Perlawanan Terhadap Pemerintah kolonial Belanda.

69

Bab IV Kebangkitan Nasional

Hasanuddin. Melalui pertempuran bertahun-tahun, baik di darat maupun di laut, akhimya pasukan Kerajaan Makassar dapat dikalahkan pasukan VOC. Pasukan Belanda yang dipimpin Cornelis Speelman dapat memaksa Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian Bongaya pada 1667. Perlawanan lain terhadap pemerintah kolonial terjadi di Maluku. Perlawanan ini berlangsung lama, dipimpin Sultan Nuku 1780-1805 serta Pattimura 1817. Sultan Nuku merupakan raja dari Kesultanan Tidore. Penyebabnya, Nuku tidak suka dengan ikut campurnya Belanda dalam urusan kerajaan-kerajaan di Maluku serta memaksa kerajaan- kerajaan untuk bekerja sama dengan Belanda. Sultan Nuku memiliki sikap tegas untuk menolak kehadiran pemerintah kolonial di Maluku.

3. Perlawanan Terhadap Pemerintah kolonial Belanda.

Dalam menghadapi Belanda, Nuku menggunakan cara diplomasi, yaitu dengan mendekati Inggris dan mengambil simpati rakyat dari kerajaan-kerajaan yang rajanya telah bergabung dengan Belanda, seperti Ternate. Dengan dukungan tersebut, Nuku dapat memanfaatkan kekuatan militernya untuk menghadapi Belanda. Kerja samanya dengan Inggris hanya merupakan taktik semata. Sultan juga menyadari bahwa kehadiran Inggris di Maluku atau Irian merupakan ancaman bagi pemerintahan pribumi di Maluku. Oleh karena itu, Nuku juga melakukan serangan terhadap Ternate yang mendukung Belanda. Dengan serangan-serangan tersebut, Nuku berhasil mengambil simpati kerajaan-kerajaan Maluku yang merasa telah memiliki kemerdekaan sejak lama. Perlawanan terhadap pemerintah kolonial tidak hanya dilakukan oleh para sultan dan rakyatnya, tetapi juga oleh para pemuda. Para pemuda Maluku tidak suka dengan kehadiran pemerintah kolonial melakukan pemberontakan antara Juli sampai Desember 1817. Pemberontakan tersebut dipimpin oleh Pattimura yang juga dikenal dengan nama Thomas Matulesi. Mereka memberontak karena pemerintah Belanda memberlakukan kembali penyerahan wajib dan kerja wajib yang pernah dihapuskan pada masa pemerintahan Inggris. Pada 3 Mei 1817, mereka berhasil menghancurkan Benteng Saparua dan membunuh semua penghuninya. Dengan serangan tersebut, rakyat Saparua memberikan dukungan kepada Pattimura dan mengangkatnya sebagai seorang kapiten kapten. Serangan terus dilakukan, terutama ke kantor residen. Namun, kekuatan Belanda lebih kuat. Akhirnya, perlawanan Pattimura dapat dipatahkan pada 16 November 1817 dan ia kemudian dihukum mati. Perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda juga dilandasi oleh semangat mempertahankan ajaran Islam, menghapus nilai-nilai setempat, serta nilai-nilai dari Barat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Perang Paderi yang berlangsung dari 1821-1837 di Sumatra Barat dilatarbelakangi oleh semangat membumikan ajaran Islam sambil menentang adat yang kolot serta nilai-nilai dari Barat. Disebut Perang Paderi karena para pemimpinnya berasal dari kalangan paderi atau tokoh agama Islam yang berkeinginan memurnikan ajaran Islam dari nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam. Di unduh dari : Bukupaket.com 70 Ilmu Pengetahuan Sosial untuk Sekolah Menengah PertamaMadrasah Tsanawiyah Kelas VIII Perlawanan gigih terhadap penjajahan Belanda juga dilakukan oleh rakyat Aceh dalam Perang Aceh. Perang ini berlangsung pada 1873-1912. Perang Aceh terjadi karena keinginan pemerintah kolonial untuk menguasai seluruh wilayah Nusantara dilawan oleh rakyat Aceh. Rakyat Aceh tidak menginginkan daerah mereka diduduki oleh penjajah. Mereka memiliki kebanggaan atas kerajaan mereka yang telah berdiri sejak berabad-abad lalu. Terutama, pada zaman kejayaan Sultan Iskandar Muda 1607-1636 yang tetap berdiri pada abad ke-18 dan 19 sampai abad ke-20. Penyebab terjadinya Perang Aceh, antara lain karena pemerintah kolonial ingin menguasai Aceh sebagai kerajaan yang kuat dan memiliki kemampuan diplomatik tinggi. Pemerintah kolonial melihat bahwa Traktat London tahun 1824 dan Traktat Sumatra tahun 1871 yang ditandatangani antara Belanda dan Inggris telah memberi kedudukan yang kuat pada Aceh. Oleh karena itu, dapat menjadi ancaman bagi kedudukan pemerintah Hindia Belanda. Kekhawatiran tersebut terbukti setelah Aceh mampu menjalin hubungan diplomatik dengan banyak negara. Hal itu mulai mencemaskan Belanda. Belanda merasa takut disaingi dan mulai menuntut Aceh untuk mengakui kedaulatan Belanda di Nusantara. Penolakan rakyat Aceh terhadap tuntutan Belanda mendorong Belanda untuk mengirimkan pasukannya ke Kutaraja, ibu kota Kerajaan Aceh pada April 1873. Namun, usaha untuk menguasai Aceh mengalami kegagalan. Bahkan Mayor Jenderal Kohler, pemimpin pasukan Belanda tewas di depan Mesjid Raya Aceh. Demikian juga serangan pada Desember 1873 dapat dipatahkan oleh rakyat Aceh. Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan Jenderal van Swieten hanya berhasil merebut istana Kerajaan Aceh dan tidak dapat menguasai seluruh Aceh. Perlawanan rakyat Aceh terus berlangsung, walaupun istana kesultanan di Kutaraja direbut oleh Belanda. Melihat gigihnya perlawanan rakyat Aceh, Belanda mengubah strategi perang dengan pendekatan sosial budaya. Caranya dengan mengirimkan Snouck Hurgronje, seorang ahli kajian Islam untuk menyelidiki masyarakat Aceh dan memberi masukan kepada pemerintah kolonial tentang strategi menguasai rakyat Aceh. Hurgronje menyarankan agar pemerintah kolonial memahami karakter masyarakat Aceh sambil melakukan serangan kepada para pemimpin Aceh. Berdasarkan saran tersebut pemerintah kolonial menugaskan van der Heyden untuk memimpin pasukan dalam melakukan serangan ke Aceh Besar, salah satu kota pusat perjuangan rakyat Aceh. Melalui serangan tersebut, pada 1891, salah seorang pemimpin Aceh, Teuku Cik Ditiro gugur. Selanjutnya pada 1893, Teuku Umar ditawan dan kemudian ia berhasil meloloskan diri pada Maret 1896. Setelah bergabung kembali dengan sisa-sisa pasukannya, ia gugur di Meulaboh pada 11 Februari 1899. Pemimpin lainnya, seperti Sultan Daudsyah dan Panglima Polim terus melakukan perlawanan sampai akhimya mereka dipaksa menyerah oleh Belanda. Ternyata, gugurnya para pemimpin perjuangan Aceh tidak menyurutkan rakyat Aceh dalam melakukan serangan. Pemimpin Aceh lainnya, seperti Tjut Nyak Dien, istri Teuku Umar terus berjuang dan melakukan perang gerilya. Bersama para pengikutnya, ia Di unduh dari : Bukupaket.com 71

Bab IV Kebangkitan Nasional