Perceraian di luar prosedur peradilan agama di Kecamatan Sodonghilir,Tasikmalaya dan akibat hukumnya

(1)

(2)

#$%&'%

$( )*)+ ,-*)+ ( .(

(


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul PERCERAIAN DI LUAR PROSEDUR PERADILAN AGAMA DI KECAMATAN SODONGHILIR, TASIKMALAYA DAN AKIBAT HUKUMNYA telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 10 Desember 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Konsentrasi Peradilan Agama.

Jakarta, 10 Desember 2008 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof.Dr.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP. 150 210 422

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA (………...)

NIP. 150 169 102

2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH (………...)

NIP. 150 285 972

3. Pembimbing : Dr. Yayan Sofyan, M.Ag (………...)

NIP. 150 277 911

4. Penguji I : Prof.Dr.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM (………...)

NIP. 150 210 422

5. Penguji II : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA (………...)


(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT, atas rahmat dan hidayahnya bagi seluruh alam semesta, serta atas bimbingan rohani sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat yang di ajukan guna memperoleh gelar sarjana Hukum Islam Jurusan Al-ahwal Asyakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada panutan Umat Islam, Nabi Muhammad SAW beserta Keluarganya, para sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Skripsi ini juga terwujud tidak terlepas atas peran, bimbingan dan bantuan banyak pihak dengan penuh ketulusan memberikan inspirasi, dukungan semangat sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT membalas dengan ganjaran yang setimpal.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan penghargaan yang setinggi- tingginya dan rasa terima kasih kepada:

1. Prof.Dr.Muhammad Amin Suma, SH.,MA.,MM., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Drs.A.Basiq Djalil, SH., MA., Ketua Jurusan Ahwal Syakhsiyyah dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag., MH., Sekretaris Jurusan Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum.


(5)

3. Dr. Yayan Sofyan M.Ag, pembimbing penulis yang telah banyak memberikan kritik dan saran sehingga skripsi ini dapat menjadi lebih baik.

4. Bapak. Drs. Masnun, SH, Hakim Pengadilan Agama Tasikmalaya, dan Bapak Drs. Ana Suryana, Kepala Kantor Urusan Agama Sodonghilir yang meluangkan waktunya untuk bersedia melayani penulis dengan senang hati untuk diwawancarai dengan suasana santai dan terbuka.

5. Seluruh dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

6. Pimpinan dan karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Kedua orang tua penulis tercinta, Ayahanda Dayat dan Ibunda Kiyah, dengan

ketulusan dan kasih sayang telah mendidik penulis dengan menanamkan nilai-nilai agama dan moral dan senantiasa berdoa untuk keberhasilan penulis. Kakak-kakak penulis (A. Diding & Teh Enung, A Kukun & Teh Susi, A Yana) Tak lupa Mang Uud & Bi Aroh. yang telah banyak memberikan dorongan Moril maupun Materil untuk kesuksesan penulis.

8. Sahabat-sahabat terbaik penulis, pak Mahmudin Spd.I, Afaz SHI, Isnur SHI, Helmy Karomah SHI. Kang Uef SHI. MSi. Akmal Salim Ruhana SHI. Special Ade Liawati CS. Meraka adalah orang-orang yang selalu memberikan keceriaan, Masukan kepada penulis di saat penulis dilanda kesusahan kesedihan dll.

9. Teman-teman penulis di HIMALAYA Jakarta, Abdul Azis. Tatang Podonghol. Dan tak lupa Kawan-kawan di IPPC yang tidak pernah bosan mengingatkan penulis, dan seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Nuhun atas segala dukungan dan motivasinya.


(6)

10. Teman-teman seperjuangan di HMI, sahabat-sahabat di PMII, IMM. Terima kasi atas pergaulannya, persahabatan dan pengertiannya.

Demikianlah penulis berharap, dengan adanya skripsi ini, semoga dapat dijadikan bahan masukan bagi para akademisi, peneliti, dan mahasiswa yang berminat melakukan penelitian lebih lanjut.

Sebagai manusia penulis merasa banyak sekali kekurangan dan kelemahan dalam menguraikan skripsi ini, karena itu penulis mengharapkan saran dari pembaca dengan harapan tulisan ini menjadi lebih baik.

Ciputat, Desember 2008


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Metode Penelitian ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN ... 11

A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya ... 11

B. Macam-macam Perceraian dan Hukum Menjatuhkannya ... 17

C. Tata Cara Perceraian Menurut Undang-undang ... 27

D. Alasan yang Membolehkan Perceraian Menurut Undang-undang dan Akibat dari Perceraian ... 39

BAB III WILAYAH HUKUM PENGADILAN AGAMA TASIKMALAYA ... 44

A. Dasar Hukum dan Sejarah ... 44

B. Kondisi Umum Masyarakat Kecamatan Sodonghilir ... 49

BAB IV PERCERAIAN DI KECAMATAN SODONGHILIR ... 55

A. Hukum Perceraian di Luar Pengadilan ... 55

B. Perceraian di Luar Pengadilan ... 56

C. Faktor-faktor Terjadinya Perceraian di Luar Pengadilan Agama 59 D. Akibat Perceraian di Luar Prosedur Pengadilan Agama ... 64

E. Analisa Penulis ... 69

BAB V PENUTUP ... 72

A. Kesimpulan ... 72


(8)

DAFTAR PUSTAKA ... 75

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 78

A. Lampiran 1: Hasil Wawancara 1. Wawancara dengan Bapak Drs. Masnun, SH., Hakim Pengadilan Agama Tasikmalaya ... 78

2. Wawancara dengan Bapak Drs. Ana Suryana, Kepala KUA Kecamatan Sodonghilir ... 80

3. Wawancara dengan Bapak K. Abdul Majid, Anggota MUI Kecamatan Sodonghilir ... 82

4. Wawancara dengan Ibu Yeti ... 83

5. Wawancara dengan Ibu Evi ... 85

6. Wawancara dengan Ibu Erna ... 87

7. Wawancara dengan Ibu Andang ... 89

8. Wawancara dengan Ibu Mula ... 91

9. Wawancara dengan Bapak Suryana ... 93 B. Lampiran 2: Surat Keterangan Wawancara


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak pernah terlepas dengan kepentingan manusia lainnya. Kepentingan yang saling berseberangan tersebut tentunya akan menimbulkan permasalahan jika tidak diikat dalam sebuah hukum yang harus ditaati bersama. Karena dengan sebuah hukum yang mengatur antara kepentingan tersebut diharapkan akan tercipta sebuah ketertiban sosial, sehingga memberikan kesejahteraan bagi sebanyak-banyaknya manusia. Demi kepentingan di atas, maka terciptalah sebuah hukum yang mengatur setiap kegiatan manusia. Sampai pada masalah yang paling urgen dalam hal ini adalah masalah pernikahan. Rupanya pernikahan ini menuntut untuk di bentuknya hukum yang mengikutinya. Seperti hubungan antara suami dan isteri, ayah dan anak, ataupun ibu dan anak

Namun demikian, lagi-lagi manusia bukan makhluk yang terbebas dari kesalahan. Meskipun telah diatur dengan hukum sedemikian rupa masih saja kita jumpai permasalahan-permasalahan antara manusia yang disebabkan oleh beberapa faktor. Hal demikian bisa terjadi karena kedua belah pihak saling melalaikan kewajibannya sehingga hak yang seharusnya didapat tidak diperoleh.

Salah satu tujuan dari adanya syari’at pernikahan adalah untuk mewujudkan keadaan di mana suami maupun istri mendapatkan ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan dalam hidup. Ketenangan dan kebahagiaan ini akan tercapai apabila keduanya baik suami istri memahami sekaligus melaksanakan hak dan


(10)

kewajibannya masing-masing ketika pihak suami maupun istri ini tidak lagi menjalankan hak dan kewajibannya, maka pintu perceraian akan terbuka lebar. Dalam hal ini perceraian bisa diartikan sebagai jalan keluar untuk pemutusan ikatan perkawinan yang tidak bisa dipertahankan lagi.

Perceraian merupakan suatu kata yang tidak dapat dipisahkan dari kata perkawinan karena merupakan kelanjutan yang selalu berhubungan satu sama lainnya. Dalam kehidupan rumah tangga, meskipun pada mulanya pasangan suami isteri penuh kasih sayang seolah-olah tidak akan menjadi pudar, namun pada kenyataannya kasih sayang itu bila tidak dirawat bisa menjadi pudar bahkan bisa menjadi hilang menjadi kebencian. Kalau kebencian sudah datang dan suami isteri tidak dengan sungguh-sungguh mencari jalan keluar dan memulihkan kembali rasa kasih sayang tersebut, maka akan berakibat negatif terhadap anak keturunannya.1 perceraian diakui sebagai jalan keluar terakhir dari kemelut keluarga dan hal ini baru diperbolehkan bila tidak ada jalan keluar lain.

Begitu kuat dan kokohnya hubungan antara suami isteri, maka tidak sepantasnya apabila hubungan tersebut dirusak dan disepelekan. Setiap usaha untuk merusak dan menyepelekan hubungan pernikahan dan melemahkannya sangat dibenci oleh Islam karena ia merusak kebaikan dan menghilangkan kemaslahatan antara suami isteri.2

Perkawinan merupakan prilaku makhluk hidup agar kehidupan dalam dunia berkembang biak. Perkawinan bukan saja terjadi di kalangan manusia. Akan tetapi juga pada tanaman dan hewan.

1

H. Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: PT Prenada Persada, 2000), Cet. ke-1, h. 98

2

Slamat Abidin dan H. Aminuddin, Fikih Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), Cet. ke-1 h. 10


(11)

Dalam KHI pasal 2 dinyatakan bahwa: ”perkawinan menurut hukum Islam adalah Pernikahan yaitu akad yang kuat atau mitsâqan ghalîdan untuk mentaati perintah Allah swt dan melaksanakannya merupakan ibadah.3 Dalam hal ini akad perkawinan dalam Hukum Islam bukanlah perkara perdata semata, melainkan ikatan yang suci yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah, dengan demikian ada dimensi ibadah di dalamnya. Untuk itu perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga tujuan perkawinan yakni terwujudnya keluarga yang sejahtera lahir batin dapat terwujud.4 Langgengnya kehidupan dalam ikatan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat diutamakan dalam Islam. Akad nikah diadakan untuk selamanya dan seterusnya agar suami istri bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga sebagai tempat berlindung, menikmati curahan kasih sayang dan dapat memelihara anak-anaknya sehingga mereka tumbuh dengan baik.

Pada dasarnya tujuan perkawinan menurut undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal. Pasal 1 menegaskan: ”perkawinan ialah ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.5

Meskipun tujuan dari pernikahan itu sendiri adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia (sakinah) yang kekal, namun perjalanan dan fakta sejarah menunjukan bahwa tidak semua perkawinan berjalan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapainya. Mengingat kenyataan menunjukan bahwa teramat banyak pasangan

3

Inpres R.I. No. 1 tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam, 2002, h. 14

4

Amir Nurudin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), Cet. ke-1, h. 206

5

Undang-undang perkawinan No.1 tahun 1974 pasal 1, (Bandung: Fokus Media, 2005), Cet. pertama, h.2


(12)

suami istri yang perkawinannya ”terpaksa” harus berakhir di tengah jalan6 putusnya perkawinan dapat terjadi karena berbagai hal. Baik karena meninggal dunia atau karena faktor lain seperti: faktor biologis, psikologis, ekonomis serta perbedaan pandangan-pandangan hidup dan sebagainya. Seringkali merupakan pemicu timbulnya konflik dalam perkawinan. Apabila faktor-faktor tersebut dapat diselesaikan dengan baik, maka mereka akan dapat mempertahankan mahligai perkawinannya. Namun sebaliknya, apabila faktor-faktor tersebut tidak dapat diselesaikan, maka akan timbul perceraian sebagai jalan terakhir yang akan ditempuhnya.

Talak atau perceraian adalah perbuatan halal namun dibenci Allah. Oleh karena itu, bahwa talak atau perceraian merupakan alternatif terakhir sebagai pintu darurat yang boleh ditempuh manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat dipertahankan keutuhan dan kesinambungan.7

Dalam konteks keIndonesiaan perceraian sendiri diatur oleh Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan PP No 9 Tahun 1975 sebagaimana tercantum dalam pasal 19, dan dalam KHI pasal 116. bagi kedua pasangan suami istri yang hendak bercerai terlebih dahulu mengajukan ke Pengadilan Agama. Bagi suami harus mengajukan permohonan izin talak, sedangkan bagi istri harus terlebih dahulu mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama.

Salah satu yang menjadi wewenang Pengadilan Agama adalah menangani tentang masalah perceraian. Yang mana perceraian ini harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama, atau dengan kata lain bahwa perceraian tidaklah Sah

6

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. ke-1, h. 101

7

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000). Cet. ke-4, h. 269


(13)

secara hukum yang berlaku di Indonesia, apabila dilakukan di luar sidang Pengadilan Agama, Sesuai dengan Undang-undang perkawinan, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, dalam hal ini hakim yang berhak. Akan tetapi masih banyak fenomena yang terjadi di masyarakat, khususnya masyarakat kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, di mana pasangan suami istri yang melakukan perceraian tanpa melalui Pengadilan Agama, sehingga hak-hak istri dan anak setelah perceraian nyaris diabaikan, seolah-olah setelah perceraian itu tidak ada lagi beban yang harus di tanggung oleh suami. Hal tersebut terjadi karena tidak ada pengawasan dan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum.

Dengan kondisi semacam ini, bagaimana akan diingkari adanya persepsi bahwa masyarakat kita masih ada yang ketidakhormatan atas hukum (disrespecting law), entah mengapa? Semua ini terjadi mungkin karena tidak paham akan hukum, atau mungkin menganggap sepele terhadap sebuah perkawinan? Dengan munculnya fenomena perceraian seperti di atas maka, penulis sangat tertarik untuk mengangkat

masalah "PERCERAIAN DI LUAR PROSEDUR PERADILAN AGAMA DI

KECAMATAN SODONGHILIR, TASIKMALAYA DAN AKIBAT

HUKUMNYA".

Berdasarkan penjelasan di atas, salah satu prinsip dalam hukum perkawinan nasional yang seirama dengan ajaran agama mempersulit perceraian (cerai hidup),


(14)

karena perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera akibat perbuatan manusia.8

Semoga tulisan yang ada dalam skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Salah satu yang menjadi wewenang Pengadilan Agama adalah masalah perceraian. Secara tertulis masalah perceraian diatur dalam pasal 115 KHI , pasal 39 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang salah satu persyaratan untuk melakukan perceraian yaitu harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama. Dengan kata lain, perceraian tidaklah sah secara hukum yang berlaku di Indonesia apabila dilakukan di luar pengadilan.

Bila ditinjau dari ketentuan yuridis, maka fenomena cerai di bawah tangan tentu sangat bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Dalam skripsi ini, penulis membatasi masalah seputar fenomena cerai di bawah tangan, dan cerai yang dimaksud adalah cerai talak dan cerai gugat. Selain itu, untuk memudahkan dalam menyusun karya ilmiah, penulis membatasi lokasi yang akan dijadikan objek penelitian hanya di kecamatan Sodonghilir.

2. Perumusan Masalah

Dari latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

8

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 1990), Cet. ke-1, h. 60


(15)

1. Apa argumentasi mereka yang cerai di luar Pengadilan Agama.

2. Kendala apa saja yang dihadapi yang bercerai di luar Pengadilan Agama.

3. Bagaimana tanggapan hakim Pengadilan Agama, Pegawai Pencatat Nikah, dan Ulama setempat terhadap cerai di luar Pengadilan Agama.

C. TujuanPenelitian

Sejalan dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan diadakannya penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui penyebab terjadinya perceraian di luar pengadilan, dan argumentasi mereka

2. Untuk mengetahui dampak dari perceraian di luar prosedur pengadilan bagi pelaku.

3. Untuk mengetahui tanggapan hakim Pengadilan Agama, Pegawai Pencatat Nikah dan Ulama setempat tentang perceraian di luar Pengadilan Agama.

D. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motovasi, tindakan dan lain-lain, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.9

9

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), Cet. ke-21, h. 6


(16)

Metode penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengem-bangkan dan menguji kebenaran atau menguji pengetahuan dengan penyelidikan yang kritis.

2. Sumber Data

Dalam penulisan skripsi ini penulis memperoleh data peneltian dari berbagai sumber, sebagai berikut:

a. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan cara mengumpulkan data-data dari literatur buku atau teks-teks lain, membaca dan memahami serta menganalisa hal yang berkaitan dengan masalah perceraian, khususnya perceraian di luar Pengadilan Agama.

b. Penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang

dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data dari lapangan yang ada relevansinya dengan skripsi ini.10 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan wawancara langsung secara mendalam dengan pegawai Pencatat Nikah Sodonghilir, hakim Pengadilan Agama Tasikmalaya dan ulama setempat. Juga wawancara langsung dengan pihak yang melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama. Selain itu, juga dilakukan observasi di lapangan, terutama berkaitan dengan fenomena cerai di bawah tangan yang terjadi di masyarakat Kecamatan Sodonghilir.

3. Teknik Pengumpulan Data

Seperti yang telah disebutkan di atas, penulis menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara secara mendalam. Wawancara penulis

10


(17)

lakukan kepada para pejabat di lingkungan Peradilan Agama dan tokoh ulama, yaitu kepada hakim Pengadilan Agama, Drs. Masnus, SH., Kepala KUA Sodonghilir, Drs. Anas Suryana, anggota MUI Sodonghilir, Kiai Abdul Majid. Selain itu, wawancara juga dilakukan dengan pihak-pihak yang bercerai di bawah tangan yang terjadi di Kecamatan Sodonghilir, di antaranya Ibu Yeni, Ibu Andang, Ibu Evi, Ibu Mula, Ibu Erna dan Bapak Suryana.

Setelah melakukan wawancana tersebut, penulis mengubah hasil wawancara ke dalam bahasa tulisan, untuk kemudian diklasifikasikan dan dianalisis.

E. Sistematika Penulisan

Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis dan terarah, maka penulisan skripsi ini disusun dalam lima bab, setiap bab terdiri dari sub-sub bab yaitu:

Bab Pertama, Pendahuluan, yang meliputi, latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab Kedua, Tinjauan Umum Tentang Perceraian, yang meliputi: pengertian

perceraian dan dasar hukumnya, macam-macam perceraian dan hukum menjatuh-kannya, pemeriksaan sengketa perceraian, dan alasan yang membolehkan perceraian menurut undang-undang dan akibat perceraian.

Bab Ketiga, Wilayah Hukum Pengadilan Agama Tasikmalaya, yang

meliputi: dasar hukum dan sejarah, dan kondisi umum masyarakat Kecamatan Sodonghilir.


(18)

Bab Keempat, Gambaran Perceraian di Luar Prosedur Pengadilan di Kecamatan Sodonghilir, meliputi: hukum perceraian di luar pengadilan, perceraian di luar Pengadilan di Kecamatan Sodonghilir, faktor-faktor terjadinya perceraian di luar Pengadilan Agama di Kecamatan Sodonghilir, akibat hukumnya, dan analisa penulis.


(19)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN

A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya

1. Pengertian Perceraian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata cerai diartikan dengan pisah atau putus.11 Cerai yang dalam bahasa Arab disebut dengan talak adalah isim

masdar dari kata “

-

-

” yang semakna dengan kata ‘ ’ dan

’ yaitu melepaskan atau meninggalkan. Dalam istilah Agama talak artinya melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan. Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam Indonesia talak menurut istilah adalah melepaskan tali perkawinan atau mengakhiri hubungan perkawinan.12

Adapun beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa ulama, di antaranya:

Menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya, Fikih al-sunnah mengartikan talak dengan :

ﻝ !"# $

% &'(

)

13 Artinya :

“Talak adalah lepasnya ikatan dan berakhirnya hubungan perkawinan atau hubungan suami istri”.

Sedangkan Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya, Fiqih ala al-Mazahib al-Arba’ah mendefinisikan talak dengan “

11

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), Cet. ke-1, h. 163

12

Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah 8, (Bandung: Al-Ma’arif), 1990, Cet. ke-7, h. 9

13


(20)

#

*

+,ﻝ

-.

/

"

0

1

(

+

2

%

3

45

6

7

4890

)

14 Artinya :

“Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi (ikatan) pelepasan dengan kata-kata tertentu”.

Kemudian Abu Zakaria al-Anshari menjelaskan talak dengan “

:; ﻝ 53 % . -+,ﻝ < = &'(

)

15 Artinya”

“Melepaskan ikatan nikah dengan menggunakan lafadz talak”.

Dari beberapa definisi talak di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa talak adalah hilangnya atau lepasnya ikatan perkawinan, hanya saja ada beberapa mainstream yang mengakibatkan perbedaan dalam mendefinisikan arti talak. Sebagian ulama ada yang menekankan pada akibat hukum dari adanya talak, yaitu hilangnya hubungan suami istri dan segala sesuatu yang berkaitan dengan hak dan kewajiban suami istri. Sedangkan ulama yang lainnya berorientasi pada tindakan seseorang yang bertujuan untuk melepaskan ikatan perkawinan dengan menggunakan lafadz tertentu. Sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan yang diungkapkan oleh Abdurrahman al-Jajiri adalah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak talak itu yaitu yang terjadi dalam talak raj’i.

Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan maupun dalam putusan pemerintah N0.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

14

Abdurahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Arba’ah, (Mesir: Al-Maktabah At-Tijariyyah al-Kubra, t.th.), jilid 4 h. 278

15


(21)

undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak terdapat pengertian perceraian secara khusus, hanya saja dalam pasal 38 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa perceraian merupakan salah satu sebab putusnya perkawinan. Senada dengan Kompilasi Hukum Islam bahwa putusnya perkawinan dapat disebabkan karena perceraian dan dapat pula terjadi karena talak.

Talak adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh suami untuk menolak atau menghentikan berlangsungnya suatu perkawinan.16 Talak merupakan hak cerai suami terhadap istrinya apabila ia merasa sudah tidak dapat lagi mempertahankan perkawinannya tersebut. Sebaliknya gugatan cerai dapat diajukan oleh istri kepada suaminya dengan alasan-alasan yang telah diatur dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam.

2. Dasar Hukum Perceraian

Masalah perceraian merupakan suatu masalah yang banyak

diperbincangkan jauh sebelum adanya Undang-undang Perkawinan, karena kenyataannya dalam masyarakat sekarang ini banyak perkawinan yang berakhir dengan suatu perceraian dan tampaknya hal tersebut terjadi dengan mudah.

Adakalanya perceraian tersebut terjadi tanpa adanya alasan yang kuat, hal inilah yang menyebabkan lahirnya Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. selain itu juga untuk mewujudkan suatu perkawinan yang bahagia,

16

Djoko Prakaoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta, Bina Aksara, 1987), Cet. ke-26, h. 178


(22)

kekal dan sejahtera sesuai dengan salah satu prinsip yang ada dalam penjelasan umum Undang-undang perkawinan yaitu mempersulit terjadinya perceraian.17

Dalam hal ini agama Islam telah terlebih dahulu mengatur sedemikian rupa masalah perceraian ini dengan menurunkan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi yang berkenaan dengan perceraian tersebut sehingga mempunyai dasar hukum dan aturannya sendiri, di antaranya yaitu:

Surat al-Baqarah/2: 230

% >6 2ﻝ &'? ;@ !

1A@

<

(

B

,

-C

*

D

E

F )))

G Hﻝ

I

JKL

M

Artinya:

“Kemudian jika si suami menthalaqnya (setelah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain …” (al-Baqarah/2: 230)

Surat al-Baqarah/2: 231

>N9(+

/ 4O

P% >N9-Q 6R@ > ! / >S H @ Q +,ﻝ T

U#

V 4O

P%

2Q 3" T W < @ X ﻝU ' 3 >6

< ﻝ

Y >N9-QP

F )))

G Hﻝ

I

JKZ

M

Artinya:

“Apabila kamu menthalaq istri-istrimu lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemadharatan, karena dengan demikian kamu menganiyaya mereka. Barang siapa yang berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri..." (al-Baqarah/2: 231)

Surat al-Baqarah/2: 232

> !

*/ >?-, 1/ >N9 [ ; @ > ! / >S H @ Q+,ﻝ T

U#

)))

F

G Hﻝ

I

JKJ

M

Artinya:

“Apabila kamu menthalaq istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan calon suaminya…" (al-Baqarah/2: 232)

17


(23)

Surat al-Thalaq/65: 1

@ Q+,ﻝ T

U# &\H,ﻝ !&/]

^_ 9

G< ﻝ 90(/ T! < ﻝ >N9

T-%

F )))

:; ﻝ

I

Z

M

Artinya:

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah…" (at-Thalaq/65:1)

Selain ayat-ayat tersebut terdapat pula hadits-hadits Nabi yang dipahami sebagai dasar hukum perceraian, antara lain:

( \N 2 6

2"/ P= >% _ <H= >=

_ 9

<!= B@ `ab

= RQ@ T

2 = _ B ﺹ

P

%

>

7

d

9

_

_ B

=

2

T

=

>

Uﻝ

X

@

6

&E

@

!

e

T

P

Q

-!

(

B

!

e

T

?

a

e

T

!

f

e

T

#

1

g

6

Q

X

%

<

#

1

g

hH

'

/

1

P

i

@

X

<

G

B

/

6

_

/

1

!

+,ﻝ

Q

F )

j 7Hﻝ E

M

18 Artinya:

“Dari Abdullah bin Umar r.a., sesungguhnya ibnu Umar telah menthalaq istrinya, sedang isrinya itu dalam keadaan haid pada masa Rasulullah saw., maka Umar Ibnu Khatab menanyakan hal yang demikian kepada Rasulullah saw, beliau bersabda: suruhlah agar merujuk istrinya itu, kemudian hendaklah ia menahan istrinya itu hingga suci, kemudian haid, kemudian suci, kemudian sesudah itu jika ia mau ia boleh memegang (tetap menggaulinya) istrinya sesudah itu dan jika ia mau ia boleh menthalaqnya. Menthalaq istri agar menjalankan masa iddahnya.” (H.R. Bukhari)

h 2,= _ \Y 4k H= >% >=

I

4 -% B %/ _ 9

<!= B = :; ﻝ 1 l

d 7ﻝ > % P=

@ 4G< ( m;nﻝ

P= @;ﺥ >6 > ,

I

,ﻝ 1#

k

T! = E [ 6R@ 2 = E , [ 6 9 @ `G "/ 2 @ T !ﻝ p " l < h 4 6 B @ 9 q

<h

)

F

T Q6 E

M

19 Artinya:

“Dari ibnu Abbas r.a., ia berkata : Adalah thalaq pada masa Rasulullah saw. Masa Abu Bakar dan dua tahun masa pemerintahan Umar, thalaq tiga jatuh satu, maka berkata Umar ibnu Khatab: Sesungguhnya manusia tergesa

18

Al- Imam Al-Bukhari, Sahih Bukhari, (Beirut, Darul-Fikr, 1958), Jilid 7, h. 52

19

Imam Abi Husen Muslim bin Hajaj, Shahih Muslim, Hadits ke-1472, (Beirut, Darul-Fikr, 1992), Juz1, h. 688


(24)

pada urusan yang boleh mereka lakukan perlahan, lalu aku lakukan yang demikian atas mereka.” (H.R. Muslim)

Al-Qur’an dan hadits telah mengatur masalah perceraian ini dengan sebaik-baiknya. Hal ini dapat kita lihat dengan diberikannya batasan kepada suami yang ingin menceraikan istrinya dan merujuknya kembali. Islam membolehkan suami merujuk istrinya sampai talak yang kedua, tetapi jika telah sampai pada talak yang ketiga maka suami tidak mempunyai hak lagi untuk merujuk istrinya itu, kecuali mantan istrinya tersebut telah menikah dengan pria lain dan oleh suaminya yang kedua tersebut telah diceraikan kembali. Barulah setelah itu suami yang pertama dapat rujuk kembali kepada mantan istrinya tersebut.

Hal ini berbeda sekali dengan yang terjadi pada masa jahiliyyah, di mana laki-laki boleh saja mentalak istrinya beberapa kalipun dia kehendaki. Kemudian setiap kali akan habis masa iddahnya, maka dirujukinya kembali sehingga hal ini terjadi berulang-ulang kali.20

B. Macam-macam Perceraian dan Hukum Menjatuhkannya

1. Macam-macam Perceraian

Menurut perspektif hukum Islam di Indonesia cerai atau talak itu terbagi menjadi beberapa macam tergantung dari sudut pandang apa kita melihatnya.

Ditinjau dari boleh tidaknya suami kembali kepada mantan istrinya terbagi menjadi dua macam yaitu:

a. Talak Raj’i

20

Bakri A, Rahman dan A. Sukarja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Perdata/B.W. (Jakarta: Hida Karya Agung, 1981), h. 41


(25)

Talak raj’i menurut etimologi adalah di mana suami dapat rujuk kembali, sedangkan menurut istilah fikih adalah talak yang dijatuhkan oleh suami kepada istrinya yang telah betul-betul dikumpulinya, talak yang bukan sebagai ganti mahar yang dikembalikan serta talak itu baru dijatuhkannya sekali.21

Menurut H. A Fuad Said dalam bukunya Perceraian Menurut Hukum Islam yang dimaksud dengan talak raj’i yaitu talak suami kepada istri yang telah dicampuri, baik dengan sharih (terang) maupun kinayah (sindiran).22 Ditambahkan pula oleh A. Zuhdi Muhdhor bahwa talak satu atau talak dua tersebut tanpa ada penebus talak dari istri untuk suami serta rujuknya suami tidak perlu adanya akad baru.23

Tidak ada perbedaan dengan pengertian yang dimaksud oleh Kompilasi Hukum Islam pasal 118 bahwa yang dimaksud dengan talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua, di mana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah.24

b. Talak Ba’în

Talak ba’in adalah talak untuk yang ketiga kalinya atau talak yang dijatuhkan sebelum istri dikumpuli dan talak yang jatuh dengan tebusan oleh

21

Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 58

22

H. A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1998), Cet. ke-30, h. 55

23

A. Zuhdi Muhdor, Memahami Hukum Perkawinan (Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk), (Bandung: Al-Bayan, 1999), Cet. ke-2, h. 94

24


(26)

istri kepada suaminya (khulu). Talak ba’in ini terbagi kedalam dua macam yaitu:

1) Talak Ba’în Shugrâ

Talak ba’in shugra yaitu talak yang kurang dari tiga kali yang tidak boleh dirujuk, tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah. Menurut A. Zuhdi Mudhor talak ba’in shugra juga termasuk talak satu dan dua.25 Adapun yang termasuk talak ba’in shugra sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 119 Kompilasi Hukum Islam ayat 2 yaitu:

1) Talak yang terjadi qabla al-dukhul (sebelum berhubungan seksual) 2) Talak dengan tebusan atau Khulu’

3) Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama26

“Talak yang terjadi qabla al-dukhul” ialah talak yang dijatuhkan oleh suami kepada istrinya yang belum pernah dicampuri. Istri yang demikian boleh ditalak tetapi ia tidak mempunyai masa iddah, oleh karena itu suami dilarang rujuk kepadanya sebab rujuk itu hanya diperbolehkan pada masa iddah. Sebagaimana ketentuan Allah dalam surat al- Ahzab ayat 49 yang berbunyi:

T ?-" U# 9,6 > rﻝ !&/

>N9&QP 1/ 'Hh >6 >N9P

Te s ,6tPﻝ

P (

>N9(+

>N9 +P@ !" &<

4G< = > 6 >! = T -ﻝ P@

F

d (u

I

vw

M

Artinya:

25

A. Zuhdi Muhdor, Loc.Cit.

26


(27)

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu menggaulinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya, maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya. (Al-Ahzab/33:49)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa wanita yang dicerai sebelum digauli tidak mempunyai masa iddah, karena itu ia tidak bisa dirujuk oleh mantan suaminya kecuali dengan akad yang baru.

“Talak dengan tebusan atau dengan khulu’ “adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwadh kepada suami dan atas persetujuan suaminya. Penyebabnya karena suami cacat atau karena sebab yang lainnya, sedangkan tebusan tersebut bisa juga merupakan pengembalian mahar dari istri.27

Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa khulu’ ialah hak memutus akad nikah oleh istri terhadap suaminya yang terjadi atas kesepakatan (jumlah tebusan mahar) atau perintah hakim agar istri membayar dengan jumlah tertentu dan tidak melebihi jumlah mahar suaminya.28 Ketentuan mengenai hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 229 yang mana inti dari ayat tersebut menjelaskan bahwa khulu’ adalah perceraian dengan tebusan berdasarkan kesepakatan suami istri tersebut atau dalam bahasa perundang-undangan disebut dengan gugat cerai dengan tebusan (iwadh).

27

A. Zuhdi Muhdor, Op. Cit., h. 95

28

A. Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. ke-1, h. 251


(28)

“Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama” yaitu talak atau perceraian yang keputusannya dijatuhkan oleh Pengadilan Agama di

mana sebelumnya salah satu pihak (suami/istri) mengajukan

permohonan/gugatan kepada Pengadilan Agama yang bersangkutan untuk keperluan tersebut. Contohnya seperti perceraian yang terjadi karena suami melanggar ta’lik talak.29

Jadi ketiga jenis talak di atas semuanya termasuk kategori talak ba’in shugra dengan konsekuensi suami dilarang rujuk kembali kepada mantan istrinya, akan tetapi apabila suami tersebut masih menginginkan kembali kepada mantan istrinya, maka menurut Kompilasi Hukum Islam suami tersebut boleh menikahinya dengan syarat harus dengan akad nikah baru walaupun wanita tersebut belum habis masa iddah maksudnya bila mantan suami tersebut bermaksud hendak mengadakan akad nikah baru, maka tidak perlu menunggu sampai masa iddahnya selesai.

2) Talak Ba’în kubrâ

Talak ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat drujuk dan tidak dapat dinikahi kembali. Kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al-dukhul dan habis masa iddahnya.30

Menurut Sayuti Thalib yang termasuk talak ba’în kubrâ yaitu:

29

Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. ke-1, h. 123-126

30


(29)

a) Talak itu berupa talak tiga

b) Perceraian karena li’an karena pasangan suami istri tersebut tidak diperbolehkan kawin lagi untuk selamanya.31

Talak yang ketiga kalinya itu adalah talak yang peristiwanya terjadi sebanyak tiga kali dan bukan talak yang dijatuhkan suami tiga kali sekaligus/berturut-turut, karena dalam Kompilasi Hukum Islam ada kata “terjadi” yang berarti ada kejadian/peristiwa talak yang mendahului talak ketiga tersebut yaitu talak satu dan talak dua.

Di sini dapat kita lihat bagaimana kehati-hatian Kompilasi Hukum Islam dalam menyusun redaksi tentang talak tiga, karena para ulama fikih juga sepakat atas keharaman talak tiga yang diucapkan sekaligus. Akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam mengkategorikan talak tiga yang diucapkan sekaligus, apakah jatuh talaknya atau tidak.

Implikasi yang ditimbulkan dari talak ba’in kubra ini adalah suami tidak dapat rujuk dan tidak dapat menikahi mantan istrinya lagi, kecuali apabila mantan istrinya tersebut telah menikah dengan laki-laki lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al-dukhul dan wanita tersebut telah habis masa iddahnya, maka suaminya yang pertama boleh menikahi mantan istrinya itu kembali.

Bila ditinjau dari sisi apakah talak itu sesuai dengan yang disyari’atkan oleh agama Islam atau tidak, maka talak itu terbagi menjadi dua macam yaitu:

a) Talak Sunny

31

Sayyuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet. ke-5, h. 103-104


(30)

Talak sunny secara etimologi berarti talak sunnah atau talak yang diperbolehkan. Menurut Sayyid Sabiq talak sunny adalah talak yang berjalan sesuai dengan ketentuan agama, yaitu seorang yang mentalak perempuan yang pernah dicampurinya dengan sekali talak di masa bersih dan belum dicampuri selama bersih itu.32

Pengertian di atas sama dengan yang dimaksud oleh Kompilasi Hukum Islam pasal 121 mengenai talak sunny. Talak sunny dijatuhkan sekali oleh suami atau istri yang suci dan belum dicampuri dalam waktu suci tersebut sebagaimana firman Allah surat at-Thalaq ayat 1 yang isinya adalah memerintahkan kepada para suami yang ingin menceraikan istri-istrinya hendaklah pada saat yang memungkinkan istri untuk beriddah yaitu setelah bersih atau suci dari haid atau nifas dan belum disetubuhi dalam waktu suci tersebut.

b) Talak Bid’i

Talak bid’i adalah talak yang bertentangan dengan syar’i yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid atau istri dalam keadaan suci tetapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut atau seorang mentalak tiga kali dengan sekali ucap atau mentalak tiga secara terpisah-pisah dalam satu tempat.33

2. Hukum Menjatuhkan Talak

32

Sayyid Sabiq, Op.Cit., h. 42

33

H.S. Al-Hamdani, Risalah Nikah: Hukum Pekawinan Islam, (Jakarta, Pustaka Amani, 2002), Cet. ke-2, h. 223


(31)

Dalam Islam, talak tidaklah disukai dan sangat dibenci oleh Allah SWT karena dapat merusak hubungan baik dan kemaslahatan antara suami istri. Sesuai dengan hadits Nabi SAW:

h 2 ,= _ \ Y

P= > =

I

T

2 = _ B ﺹ _ 9

h

I

= _ <,= ;?ﻝ aS%/

:; ﻝ '

F )

x x 9%/ E

M

Artinya :

“Dari Umar r.a. berkata : Rasulullah SAW bersabda: “sesuatu hal yang halal yang paling dibenci Allah adalah Talak”. (HR. Abu Daud)

Adapun Mengenai hukum menjatuhkan talak apabila dilihat dari kemaslahatan dan kemadharatannya, maka hukum talak ada 5 (lima), yaitu:34

a. Wajib, yaitu apabila terjadi perselisihan antara suami istri lalu tidak ada jalan yang dapat ditempuh kecuali dengan mendatangkan dua hakim dari istri dan dari suami (QS. 4: 35). Jika kedua hakim tersebut memandang bahwa perceraian lebih baik bagi mereka, maka saat itulah talak menjadi wajib. Jadi, jika sebuah rumah tangga tidak mendatangkan apa-apa selain keburukan, pertengkaran, perselisihan, atau bahkan menjerumuskan keduanya dalam kemaksiatan, maka pada saat itu talak adalah wajib bagi keduanya.

b. Makruh, yaitu talak yang dilakukan tanpa adanya tuntutan dan kebutuhan. Sebagai ulama ada yang mengatakan mengenai talak yang makruh ini terdapat dua pendapat: pertama, bahwa talak tersebut haram dilakukan karena dapat menimbulkan madharat bagi dirinya juga bagi istrinya, serta tidak mendatangkan manfaat apa-apa. Talak seperti ini haram sama seperti tindakan merusak atau menghamburkan harta kekayaan tanpa guna. Kedua,

34


(32)

menyatakan bahwa talak seperti itu dibolehkan. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah dari Umar r.a Rasulullah SAW bersabda : Sesuatu yang halal yang paling dibenci Allah adalah talak”.

c. Mubah, yaitu talak yang dilakukan karena ada kebutuhan. Misalnya karena buruknya akhlak istri dan kurang baiknya pergaulanya yang hanya mendatangkan madharat dan menjatuhkan mereka dari tujuan pernikahan.

d. Sunnah, yaitu talak yang dilakukan pada saat istri mengabaikan hak-hak Allah Ta’ala yang telah diwajibkan kepadanya, seperi shalat, puasa, dan kewajiban lainnya. Sedangkan suami juga sudah tidak sanggup lagi memaksanya, atau istrinya sudah tidak lagi menjaga kehormatan dan kesucian dirinya.

e. Mahzhur (terlarang), yaitu talak yang dijatuhkan ketika istri sedang haid. Para ulama Mesir telah sepakat untuk mengharamkannya. Talak seperti ini disebut juga dengan talak bid’ah karena menyalahi sunnah Rasulullah Saw dan mengabaikan perintah Allah SWT.35

Jumhur ulama termasuk Malikiyyah, syafi’iyyah, dan Hanabilah menyatakan bahwa talak termasuk hal yang diizinkan, tetapi lebih baik bila tidak melakukannya kecuali jika terpaksa, karena akan merusak hubungan kasih sayang. Karena itu, menurut mereka hukum talak dapat berubah menjadi haram, makruh, wajib, dan sunnah. Haram bila akibat talak itu akan mengakibatkan ia melakukan perbuatan zina atau jika talaknya talak bid’i. makruh bila ia (suami) sebenarnya suka dengan pernikahan itu, atau ia sedang mengharapkan

35


(33)

keturunan, atau ia tidak khawatir akan berbuat zina apabila bercerai. Wajib apabila suami sudah tidak mampu lagi untuk memberikan nafkah, atau karena sumpah ila’ tidak menggauli istrinya lebih dari empat bulan. Sunnah bila istrinya adalah seorang yang ucapan-ucapannya kotor, sehingga ia khawatir akan melakukan perbuatan terlarang jika masih bersamanya.36

C. Tata Cara Perceraian Menurut Undang-undang

Sejalan dengan prinsip atau asas Undang-undang No. 01/1974 tentang perkawinan, yakni untuk mempersulit terjadinya perceraian (pasal 39), maka perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (Undang-undang No. 03/2006 Pasal 65, jo. Kompilasi Hukum Islam pasal 115).

Adapun tata cara atau prosedurnya dapat dibedakan menjadi dua macam:

1. Cerai Talak

Cerai talak adalah salah satu bentuk cara yang dibenarkan berdasarkan hukum Islam dalam memutuskan akad nikah antara suami istri. (1) Apabila suami hendak menceraikan istrinya, maka harus menempuh jalur hukum yaitu melalui gugat permohonan ke Pengadilan Agama (PA).

Menurut ketentuan pasal 66 ayat (1) Undang-undang No. 07/1989 sebagai berikut: “seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.”

36

Taufik Abdullah, et.al., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 92


(34)

Adapun bunyi pasal 67 huruf A Undang-undang No. 07/1989 sebagai berikut:

“Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 66 di atas, memuat:

a. Nama, umur, dan tempat kediaman pemohon yaitu dan termohon yaitu istri.” Jadi talak itu tidak bisa dilakukan secara sepihak, tetapi harus bersifat dua pihak dalam kedudukan : suami sebagai pihak “pemohon”, dan istri sebagai pihak “termohon”.

Dalam rumusan pasal 14 PP No. 09/1975, dijelaskan pula beserta pengadilan tempat permohonan itu diajukan, yang berbunyi:

“Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai alasan-alasannya serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”

Selengkapnya, masalah tempat permohonan itu diajukan, diatur dalam pasal 66 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-undang No. 07/1989 sebagai berikut:

(2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.


(35)

(3) Dalam termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.

(4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka pemohon diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

(5) Permohonan tentang pengasuhan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan 37

Dengan demikian, kompetensi relatif Pengadilan Agama dalam mengadili gugat cerai talak diatur dalam pasal 66 tersebut agar gugatan tidak salah alamat, dan gugat cerai talak harus diajukan suami kepada Pengadilan Agama yang berpedoman kepada petunjuk yang telah ditentukan dalam pasal 66 di atas.

Dengan memperhatikan ketentuan yang digariskan dalam pasal tersebut, faktor utama menentukan kompetensi relatif Pengadilan Agama dalam perkara cerai talak ini didasarkan pada “tempat kediaman termohon”, hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan keringanan kepada si istri (Peraturan Menteri Agama RI No. 03/1975).

Selain itu, ayat (5) di atas memberikan peluang diajukannya kumulasi objektif atau gabungan tuntutan. Ini dimaksudkan agar dalam mencari

37

Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. ke-5, h. 279


(36)

keadilan melalui Pengadilan dapat menghemat waktu, biaya dan sekaligus menyelesaikan perkara semua tuntutan.38

Mengenai muatan dalam permohonan tersebut, selanjutnya pasal 67 Undang-undang No. 07/1989 ini menyatakan:

Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 66 di atas memuat: a. Nama, umur, dan tempat kediaman pemohon (suami), dan termohon

(istri),

b. Alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak (sebagaimana yang dirinci dalam pasal 19 PP/No. 09/1975 jo. Pasal 116 (Kompilasi Hukum Islam).

Terhadap permohonan ini, Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi (pasal 130 Kompilasi Hukum Islam). Langkah selanjutnya adalah mengenai pemeriksaan oleh pengadilan, yang diatur dalam pasal 68 UU No. 07/1989 yakni disebutkan:

1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh majelis hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di kepanitraan.

2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.

Dalam rumusan pasal 15 PP No. 09/1975 dinyatakan:

38


(37)

“Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat yang dimaksudkan pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari memanggil."

Dalam rumusan pasal 15 PP No. 09/1975 dinyatakan:

“pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat yang dimaksud pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari memanggil pengiriman surat dan juga istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatunya yang berhubungan dengan maksud perceraian.” (Pasal 131 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam)

Usaha mendamaikan kedua belah pihak selain ditempuh sebelum persidangan dimulai, setiap kali persidangan tidak menutup kemungkinan untuk mendamaikan mereka. Karena persidangan semacam ini tidak bisa diselesaikan dalam sekali persidangan. Mengenai hal ini, pasal 28 ayat (3) dan (4) Peraturan Menteri Agama RI No. 03/1975 menjelaskan:

3) Pengadilan Agama setelah mendapat penjelasan tentang maksud talak itu, berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan dapat meminta bantuan kepada (BP4) setempat agar kepada suami –istri dinasehati untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

4) Pengadilan Agama setelah memperhatikan hasil usaha BP4 bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan, dan berpendapat


(38)

adanya alasan untuk talak, maka diadakan sidang untuk menyaksikan talak dimaksud 39

Langkah berikutnya diatur dalam pasal 70 Undang-undang No. 07/1989, sebagaimana dirinci dalam pasal 16 PP No. 09/1975:

1) Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka pengadilan menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan. 2) Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1, istri

dapat mengajukan banding.

3) Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut.

4) Dalam sidang itu, suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh istri atau kuasanya.

5) Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang menghadiri sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau wakilnya.

6) Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak tidak datang menghadap sendiri

39

Departemen Agama RI, Kompilasi Perundang-undangan Badan Peradilan Agama, (Jakarta: Proyek Binpapera, 1981), h. 219


(39)

atau tidak mengirim wakilnya, meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut, maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama dan ikatan perkawinan mereka tetap utuh (lihat pasal 131 ayat (2), (3), dan (4) Kompilasi Hukum Islam)

Selanjutnya, itu diatur dalam pasal 17 PP No. 09/1975 sebagai berikut:

“Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam pasal 16, ketua pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirim kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.” Isi pasal 17 PP No. 09/1975 tersebut kemudian dirinci lagi dalam pasal 131 ayat (5) Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:

“Setelah sidang penyaksian ikrar talak, PA membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap talak yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan istri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada PPN yang mewilayahi tempat tiggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami-istri, dan helai keempat disimpan oleh PA.”

Langkah terakhir dari pemeriksaan perkara cerai talak ini ialah penyelesaian perkara sebagaimana yang diatur dalam penjelasan pasal 71 Undang-undang No. 07/1989 tentang Peradilan Agama:

1) Panitra mencatat segala hal ihwal yang terjadi dalam sidang ikrar talak.


(40)

2) Hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakan banding atau kasasi.

2. Cerai Gugat

Bentuk perceraian lain yang diatur dalam Undang-undang adalah “Cerai gugat”. Pada dasarnya proses pemeriksaan perkara cerai gugat ini tidak banyak perbedaan dengan cerai talak.

Undang-undang No. 07/1989, tentang Peradilan Agama dan PP No. 9/1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, tidak membedakan antara khulu’ dengan “cerai gugat”, karena kedua-duanya merupakan perceraian yang terjadi atas permintaan istri. Jadi dengan demikian, khulu’ termasuk kategori cerai gugat. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 09/1975 yang merupakan peraturan tentang pelaksanaan Undang-undang No. 01/1974 tentang perkawinan dalam hal teknis, yang menyangkut kompetensi wilayah pengadilan seperti dalam cerai talak, mengalami sedikit perubahan dalam Undang-undang No. 07/1989. tentang Peradilan Agama perubahan dimaksud terlihat pada:

Pertama, dalam pp No. 09/1975 gugatan perceraian bisa diajukan oleh suami atau istri, maka dalam Undang-undang No. 07/1989 dan Kompilasi Hukum Islam, gugatan perceraian diajukan oleh istri (atau kuasanya).

Kedua, pada prinsipnya pengadilan tempat mengajukan gugatan perceraian menurut PP No. 09/1975 diajukan di pengadilan yang mewilayahi tempat tergugat, sedangkan menurut Undang-undang No. 07/1989 dan


(41)

Kompilasi Hukum Islam ialah di pengadilan yang mewilayahi tempat kediaman penggugat40

Oleh sebab itu Undang-undang No. 07/1989 memberikan penjelasan dengan selengkap-lengkapnya mengenai tata cara cerai gugat dalam pasal- pasal yang berkenaan dengan hal tersebut. Pasal 73 misalnya, menyatakan:

i. gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tepat kediaman bersama tanpa izin tergugat.

ii. Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.

iii. Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada PA Jakarta Pusat.

Asas pemeriksaan cerai gugat pada prinsipnya tunduk sepenuhnya kepada tata tertib yang diatur dalam Hukum Acara perdata, dalam hal ini HIR atau RBG. Namun demikian, khusus untuk perkara perceraian, Undang-undang No. 07/1989 mengatur asas tersendiri. Di samping asas dan tata cara pemeriksaan perkara cerai gugat tunduk sepenuhnya pada ketentuan hukum acara perdata serta ketentuan khusus yang diatur dalam Undang-undangNo.

40


(42)

07/1989 ini, tata tertib pemeriksaan juga harus berpedoman pada asas-asas umum baik yang diatur dalam Undang-undang No. 14//1975, maupun asas-asas yang dicantumkan dalam UU No. 07/1989 ini. Adapun mengenai asas-asas yang menjadi pedoman pemeriksaan perkara cerai gugat sama dengan asas umum yang berlaku dalam pemeriksaan perkara cerai talak. Karenanya, masalah ini tidak akan diuraikan lagi pada bagian ini.

Namun demikian, pada bagian ini akan dikemukakan secara ringkas apa-apa yang menjadi asas umum dimaksud yang terdiri dari:

1. Pemeriksaan dilakukan oleh majelis hakim

Mengenai hal ini, dapat dilihat dalam ketentuan pasal 80 ayat (1) Undang-undang No. 07/191989 yang menjelaskan:

“pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh majelis hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di kepanitraan”

2. Pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup

Meskipun sidang pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup, putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 81 Undang-undang No. 07/1989 jo. Pasal 146 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam). Perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 81 ayat (2) dan pasal 146 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, pasal 34 PP No. 09/1975).


(43)

3. Pemeriksaan di sidang pengadilan dihadiri suami istri atau wakil yang mendapat kuasa khusus dari mereka.

Hal ini menjadi faktor penting bagi lancarnya pemeriksaan perkara di persidangan. Karena itu pasal 142 Kompilasi Hukum Islam menegaskan: 1) Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami istri datang sendiri

atau mewakilkan kepada kuasanya.

2) Dalam hal suami atau istri mewakilkan, untuk kepentingan pemeriksaan hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri. 4. Upaya mendamaikan diusahakan selama proses pemeriksaan berlangsung.

Hal ini ditegaskan dalam pasal 82 ayat (4). Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan, dan usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

Setelah perkara gugatan perceraian diputuskan dalam sidang terbuka untuk umum, salinan putusan dikirim kepada pihak-pihak yang terkait. Pasal 147 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyatakan:

“Setelah perkara perceraian itu diputuskan, maka panitra Pengadilan Agama menyampaikan salinan surat putusan tersebut kepada suami istri atau kuasanya dengan menarik kutipan akta nikah dari masing-masing yang bersangkutan.”41

Undang-undang No. 01/1974 tentang perkawinan serta PP No. 09/1975 tentang peraturan pelaksanaan undang-undang perkawinan, menyatakan bahwa terjadinya perceraian adalah terhitung mulai saat pernyataan perceraian itu

41


(44)

dinyatakan oleh suami dalam sidang Pengadilan Agama yang diadakan untuk menyaksikan perceraian itu. Dan dalam hal terjadinya gugatan perceraian, maka perceraian terjadi terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Putusan Pengadilan Agama dianggap telah mempunyai kekuatan hukum tetap apabila telah diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara. Putusan yang demikianlah yang diberikan pengukuhan oleh Pengadilan Negeri (PN) dan pengukuhan ini bersifat administratif dan tidak bernilai yuridis. Namun apabila dimintakan banding oleh salah satu pihak atas putusan Pengadilan Agama itu, maka putusan itu belum mempunyai kekuatan hukum dan belum dapat dikukuhkan. Demikian juga jika dimintakan kasasi.42

D. Alasan yang Membolehkan Perceraian menurut Undang-undang dan Akibat

dari Perceraian

1. Alasan yang Membolehkan Perceraian Menurut Undang-undang

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 38 ayat (2) menyatakan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri. Kemudian mengenai alasan perceraian itu dijelaskan lebih rinci oleh Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu pada pasal 19 yang berbunyi:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

42


(45)

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman dan penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.43

2. Akibat-akibat Perceraian

Dengan adanya putusan Perceraian yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama, bukan berarti masalah perceraian ini selesai, akan tetapi masih ada akibat-akibat hukum lainnya yang ditimbulkan dari perceraian tersebut yaitu menyangkut masalah anak-anak, hubungan suami istri dan harta kekayaan mereka.

a. Mengenai anak-anak

Dalam hal anak-anak yang masih menyusui kepada ibunya, apabila terjadi perceraian maka ibunya tetap berhak untuk menyusui dan memelihara anak itu, kemudian ayahnya juga tetap berkewajiban untuk memberi nafkah

43

Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. ke-1, h. 358


(46)

pemeliharaan dan pendidikan anaknya dari bayi hingga dewasa dan dapat mandiri.

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan juga telah mengatur masalah ini yang dimuat dalam pasal 41 yaitu :

1) Baik ibu atau bapak berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada

perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan memberi

keputusannya.

2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/ atau menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan istri.

b. Mengenai Hubungan Suami Istri

Bagi pasangan yang telah bercerai, maka haram bagi mereka untuk melakukan hubungan suami istri, selain itu mantan suami juga berkewajiban untuk memberikan mut’ah yang pantas kepada mantan istrinya tersebut. Mut’ah yang diberikan oleh mantan suami tersebut dapat berupa barang atau uang.


(47)

Kompilasi Hukum Islam juga telah mengatur masalah ini secara mendalam yang dimuat dalam pasal 149 yaitu :

1) Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al-dukhul.

2) Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.

3) Melunasi mahar yang telah terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qabla al-dukhul.

4) Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

c. Mengenai Harta Bersama

Islam tidak mengenal adanya percampuran antara harta kekayaan suami istri yang telah ada sebelum pernikahan. Harta kekayaan tersebut tetap menjadi milik masing-masing pihak selama mereka tidak menentukan lain. Apabila selama perkawinan mereka memperoleh harta, maka harta tersebut dinamakan harta syirkah yaitu harta yang menjadi milik bersama suami istri, oleh karena itu dalam Islam ada harta suami istri yang telah dicampur dan ada juga harta yang tidak dicampur.

Dalam hal harta kekayaan yang bercampur yang didapatkan selama perkawinan karena usaha bersama suami istri, menjadi milik bersama dari suami istri dan digunakan untuk kepentingan bersama. Kemudian apabila ikatan perkawinan tersebut putus baik karena perceraian maupun karena


(48)

salah satu pihak meninggal dunia, maka harta bersama tersebut dibagi dua antara suami istri. Masalah yang berhubungan dengan harta kekayaan suami istri ini telah diatur oleh Kompilasi Hukum Islam secara mendalam yang terjadi dari pasal 95 sampai pasal 97.


(49)

BAB III

WILAYAH HUKUM PENGADILAN AGAMA TASIKMALAYA

A. Dasar Hukum dan Sejarah

1. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Tasikmalaya

Pengadilan Agama Tasikmalaya dibentuk berdasarkan penetapan Menteri Agama No. 06/47.

2. Daftar Nama Ketua Pengadilan Agama Tasikmalaya44

No Nama Gol.

Terakhir

Pendidikan Terakhir

Tahun Menduduki Jabatan

1 RH.Abu Bakar - - -

2 RH. Usman - - -

3 KH. Moh. Sayuti - - -

4 RHA. Dasuki - - 1950

5 AA. Yunus - Ponpes 1955-1957

6 KH. Endang Djarkasih - Ponpes 1957-1963

7 RM. Syarif Ishak - Ponpes 1963-1964

8 KHM. Musa - Ak.B. Arab 1964-1978

9 Drs. Elon Dahlan - Sarjana 1978-1981

10 Umar Mansur Syah, SH - Sarjana 1981-1989

11 Drs. H. Ahmad Sudja’i IV/a Sarjana 1989-1995

12 Drs. HR. Muhamad IV/a Sarjana 1995-1997

13 Moh. Saleh Kastiwa, SH. VI/a Sarjana 1997-2000

14 Drs. Memet M. Soleh, SH. VI/a Sarjana 2000-2001

15 Drs. H.I. Nurchalis, Sy. SH. VI/c Sarjana 2001-2004

16 H. Didin Fathudin, SH.MH. VI/c Sarjana 2004-2006

17 Drs. Mahmud Yunus,MH. VI/c Sarjana 2006-Sekarang

44

Pengadilan Agama Tasikmalaya, Naskah Yurisdiksi Pengadilan Agama Tasikmalaya Tahun 2006-2007, h. 1


(50)

3. Sejarah Terbentuknya Pengadilan Agama Tasikmalaya dan Perkembangannya

Kenyataan kehidupan dan perkembangan Pengadilan Agama kini adalah hasil perjalanan sejarahnya, sehingga apa yang ada sekarang ini adalah hasil proses perubahan, penembahan, dan lain-lain. Hal mana bagi Pengadilan Agama Tasikmalaya memperlihatkan perkembangan kehidupannya tidak lepas dari bentuk dan perkembangan daerahnya itu sendiri, baik dari segi organisasi kemasyarakatan (pemerintahan) maupun dari perkembangan sosial budaya serta kontinuetasnya sampai sekarang.45

Terbentuknya Pengadilan agama Tasikmalaya berkaitan pula dengan perkembangan Tasikmalaya sebagai Kabupaten atau nama pengikat wilayah pemerintahan. Team peneliti hari jadi kabupaten Tasikmalaya menemukan enam moment sejarah untuk dijadikan pangkal menentukan hari jadi.46

Dalam enam moment itu mengandung unsur-unsur pembaharuan, kedinamisan, kreatifitas, kesadaran bermasyarakat, kesadaran pemerintahan sendiri dan kedaulatan atas wilayahnya.

Ke enam moment itu adalah:47

a. Galunggung menurut Prasasti Geger Hanjuang b. Periode Pemerintahan di sukakerta.

c. Berdirinya Sukapura dan Perkembangannya.

d. Perpindahan Ibukota Kabupaten. Sukapura ke Manonjaya (1334)

45

Ibid., h. 2

46

Ibid.

47


(51)

e. Perpindahan Ibukota Kabupaten. Sukapura dari Manonjaya ke Tasikmalaya 1 Oktober 1901 yang kemudian diikuti perubahan nama Kabupaten. Sukapura menjadi Kabupaten Tasikmalaya pada Januari 1913.

f. Tasikmalaya dalam lingkungan negara RI (Undang-undang No. 1/1945 tanggal 23 November 1945 dan Undang-undang No. 22/1950 tanggal 8 Agustus 1950.

4. Sejarah Pembentukan Pengadilan Agama Tasikmalaya

Pengadilan Agama Tasikmalaya pertama dibentuk berdasarkan penetapan Menteri Agama No. 6 Tahun 1947, Pengadilan Agama disebut pakauman. Pemisahan dan Pencabutan Pengadilan Agama terjadi pada awal tahun 1950. Setelah proklamasi kemerdekaan terjadi perubahan integral, pada tanggal 3 Januari 1946, terbentuklah kementerian agama, hal mana semua pegawai-pegawai pakauman (termasuk Raad Agama) diangkat semata-mata oleh kebijakan presiden dan bupati. Setelah terbentuknya kementerian agama tersebut, wewenang untuk mengangkat penghulu dan ketua Raad Agama ditetapkan menjadi wewenang Kementrian Agama.48

Pakauman (Raad Agama) semula bertempat di Manonjaya, sewaktu pemerintahan Sukapura. Kabupaten Sukapura pindah ke Tasikmalaya, pakaumanpun ikut pindah, lokasinya di sebelah Selatan Masjid Agung Tasikmalaya, sedang untuk ruang Raad agama bertempat di ruang depan Kantor Urusan Agama, setelah ada pemisahan pada tahun 1950 pindah ke sebelah utara Masjid Agung, kemudian pindah lagi ke Jl. Sutisnasenjaya yang bangunannya

48


(52)

disatukan dengan Departemen Agama, kemudian pindah lagi ke Jl. Bebedahan II No. 30 Tasikmalaya sampai sekarang.49

5. Keadaan Personil dan keadaan perkara

Jumlah Personil Pengadilan Agama Tasikmalaya masih sangat terbatas, sehingga jumlah kemampuan administratif dan teknis para petugas perlu terus ditingkatkan terutama tenaga administrasinya dengan ditunjang oleh sarana fisik yang memadai, walaupun setiap tahun terus mendapat tambahan pegawai baru yang sampai sekarang berjumlah 46 orang pegawai tetap ditambah 10 orang tenaga honorer dengan perincian sebagai berikut:50

1. Ketua dan Wakil Ketua = 2 orang

2. Hakim = 10 orang

3. Panitera = 1 orang

4. Pejabat struktur dan Fungsional = 30 orang

5. Tenaga Pelaksana/ Staf = 3 orang

6. Tenaga Honorer = 10 orang

Sejak berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang peraturan pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Kompilasi Hukum Islam, maka peranan Pengadilan Agama semakin bertambah, sehingga jumlah kemampuan administratif dan teknis para petugas perlu terus ditingkatkan dan

49

Ibid.

50


(53)

ditunjang oleh sarana fisik yang memadai dengan keadaan perkara Tahun 2005 sebanyak 2. 108 perkara.51

6. Daerah

Bahwa dengan perkembangan dan kemajuan Provinsi Jawa Barat pada umumnya dan Kabupaten Tasikmalaya pada khususnya serta adanya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dengan mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri perlu meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan guna menjamin perkembangan dan kemajuan pada masa yang akan datang.

Bahwa Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 10 Tahun 2001 tentang pembentukan Kota Tasikmalaya. Bahwa Pengadilan Agama Tasikmalaya mempunyai wilayah yirisdiksinya Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya.52

51

Ibid.

52


(54)

B. Kondisi Umum Masyarakat Kecamatan Sodonghilir

Kecamatan Sodonghilir terletak sebelah Barat daya kabupaten Tasikmalaya, dengan luas wilayah seluas 11.186 Ha terdiri dari:53

1. Lahan sawah : 3.074 Ha

2. Kolam : 130 Ha

3. Lahan darat : 7.982 Ha

4. Perkebunan : 1.400 Ha

5. Pemukiman : 4.582 Ha

1. Batas Wilayah Kecamatan Sodonghilir

Sebelah Utara : Berbatasan dengan kecamatan Taraju dan kecamatan Puspahiang

Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Bantar Kalong

Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Taraju dan Kecamatan Bojong gambir

Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Tanjungjaya dan kecamatan Parung ponteng.54

2. Orbitrase Jarak Tempuh

Ke ibu kota negara : 325 kilo meter Ke ibu kota propinsi: 150 kilo meter Ke ibu kota kabupaten: 50 Kilo meter55

3. Jumlah desa, 12 desa, yaitu:

1. Desa Sodonghilir

53

Kecamatan Sodonghilir, Diktat Geografi Kecamatan Sodonghilir Tahun 2006-2007, h. 1

54

Ibid., h. 2

55


(55)

2. Desa Cukangkawung 3. Desa Cikalong

4. Desa Muncang

5. Desa Cipaingeun

6. Desa Leuwidulang

7. Desa Parumasan

8. Desa Raksajaya 9. Desa Spatnunggal 10.Desa Cukangjayaguna 11.Desa Pakalongan 12.Desa Sukabakti56

4. Jumlah penduduk

- Laki-laki : 31.349 Jiwa

- Perempuan : 31.440 Jiwa

- jumlah kepala keluarga : 15.494 Jiwa

- Jumlah WNA : - Jiwa

Jumlah Penduduk menurut Usia

- 00-05 Tahun : 4.387 Jiwa

-06-15 Tahun : 11.364 Jiwa

-16-60 Tahun : 44.355 Jiwa

56


(56)

-61 ke atas Tahun : 2.677 Jiwa57

5. Mata Pencaharian Penduduk

- Jumlah Penduduk Usia Kerja : 39.083 Jiwa

- petani : 29.061 Jiwa

- Pedagang : 1.683 Jiwa

- Home Industri : 617 Jiwa

- Buruh Karyawan : 2.951 Jiwa

- PNS : 725 Jiwa

- TNI/ POLRI : 27 Jiwa

- Pensiun : 315 Jiwa58

6. Latar Belakang Pendidikan

- SD : 27.496 Jiwa

- SLTP : 7.600 Jiwa

- SLTA : 3.966 Jiwa

- Perguruan Tinggi : 1.881 Jiwa

Latar Belakang Agama

- Islam : 63. 357 Jiwa

- kristen/katolik : - Jiwa

-Hindu : - jiwa

- Budha : - Jiwa59

57

Ibid.

58

Ibid., h. 4

59


(57)

POTENSI PENDIDIKAN

1. Sarana dan Prasarana Pendidikan

- SD : 62 Buah

-SMP : 9 Buah

- SMA : 4 Buah60

2. Jumlah Murid

- SD : 6.990 Orang

- SMP : 3.374 Orang

- SMA : 1.239 Orang61

3. Jumlah Guru

- SD : 355 Orang

- SMP : 148 Orang

- SMA : 72 Orang

4. Jumlah Tidak Sekolah

- Tidak tamat SD : 46 Orang

- Tidak melanjutkan ke SMP : 37 Orang

- Buta hurup/aksara : 53 Orang

- Rata-rata lama sekolah : 6,3 Orang

POTENSI KESEHATAN

1. Fasilitas Kesehatan

60

Ibid.

61


(58)

- Puskesmas : 1 Orang

- Puskesmas pembantu : 5 Orang

- Rumah bersalin/ bidan : 5 Orang

- Klinik : 5 Orang

- Posyiandu : 73 Orang62

2. Tenaga Kesehatan

- Dokter Umum : - Orang

- Dokter Gigi : - Orang

- Bidan : 5 Orang

- Perawat : 10 orang

- Perawat Gigi : 1 Orang63

POTENSI EKONOMI

1. Lembaga Perekonomian Masyarakat

- Industri Perusahaan : 1 buah

- BUMN/BUMD : 3 buah

- Parawisata : - buah

- Hotel : - buah

- Perusahaan Jasa : 49 buah

- Kelomok Usaha Kecil : 25 Buah

- Usaha perorangan : 27 Buah

62

Ibid.

63


(59)

- Koperasi : 6 Buah

- UPK : 1 Buah64

64


(60)

BAB IV

PERCERAIAN DI KECAMATAN SODONGHILIR

A. Hukum Perceraian di Luar Pengadilan

Berbicara tentang perceraian di luar pengadilan, tidak dapat dilepaskan dengan pendapat fiqih ulama klasik. Jika ditilik lebih seksama, nampaknya tidak satupun para imam madzhab yang mengharuskan adanya tempat khusus, termasuk di pengadilan, yang membuat sah terjadinya perceraian. Dengan kata lain, di tempat mana saja yang pantas dan layak, bisa membuat sah terjadinya perceraian selama memenuhi persyaratan dan rukunnya.65

Pendapat ulama klasik tersebut di atas, tidak terlepas dengan kondisi ril pada masanya yang memang bentuk ada lembaga peradilan seperti pada saat sekarang. Namun demikian pada masa sekarang ini, juga banyak ditemui para ulama dan kiai yang berpendapat sahnya perceraian di luar pengadilan. Salah satunya yaitu Kiyai. Abdul Madjid, anggota MUI Kecamatan Sodonghilir, yang mengatakan bahwa perceraian sah walaupun dilakukan di hutan ataupun di lautan, tidak harus di Pengadilan Agama. Hanya saja menurut beliau, undang-undang yang mengharuskan perceraian di Pengadilan Agama itu lebih baik, karena itu adalah usaha pemerintah untuk meminimalisir perceraian.66

Menurut penulis, meskipun secara hukum Islam perceraian sah dilakukan di luar pengadilan, namun akan lebih baik jika dilakukan di pengadilan sesuai dengan

65

Abdul Madjid, Wawancara Pribadi, Sodonghilir: 1 Januari 2007

66


(61)

ketentuan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Perceraian di Pengadilan Agama mempunyai pengaruh dan dampak positif, di antaranya:

1. Tidak mudahnya perceraian dapat mengurangi tingkat perceraian yang terjadi di masyarakat.

2. Hakim yang mengadili perceraian mengatur masalah nafkah bagi istri dan anak paska perceraian, termasuk hak asuh anak (hadhanah).

3. Secara sosial, dengan terbukanya perceraian di Pengadilan Agama dapat menimbulkan keadilan bagi suami-istri, seperti adanya peluang bagi pihak lain untuk menikahi mereka melalui KUA. Selain itu, dengan perceraian di muka Pengadilan Agama menghindari fitnah akibat telah jelasnya status perceraian mereka.67

B. Perceraian di Luar Pengadilan di Kecamatan Sodonghilir

Pada dasarnya masalah perceraian ini sudah diatur dalam peraturan pemerintah No 9/1975, dan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam yang ditujukan khusus bagi umat Islam, mulai dari Instansi atau lembaga mana yang berhak mengurus perceraian, siapa yang berhak menceraikan, tata cara perceraian dan lain-lain sampai alasan-alasan yang diperbolehkan terjadinya perceraian. Akan tetapi banyak masyarakat yang tidak tunduk terhadap peraturan perundang-undangan, hal ini terbukti dengan tidak dilakukannya perceraian yang tidak sesuai dengan prosedur perundang-undangan,

67


(1)

tentang setatus saya yang sudah janda.

14.Setelah bercerai apakah, mantan suami anda memberikan nafkah, kepada anda, dan anak anda?

Jawab: Tidak, karena saya minta bercerai, dan saya mempunyai pekerjaan. 15.Bagaimana hak asuh anak apa di bicarakan sewaktu anda bercerai?

Jawab: Dibicarakan, tapi karena si Dian masih Kecil, baru 1 Tahun jadi saya yang harus mengurus dia.

16.Mengenai harta gonogini atau harta bawaan di bicarakan dengan mantan suami anda sewaktu bercerai?

Jawab: Tidak, karena pernikahan saya baru, jadi belum ada yang di hasilkan bersama.

17.Apakah anda mendapat Mut’ah selama iddah dari suami anda?


(2)

HASIL WAWANCARA

Nama : Mula

Hari/tanggal : Senin/08-01-2007

Waktu/Tempat : Jam 15.00/Kediaman Mula 1. Berapa lama usia pernikahan anda?

Jawab: 1 Tahun

2. Apa yang menyebabkan anda bercerai?

Jawab: Karena suami saya sering berbohong kepada saya. 3. Di mana anda melakukan perceraian?

Jawab: Di rumah saya 4. Kapan anda bercerai?

Jawab: Juni, 2006.

5. Bagaimana proses perceraian anda? Jawab: lancar, secara kekeluargaan 6. Siapa saja yang menceraikan anda?

Jawab: Ulama setempat, RT.

7. Siapa saja yang hadir waktu proses perceraian anda?

8. Menurut anda kalau melakukan perceraian itu harus dilakukan di mana? Jawab: Yang saya tahu, harus di Pengadilan

9. Faktor apa yang menyebabkan anda bercerai di luar Pengadilan?

Jawab: Semenjak saya kecil, yang bercerai itu tidak lewat Pengadilan. akhirnya dari perceraian mereka baik-baik saja, saya juga mengikuti mereka yang bercerai sebelum saya, dan perceraian saya juga lancar-lancar saja

10.Apakah perceraian yang dilakukan oleh anda, dianggap puas? Jawab: Puas

11.Apakah anda melaporkan ke pihak KUA bahwa anda telah bercerai? Jawab: Belum.

12.Apakah ada kendala setelah bercerai tidak lewat Pengadilan?

Jawab: ya, setelah saya melakukan perceraian pertama, terus saya hendak ingin menikah lagi, ternyata saya tidak bisa dinikahkan oleh pihak KUA, akhirnya saya menikah yang kedua tidak lewat KUA.

13.Setelah bercerai apakah, mantan suami anda memberikan nafkah, kepada anda, dan anak anda?


(3)

sewaktu bercerai? Jawab: Tidak.

15.Apakah anda mendapat Mut’ah selama iddah dari suami anda.

Jawab: Memberi lima ratus ribu, tapi saya tidak tahu uang hak apa yang dia berikan


(4)

HASIL WAWANCARA

Nama : Suryana

Hari/tanggal : Selasa/ 10-01-2007 Waktu/Tempat : Jam 13.00/Rumah

1. Berapa lama usia pernikahan anda? Jawab: 1 Tahun

2. Apa yang menyebabkan anda bercerai?

Jawab: Istri yang kurang menghormati keluarga saya; 3. Di mana anda melakukan perceraian?

Jawab: Di rumah mertua saya. 4. Kapan anda bercerai?

Jawab: Tahun 2005

5. Bagaimana proses perceraian anda? Jawab: Secara kekeluargaan 6. Siapa saja yang menceraikan anda?

Jawab: Ulama di tempat istri, Rt.

7. Siapa saja yang hadir waktu proses perceraian anda?

Jawab: RT. Saksi-saksi dari saya dan dari istri saya, serta kedua mertua saya. 8. Menurut anda kalau melakukan perceraian itu harus dilakukan di mana?

Jawab: Di Pengadilan

9. Faktor apa yang menyebabkan anda bercerai di luar Pengadilan?

Jawab: Ya, masalah uang, biaya yang mahal, dan selain itu juga masalah jarak, Sodong – Tasik yang jauh, kalau menurut saya, lagi pula istri saya juga menerima kalau bercerai di rumah.

10.Apakah perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan adil menurut anda? Jawab: Cukup Adil. Karena bisa damai.

11.Apakah anda mendapat kesulitan setelah melakukan perceraian di luar Pengadilan? Jawab: Ya, saya mau menikah lagi tidak bisa ke KUA. Karena tidak mempunyai

surat cerai. Akhirnya saya menikah yang kedua kali tidak lewat jalur KUA, jalur belakang.

12.Apakah perceraian yang dilakukan oleh anda, dianggap puas? Jawab: Puas


(5)

14.Setelah bercerai apakah, mantan istri anda di berikan nafkah, dan anak anda? Ya sebesar 1.000.000,00. saya belum punya anak.

15.Mengenai harta gonogini atau harta bawaan di bicarakan dengan mantan istri anda sewaktu bercerai?


(6)