Kajian Teori
1) Peranan Panti Asuhan dalam Pendidikan Karakter Anak
Megawangi (2003) menjelaskan karakter, seperti juga kualitas diri yang lainnya, tidak berkembang dengan sendirinya. Perkembangan karakter pada setiap individu dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature) dan faktor sosialisasi dan lingkungan (nurture) (Masnur Muslich, 2011: 94). Menurut para ahli psikologi perkembangan setiap manusia memiliki potensi bawaan yang akan termanifestasi setelah dia dilahirkan, termasuk potensi yang terkait dengan karakter atau nilai-nilai kebajikan.
Terkait dengan itu, Confusius (seorang filsuf terkenal Cina) menyatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi mencintai kebajikan, namun bila potensi ini tidak diikuti dengan pendidikan dan sosialisasi setelah manusia dilahirkan, maka manusia dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi (Masnur Muslich, 2011: 95). Oleh karena itu sosialisasi dan pendidikan anak yang berkaitan dengan nilai-nilai kebajikan, baik di keluarga, sekolah, maupun lingkungan yang lebih luas, sangat penting dalam pembentukan karakter seorang anak.
Menurut Thomas Lickona menyatakan bahwa pendidikan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Erikson, yang terkenal dengan teori Psychososial Development -nya, juga menyatakan hal yang sama. Dalam hal ini Erikson menyebutkan bahwa anak adalah gambaran awal manusia menjadi manusia, yaitu masa di mana kebajikan berkembang secara Menurut Thomas Lickona menyatakan bahwa pendidikan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Erikson, yang terkenal dengan teori Psychososial Development -nya, juga menyatakan hal yang sama. Dalam hal ini Erikson menyebutkan bahwa anak adalah gambaran awal manusia menjadi manusia, yaitu masa di mana kebajikan berkembang secara
Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan kualitas moral dan mental seseorang yang pembentukannya dipengaruhi oleh faktor bawaan (fitrah, nature) dan lingkungan (sosialisasi atau pendidikan, nurture). Potensi karakter yang baik dimiliki manusia sebelum dilahirkan, tetapi potensi tersebut harus terus-menerus dibina melalui sosialisasi dan pendidikan sejak usia dini. Tentu saja kebiasaan baik atau buruk pada diri seseorang, yang mengindikasikan kualitas karakter ini, tidak terjadi dengan sendirinya. Telah disebutkan bahwa selain faktor nature, faktor nurture juga berpengaruh. Dengan kata lain, proses sosialisasi atau pendidikan yang dilakukan oleh keluarga, sekolah, lingkungan yang lebih luas memegang peranan penting, bahkan mungkin lebih penting dalam pembentukan karakter seseorang.
2) Sosialisasi Pengembangan Kepribadian
Dalam
pengertiannya, sosialisasi berhubungan dengan kepribadian. Berbicara mengenai hal ini, menggunakan istilah kepribadian untuk menjelaskan susunan khas dari sikap, karakteristik, dan perilaku. Horton memberikan pandangan bahwa seseorang belajar interaksi sosial melalui interaksi dengan orang lain. Kebanyakan orang berpandangan bahwa, kita menilai orang secara pengamatan tetapi juga lewat kesan- kesan. Cooley menggunakan kata looking-glass self yang menekankan bahwa kita melihat orang lain dengan berkaca pada diri kita. Cooley mengemukakan proses pengembangan identitas diri atau konsep diri memiliki tiga penekanan yaitu:
Pertama, kita membayangkan bagaimana kita di mata orang lain, pada keluarga, teman, dan orang lain. Kemudian, kita membayangkan bagaimana orang lain menilai kita (menarik, Pertama, kita membayangkan bagaimana kita di mata orang lain, pada keluarga, teman, dan orang lain. Kemudian, kita membayangkan bagaimana orang lain menilai kita (menarik,
Pandangan Cooley “looking glass self” adalah sebuah hasil dari imajinasi seseorang atas pandangan terhadap orang lain. Sebagai hasilnya,
kita dapat mengembangkan identitas diri berdasarkan penilaian orang lain yang yang tidak benar atas diri kita. Kemudian identitas diri merupakan subjek untuk mengubah pandangan di atas.
Goerge Herbert Mead melanjutkan eksplorasi Cooley dari teori interaksi. Mead berpendapat bahwa sosialisasi yang di lalui seseorang dapat di bedakan melalui tahap-tahap, diantaranya: preparatory stages, play stage , dan game stage.
(a) Tahap Persiapan (Preparatory stage)
Selama tahap preparatory stage, anak selalu meniru perilaku orang yang berada di sekitarnya, terutama anggota keluarganya dengan siapa mereka terus-menerus berinteraksi. Lama kelamaan anak akan berkembang menjadi dewasa, anak menjadi pintar menggunakan simbol untuk berkomunikasi dengan orang lain. Simbol dapat terdiri dari gerak tubuh, isyarat, benda, dan kata-kata yang digunakan untuk berkomunikasi. Seperti berbicara dengan menggunakan bahasa, mengubah simbol dari kebudayaan satu ke kebudayaan lain, dan dari satu sub kebudayaan ke sub kebudayaan yang lain.
(b) Tahap Meniru (The Play Stage)
Mead diantara satu hubungan analisa dari simbol untuk sosialisasi. Sebagai anak mengembangkan keterampilan berkomunikasi dengan menggunakan simbol, mereka secara berangsur-angsur menjadi tahu tentang hubungan sosial. Sebagai hasilnya, selama tahap play stage, mereka mulai menganggap orang lain. Mead, dalam kenyataannya,
Peranan merupakan proses dari perumpamaan mental dari perspektif yang lain.
(c) Tahap Siap Bertindak (Game Stage)
Tahap ketiga adalah game stage, anak dari usia 8 atau 9 tahun sampai dewasa memainkan peran tapi mulai untuk mempertimbangkan beberapa tugas-tugas dan hubungannya secara bersama. Pada titik perkembangan ini, anak tidak hanya memegang kedudukan mereka sendiri tetapi juga orang lain disekitarnya. Kemampuannya menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama dengan teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubungannya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku di luar keluarganya.
Menurut pendapat Mead, diri mulai mempunyai hak-hak yang sama dalam kedudukannya di dunia ini. Anak memfokuskan pada diri mereka sendiri pada segala sesuatu di sekitarnya dan menemukan kesulitan untuk mempertimbangkan pandangan orang lain.
Goffman berpendapat bahwa seseorang belajar untuk memberikan pandangan dari diri mereka sendiri dalam memberikan perintah untuk menciptakan sesuatu yang khusus dan memuaskan penonton. Goffman menunjuk untuk mengubah pemberian dari diri sebagai kesan-kesan. Goffman membuat banyak penjelasan dan memasukkannya dalam suatu Goffman berpendapat bahwa seseorang belajar untuk memberikan pandangan dari diri mereka sendiri dalam memberikan perintah untuk menciptakan sesuatu yang khusus dan memuaskan penonton. Goffman menunjuk untuk mengubah pemberian dari diri sebagai kesan-kesan. Goffman membuat banyak penjelasan dan memasukkannya dalam suatu
Pertama, tahap sensorimotor, anak kecil menggunakan pikirannya untuk membuat penemuan. Kedua, tahap preoperational, anak mulai menggunakan kata-kata dan simbol untuk membedakan benda dan pikiran/gagasan. Ketiga, tahap concrete operational, pada tahap ini lebih lanjut anak menggunakan pikiran dan logikanya. Terakhir adalah tahap formal operational, anak muda menjadi cakap dan mampu mengabstraksikan pikiran mereka, dan dapat menyimpulkan dengan pikiran dan menilai dalam menggunakan logikanya (Richard T. Shaefer, 2005: 85)
Piaget menjelaskan bahwa perkembangan moral menjadi bagian penting dalam sosialisasi anak mengembangkan kemampuan untuk berpikir lebih ringkas. Menurut Jean Piaget, interaksi sosial adalah kunci utama dalam perkembangan. Sebagai anak yang tumbuh menjadi dewasa, mereka meningkatkan perhatiannya bagaimana orang lain berpikir dan mengapa mereka kebiasaan dalam berperilaku. Dalam mengembangkan kepribadian, setiap orang membutuhkan peluang untuk berinteraksi dengan orang lain.
Abu Ahmadi menjelaskan salah satu masalah yang menjadi pusat penelitian dan pengembangan Sosiologi pendidikan ialah proses sosialisasi anak (1991). Ahli-ahli Sosiologi pendidikan yang berpendapat bahwa proses sosialisasi merupakan satu-satunya obyek penelitian Sosiologi Pendidikan. Proses sosialisasi adalah proses belajar meskipun sosialisasi kerap kali di sama artikan dengan proses belajar, tetapi beberapa ahli mengartikan sebagai proses belajar yang bersifat khusus. Anak mempelajari kebiasaan sikap, ide-ide, pola-pola nilai dan tingkah Abu Ahmadi menjelaskan salah satu masalah yang menjadi pusat penelitian dan pengembangan Sosiologi pendidikan ialah proses sosialisasi anak (1991). Ahli-ahli Sosiologi pendidikan yang berpendapat bahwa proses sosialisasi merupakan satu-satunya obyek penelitian Sosiologi Pendidikan. Proses sosialisasi adalah proses belajar meskipun sosialisasi kerap kali di sama artikan dengan proses belajar, tetapi beberapa ahli mengartikan sebagai proses belajar yang bersifat khusus. Anak mempelajari kebiasaan sikap, ide-ide, pola-pola nilai dan tingkah
(a) Keluarga dan Sosialisasi
Keluarga terdiri dari ayah, ibu, serta anak-anak yang berkumpul dalam satu rumah tangga. Abu Ahmadi menyatakan bah wa “keluarga ialah kelompok sosial yang terdiri dari dua orang atau lebih yang
mempunyai ikatan darah, perkawinan, atau adopsi” (1991: 166). Keluarga merupakan tempat sosialisasi yang utama dan pertama karena keluarga merupakan kelompok kecil yang anggotanya berinteraksi face to face secara tetap. Keadaan seperti ini menyebabkan perkembangan anak dapat diikuti dengan seksama oleh orang tuanya dan penyesuaian secara pribadi anak dalam hubungan sosial keluarga lebih mudah. Orang tua pun mempunyai motivasi yang kuat untuk mendidik anak karena anak merupakan buah cinta kasih hubungan suami-istri. Motivasi yang kuat ini melahirkan hubungan emosional antara orang tua dengan anak sehingga orang tua memiliki peranan penting terhadap proses sosialisasi anak di dalam keluarga. Peran ibu dan ayah tidak hanya itu saja, ayah pun berperan sebagai kepala rumah tangga yang memiliki tanggung jawab yang sangat besar dalam memimpin keluarga sedangkan ibu berperan sebagai ibu rumah tangga yang memiliki tugas mengurusi segala kebutuhan rumah tangga mulai dari memasak, menyuci, menyapu sampai mengasuh anak. Anak dalam keluarga merupakan agen yang di didik melalui kebiasaan-kebiasaan mempunyai ikatan darah, perkawinan, atau adopsi” (1991: 166). Keluarga merupakan tempat sosialisasi yang utama dan pertama karena keluarga merupakan kelompok kecil yang anggotanya berinteraksi face to face secara tetap. Keadaan seperti ini menyebabkan perkembangan anak dapat diikuti dengan seksama oleh orang tuanya dan penyesuaian secara pribadi anak dalam hubungan sosial keluarga lebih mudah. Orang tua pun mempunyai motivasi yang kuat untuk mendidik anak karena anak merupakan buah cinta kasih hubungan suami-istri. Motivasi yang kuat ini melahirkan hubungan emosional antara orang tua dengan anak sehingga orang tua memiliki peranan penting terhadap proses sosialisasi anak di dalam keluarga. Peran ibu dan ayah tidak hanya itu saja, ayah pun berperan sebagai kepala rumah tangga yang memiliki tanggung jawab yang sangat besar dalam memimpin keluarga sedangkan ibu berperan sebagai ibu rumah tangga yang memiliki tugas mengurusi segala kebutuhan rumah tangga mulai dari memasak, menyuci, menyapu sampai mengasuh anak. Anak dalam keluarga merupakan agen yang di didik melalui kebiasaan-kebiasaan
(b) Sekolah dan Sosialisasi
Sekolah memiliki peranan tidak kalah penting dalam proses sosialisai anak karena sekolah memiliki fungsi memberantas kebodohan serta memberikan pendidikan. Gillin dan Gillin berpendapat bahwa fungsi pendidikan sekolah ialah penyesuaian diri anak dan stabilitasi masyarakat. David Popenoe mengemukakan pendapat yang lebih terperinci mengenai fungsi pendidikan sekolah. Menurutnya ada empat fungsi pendidikan antara lain transmisi kebudayaan masyarakat, menolong individu memilih dan melakukan peranan sosialnnya, menjamin integrasi sosial, dan sebagai sumber inovasi sosial.
(c) Masyarakat dan Sosialisasi
Sosialisasi di keluarga dan di sekolah sudah dilalui anak, kemudian anak akan memasuki proses sosialisasi di masyarakat. Dalam masyarakat anak akan mempelajari kebudayaan-kebudayaan yang berkembang di dalam masyarakat. Proses sosialisasi di masyarakat mengalami perubahan, dahulu anak akan belajar norma-norma yang baik di lakukan. Namun seiring dengan perkembangan zaman perubahan pun terjadi. Lingkungan sekarang sudah tidak begitu kondusif sebagai agen sosialisasi anak karena lingkungan justru mengajarkan hal-hal buruk pada anak.
3) Pola Asuh Pendidikan Karakter
Panti asuhan sebagai lembaga pengganti keluarga bagi anak yatim piatu dan anak terlantar harus melaksanakan fungsinya dengan baik dalam pembentukan karakter anak asuh. Keberhasilan panti asuhan dalam menanamkan nilai-nilai kebajikan (karakter) pada anak asuh sangat
Pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dengan pengasuh yang berperan sebagai orangtua yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum, dan lain-lain) dan pemenuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang, dan lain-lain), serta sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya. Dengan kata lain, pola asuh juga meliputi pola interaksi pengasuh sebagai orangtua dengan anak asuh dalam rangka pendidikan karakter anak.
Hurlock, juga Hardy & Heyes mengemukakan jenis-jenis pola asuh, yaitu sebagai berikut: (1) Pola asuh otoriter, (2) Pola asuh demokratis, dan (3) Pola asuh
permisif. Pola asuh otoriter mempunyai ciri orangtua membuat semua keputusan, anak harus tunduk, patuh, dan tidak boleh bertanya. Pola asuh demokratis mempunyai ciri orangtua mendorong anak untuk membicarakan apa yang ia inginkan. Pola asuh permisif mempunyai ciri orangtua memberikan kebebasan penuh kepada anak untuk berbuat (Masnur Muslich, 2011: 100).
Melalui pola asuh yang dilakukan, anak belajar tentang banyak hal, termasuk karakter. Tentu saja pola asuh otoriter (yang cenderung menuntut anak untuk patuh terhadap segala keputusan orangtua) dan pola asuh permisif (yang cenderung memberikan kebebasan penuh kepada anak untuk berbuat) sangat berbeda dampaknya dengan pola asuh demokratis (yang cenderung mendorong anak untuk terbuka, namun bertanggung jawab dan mandiri) terhadap hasil pendidikan karakter anak.
4) Tujuan Pendidikan Karakter
Memang tidak dapat diingkari bahwa sudah sangat mendesak pendidikan karakter diterapkan di dalam lembaga pendidikan kita. Alasan- alasan kemerosotan moral, dekadensi moral dan kemanusiaan yang terjadi Memang tidak dapat diingkari bahwa sudah sangat mendesak pendidikan karakter diterapkan di dalam lembaga pendidikan kita. Alasan- alasan kemerosotan moral, dekadensi moral dan kemanusiaan yang terjadi
Manusia secara natural memang memiliki potensi di dalam dirinya untuk bertumbuh dan berkembang mengatasi keterbatasan dirinya dan keterbatasan budayanya. Di lain pihak manusia juga tidak dapat abai terhadap lingkungan sekitar dirinya. Tujuan pendidikan karakter semestinya diletakkan dalam kerangka gerak dinamis dialektis, berupa tanggapan individu atas impuls natural (fisik dan psikis), sosial, kultural yang melingkupinya, untuk dapat menempa diri menjadi sempurna sehingga potensi-potensi yang ada di dalam dirinya berkembang secara penuh yang membuatnya semakin menjadi manusiawi. Semakin menjadi manusiawi berarti ia juga semakin menjadi makhluk yang mampu berelasi secara sehat dengan lingkungan di luar dirinya tanpa kehilangan otonomi dan kebebasannya sehingga ia menjadi manusia yang bertanggung jawab.
Menurut Doni Koesoema dengan menempatkan pendidikan karakter dalam kerangka dinamika dan dialektis proses pembentukan individu, para insan pendidik, seperti, guru, orangtua, staf sekolah, masyarakat dan lain-lain, diharapkan semakin dapat menyadari pentingnya pendidikan karakter sebagai sarana pembentuk pedoman perilaku, pengayaan nilai individu dengan cara menyediakan ruang bagi figur keteladanan bagi anak didik dan menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif bagi proses pertumbuhan berupa, kenyamanan, keamanan yang membantu suasana pengembangan diri satu sama lain dalam keseluruhan dimensinya (teknis, intektual, psikologis, moral, sosial, estetis, dan religius) (2003).
Pendidikan karakter lebih mengutamakan pertumbuhan moral individu yang ada dalam lembaga pendidikan. Untuk ini, dua paradigma
dipisahkan. Penanaman nilai dalam diri siswa, dan pembaruan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai kebebasan individu merupakan dua wajah pendidikan karakter dalam lembaga pendidikan. T. Ramli mengemukakan bahwa pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak (2003). Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
c. Karakter Berhubungan dengan Kepribadian
Hurlock (1974) dalam bukunya, Personality Development, secara tidak langsung mengungkapkan bahwa karakter terdapat pada kepribadian. Karakter mengimplikasikan sebuah standar moral dan melibatkan sebuah pertimbangan nilai. Seperti yang telah dikatakan diatas bahwa karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Koesoema A (2007) menyatakan bahwa karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap
sebagai “ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan,
misalnya keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir ” (Masnur Muslich, 2011: 70). Untuk membentuk karakter anak di perlukan syarat-syarat mendasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik. Kepribadian misalnya keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir ” (Masnur Muslich, 2011: 70). Untuk membentuk karakter anak di perlukan syarat-syarat mendasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik. Kepribadian
1) Perubahan Karakter
Ada banyak faktor yang memperngaruhi perkembangan kepribadian atau karakter manusia. Secara umum, faktor-faktor tersebut di bagi menjadi dua bagian besar. Faktor yang pertama adalah faktor internal atau bawaan, faktor kedua adalah faktor eksternal atau lingkungan. Faktor internal meliputi faktor keturunan. Faktor bawaan atau keturunan merujuk pada faktor genetis seorang individu. Tinggi fisik, bentuk wajah, gender, temperamen, adalah karakteristik yang pada umumnya dianggap bawaan sejak lahir yang diturunkan dari gen temperamen dari orang tuanya atau dengan kata lain secara biologis, psikologis, dan psikologis bawaan dari individu. Faktor keturunan memiliki peranan penting dalam menentukan kepribadian dan karakter seseorang. Dasar pertama berfokus pada penyokong genetis dari perilaku dan temperamen pada anak-anak. Selain faktor keturunan, faktor diri sendiri sendiri juga dapat mempengaruhi perubahan karakter dan kepribadian pada seseorang. Seperti misalnya, tekanan emosional (frustasi yang berkepanjangan), dan identifikasi atau imitasi terhadap orang lain yang berkepribadian menyimpang.
Faktor kedua adalah faktor eksternal meliputi faktor lingkungan yang memberikan pengaruh cukup besar terhadap pembentukan karakter seseorang. Lingkungan adalah tempat dimana seseorang tumbuh dan dibesarkan, norma dalam keluarga, teman, dan kelompok sosial, dan pengaruh-pengaruh lain yang dapat mempengaruhinya akan berperan dalam membentuk kepribadian seseorang. Dari beberapa pengaruh Faktor kedua adalah faktor eksternal meliputi faktor lingkungan yang memberikan pengaruh cukup besar terhadap pembentukan karakter seseorang. Lingkungan adalah tempat dimana seseorang tumbuh dan dibesarkan, norma dalam keluarga, teman, dan kelompok sosial, dan pengaruh-pengaruh lain yang dapat mempengaruhinya akan berperan dalam membentuk kepribadian seseorang. Dari beberapa pengaruh
Faktor pengaruh karakter atau kepribadian yang lain selain faktor- faktor tersebut diatas adalah faktor agama dan budaya. Dalam menerima budaya anak mengalami tekanan untuk mengembangkan karakter dan kepribadian yang sesuai dengan standar yang ditentukan budayanya. Agama juga berperan penting dalam pembentukan karakter seseorang. Karena agama dapat membimbing seseorang untuk berperilaku baik dengan menaati kaidah dan aturan yang berlaku dalam agama tersebut.
d. Tinjauan Mengenai Panti Asuhan
Depsos RI mengemukakan pengertian panti asuhan yaitu: Panti asuhan adalah suatu lembaga usaha kesejahteraan sosial yang
mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada anak terlantar serta melaksanakan pelayanan pengganti atau perwalian anak dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental, sosial pada anak asuh sehingga memperolah kesempatan yang luas yang diharapkan sebagai bagian dari generasi penerus cita- cita bangsa dan sebagai insan yang akan turut serta aktif dalam bidang pembangunan nasional (Depsos RI, 1986: 3).
Sedangkan Badan Pembinaan Koordinasi dan Pengawasan Kegiatan (BPKPK) memberi batasan mengenai Panti Asuhan, yaitu:
Panti asuhan dapat di artikan sebagai suatu lembaga untuk mengasuh anak-anak, menjaga dan memberikan bimbingan dari pimpinan kepada anak dengan tujuan agar mereka menjadi manusia dewasa yang cakap dan berguna serta bertanggung jawab atas dirinya dan masyarakat
Berdasarkan penjelasan diatas, panti asuhan berfungsi sebagai pengganti keluarga dan pimpinan panti asuhan sebagai pengganti orangtua, sehubungan dengan orangtua anak tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya dalam mendidik dan mengasuh anaknya. Dari definisi di atas dapat di simpulkan bahwa panti asuhan berfungsi sebagai lembaga alternatif keluarga yang berupaya mewujudkan kesejahteraan anak sehingga mereka dapat hidup di tengah masyarakat secara layak dan dapat berperan serta dalam pembangunan.
Menurut Departemen Sosial RI, pengasuhan anak melihat hal-hal berikut ini:
1. Pengasuhan anak ditujukan kepada anak yang orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anaknya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial.
2. Pengasuhan anak tersebut dilakukan oleh lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu.
3. Jika lembaga tersebut berlandaskan agama, anak yang di asuh harus yang seagama dengan agama yang menjadi landasan lembaga yang bersangkutan.
4. Jika pengasuhan anak dilakukan oleh lembaga yang tidak berlandaskan agama, maka pelaksanaan pengasuhan anak harus memperhatikan agama yang di anut anak yang bersangkutan.
5. Pengasuhan anak oleh lembaga dapat dilakukan di dalam atau di luar panti sosial.
6. Perseorangan yang ingin berpartisipasi dapat melalui lembaga- lembaga tersebut.
7. Pengasuhan anak dilaksanakan tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan atau mental.
8. Penyelenggaraan pengasuhan anak dilaksanakan melalui kegiatan bimbingan, pemeliharaan perawatan, dan pendidikan secara berkesinambungan, serta dengan memberikan bantuan biaya dan atau fasilitas yang lain, untuk menjamin tumbuh kembang anak secara optimal, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial tanpa mempengaruhi agama yang di anut anak.
anak terlantar dengan cara membantu dan membimbing mereka ke arah perkembangan pribadi yang wajar serta kemampuan keterampilan kerja, sehingga mereka menjadi anggota masyarakat yang dapat hidup layak dan penuh tanggung jawab baik terhadap dirinya sendiri, keluarga, maupun masyarakat. Pelaksanaan pembimbingan di panti asuhan berada dalam satu koordinasi seorang pemimpin. Pemimpin menentukan langkah-langkah yang harus di ambil dalam angka mencapai tujuan panti asuhan itu sendiri. Seorang pemimpin harus dapat memotivasi setiap anggota yang di pimpinnya agar memiliki jiwa kepemimpinan pula, sebab para anggota tersebut juga memimpin setiap anak asuh yang di bimbingnya. Seperti di ungkapkan Ki Hajar Dewantoro tentang ajaran- ajaran kepemimpinan, “Ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” (Soerjono Soekanto, 2002: 289). Filosofi tersebut memiliki makna bahwa seorang pemimpin harus dapat memberi teladan, membangun semangat dan memberi pengaruh pada para anggota yang di pimpinnya.
Pada umumnya di panti asuhan keteladanan berlaku bagi semua yang ada di panti tersebut, baik bagi pemimpin maupun setiap pengasuh. Keteladanan sangat di perlukan sebab mereka menjadi panutan bagi setiap anak asuh. Keteladanan pimpinan dan pengasuh panti asuhan di harapkan dapat memotivasi setiap anak asuh untuk selalu mengikuti sikap dan tindakan mereka. Karena pada dasarnya merekalah yang menjadi kunci penggerak bagi keberhasilan panti asuhan dalam menegakkan peraturan dan pelaksanaan program yang terdapat di panti asuhan.
Panti asuhan baik yang di selenggarakan oleh negara maupun yayasan di maksudkan sebagai tempat bernaung bagi anak-anak terlantar yang dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami berbagai macam gangguan sosial, baik bersifat intrinsik, yaitu berasal dari anak itu sendiri, seperti: cacat Panti asuhan baik yang di selenggarakan oleh negara maupun yayasan di maksudkan sebagai tempat bernaung bagi anak-anak terlantar yang dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami berbagai macam gangguan sosial, baik bersifat intrinsik, yaitu berasal dari anak itu sendiri, seperti: cacat
Pada umumnya anak-anak yang tinggal di panti asuhan adalah:
1) Anak yatim, piatu, dan yatim piatu terlantar.
2) Anak terlantar dari keluarga yang mengalami perpecahan, sehingga tidak memungkinkan anak dapat berkembang secara wajar baik jasmani, rohani, maupun sosial.
a) Keluarga retak, sehingga tidak ada hubungan sosial yang harmonis.
b) Salah satu orangtua atau kedua-duanya sakit kronis, terpidana dan
lain-lain.
3) Anak terlantar yang keluarganya dalam waktu relatif lama tidak mampu melaksanakan fungsi dan peranan sosialnya secara wajar. Adapun penyebab keterlantaran pada anak antara lain:
a) Orangtua meninggal dan atau tidak ada sanak saudara yang
merawatnya sehingga menjadi anak yatim piatu.
b) Orangtua tidak mampu atau sangat miskin sehingga tidak dapat
memenuhi kebutuhan minimal anak-anaknya.
c) Orangtua tidak dapat atau tidak sanggup melaksanakan fungsinya dengan baik atau wajar dalam waktu yang relatif lama, misalnya menderita penyakit kronis.