10
Lingkaran ini terbentuk karena adanya perbedaan yang sangat kontras pada lingkungan dari musim dingin ke musim panas dan sebaliknya. Namun pada daerah
beriklim tropis seperti Indonesia, pendugaan umur dengan metode perhitungan lingkaran otolit sangat sulit dilakukan karena lingkungan di Indonesia relatif stabil
sepanjang tahun Suanda 2003. Beberapa metode numerik telah dikembangkan yang memungkinkan
dilakukan konversi atas data frekuensi panjang ke dalam komposisi umur. Data frekuensi panjang yang disampling dan dianalisa dengan benar dapat
memperkirakan parameter pertumbuhan yang digunakan dalam pendugaan stok spesies tunggal Pauly 1988 dalam Suanda 2003.
Parameter pertumbuhan dapat diduga menggunakan metode Plot Ford Walford yang merupakan penurunan dari model Von Bertalanffy. Analisis
menggunakan metode Plot Ford Walford membutuhkan data panjang rata-rata dari beberapa kelompok ukuran, yang kemudian akan dipisahkan menggunakan metode
NORMSEP. Parameter-parameter yang dikaji dalam menduga pertumbuhan adalah panjang asimtotik L
∞
yang merupakan panjang maksimum yang tidak dapat dicapai ikan secara teoritis, koefisien pertumbuhan K, dan t
yang merupakan umur teoritis pada saat panjang ikan sama dengan nol Sparre dan Venema 1999. Namun
untuk ikan cucut, sedikitnya jumlah contoh, serta contoh yang di dominasi oleh satu ukuran kelompok saja, dapat menyebabkan hasil pendugaan parameter pertumbuhan
menjadi kurang akurat jika menggunakan persamaan Von Bertalanffy Cailliet dan Tanaka 1990 dalam Goldman 2005. Selain itu pendugaan t
dinilai kurang memberikan informasi yang berguna, sehingga beberapa peneliti lebih sering
melakukan pendugaan pada ukuran ikan saat dilahirkan L dibanding t
Cortes dan Bethea 2003 dalam Goldman 2005.
2.8. Eksploitasi Cucut
Eksploitasi atau pemanfaatan utama dari sumberdaya hayati laut adalah usaha penangkapan ikan Rahardjo 2007. Hasil tangkapan per unit upaya catch per
unit effort, CPUE alat tangkap terhadap sumberdaya ikan sering digunakan untuk menggambarkan pemanfaatan sumberdaya ikan di suatu perairan. Semakin besar
11
nilai CPUE artinya kegiatan penangkapan semakin efisien karena mendapatkan hasil tangkapan yang cukup besar dengan upaya yang relatif kecil.
Pada tahun 1976, produksi perikanan cucut di Indonesia terus meningkat pesat hingga mencapai puncaknya sebesar 117.600 ton pada tahun 2003, namun
mengalami penurunan hingga 98.300 ton pada tahun 2006. Menurut catatan FAO, Indonesia menempati urutan teratas sebagai negara yang paling banyak
memproduksi cucut dan pari setiap tahunnya dengan tingkat produksi sebesar 13 dari total produksi dunia Tull 2009.
Walaupun jumlah hasil tangkapan cucut sudah diketahui, namun masih jarang sekali ditemukan informasi tentang stok cucut serta upaya penangkapan
cucut. Hal ini karena komoditas cucut bukan merupakan ikan tangkapan utama, dan belakangan ini sangat jarang atau bahkan tidak ada unit penangkapan yang
menjadikan cucut sebagai tangkapan utama. Menurunnya jumlah ikan di alam diduga sebagai alasan terjadinya fenomena ini.
2.9. Konservasi dan Pengelolaan
Konservasi dan pengelolaan ikan secara umum merupakan upaya untuk memastikan sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan secara optimal dengan tetap
memperhatikan dan menjaga kelestarian sumberdaya serta lingkungannya. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan pengaturan kegiatan penangkapan seperti
pembatasan jenis dan ukuran ikan terkecil, pengaturan ukuran mata jaring, pembatasan jumlah dan alat penangkapan serta penutupan daerah dan musim-musim
penangkapan tertentu. Upaya pengelolaan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, mengkonservasi keanekaragaman hayati perairan, serta
menjaga struktur dan fungsi dari ekosistem Walker 2005. Perhatian dunia tentang konservasi cucut sudah terwujud dengan dibuatnya
International Plans Of Action – Sharks IPOA-Sharks oleh organisasi pangan dunia
FAO pada tahun 1999. Rencana yang dibuat tersebut bertujuan untuk memastikan adanya kegiatan pengelolaan dan konservasi terhadap semua jenis cucut, serta
pemanfaatan yang berkelanjutan dalam jangka panjang. IPOA-Sharks memiliki 4 elemen utama yaitu 1 kebutuhan akan pengelolaan dan konservasi berbagai spesies
12
cucut dan elasmobranchii lain, 2 kebutuhan untuk menjaga keanekaragaman jenis cucut, 3 kebutuhan untuk melindungi habitat, dan 4 perlunya pengelolaan
sumberdaya cucut untuk pemanfaatan yang berkelanjutan FAO, 2000. Diharapkan setiap negara yang memiliki sumberdaya cucut mengadopsi perencanaan
pengelolaan ini IPOA-Sharks, serta menyesuaikan dengan kondisi negaranya masing-masing menjadi National Plans Of Action
– Sharks NPOA-Sharks. Australia merupakan salah satu negara yang sudah menerapkan NPOA-
Sharks dengan cukup baik. Jumlah tangkapan cucut Australia pada tahun 1994-1998 mencapai 1,26 dari total penangkapan cucut dunia, dan menempati urutan ke-19
diantara 23 negara yang menangkap cucut lebih dari 10.000 ton pertahun Rose dan McLoughlin 2001 dalam Rose 2002. Pemerintah Australia menerapkan beberapa
peraturan dalam mengelola cucu t seperti dengan memberlakukan pelarangan “shark
finning ” pengambilan sirip cucut lalu membuang sisa tubuhnya ke laut di hampir
semua negara bagian di Australia. Selain itu perdagangan sirip hiu baik di pasar lokal maupun internasional juga dibatasi untuk menekan tingkat penangkapan cucut
Rose 2002. Keadaan ini sangat bertolak belakang dengan kondisi yang terjadi di Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan jumlah produksi hiu dan pari paling
tinggi di dunia FAO dalam Tull 2009 dengan jumlah keanekaragaman spesies cucut paling kaya di dunia Keong 1996. Namun dengan predikat tersebut, belum
ada satu peraturan pun yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal pengaturan dan pengelolaan sumberdaya cucut Fahmi dan Dharmadi 2005. Kondisi seperti ini
dikhawatirkan akan berdampak terhadap kelangsungan sumberdaya cucut di Indonesia menjadi semakin terancam.
3. METODE PENELITIAN