalnya namanya kan kondisi orang tua kita udah tua, dan biasanya kan yang dirumah itu selalu anak perempuan sih sebenarnya.. kalo anak laki- laki yang tinggal kan berarti menantu yang dijumpai sehari-hari, iya kalo menantunya sehati sama kita.. trus kan pasti orang tua kita ada segan juga kalo kayak gitu.. tapi kalo kita ya gak segen kan.. sempet kepikir kayak gitu kemaren..tapi itu dulu, kalo sekarang ya kalo dia ada rejeki ato gimana Universitas Sumatera Utara ya udah lah, lagian abang juga udah tinggal disana kan.. Jadi ya liat kesananya juga sih.. trus kalo bisa jangan sampe poligami.. tertawa, ya selama kita masih bisa memenuhi kewajiban kita secara.. eh..” R1. W2 b. 1703-1729 hal. 36-37 “..Lahir batin?..” peneliti “Iya lahir batin, ya gak lah.. tapi kalo emang kita udah gak mampu ya..ya udahlah.. tapi jangan sampe kita dicampakkan juga lah.. yang penting sih syarat yang kedua sih.. kalo yang pertama juga gak terlalu.. yang laen-laen masih bisa lah dikondisikan..” R1. W2 b. 1731-1738 hal. 37. Mira sendiri menetapkan syarat-syarat yang tidak berbeda jauh dengan syrat-syarat yang dibuat oleh adiknya. Mira juga termasuk salah satu orang yang menentang adanya poligami selama ia masih mampu melakuka n kewajibannya sebagai seorang istri. Lalu, ia juga mengharapkan pasangannya dapat mengerti kondisi keluarganya yang belum terlalu religius. Keluarganya memang termasuk keluarga yang taat dalam beribadah, tapi yang dilakukan keluarganya masih hal-hal yang sewajarnya. Keluarganya belum menganggap salaman antara pria dan wanita yang bukan muhrim sebagai suatu masalah. Sementara, Mira sendiri sudah menganggap itu sebagai suatu masalah. Untuk itulah, ia berharap pasangannya nanti bisa mengerti dengan keadaan itu. Selain daripada itu, Mira berharap pasangannya telah mempunyai dasar agama yang kuat. “..pertama aku gak mau diduakan..tertawa. Trus mau bilang, kalo keluargaku sebenarnya masih keluarga yang biasa.. mungkin kalo kita banyak.. em.. maksudnya.. kita udah banyak ninggalin aturan-aturan gitu, maksudnya eh.. kalo orang ngaji kan biasanya kalo salam sama perempuan yang bukan muhrim kan dihindari, bukan gak pernah, tapi dihindari..trus padahal di kampung itu bebas kali.. jadi bilang..ee.. Mira pengen dia ngerti, kalo seandainya nanti tiba-tiba dia diajak ke keluarga, kalo keluarga Mira masih seperti itu.. maunya dimengerti gitu.. Mira pengennya gitu Universitas Sumatera Utara aja.. trus.. kalo yang laen-laen sih Mira gak gitu pengen banyak yang ditanyainnya.. soalnya.. yang penting agamanya pa.. disitunya aja.. gak banyak-banyak persyaratan atau apa..” R2. W2 b. 1222-1245 hal. 28 Kualitas dari seorang pasangan adalah hal yang harus diperhatikan. Ada kalanya kualitas dari seseorang tidak memperhatikan dari berapa lama mereka telah saling mengenal. Menurut mereka berdua, kuantitas bukanlah satu jaminan hubungan akan bertahan lama. Hubungan akan bertahan lebih lama apabila disertai dengan kualitas pasangan yang baik. Seperti kepribadian, sifat dan sikap yang ada pada seseorang. Hal inilah yang akan membuat hubungan bertahan lama, bukan dari lamanya pasangan ini saling mengenal. “..untuk lama atau tingkat hubungannya sih gak terlalu masalah kalo untuk serius.. cuman kalo eh.. masalah kali.. tapi kalo untuk seterusnya ya kita kan berharap untuk seumur hidup kalo misalnya kalo kualitas, ya pasti kualitaslah yang diutamakan.. karena kalo pun kama hubungannya tapi kalo emang sifatnya buruk tak ada gunanya juga kan..” R1. W2 b. 1308-1319 hal. 28 “..Sebenarnya.. gak dari berapa lamanya.. pas pertama kali liat itu kan.. sebenarnya udah suka.. cuman kita liat jumpanya dimana, berarti kan.. kalo jumpa di pengajian, berarti orangnya kan..eh.. baik lah gitu kan.. trus seandainya kita aktif gitu kan.. kita perhatikan..” R2. W2 b. 743-751 hal 17 b Kedekatan atau Propinquity Jarak terkadang menjadi penghalang dari suatu hubungan. Seperti misalnya hubungan jarak jauh. Ini tidak menandakan bahwa hubungan jarak dekat tidak akan menimbulkan masalah. Bagi Mari dan Mira sendiri, jarak atau kedekatannya dengan pasangan bukanlah suatu persoalan yang penting. Universitas Sumatera Utara Hal ini tidak menjadi prioritas mereka dalam memilih pasangan. Sama halnya dengan Mira, yang sama sekali tidak mempermasalahkan darimana pasangannya nanti berasal. “..Gak terlalu berpengaruh lah.. Tapi ya kalo bisa dapat yang di luar, ya lumayan bisa jalan-jalan, bisa tau daerah-daerah lain juga kan..” R1.W1b.156-159hal.4 “..Gak ada sih, yang mana aja pun yang penting cocok.. ya jalan aja.. gak masalah sih..” R2.W2b. 65-67 hal. 2 Ketertarikan itu akan muncul karena terbiasa. Terbiasa berada dalam lingkungan yang sama dan terbiasa saling memperhatikan. Bagi Mari, berada dalam lingkungan yang sama belum tentu akan membuatnya tertarik untuk menjalani suatu hubungan. Lain halnya dengan Mira, yang menyatakan bahwa lingkungan memungkinkannya untuk tertarik dan menjalani suatu hubungan. Walaupun begitu, Mira juga tidak menganggap hal ini sebagai sesuatu yang sangat serius. Tetapi, keinginan untuk menjalani suatu hubungan yang berasal dari lingku ngan sekitar, muncul di hati Mira. “..kalo untuk sekarang sih, gak semua loh yang disukain..” R1.W2 b. 1012-1013 hal. 24 “..kalo sekarang si masih sekitar orang yang ada di lingkungan seperti itu yang Mira suka.. tapi sekedar suka liat gitu aja sih. Tapi bukan berarti..ini gambaran untuk pasangannya sendiri, belum ada, masih blank..” R2.W2 b. 1063-1068 hal. 24 Mari dan Mira mungkin belum merasakan ketertarikan yang serius terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya. Tapi, tak dapat disangkal kalau Universitas Sumatera Utara ada kekhawatiran dari diri mereka apabila pasangannya nanti tidak berasal dari lingkungan sekitarnya. Mereka berdua berharap pasangannya nanti berasal dari lingkungan pengajian. Hal ini dikarenakan mereka telah terbiasa berada di lingkungan pengajian, sehingga mereka terbiasa mengikuti segala kegiatan yang ada di dalam lingkungan pengajian tersebut. Mereka berdua takut kalau nantinya tidak dapat mengikuti kegiatan pengajian lagi, bila pasangannya tidak berasal dari lingkungan yang sama. ”..soalnya, kenapa Mira pengen cari yang ada di lingkungan ngaji.. jadi kalo dia ada di lingkungan ngaji, berarti kita dibolehkan untuk mengaji..soalnya kalo dia gak mengaji, nanti kita bakal dilarang, itu intinya.. makanya Mira bilang dia harus anak ngaji gitu kan.. soalnya nanti, seandainya dia gak itu kan.. apa itu ngaji-ngaji, gak usah lah ikut- ikut kayak gitu.. takutnya ntar digituin setelah jadi.. makanya Mira pengennya suami yang ngaji biar kita dibolehkan, soalnya kita melakukan hal yang sama.. trus takutnya kalo suami kita yang biasa-biasa ja kan eh.. trus.. eh.. Mira kan minimal.. minimal baca Quran sehari sekali.. eh.. nanti kalo suami kita yang dibilang apa, yang gak sering melakukan itu.. nanti kita dilarang itu.. ah ngapai lah kau baca-baca itu.. gitu.. dibilang kalo yang sesuai dengan kita.. seandainya nyari yang.. mungkinlah kalo yang kita cari orang luar eh.. untuk.. eh.. Dini sendiri lah kalo liat, ngapai lah ikut ngaji.. nanti pasti akhirnya dilarang kita ngaji.. mau sholat pun, ntar kalo kita mau sholat., ambilkan aku makanan, gitu kan pasangan kita suruh kan.. bang sholat dulu, udah azan, ahh.. ntar lagi lah.. tapi kalo kita sama- sama disitu, kan eh.. eh.. sholat dulu, ya sama.. gitu.. kan enak..” R2. W2 b. 1071-1108 hal 24-25 “..kayaknya yang bener-bener menyayangi kita lah, apa sih.. saling memahami kalo dalam beribadah, kita gak dilarang.. beribadah kita didukung.. kan ada yang sebagian alah.. sholat-sholat aja pun, ngaji-ngaji aja kerja kau.. gitu.. malah kalo bisa yang diajak pun.. baru yang pastinya..” R1. W2 b. 738-747 hal. 18 c Daya Tarik atau Attraction Tertarik dan merasa tertarik dengan seseorang adalah hal yang wajar terjadi. Pada umumnya, ketertarikan terhadap seseorang akan dimulai dari Universitas Sumatera Utara ketertarikan secara fisik. Setelah itu baru lah pasangan itu akan saling mengenal satu sama lain. Ketertarikan secara fisik merupakan hal yang wajar. Hal wajar ini juga dirasakan oleh Mari. Mari tertarik dengan seseorang yang mempunyai keunikan pada fisiknya. Seperti gigi gingsul, misalnya. Gingsul ini yang kemudian dapat membuat Mari tertarik untuk memperhatikan seseorang. Selain itu, Mari juga tertarik dengan pria yang memiliki janggut tipis di wajahnya. Pada dasarnya, fisik bukanlah masalah utama bagi Mari. Namun, ia juga tidak menyangkal bahwa ia tertarik secara fisik dengan pria yang memiliki ciri-ciri seperti itu. “..iya sebenarnya kalo dari segi fisik sih secara umum aja pengennya yang lebih tinggi ya minimal 160 lah..trus dari kemaren emang kebetulan yang disukai itu gak pernah ada yang gemuk..kalo kulit sih gak msalah, kadang suka yang putih, kadang yang coklat tertawa. Trus lebih seringnya tuh liat orang dari keunikan dua, missal kayak gigi.. apa itu namanya?..” R1. W1 b. 296-308 hal. 7 “..oh, gingsul ya?” peneliti “..nah..iya..gingsul..gingsulnya lucu..” R1. W1 b. 310-311 hal. 7 “..Maksudnya yang punya jenggot tipis, gitu kan.. trus apalagi kalo kita tau kalo ibadahnya bagus kan..” R1. W2 b. 1137-1139 hal. 24 Fisik memang tidak menjadi hal yang terlalu penting bagi Mari. Mari sendiri termasuk orang yang lebih memperhatikan kepribadian seseorang. Mari akan lebih tertarik dengan pria yang soleh. Soleh yang dimaksud Mari adalah seseorang yang mampu menyayangi dan melindunginya dengan sepenuh hati. Tak hanya itu, soleh menurutnya adalah suatu sikap yang saling memahami satu sama lain. Bila diibaratkan, ia ingin kisahnya berjalan seperti Universitas Sumatera Utara novel-novel islam yang dibacanya. Penuh dengan kasih sayang tapi juga tetap islami. “..yang soleh.. soleh.. jadi ya.. dunia akhirat lah..” R1. W1 b. 77-78 hal. 2 “..Kalo solehnya kita tengok kan kami sering nengok kan dari apanya, apa lah kita perhatikan yang laen kan, kalo misal kita liat suaminya jalan gitu kan sama istrinya, aduh.. kayaknya dijaga kali.. yang.. istrinya yang dilindungi kali.. kayaknya ihh.. beda gitu.. kayak mana ya ceritanya..senyum-senyum malu kayak mana ya, kalo dikatakan kayak yang di film-film islam sekarang gitu kan.. kan sering kalo di novel-novel islam gitu.. trus kayaknya yang bener-bener menyayangi kita lah, apa sih.. saling memahami kalo dalam beribadah, kita gak dilarang.. beribadah kita didukung.. kan ada yang sebagian alah.. sholat-sholat aja pun, ngaji-ngaji aja kerja kau.. gitu.. malah kalo bisa yang diajak pun.. baru yang pastinya.. artinya.. diam payah ngomonginnya tertawa..” R1. W2 b. 725-749 hal. 17-18 Sama halnya dengan apa yang dirasakan oleh Mira. Bagi Mira, fisik bukanlah hal utama yang akan diperhatikan. Walaupun begitu, ia juga mengakui bahwa ia merasa tertarik dengan pria yang tinggi dan mempunyai janggut tipis di wajahnya. Selain dari itu, bukan hanya fisik yang ia andalkan, tapi juga timbul rasa suka terhadap pasangannya. Rasa suka itu juga akan semakin timbul apabila pria itu memiliki sikap yang alim. Alim yang dimaksud Mira adalah pasangannya kelak mempunyai sikap yang islami, ibadahnya rajin, dan tidak hanya mampu mengerjakan ibadahnya yang wajib, tapi juga mampu mengerjakan ibadah sunnahnya. Sikap-sikap seperti inilah yang membuat Mira tertarik untuk menjalani suatu hubungan. “..Ada jenggotnya sikit, tipis-tipis gitu kan.. tertawa trus kan.. kalo.. ya.. itu lah lebih tinggi dari Mira.. trus.. eh.. masalah putih dan gak putih itu gak masalah sih.. pokokonya kita suka gitu kan..” Universitas Sumatera Utara R2. W2616-621hal.14 “..Iya.. alimya itu gak palah muluk-muluk sih.. kita kan juga gak baek- baek kali.. gak mungkin kita dapat suami yang..gimana-gimana gitu kan tertawa.. Jadi yang ukurannya.. pertama itu kan.. sholatnya.. wajibnya gak pernah bolong lagi harapannya, trus dia ngaji.. trus sholat jumatnya gak pernah tinggal, kecuali dia dalam keadaaan perjalanan atau apa.. jangan gara-gara dia tidur dia rumah, enggak nada agak meninggi. Trus, ya.. apa lagi ya.. diam ngaji.. apalagi ya tadi.. sholat.. trus kalo bisa segala sholat itu, apanya.. sholat wajibnya dilakuin di mesjid.. kalo bisa.. diusahakan yang kayak gitu, maunya yang kayak gitu..” R2. W2 b. 685-704 hal. 16

d Homogamy dan Heterogamy

Ada banyak hal yang akhirnya dapat membuat mereka berdua menjalani suatu hubungan lebih lanjut. Salah satunya apabila mereka berdua sudah dapat menemukan pasangan yang dapat melengkapi kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Mari dan Mira lebih menghargai pasangan yang mempunyai perbedaan dengan mereka. Bagi keduanya, dengan adanya perbedaan hubungan akan lebih bervariasi dan mempunyai tantangan tersendiri. Biasanya perbedaan dan persamaan yang dimiliki dalam suatu hubungan akan lebih diketahui apabila hubungan itu sudah berjalan lama. “..sebenarnya sih lebih suka yang beda, soalnya lebih ada tantangan yang berbeda kayaknya..” R1.W1 b. 92-95 hal. 3 “..em..sebenarnya lebih suka yang berbeda soalnya saling mengisi..kalo milih yang sama dengan kita kayaknya bosan ya..” R2.W2 b. 84-87 hal. 2-3 Walaupun begitu, mereka berdua juga tetap menuntut adanya persamaan dengan pasangannya. Terutama dalam masalah ibadah. Mau berbeda Universitas Sumatera Utara bagaimanapun dengan pasangannya nanti, apabila sudah menyangkut dengan yang namanya ibadah, keduanya tetap menginginkan pasangan dengan pandangan yang sama. Dengan mempunyai pandangan yang sama mengenai ibadah, mereka berdua akan lebih mudah untuk melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengan kewajibannya sebagai seorang muslim. ”.. Iya, ke kita.. naah.. soalnya kalo gak sama nanti kalo mau sholat, ah nanti lah itu.. kan.. jadinya kita.. disitunya.. kan.. kalau gak sesuai sama kita kalo ibadah ya.. kalo sifat dan segala macam kan gak bisa ditentuin ya..” R2. W2 b. 1112-1115 hal. 25 Sama halnya dengan Mira, Mari pun menuturkan hal yang sama. Perbedaan memang indah, tapi mempunyai kesamaan juga merupakan sesuatu yang harus ada dalam suatu hubungan. Kesamaan yang diharapkan Mari ada dalam pasangannya nanti adalah mempunyai pandangan yang sama dalam melakukan ibadah. Mari juga lebih berharap, kalau calon pasangannya nanti lebih mempunyai ibadah yang bagus daripada yang ia lakukan sekarang. Alasan Mari untuk hal ini adalah agar pasangannya nanti bisa lebih membimbingnya, terutama dalam hal ibadah. “..soalnya kan ada haditsnya kan apa ayatnya gitu.. ah lupa lah.. pasanganmu adalah eh,, ibadahnya yang sesuai dengan ibadahmu..jadi ya kita sangat merasa ibadah kita sangat rendah kali ya.. jadi ya untuk berharap sih, tapi ya berharap juga bagus sih untuk berdoa.. makanya kalo itu lebih memperbanyak ibadah kita, biar kita dapat pasangan yang bagus juga..” R1. W2 b. 1405-1416 hal. 30 “..Berarti secara gak langsung, ada mencari sisi kemiripan juga dalam pasangan ya?” peneliti Universitas Sumatera Utara “..Sebenarnya iya, tapi kalo bisa kita juga mencari orang yang ibadahnya lebih bagus daripada kita karna berharap dia yang dapat membimbing kita untuk dapat lebih meningkatkan ibadah..” R1. W2 b. 1420-1425 hal. 30 e Kecocokan atau Compatibility Suatu hubungan akan berjalan dengan lebih baik, saat keduanya sudah menemui kecocokan. Kecocokan yang dirasakan setiap pasangan pasti berbeda-beda. Bagi Mari, pasangan yang cocok untuknya adalah pasangan yang tetap bisa memberikannya izin untuk melakukan kegiatan keagamaan walau mereka sudah menikah. Kegiatan-kegiatan yang biasanya dilakukan itu biasanya berkaitan dengan aktifitas keagamaan. Selain itu, bagi Mari, kecocokan itu dapat dirasakan apabila pasangannya nanti dapat menerima dirinya apa adanya. Pada awal pertemuannya ini, Mari akan mencoba menceritakan segala kelebihan dan kekurangan yang ia punya. Tujuan dari hal ini, agar nanti pasangannya tidak lagi terkejut dengan segala sikap yang ia tunjukkan ketika sudah menikah. Harapan lainnya dengan memberitahu bagaimana sifatnya kepada pasangannya, pasangannya nanti sudah tahu bagaimana cara menyingkapi kelakuannya. “..Satu yang pertama em.. kalo sudah menikah.. apa ya..istilahnya kalo bekerja boleh.. atau misalnya kita nanti.. kan ada yang sebagian melarang keluar rumah.. ya kita masih beraktifitas di luar itu, masih boleh..baru apa lagi ya.. dari ibadahnya.. baru cocok.. apa lagi ya.. diam baru menerima kita apa adanya..gitu..kadang kan kalau disana diceritakan apa kekurangan kita. Misalnya aku orangnya egois lo.. gini-gini.. curhat gitu.. maksudnya kita ceritakanlah kondisi kita sebenarnya, suka ini itu.. dan dia pun udah ngasih tahu, paling gak bisa kita match kan lah, saling menutupilah.. jadi disaat kita udah menikah, kan dia udah tau ngambil resiko misalnya kita itu udah begitu.. jadi kita juga udah lebih bagus menyingkapinya.. kita pun kayak gitu.. kan kita udah tau kelebihan dan kekurangan kalo lagi marah Universitas Sumatera Utara misalnya dibiarin aja dulu.. kan ada diberitahu.. jadi ketika apa nanti, kita kan bisa ambil sikap.. ya sebagian orang ada yang nganggap ta’aruf itu ada yang suka atau gimana tapi ya sebenaranya rahasia kita apa ya dikasih tau.. misalnya kekurangan-kekurangan kita selama ini.. kan orang itu gak tau, daripada kita tutupin atau apa ya dikasih tau aja..” R1. W2 b. 793-828 hal. 19 Sama halnya dengan apa yang diharapkan oleh Mari, Mira pun mempunyai harapan yang sama terhadap pasangannya. Bagi Mira, kecocokannya itu dapat dilihat dari proses ta’aruf yang dilaluinya. Dari proses ta’aruf itu nantinya, mereka akan saling bertukar cerita mengenai dirinya secara pribadi dan apa keinginannya di masa depan. Kecocokan dengan pasangan juga dapat dilihat Mira ketika mereka berdua mempunyai gambaran keluarga yang sama. Ketika mereka berdua sudah mempunyai gambaran keluarga yang sama, itu menandakan mereka berdua telah mempunyai kecocokan. “..cocok ya.. kan kalo seandainya melaui proses ta’aruf itu.. pasti kan pasti kita punya gambaran kan gimana keluarga kita nanti kan.. eh.. kan kita tanya tuh.. mau gambaran gimana keluarganya nanti.. kalo gambarannya sama dengan kehidupan kita, berarti cocok kan? Gitu..” R2. W2 b. 1144-1153 hal. 26 “..Berarti lebih cocoknya itu apabila gambaran keluarganya hampir sama ya? dan ke diri sendiri juga?..” Peneliti “..Iya.. seandainya kita bilang.. aku nanti kalo berumah tangga pengen yang kayak gini-gini..trus seandainya kita udah ketemu sama pasangan kita, menurut pandangan kamu bagaimana..gitu ya kan.. aku sih seandainya nanti dia bilang aku gak suka yang kayak –kayak gitu katanya gitu kan, berarti dari situ aja kan kita udah gak cocok gitu kan.. pengennya enaknya gimana.. eh.. mau banyak anak ato seandainya kita mau biasa- biasa aja yang keluarga-keluarga kecil aja..atau mau dua atau tiga kan.. ato dia maunya banyak, kan kita pikirkan alasannya apa.. kita tanya gitu kan.. kalo seandainya alasannya bagus, kita terima berarti cocokkan.. nah.. disitunya kan.. bisa ditanya segala sesuatunya..” R2. W2 b. 1157-1178 hal. 26-27 Universitas Sumatera Utara f The Filter Process Proses pemilihan pasangan yang dilakukan oleh setiap individu berbeda- beda. Ada yang melalui proses pacaran, ada juga yang tidak. Menurut Mari dan Mira, pemilihan pasangan tidak harus melalui proses pacaran. Ada cara lain yang dapat digunakan dalam memilih pasangan selain melalui pacaran, yaitu melalui proses ta’aruf. Proses ta’aruf adalah suatu proses perkenalan, dimana ada pertukaran proposal data pribadi yang terjadi melalui perantara. Dari pertukaran proposal itu kemudian mereka dapat saling mengenal satu sama lain. Ketika sudah merasa cocok dengan apa yang ditulis dalam proposal, keduanya akan saling dipertemukan. Setelah itu barulah hubungan akan diketahui kemana arah dan tujuannya. “..Mira sendiri sih pengennya kalo cari model pasangan kayak yang itu, yang model-model ngajuin proposal, proposal gitu.. kan kita kan.. ee.. kalo anak-anak ngaji kan biasanya nyari-nyari pasangan itu kalo apa ngajuin proposal gitu, trus dicarikan di proposal itu kan ditulis segala sesuatu yang kita inginka n, ciri-cirinya yang gimana, mau pekerjaan yang seperti apa, mungkin kayak gitu sih gambarannya, belum pernah nengok juga gimananya.. trus.. kita kan nyebutkan ni secara detail, mau suami yang kayak mana, gimana.. trus kan kita masukkan itu nantikan ke pembimbing kita.. trus nanti pembimbing kita itu nyarikkan yang kayak gitu.. terus.. kalo udah ketemu, itu ditemukan orangnya, dipertemukan.. atau kalo kita udah pengen lah.. aku suka dengan si itu, kita ajukan proposalnya kesitu.. tau? Itu kayak ta’aruf gitu..” R2. W1 b. 763-791 hal. 18 “..Kalo dalam pikiran Mari sih sebenarnya, misal ada calon gitu kan paling dengan seorang yang kita percayai aja, belum tentu keluarga gitu kan.. yang kita percaya, yang bisa menjaga.. prosesnya ta’aruf cuma sekali jumpa, cuma sebutkan apa yang kita.. kekmana kita.. baru apa yang kita inginkan ke depannya, baru harapan kita setelah menjadi pasangan atau apa..kalo misalnya em.. dia pun mengatakan apa yang dia inginkan.. saling curhat lah..pas gak.. kedepannya gimana.. udah.. kalo misalnya cocok.. Universitas Sumatera Utara misalnya cocok.. baru kan.. kita pas ta’aruf itu kan melihat wajahnya, gitu kan.. kan diantara wajah itu ka nada yang bener-bener suka, sekedar suka… ada yang gak suka sama kali, ada yang suka sekali.. pokoknya minimal intinya yang kita suka.. mau kita buat yang suka sekali itu nanti setelah.. setelah .. kita menikah..” R1. W2 b. 764 – 789 hal. 18-19 Mari dan Mira lebih merasa nyaman dalam melakukan proses ta’aruf daripada melalui proses pacaran. Ada kenyamanan tersendiri untuk mereka berdua saat melakukan proses ta’aruf. Mereka berdua juga menganggap bahwa lebih sulit untuk melalui proses pacaran dibanding dengan proses ta’aruf. keduanya menganggap proses pacaran lebih memiliki banyak kerugian. Terkadang, hal-hal yang sepele juga bisa menjadi permasalahan dalam hubungan yang dijalaninya. Keduanya belum pernah menjalani proses pacaran, tapi mereka sering melihat bagaimana proses pacaran yang dilakukan teman-temannya. Dari pengalaman teman-temannya itulah yang akhirnya membuat mereka memutuskan untuk tidak melalui proses pacaran. “..Iya nengok dari temen-temen lain kan kalo orang itu pacaran gak ditelpon sikit aja.. merajok.. gak di inii aja, merajok.. trus kalo ada sms- sms nyasar gini-gini, berantam.. baru sampe.. kayak.. kalo kawan kita sendiri, misalnya sampe takut jumpa ma kawan sendiri.. sebenarnya kejadiannya kayak gitu kalo gitu kalo Mari.. Orang itu sampe berantem gitu.. aku aja nengok muka cowoknya sampe takut, saking mukanya serem kali.. tu lah.. jadi kan.. baru ada sebagian yang menuntut waktunya harus sama dia, sehingga kan,, kami sama sekali gak bisa jumpa.. kecuali jam kuliah.. padahal dia sering telat, jadi pas kuliah itu kami sempat-sempatin lah cerita.. woi gini-gini gimana gitu.. pokoknya selama ini, susah kali.. kalo mau kemana-mana susah lah sekarang..” R1. W2 b. 850-873 hal. 20-21 “..Ya.. lebih enak aja rasanya.. gak suka.. gak.. eh.. gak.. soalnya kalo pacaran-pacaran gitu kan emang gak dibolehin kan.. lagian ya lucu aja kan.. banyak kerugiannya kalo Mira rasa..” R2. W2 b. 796-801 hal. 18 Universitas Sumatera Utara “..Salah satunya apa nih, contohnya?..” peneliti “..Salah satunya banyak berantam kalo ada masalah.. harusnya yang gak jadi masalah, jadi masalah.. jadi nambahkan masalah kita.. jadi kan kalo kayak sekarang masalah itu cuma dari keluarga aja, gak ada.. kan kalo kita punya pacar gitu kan masalah dari keluarga ada, dari pacar ada, makin banyak kan?..” R2.W2 b. 803-811 hal. 18-19 Alasan lain yang juga membuat mereka menghindari proses pacaran adalah karena faktor agama. Di dalam ajaran agamanya, mereka dianjurkan untuk menghindari proses pacaran. Ada cara lain yang bisa digunakan untuk memilih pasangan. Caranya adalah dengan melalui proses ta’aruf. “..trus emang islam kan tidak memperbolehkan.. jadi kalo pacaran gak diperbolehkan, pasti ada cara lain kan.. ya.. dijelaskanlah proses ta’aruf begini-begini.. oh berarti kalo pacaran emang gak boleh, masih adanya cara yang lain, ya udah la kenapa gak.. cari aman aja lah, aman dan menyenangkan..” R1. W2 b. 1291-1300 hal. 27-28 “..alasan lain, karena Allah larang.. ya kita patuhlah.. ya, intinya kita mencoba untuk taat.. bukan berarti kita taat-taat kali.. tapi nyoba untuk taat lah..” R2. W2 b. 817-821 hal. 19 Proses ta’aruf adalah suatu proses perkenalan antara pria dan wanita yang sudah siap untuk menikah. Biasanya proses ta’aruf ini diperantarai oleh seseorang. Seseorang ini bisa merupakan seorang ustadz, ulama atau anggota keluarga sendiri. Menurut Mari, proses ta’aruf adalah suatu proses dimana diri kita diperkenalkan dengan seseorang melalui pertukaran foto dan identitas pribadi, lalu setelah itu kedua individu ini akan dipertemukan untuk saling mengetahui bagaimana karakter masing-masing. Universitas Sumatera Utara “..Kalo dalam pikiran Mari sih sebenarnya, misal ada calon gitu kan paling dengan seorang yang kita percayai aja, belum tentu keluarga gitu kan.. yang kita percaya, yang bisa menjaga.. prosesnya ta’aruf cuma sekali jumpa, cuma sebutkan apa yang kita.. kekmana kita.. baru apa yang kita inginkan ke depannya, baru harapan kita setelah menjadi pasangan atau apa..kalo misalnya em.. dia pun mengatakan apa yang dia inginkan.. saling curhat lah..pas gak.. kedepannya gimana.. udah.. kalo misalnya cocok.. misalnya cocok.. baru kan.. kita pas ta’aruf itu kan melihat wajahnya, gitu kan.. kan diantara wajah itu ka nada yang bener-bener suka, sekedar suka… ada yang gak suka sama kali, ada yang suka sekali.. pokoknya minimal intinya yang kita suka.. mau kita buat yang suka sekali itu nanti setelah.. setelah .. kita menikah..” R1. W1 b. 764-789 hal. 18-19 Proses ta’aruf menurut Mira adalah suatu proses dimana ada pertukaran proposal yang juga berisi tentang identitas diri dan kriteria pasangan yang diharapkan. Proposal itu kemudian diserahkan kepada pembimbing, untuk dicarikan pasangan yang sesuai dengan apa yang tertulis di proposal. Setelah pembimbing mendapatkan pasangan yang sesuai dengan apa yang ada di proposal, kedua individu ini pun akan dipertemukan. “kalo anak-anak ngaji kan biasanya nyari-nyari pasangan itu kalo apa ngajuin proposal gitu, trus dicarikan di proposal itu kan ditulis segala sesuatu yang kita inginkan, ciri-cirinya yang gimana, mau pekerjaan yang seperti apa, mungkin kayak gitu sih gambarannya, belum pernah nengok juga gimananya.. trus.. kita kan nyebutkan ni secara detail, mau suami yang kayak mana, gimana.. trus kan kita masukkan itu nantikan ke pembimbing kita.. trus nanti pembimbing kita itu nyarikkan yang kayak gitu.. terus.. kalo udah ketemu, itu ditemukan orangnya, dipertemukan.. atau kalo kita udah pengen lah.. aku suka dengan si itu, kita ajukan proposalnya kesitu.. tau? Itu kayak ta’aruf gitu..” R2. W2 b. 768-789 hal. 18 Universitas Sumatera Utara Tabel. 2 Gambaran Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Pasangan Rekapitulasi Analisa Faktor yang Mempengaruhi Proses Pemilihan Pasangan pada Responden I Faktor-faktor Pengaruh dalam Pemilihan Pasangan 1. Faktor Latar Belakang Keluarga

a. Status Sosioekonomi