commit to user
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak menjadi dewasa. Pada masa ini remaja bukan lagi seorang anak, namun belum dapat dikatakan dewasa.
Tugas perkembangan pada masa ini dipusatkan pada penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan untuk
menghadapi masa dewasa. Perkembangan yang dialami remaja ini menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat
baru. Seiring perkembangannya tersebut, remaja mengalami perubahan secara fisik, psikologis, maupun sosial. Dalam hal fisik remaja mengalami perubahan
pada tinggi badan, berat badan, proporsi tubuh, organ seks serta ciri-ciri sekunder, yang dipengaruhi oleh seks dan usia kematangan yang banyak menimbulkan
keprihatinan bagi remaja laki-laki maupun perempuan karena tidak semua remaja merasa puas dengan perubahan dan kondisi fisiknya Hurlock, 1993.
Secara psikologis remaja mengalami perubahan dalam keadaan emosinya dimana remaja mengalami badai
dan topan dalam kehidupan perasaan dan emosinya Mappiare, 1982. Pada masa ini ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar
yang mengakibatkan sebagian besar remaja mengalami perubahan kondisi emosi dari waktu ke waktu. Berkaitan dengan perubahan sosial, remaja cenderung
bergabung dan berinteraksi dengan kelompok sosialnya dengan melakukan
1
commit to user
2
penyesuaian baru terhadap pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, maupun dalam pengelompokkan sosial yang baru Hurlock, 1993. Dalam
pergaulan remaja baik dengan teman sebaya maupun anggota kelompok yang lainnya tersebut terjadi suatu komunikasi. Komunikasi merupakan hal penting
bagi remaja, hal itu sejalan dengan salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi salah satunya dapat memperluas hubungan antar pribadi dan
berkomunikasi secara lebih dewasa dengan teman sebaya, baik pria maupun wanita Soetjiningsih, 2007. Kendati komunikasi telah manjadi bagian dari
kehidupan sehari-hari, akan tetapi masih terdapat permasalahan atau hambatan yang timbul salah satunya adalah kecemasan ketika melakukukan komunikasi,
tidak terkecuali pada remaja yang berstatus pelajar Appolo, 2007. Kecemasan dalam komunikasi dikenal dengan berbagai istilah oleh para
ahli. Burgoon dan Ruffner 1977 menyebut masalah dalam komunikasi tersebut dengan dengan istilah communication apprehension yaitu istilah yang tepat untuk
menggambarkan reaksi negatif dalam bentuk kecemasan yang dialami seseorang dalam pengalaman komunikasinya, baik itu kecemasan berbicara di muka umum
maupun kecemasan komunikasi interpersonal. Daly dan McCroskey 1984 menjelaskan kecemasan komunikasi
interpersonal sebagai suatu ketakutan atau kecemasan dalam komunikasi baik sedang berlangsung atau akan berlangsung, yang terjadi antar individu atau
beberapa individu. Kecemasan komunikasi interpersonal ini terjadi karena kekhawatiran individu pada penilaian oranglain terhadap performancenya,
termasuk ketika berkomunikasi interpersonal. Sesuai dengan yang dikemukakan
commit to user
3
Naditch dan Morrisey dalam Jersild 1978, bahwa kecemasan yang dialami remaja muncul karena ketakutan atau keragu-raguan terhadap penilaian atau
evaluasi yang diberikan oleh oranglain pada dirinya. Remaja yang mengalami kecemasan ketika melakukan komunikasi
interpersonal, tidak berani untuk berbicara bahkan ketika tidak setuju dengan pendapat yang disampaikan orang lain. Keinginan untuk menyatakan
ketidaksetujuannya menjadi terhambat karena adanya ketakutan untuk menyampaikan pendapat Jersild, 1978. Remaja tersebut merasakan adanya
perubahan secara psikis dan fisiologis. Perubahan psikis yang dialami remaja yang cemas antara lain adanya perasaan sangat takut, tidak mampu memusatkan
pikiran serta merasa tidak tenang, sedangkan perubahan fisiologis yang terjadi antara lain unjung tangan dan kaki terasa dingin, keluar banyak keringat dan
denyut jantung cepat Daradjat, 1977. Kecemasan yang timbul pada saat melakukan komunikasi interpersonal
tersebut pada akhirnya juga menyebabkan remaja berusaha sekecil mungkin dalam berkomunikasi dan hanya berbicara apabila terdesak saja. Apabila
kemudian harus berkomunikasi, sering pembicaraannya tidak relevan, sebab pembicaraan yang relevan tentu akan mengundang reaksi orang lain dan akan
dituntut untuk berbicara lagi. Remaja akan lebih memilih untuk menghindari situasi komunikasi dan akibat lebih lanjut adalah remaja akan menarik diri dari
pergaulan sehingga keterlibatan remaja dalam berkomunikasi menjadi minim atau sedikit Daly dan McCroskey, 1984. Sebagaimana diketahui, padahal remaja
memiliki tugas perkembangan salah satunya mengembangkan interaksi dan
commit to user
4
komunikasi untuk meningkatkan kemampuan dalam berhubungan dengan orang lain. Hal ini untuk mengembangkan ketrampilan sosial yang lebih baik pada
remaja Soesilowindradini,1988.
Mencermati dampak
dari kecemasan
komunikasi interpersonal yang dialami remaja, membawa pemikiran bahwa kecemasan komunikasi interpersonal pada remaja merupakan masalah yang cukup
serius. Banyak penelitian terdahulu baik di Indonesia maupun di negara lain yang
berkaitan dengan kecemasan komunikasi interpersonal pada remaja, diantaranya penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sedikitnya
20 remaja mengalami kecemasan komunikasi yang sangat tinggi, dan 20 lainnya mengalami kecemasan komunikasi yang cukup tinggi Burgoon dan
Ruffner, 1977. Hasil penelitian lain juga dilakukan oleh Croskey, dkk dalam Rakhmat, 2001 menunjukkan bahwa 10-20 remaja di Amerika Serikat
mengalami kecemasan ketika berkomunikasi dengan individu lain. Kecemasan komunikasi interpersonal di Indonesia juga telah diteliti oleh
Rilin dalam Rakhmawati dan Safitri, 2007 menyatakan bahwa 26 dari 86 siswa kelas 2 SMU Muhammadiyah 1 Klaten mengalami kecemasan komunikasi
interpersonal yang tinggi. Data dari sahabat Remaja PKBI DIY juga menunjukkan bahwa pada tahun 1997, 19 remaja Yogyakarta meminta layanan
karena masalah yang berhubungan dengan komunikasi interpersonal Rakhmawati dan Febiyanti, 2007.
Beberapa hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kecemasan komunikasi interpersonal merupakan masalah yang cukup banyak terjadi pada
commit to user
5
kalangan remaja, baik di Indonesia maupun negara lain. Kecemasan komunikasi pada umumnya terjadi karena individu mengembangkan penilaian negatif
terhadap situasi komunikasi dan memperkirakan hasil yang negatif pula dalam komunikasinya De Vito, 1995. Remaja dimungkinkan tidak mudah mengalami
kecemasan komunikasi interpersonal, jika remaja mampu berpikir positif dan optimis, serta dapat bersikap tenang dalam berbagai situasi, termasuk situasi
komunikasi. Individu yang memiliki kemapuan tersebut, adalah individu yang memiliki kestabilan emosi.
Pernyataan tersebut didukung oleh pendapat Goleman dkk dalam Irma, 2003 yang mengungkapkan bahwa individu yang memiliki kestabilan emosi
mempunyai adaptabilitas, dalam arti luwes dalam menangani perubahan dan tantangan, mampu berfikir positif dalam segala hal, memiliki rasa harga diri yang
tinggi dan optimis. Senada dengan hal tersebut, Darmawan 2008 mengungkapkan kestabilan emosi sebagai kemampuan individu untuk dapat
mengendalikan dirinya sendiri dari berbagai situasi dan tidak bertindak emosional karena faktor dari luar dirinya. Costa dan McCrae dalam MacIntyre, dkk, 1999
menjelaskan bahwa individu dengan kestabilan emosi yang tinggi akan lebih tenang dan merasa aman. Dengan demikian remaja dengan yang memiliki
kestabilan emosi akan tidak mudah mengalami kecemasan dalam komunikasi interpersonal.
Kecemasan komunikasi interpersonal pada remaja juga diduga tidak terlepas dari penerimaan diri yang dimiliki remaja. Pernyataan tersebut sesuai
dengan pendapat McCroskey dalam Crawford dkk, 2006 bahwa kecemasan
commit to user
6
komunikasi interpersonal terkait dengan beberapa variabel, antara lain harga diri dan masalah penerimaan diri. Penerimaan diri merupakan suatu tingkatan
kesadaran mengenai karakteristik pribadi dan adanya keinginan untuk hidup dengan keadaan tersebut Hurlock, 1974. Menurut Hjelle dan Zeigler 1992
individu yang memiliki penerimaan diri dapat menerima dirinya dengan kelemahan dan keterbatasan yang ada, tidak terbebani oleh rasa bersalah, rasa
malu, dan kecemasan. Individu tersebut akan menyadari kelemahan yang dimilikinya itu dan mengetahui kesalahan yang dilakukan sehingga mampu
memperbaikinya, serta mampu belajar untuk hidup dengan oranglain. Individu yang memiliki penerimaan diri merasa sebagai seseorang yang
bisa diharapkan, namun tidak merasa dirinya sempurna, sebaliknya individu yang kurang memiliki penerimaan diri akan meragukan nilai atau harga dirinya dan
cenderung menghindari perhatian yang akan mengungkap kelemahannya. Individu tersebut cenderung menghindar dari perkumpulan, merasa inferior, tidak
pernah belajar hidup dengan keadaan dirinya dan merasa kekurangan, kurang tekun, terlalu banyak terjadi konflik dan kecemasan Cronbach 1954.
Berdasarkan uraian diatas dapat dipaparkan bahwa dimungkinkan terdapat keterkaitan antara kestabilan emosi dan penerimaan diri dengan kecemasan
komunikasi interpersonal pada remaja. Remaja dengan kestabilan emosi akan mampu mengendalikan emosi dengan tepat dan bersikap tenang dalam berbagai
situasi. Selanjutnya, dengan penerimaan diri remaja dapat menyadari kelemahan dan kelebihan yang dimiliki, tidak terbebani oleh rasa bersalah, rasa malu, dan
kecemasan. Remaja yang mampu mengendalikan emosi dengan tepat dan mampu
commit to user
7
bersikap tenang, serta tidak terbebani rasa malu dan kecemasan, dimungkinkan tidak akan mudah mengalami kecemasan komunikasi interpersonal.
Untuk mengkaji lebih lanjut permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan mengambil judul
Kestabilan Emosi dan Penerimaan Diri dengan Kecemasan Komunikasi
B. Perumusan Masalah