BAB 1 PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Stroke atau cedera serebrovaskular CVA adalah berhentinya suplai darah ke bagian otak sehingga mengakibatkan hilangnya fungsi otak Smeltzer
Suzane, 2001. Hal ini dapat terjadi karena pecahnya pembuluh darah atau terhalanginya asupan darah ke otak oleh gumpalan. Terhambatnya penyediaan
oksigen dan nutrisi ke otak menimbulkan masalah kesehatan yang serius karena dapat menimbulkan kecatatan fisik mental bahkan kematian WHO, 2010.
World Health Organisation WHO menyatakan bahwa sekitar 5, 5 juta orang di dunia meninggal akibat stroke pada tahun 2002 Juniarti, 2008.
Konferensi Stroke Internasional tahun 2008 yang diadakan di Wina, Austria, mengungkapkan bahwa jumlah kasus stroke di kawasan Asia terus meningkat
Jurnal Stroke, 2010. Projodisastro 2009 dalam Juniarti 2008 memperkirakan penyakit jantung dan stroke akan menjadi penyebab utama kematian di dunia pada
tahun 2020. Selain itu, WHO 2004 dalam Aziz et al 2008 memprediksi bahwa jumlah kasus stroke akan meningkat sehubungan dengan peningkatan trend dalam
populasi lanjut usia di seluruh dunia. Data stroke yang dikeluarkan oleh Yayasan Stroke Indonesia menyatakan
bahwa penderita stroke di Indonesia jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun Jurnal Stroke, 2010. Berdasarkan penelitian Riset Kesehatan Dasar tahun
2007 di 33 provinsi dan 440 kabupaten di Indonesia diperoleh hasil bahwa penyakit stroke merupakan pembunuh utama di kalangan penduduk perkotaan
Universitas Sumatera Utara
Riskesdas, 2007. Secara kasar, setiap hari ada dua orang Indonesia mengalami serangan stroke.
Penderita stroke tidak dapat disembuhkan secara total. Namun, apabila ditangani dengan baik maka dapat meringankan beban penderita, meminimalkan
kecacatan, dan mengurangi ketergantungan pada orang lain dalam beraktivitas. Smeltzer Suzane 2001 menyatakan bahwa kira-kira dua juta orang penderita
stroke yang mampu bertahan hidup mempunyai beberapa kecatatan. Sekitar 40 dari mereka memerlukan bantuan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari.
Penelitian Van Excel, dkk 2005 terhadap 151 penderita stroke dan keluarganya menunjukkan bahwa anggota keluarga yang merawat penderita stroke rata-rata
menghabiskan waktu 3,4 jam sehari untuk bersama penderita stroke misalnya, mengantar ke dokter, mandi, dan berpakaian dan 10,8 jam sehari untuk tugas
mengawasi penderita stroke misalnya, mengawasi saat jalan dan makan Bethesda Stroke Center, 2007.
Seringkali ketika pulang dari rumah sakit, pasien pasca stroke masih mengalami gejala sisa, misalnya keadaan kehilangan fungsi motorik hemiplegi,
kehilangan komunikasi atau kesulitan berbicara disatria, gangguan persepsi, kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologik, atau disfungsi kandung kemih,
bahkan pasien pulang dalam keadaan bedrest total. Oleh karena itu, perawatan yang diberikan kepada penderita stroke harus dilakukan secara terus-menerus.
Perawatan ini bertujuan agar kondisi klien membaik, risiko serangan stroke berulang menurun, tidak terjadi komplikasi, atau kematian mendadak. Oleh
karena itu, perawat perlu mengkaji kebutuhan pasien dalam perawatan di rumah sehingga perawatan mampu dilakukan secara optimal oleh keluarga maupun
Universitas Sumatera Utara
pasien sendiri di rumah secara terus-menerus demi tercapainya keadaan fisik yang maksimal Smeltzer Suzane, 2001.
Penderita stroke membutuhkan penanganan yang komprehensif, termasuk upaya pemulihan dan rehabilitasi dalam jangka lama, bahkan sepanjang sisa
hidup penderita. Keluarga sangat berperan dalam fase pemulihan ini sehingga keluarga diharapkan terlibat dalam penanganan penderita sejak awal perawatan
Mulyatsih, 2008. Penderita stroke cenderung dapat mempertahankan kemampuannya untuk melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari jika mereka
menerima pelayanan terapi dan perawatan di rumah. Terapi dan perawatan di rumah dapat menurunkan risiko kematian atau kemunduran dalam kemampuan
melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari Outpatient Service Trialist, 2003. Friedman 1998 menyatakan bahwa keluarga sangat mendukung masa
penyembuhan dan pemulihan. David Reiss 1981 dalam Friedman 1998 berpendapat bahwa keluarga memiliki struktur nilai, norma dan budaya yang
mempengaruhi segala tindakan yang akan dilakukan oleh keluarga. Keluarga juga dapat menciptakan paradigmanya sendiri, yaitu struktur yang menyangkut
keyakinan-keyakinan bersama, ketetapan, dan asumsi-asumsi tentang dunia sosial. Keyakinan-keyakinan ini berasal dari pengalaman masa lalu keluarga.
Sebuah nilai dari keluarga dan sistem keyakinan membentuk pola-pola tingkah lakunya sendiri dalam menghadapi masalah-masalah yang ada dalam keluarga.
Keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai keluarga menentukan bagaimana sebuah keluarga akan mengatasi masalah kesehatan.
Provinsi Sumatera Utara memiliki beraneka ragam kebudayaan. Suku Batak Toba adalah adalah salah satu suku asli di Sumatera Utara. Data sensus
Universitas Sumatera Utara
Badan Pusat Statistik pada tahun 2002 menunjukkan bahwa penduduk Sumatera Utara didominasi oleh suku Batak Toba Widiantoro, 2008 dalam Pakpahan
2010. Di Sumatera Utara, masih ada masyarakat suku Batak Toba yang
menganut kepercayaan dari nenek moyang mereka. Kepercayaan ini membentuk pola pikir dan tingkah laku yang mempengaruhi orang Batak Toba dalam hal
kesehatan. Salah satu kepercayaan dari masyarakat suku Batak Toba, yaitu apabila seseorang jatuh sakit maka tondi roh si sakit pergi ke suatu tempat
meninggalkan tubuhnya. Bila ada anggota keluarga suku Batak Toba yang sakit, mereka akan membawa orang yang sakit ke Baso atau Datu orang pintar atau
dukun. Mereka percaya Baso dapat mengembalikan roh orang sakit. Masyarakat Batak Toba juga percaya bahwa ulos tondi dari hula-hula saudara laki-laki ibu
dapat menyembuhkan dan mengobati penyakit. Selain itu, sebagian masyarakat Batak Toba yang tidak sembuh dari penyakitnya masih mencari pengobatan
alternatif sebagai pilihan lain untuk mendapatkan kesembuhan. Kepercayaan di atas membuat masyarakat suku Batak Toba memiliki
keunikan tersendiri dalam hal kesehatan, termasuk dalam melakukan perawatan penderita stroke. Keluarga suku Batak Toba dengan anggota keluarga penderita
stroke memiliki cara yang berbeda dalam melakukan perawatan di rumah. Adanya pantangan-pantang dalam suku Batak Toba dalam hal kesehatan dan keterlibatan
pengobatan lain di luar pengobatan medis, membuat keluarga suku Batak Toba mempunyai cara tersendiri dalam merawat anggota keluarga yang sedang sakit.
Fenomena yang terlihat dari masyarakat menunjukkan bahwa ada perlakuan yang berbeda yang dilakukan oleh keluarga suku Batak Toba dalam yang merawat
Universitas Sumatera Utara
penderita stroke. Keluarga suku Batak Toba mulai melibatkan pengobatan dokter dalam merawat penderita stroke meskipun tidak dapat dipungkiri rendahnya
pelayanan kesehatan membuat keluarga mencari cara lain di luar tindakan medis dalam merawat penderita stroke.
Berdasarkan uraian di atas, keluarga suku Batak Toba memiliki cara yang berbeda dalam melakukan perawatan penderita stroke di rumah. Oleh karena itu,
peneliti tertarik untuk meneliti perawatan penderita stroke di rumah oleh keluarga suku Batak Toba.
2. Pertanyaan Penelitian