Etika dalam Ragam Dua

Ragam satu, tari permulaan, yang dilukiskan oleh Guru Sauti dalam sebait pantun berikut ini. Sedang melayang pandangan mata, Terpaut pandangan pada juita, Menggetar sukma berdebar cita, Terbayang-bayang di ruang mata. Ragam satu tari Serampang XII diberi tajuk tari permulaan. Maknanya adalah tercermin dalam sebait pantun tersebut. Pantun ini adalah masuk ke dalam kategori pantun empat rangkap dalam sastra tradisi Melayu. Rima sajak yang digunakan adalah rata a-a-a-a. Keseluruhannya menggunakan enam belas kata, berupa kata dasar, kata ulang, kata depan, verbal, keterangan, dan lainnya. Terdiri dari 41 suku kata. Secara semiotik, pantun ini dengan eksplisit menyatakan bahwa sedang terjadi perasaan cinta, seseorang kepada pautan hatinya. Cinta ini dimulai dari pandangan mata, sehingga terpaut kepada juwita. Selanjutnya cinta ini menggetarkan sukma, dan terus terbayang sang pujaan hati. Untuk lebih menegaskan keadaan jatuh cinta pada pandangan pertama ini, Sauti dalam sampirannya langsung menggunakan sampiran pada dua larik penggal pertama. Pantun ini secara umum adalah menjelaskan terjadinya awal kali proses jatuh cinta, sebagai anugrah Tuhan kepada manusia.

4.1.2 Etika dalam Ragam Dua

Ragam dua, disebut juga ragam tari berjalan, artinya cinta meresap. Setelah kedua sejoli bertemu dan bertatap muka, maka kedua insan ini pun saling jatuh cinta dari pandangan pertama. Namun keduanya masih sama-sama malu- malu untuk mengungkapkan. Universitas Sumatera Utara Gambar 4.2 Secara keseluruhan, ragam dua ini hitungannya adalah empat kali delapan. Ragam ini dibagi ke dalam dua bagian tari. Pada bagian pertama, yaitu langkah berjalan diawali dengan gerak kaki kanan pada saat hitungan satu dan tangan gerak melenggang. Pandangan mata penari wanita adalah kearah tangan yang di atas. Di sisi lain, penari laki-laki melakukan lirik ke arah penari pasangan perempuan. Seterusnya yang dilakukan penari adalah lintasan serong sebesar 30 ke arah kanan, oleh karena itu kedua penari berselisih dengan keberadaan masing- masing di kirinya. Gerakan ini dilakukan dari hitungan satu, dua, tiga, empat, lima, enam, sampai tujuh saja. Pada hitungan kedelapan, kaki menutup silang di belakang tumit kaki kanan. Seterusnya hitungan satu, dua, tiga, empat, lima enam, dan tujuh kedua penari mundur dengan teknik meniti batang. Pada hitungan kedelapan kedua kaki merapat kembali di tempat. Universitas Sumatera Utara Untuk bagian keduanya, gerakan kedua penari adalah sama dengan bagian pertama, namun arah penari adalah berlawanan. Pada hitungan satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, dan delapan berikutnya sama dengan yang pertama tadi, namun lintasannya di lantai tari adalah 30 ke kiri depan, sehingga kedua penari berselisih dengan pasangannya di kanan masing-masing. Gerakan majunya hitungan satu, dua, tiga, empat, lima, enam dan tujuh. Sewaktu hitungan delapan kaki kiri menutup silang di belakang tumit kanan. Salanjutnya, kedua penari melakukan gerak mundur dengan teknik titi batang, sama dengan gerakan satu sampai delapan yang pertama. Pandangan mata kedua penari adalah sama dengan gerakan bagian pertama. Ragam kedua, tari berjalan, cinta meresap, yang digambarkan dalam pantun berikut ini. Dari mana datangnya lintah, Dari atap turun ke padi, Dari mana datangnya cinta, Dari mata turun ke hati. Pantun di atas, dengan sangat jelas menggunakan empat baris dalam satu bait. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran atau pembayang, dan baris ketiga serta keempat adalah isi atau maksud pantun. Pantun ini menggunakan persajakan binari a-b-a-b. Menggunakan gaya bahasa repetisi terutama perulangan kata “Dari” di awal keempat barisnya. Pantun ini menggunakan 18 kata, baik kata dasar maupun kata depan. Keseluruhannya menggunakan 36 suku kata. Secara umum pantun tersebut menjelaskan tentang asal-usul cinta, yaitu dari mata turun ke hati. Dari matalah secara fisik manusia tertarik kepada pasangannya. Dimensi penglihatan ini kemudian diinternalisasikan ke dalam hati Universitas Sumatera Utara berupa perasaan senang, cinta, rindu, bahagia dan lainnya. Pantun ini adalah pantun yang paling popular dalam kebudayaan Melayu dalam menggambarkan asal-usul cinta. Namun di sini, Guru Sauti menciptakan sampiran sedikit berbeda dengan yang biasa terdapat dalam tradisi lisan Melayu, yaitu Dari mana datangnya lintah, Dari sawah turun ke kali. 4.1.3 Etika dalam Ragam Tiga Ragam tiga, disebut juga ragam tari pusing yang artinya memendam cinta. Gambar 4.3 Keseluruhan beat tari adalah empat kali delapan. Dalam menarikan ragam ini, kaki digerakkan dengan menggunakan teknik langkah celatuk. Di sisi lain, tangan kedua penari adalah menggunakan gerak mendayung ketika gerak maju. Pada saat gerakan tubuh mundur, tangan penari lelaki menggunakan teknik kecak pinggang. Tangan kanan penari perempuan menggunakan teknik tersipu malu. Menurut siklus hitungannya, kaki kanan maju serong kiri sebesar 45 setengah Universitas Sumatera Utara siku-siku sampai ke garis tengah antara kedua penari ini, pada hitungan: satu, dua, tiga, dan empat. Seterusnya, pada hitungan kelima, penari berbelok ke arah kanan, sejajar garis tengah, mengisi hitungan enam, tujuh, dan delapan. Pada hitungan ini kedua penari berselisih dengan pasangannya di sisi kiri masing- masing. Dalam siklus berikutnya pada hitungan satu, dua, tiga, dan empat kedua penari berputar membentuk lingkaran kecil ke kanan. Seterusnya, pada hitungan lima, enam, tujuh, dan delapan keduanya menyeberangi garis tengah membuat lintasan garis lengkung setengah lingkaran 180 . Kemudian hitungan satu sampai delapan berikutnya kedua penari mundur mengulangi garis edar maju lebih cepat ritmenya sehingga membentuk sudut 270 . Kemudian pada hitungan satu sampai delapan maju membuat garis edar 270 lingkaran besar dan kembali ke posisi semula. Ragam ketiga, tari pusing tari, memendam cinta, dilukiskan dalam sebait pantun sebagai berikut. Cinta terpendam kala melanda, Langit yang cerah kelihatan kelam, Bumi serasa sebesar talam, Perasaan jiwa timbul tenggelam. Pada pantun di atas, hampir sama dengan bait pertama, sampirannya juga langsung seperti isi, bukan sampiran sebagaimana umumnya pantun biasa. Bait ini terdiri dari 17 kata, baik kata dasar maupun kata berimbuhan, kesemuanya dibangun oleh 43 suku kata. Pantun ini menggunakan persajakan rata. Makna yang ingin disampaikan Guru Sauti pada pantun ini adalah terjadinya proses cinta yang terpendam, atau sedang memendam rasa cinta. Akibatnya dalam diri orang yang memendam cinta itu adalah berbanding terbalik dengan lingkungannya, yang digambarkan dalam Langit yang cerah kelihatan Universitas Sumatera Utara kelam, Bumi serasa sebesar talam. Jiwa orang yang sedang memendam rasa cinta ini adalah terguncang seperti timbul dan tenggelam.

4.1.4 Etika dalam Ragam Empat