93 Aku malapehan pituang Nabi Daud, buruang tabang tatagun-tagun,
aia mailia tahanti-hanti, takajuik bidodari di dalam sarugo mandanga bunyi saluang ambo, kununlah anak sidang manusia......
dan seterusnya.
3.5 Pakaian dan Peralatan Pada Tari Piring
Tari Piring adalah salah satu tari klasik dari ranah Minangkabau atau Sumatera Barat yang cukup terkenal di negeri ini. Tari ini sering ditampilkan
dengan berbagai variasi, baik variasi gerakan, jumlah penari, maupun variasi dalam busananya. Meskipun bervariasi semuanya menggambarkan suasana muda-
mudi yang sedang bekerja di sawah. Mereka mengolah dan mempersiapkan lahan sawah, menanam padi, menyiangi, lalu memanen.
Pada kegiatan tari piring, penari menggunakan pakaian yang diperuntukkan bagi kegiatan menari yaitu berbentuk pakaian adat, walaupun pada
beberapa kesempatan acara pakaian penari dibebaskan pada keinginan penari tersebut.
Pakaian penari dalam tari piring secara pakaian adat meliputi : bagi penari laki-laki dipergunakan baju teluk belanga, yaitu semacam baju yang tidak
memiliki leher dan pada umumnya berwarna merah, hitam dan kuning. Setelah itu dipergunakan juga celana yang menggunakan tali, ikat pinggang yang disebut
dengan patah sembilan, destar hitam, sesamping Kerang dan salempang. Bagi penari perempuan mempergunakan baju kebaya berwarna merah,
kain sarung tenun traditional Silungkang berwarna merah, tengkuluk merah, selempang merah dan ditambah dengan beragam perhiasan seperti kalung, gelang
sebagai seorang Nabi yang memiliki kemampuan musik melalui permainan seruling.
Universitas Sumatera Utara
94 tangan, cincin dan sebagainya.
Gambar 10 Penari IKSA menggunakan pakaian berwarna hitam dan merah
Dalam sajian tari piring menggunakan properti tari dance properties yaitu, “dua buah piring”. Piring sebagai alat atau sarana makan, biasanya di
Minangkabau dikelompokkan ke dalam tiga macam atau ukuran yaitu piring “makan” piring yang dipakai untuk makan dengan ukuran besar, piring “sambal”
piring yang dipakai untuk tempat lauk-pauk dengan ukuran sedang dan “tadah”piring yang dipakai untuk alas gelas minum kopi dan lain-lain dengan
Universitas Sumatera Utara
95 ukuran kecil.
Piring yang biasa digunakan atau dipakai adalah piring “sambal”, piring tersebut dipegang oleh satu di telapak tangan kanan dan satu lagi di telapak tangan
kiri, karena diameter piring cukup lebar maka piring itu tidak tercakup oleh seluruh jari.
Selanjutnya, di ujung jari telunjuk atau jari tengah dipasangkan cincin yang terbuat dari batok kemiri, cincin tersebut dalam tarian dijentikkan pada
pinggir piring sehingga menimbulkan bunyi berdenting-denting. Piring yang dipergunakan sebagai property dalam tari tersebut ikut ditarikan oleh penari. Hal
ini sesuai dengan pendapat Soedarsono yang mengatakan bahwa properti adalah perlengkapan tari yang ikut ditarikan oleh penari Soedarsono, 1989:119.
Gambar 11 Dua buah Piring yang digunakan pada tari piring
Universitas Sumatera Utara
96 Selain sebagai properti, piring juga digunakan sebagai pengaturan
pertunjukan yang berjumlah delapan sampai dua belas buah. Piring-piring ini disusun di tanah atau lantai pentas yang nantinya akan dilewati penari dengan cara
menginjaknya.
Universitas Sumatera Utara
97
BAB IV KOMODIFIKASI TARI PIRING DI KOTA MEDAN
Komodifikasi menurut Erlinda 2012:184 berakar pada dua kata yang berbeda, yakni “komoditas” dan “modifikasi”, dimana komoditas merupakan
bentuk material yang pada lingkup ruang dan waktu mengalami perubahan, sedangkan Piliang 2006:21 mengatakan bahwa komodifikasi merupakan suatu
usaha untuk menjadikan sesuatu yang pada awalnya bukan komoditas menjadi bentuk komoditas.
Dua definisi atas komodofikasi yang dijelaskan sebelumnya membuka pengertian komodifikasi dalam konteks penelitian ini, yakni tari piring di Kota
Medan. Perpindahan masyarakat Minangkabau sebagai bagian dari proses
merantau turut serta membawa nilai budaya dan tradisi daerah asal, suasana wilayah baru menyebabkan nilai budaya dan tradisi daerah asal mengalami suatu
perubahan untuk menyesuaikan dengan konteks ruang dan waktu. Komodifikasi tari piring di Kota Medan terjadi akibat dua hal, yakni
komodifikasi secara internal dan komodifikasi eksternal. Komodifikasi internal adalah proses perubahan yang terjadi karena adanya suatu proses dalam
kehidupan masyarakat pendukung dari kegiatan tari piring, yaitu masyarakat Minangkabau sedangkan komodifikasi eksternal adalah proses perubahan yang
disebabkan oleh adanya hubungan antara masyarakat Minangkabau dengan kondisi wilayah dalam hal ini Kota Medan.
Universitas Sumatera Utara