Latar Belakang Hubungan Pola Konsumsi Makanan dan Konsumsi Susu dengan Tinggi Badan Anak Usia 6-12 Tahun di SDN 173538 Balige

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Titik berat dari pembangunan Bangsa Indonesia adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia SDM ke arah peningkatan kecerdasan dan produktivitas kerja. Salah satu upaya yang mempunyai dampak terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah peningkatan status gizi masyarakat Depkes RI, 1993. Kelompok anak usia sekolah merupakan kelompok yang tidak dapat diabaikan dalam pembangunan nasional karena anak usia sekolah, khususnya anak sekolah dasar adalah sumber daya pembangunan. Sumber daya manusia yang memiliki kualitas fisik, intelektual, dan keterampilan yang baik menentukan keberhasilan Bangsa Indonesia dalam mewujudkan sebagai bangsa yang mandiri. Anak usia sekolah adalah investasi bangsa karena anak usia tersebut merupakan generasi penerus bangsa. Tumbuh kembang anak usia sekolah yang optimal tergantung pemberian nutrisi dengan kualitas dan kuantitas yang baik dan benar. Dalam masa tumbuh kembang tersebut pemberian nutrisi atau asupan gizi pada anak tidak selalu dapat dilaksanakan dengan baik. Pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan akan mengakibatkan gangguan pada organ dan sistem tubuh anak Judarwanto, 2012. Gizi menjadi penting bagi anak sekolah karena selain dapat meningkatkan kecerdasan anak juga dapat menunjang pertumbuhan secara fisik dan mental. Guna mendukung keadaan tersebut anak sekolah memerlukan kondisi tubuh yang optimal diperoleh dari konsumsi makanan yang bergizi dan seimbang. Universitas Sumatera Utara Kenyataan yang terjadi saat ini, tidak sedikit dari anak Indonesia justru memiliki pertumbuhan fisik yang tidak optimal. Berbagai penelitian yang pernah dilakukan terhadap anak-anak sekolah baik di kota maupun pedesaan di Indonesia diketahui bahwa tinggi badan rata-rata anak sekolah dasar berada di bawah ukuran normal. Hasil South East Asia Nutrition Survey SEANUTS tahun 2013 menunjukkan anak Indonesia masih terancam sangat pendek stunting dan kekurangan vitamin D. Anak laki-laki lebih banyak mengalami tubuh pendek dibanding anak perempuan dengan perbedaan sekitar 2,2. Pada anak usia 5-12 tahun, stunting juga lebih banyak dialami anak laki-laki dibandingkan anak perempuan dengan perbedaan sekitar 1 Fadjar, 2013. Berdasarkan Riskesdas 2013, prevalensi anak usia 5-12 tahun yang memiliki tubuh pendek adalah 30,7 12,3 sangat pendek dan 18,4 pendek. Bila dibandingkan dengan prevalensi sangat pendek tahun 2010 mengalami penurunan dari 18,5 menjadi 12,3, namun prevalensi pendek justru mengalami peningkatan dari 17,1 menjadi 18,4. Masih terdapat sebanyak 15 provinsi dengan prevalensi kependekan di atas prevalensi nasional, salah satunya ialah Sumatera Utara. Pertumbuhan anak akan dipengaruhi oleh intake masukan zat gizi yang dikonsumsi dalam bentuk makanan. Pertumbuhan fisik sering dijadikan indikator untuk mengukur status gizi. Kecukupan gizi merupakan salah satu faktor terpenting dalam membantu pertumbuhan fisik anak. Hal ini sangat dipengaruhi oleh masukan zat gizi dari makanan yang dimakan setiap harinya, yaitu menu makanan seimbang yang terdiri atas makanan pokok nasi, roti, umbi–umbian, dan jagung, lauk sumber hewani dan nabati, sayur, buah dan ditambah susu Sjahmien, 2003. Universitas Sumatera Utara Pola makan yang baik akan membantu terpenuhinya asupan gizi seimbang bagi anak. Hal itu dapat terjadi bila asupan makanan yang dikonsumsi memiliki gizi yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan tubuh anak. Makanan yang dibutuhkan anak usia sekolah hendaknya memiliki sumber energi yang berasal dari karbohidrat, protein, dan lemak. Selain itu zat gizi mikro seperti mineral dan vitamin juga diperlukan tubuh. Pola makan yang baik diharapkan dapat menyumbangkan kecukupan energi, protein, dan mineral seperti kalsium. Ketiga zat gizi tersebut dapat membantu proses pertumbuhan badan anak. Apabila tubuh kekurangan zat gizi, khususnya energi dan protein, pada tahap awal akan meyebabkan rasa lapar dan dalam jangka waktu tertentu berat badan akan menurun yang disertai dengan menurunnya produktivitas kerja. Kekurangan zat gizi yang berlanjut akan menyebabkan status gizi kurang. Apabila tidak ada perbaikan konsumsi energi dan protein yang mencukupi, pada akhirnya tubuh akan mudah terserang penyakit infeksi Hardinsyah dan Martianto, 1992. Maka hal ini dapat mempengaruhi proses pertumbuhan tinggi badan anak sehingga anak memiliki tubuh yang cenderung pendek. Asupan zat gizi tidak hanya diperoleh dari makanan pokok saja, melainkan juga ditambah dengan asupan pangan lainnya yang bernilai zat gizi tinggi seperti susu. Susu adalah bahan pangan yang dikenal kaya akan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh manusia. Susu merupakan salah satu sumber zat gizi yang paling lengkap dan diperlukan oleh semua kelompok umur, terutama balita, anak-anak, dan remaja. Susu memiliki manfaat dalam proses pertumbuhan anak. Salah satu manfaat susu bagi pertumbuhan anak ialah untuk pertumbuhan tulang dan menjaga tulang Universitas Sumatera Utara tetap padat. Susu salah satu sumber protein terbaik bagi anak. Kalsium yang terdapat dalam susu selain untuk pertumbuhan tulang juga membantu dalam pertumbuhan gigi anak. Susu mempunyai peranan penting untuk mencegah osteoporosis keropos tulang. Susu adalah sumber kalsium dan fosfor yang sangat penting untuk pembentukan tulang. Tulang manusia mengalami pembentukan dan peluruhan secara berkesinambungan. Pada saat usia muda khususnya anak-anak, pembentukan tulang berlangsung lebih cepat dibandingkan peluruhannya. Sementara pada usia tua peluruhannya berlangsung lebih cepat dibandingkan pembentukannya. Itulah sebabnya pada usia tua terjadi apa yang disebut gradual lose of bone proses kehilangan masa tulang Roberts, 2000. Susu tidak hanya bermanfaat untuk pertumbuhan tulang, melainkan beberapa penelitian menyebutkan bahwa susu berperan dalam pertumbuhan tinggi badan. Penelitian dengan studi prospektif yang dilakukan oleh Okada, et al 2004 mengenai “Effect of cow milk consumption on longitudinal height gain in children”, menjelaskan bahwa ada pengaruh positif antara mengkonsumsi susu sapi dengan jumlah yang banyak dengan tinggi badan anak. Beberapa studi juga menyebutkan adanya hubungan antara konsumsi susu dengan tinggi badan. Pada tahun 1984, Takahashi melaporkan bahwa terjadi peningkatan tinggi anak-anak di Jepang pada tahun 1950-an. Hal ini karena pada waktu sebelumnya diharuskan konsumsi susu pada anak-anak. Selain itu Black, dkk 2002 dalam studinya menyebutkan bahwa anak-anak pada usia pra-pubertas yang Universitas Sumatera Utara pada masa lampau tidak mengkonsumsi susu ditemukan memiliki tubuh yang cenderung pendek. Penelitian yang dilakukan oleh Hardinsyah, dkk 2008 mengenai hubungan konsumsi susu dan kalsium dengan densitas tulang dan tinggi badan remaja menghasilkan hubungan yang positif antara tinggi badan dan konsumsi susu. Penelitian yang dilakukan pada siswa SMA di Bogor ini menunjukkan bahwa tinggi badan siswa memiliki hubungan positif dengan frekuensi minum susu dan tinggi badan siswa juga memiliki hubungan positif dengan jumlah ml susu yang dikonsumsi. Konsumsi susu orang Indonesia masih sangat rendah. Saat ini konsumsi susu di Indonesia hanya 12 literkapita per tahun atau kurang lebih hanya lima tetes sehari. Indonesia masih kalah dari Vietnam yang rata-rata angka konsumsi susunya sudah mencapai 13 ltrkapita per tahun, serta jauh di bawah Malaysia yang telah mencapai 36 liter per kapita per tahun. Oleh karena itu, Indonesia merupakan negara yang angka konsumsi susunya terendah di ASEAN. Kuswan, 2014 dalam Surat Kabar Priangan Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat konsumsi susu di Indonesia. Faktor-faktor tersebut antara lain pola pikir masyarakat, masih rendahnya produk susu nasional, rendahnya daya beli, budaya minum susu di masyarakat masih kurang, dan kurangnya pemahaman masyarakat akan manfaat susu. Rendahnya konsumsi susu di Indonesia dapat berdampak juga pertumbuhan tinggi badan anak. Konsumsi makanan dan susu berperan penting dalam pertumbuhan tinggi badan anak karena memberikan asupan energi, protein, dan kalsium. Namun di sisi Universitas Sumatera Utara lain rendahnya konsumsi susu dan prevalensi anak yang memiliki tubuh pendek di Indonesia khususnya Sumatera Utara cukup tinggi. Berangkat dari keadaan tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan pola konsumsi makanan dan konsumsi susu dengan tinggi badan pada anak 6-12 tahun di SDN 173538 Balige. Hasil survei awal penelitian didapatkan gambaran anak SDN 173538 Balige memiliki karakteristik yang heterogen baik dari suku, pendidikan, agama, dan status ekonomi. Dari pengukuran tinggi badan dan z_score, didapat beberapa murid SDN 173538 Balige memiliki tinggi badan yang tidak sesuai dengan umurnya. Dari 15 orang anak yang diukur tinggi badannya, 2 orang 13,33 sangat pendek, 6 orang 40,00 pendek, dan 7 orang 46,67 tinggi badan normal. Pola konsumsi susu anak sekolah di SDN 173538 Balige juga berbeda-beda. Sebagian anak biasanya mengkonsumsi susu kental manis. Bila dalam sehari anak- anak mengkonsumsi susu kental manis sebanyak 100 ml maka akan memberikan asupan 336 kkal, 8,20 gr protein, dan 275 mg kalsium. Hal tersebut dapat menambah asupan zat gizi sekitar 20 dari angka kecukupan energi, protein, dan kalsium pada anak. Sehubungan dengan gambaran awal tersebut peneliti tertarik memilih lokasi tersebut untuk mengetahui hubungan pola konsumsi makanan dan konsumsi susu dengan tinggi badan anak usia 6-12 tahun di SDN 173538 Balige.

1.2. Perumusan Masalah