2.1.3 Teori Belajar
Belajar merupakan suatu proses yang dilakukan secara sadar melalui pengalaman secara kontinyu untuk merubah sikap, perilaku, pengetahuan dan
keterampilan yang relatif menetap pada suatu individu. Teori belajar adalah teori yang mendeskripsikan apa yang sedang terjadi saat proses belajar berlangsung dan
kapan proses belajar tersebut berlangsung Thobroni dan Mustofa, 2011: 15. Teori belajar adalah teori yang pragmatik dan eklektik. Teori dengan sifat
demikian ini hampir dipastikan tidak pernah mempunyai sifat ekstrim atau mutlak. Dimyati dan Mudjiono, 2013: 125. Menurut Purnomo 2015: 1 teori
belajar dibagi menjadi 4 yaitu. 2.1.3.1
Teori Belajar Behaviorisme Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku
sebagai hasil dari pengalaman. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon Slavin, 2015: 134. Menurut Thobroni 2011: 64. Belajar
merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya.
Sejalan dengan Rifa’i dan Anni 2012: 89 belajar adalah perubahan perilaku. Perubahan perilaku dapat berwujud perilaku tampak overt behavior atau
perilaku yang tidak tampak innert behavior. Perilaku yang tampak misalnya: menulis, memukul, menendang. Sedangkan perilaku yang tidak tampak misalnya:
berfikir, menalar, dan berkhayal. Perubahan tingkah laku yang diperoleh dari hasil belajar bersifat permanen.
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input
yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau
tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Oleh karena itu, apa yang diberikan oleh guru stimulus dan apa yang diterima oleh siswa
respons harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau
tidaknya perubahan tingkah laku tersebut. Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme
menurut Purnomo 2015: 1, diantaranya: 2.1.3.1.1
Connectionism S-R Bond menurut Thorndike. Thorndike
melakukan eksperimen
terhadap kucing,
dari hasil
eksperimennya dihasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya: 1
Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan stimulus dengan respons akan semakin kuat.
Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara stimulus dengan respons.
2 Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa
kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar conduction unit, dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang
mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
3 Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara stimulus dengan respons
akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.
2.1.3.1.2 Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov
Berdasarkan eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
1 Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika
dua macam stimulus dihadirkan secara simultan yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer, maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
2 Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika
refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
2.1.3.1.3 Operant Conditioning menurut B.F. Skinner
Eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
1 Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan
stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat. 2
Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku membawa efek yang sama terhadap lingkungan. telah diperkuat melalui proses conditioning itu
tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
2.1.3.1.4 Social Learning menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori
belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus
S-R Bond, melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar
belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan imitation dan penyajian contoh
perilaku modeling. Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan
memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan. Berdasarkan hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan
behaviorisme di atas maka dapat disimpul bahwa Teori belajar Behaviorisme adalah sebuah teori tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.
Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori ini menggunakan model hubungan stimulus respon dan menempat-
kan peserta didik sebagai individu yang pasif. 2.1.3.2
Teori Belajar Kognitivisme Istilah “Cognitive” menurut Rachman 2015: 11 berasal dari kata
cognition artinya adalah pengertian, mengerti. Pengertian cognition kognisi sangat luas, mencakup perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan. Dalam
pekembangan selanjutnya, kemudian istilah kognitif ini menjadi populer sebagai
salah satu wilayah psikologi manusia atau satu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan
dengan masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, pertimbangan,
membayangkan, memperkirakan, berpikir dan keyakinan. Termasuk kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi kehendak dan afeksi
perasaan yang bertalian dengan rasa. Menurut para ahli jiwa aliran kognitifis, tingkah laku seseorang itu senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan
mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi. Menurut Jean Piaget dalam Purnomo, 2015: 4 menjelaskan bahwa
perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu: 1
sensory motor Pada tahap sensori motor 0-2 tahun, seorang anak belajar
mengembangkan dengan mengatur kegiatan fisik dan mental menjadi perbuatan yang bermakna.
2 pre operational
Pada tahap pra operasional 2-7 tahun, seorang anak masih sangat dipengaruhi oleh hal-hal khusus yang didapat dari pengalaman menggunakan
indra sehingga belum mampu menyimpulkan sesuatu secara konsisten. 3
concrete operational Pada tahap operasional konkret 7-11 tahun, seorang anak dapat
membuat kesimpulan dari sesuatu pada situasi nyata atau dengan
menggunakan benda konkret, sehingga dapat mempertimbangkan dua aspek dari situasi nyata secara bersama-sama misalnya, antara bentuk dan ukuran.
4 formal operational.
Pada tahap operasional formal 11 tahun ke atas, kegiatan kognitif seseorang tidak mesti menggunakan benda nyata. Pada tahap ini, kemampuan
menalar secara abstrak meningkat sehingga seseorang dapat berpikir secara deduktif.
Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton 2005 menyebutkan
bahwa asisimilasi adalah “the process by which a person takes material into their mind from the environment, which may mean changing the evidence of their
senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind or concepts by the process of assimilation”
Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif siswa. siswa hendaknya diberi
kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan dari guru. Guru
hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai
hal dari lingkungan. Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah: 1 bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang
dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak; 2 anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat
menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya; 3 bahan yang harus dipelajari
anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing; 4 berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya; 5 di dalam kelas, anak-anak hendaknya
diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya. 2.1.3.3
Teori Belajar Humanistik Menurut teori humanistik, proses belajar harus berhulu dan bermuara
pada manusia. Dari teori-teori belajar, seperti behavioristik, kognitif, dan konstruktivistik, teori inilah yang paling abstrak, yang paling mendekati dunia
filsafat dari pada dunia pendidikan. Pada kenyataanya teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam bentuknya yang paling
ideal. Dengan kata lain teori ini lebih tertarik pada gagasan tentang belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa yang diamati dalam
dunia keseharian. Thobroni dan Mustofa 2011: 157 menjelaskan bahwa bagi para
penganut teori humanistik, proses belajar harus bermuara pada manusia. Pendapat tersebut didukung oleh Rifa’i dan Anni, bahwa teori humanistik menganggap
bahwa pembelajaran merupakan wahana bagi siswa untuk melakukan aktualisasi diri, sehingga pendidik harus membangun kecenderungan dan mengorganisir
kelas agar siswa melakukan kotak dengan peristiwa-peristiwa yang bermakna. Fokus utama teori ini adalah hasil pendidikan yang bersifat afektif, belajar tentang
cara-cara belajar learning how to lear dan meningkatkan kreativitas dan semua potensi siswa.
2.1.3.4 Teori Belajar konstruktivisme
Teori konstuktivisme memahami belajar sebagai proses pembentukan konstruksi pengetahuan oleh si belajar itu sendiri. Pengetahuan ada didalam diri
seseorang guru kepada orang lain siswa. Pembelajaran kontruktivisme menekankan pada proses belajar, bukan mengajar. Siswa secara individu
menemukan dan mentransfer informasi yang k ompleks Rifa’i dan Anni,
2012:189. Sedangkan Piaget dalam Thobroni dan Musofa, 2011: 111-112 menegaskan bahwa pengetahuan dibangun dala pikiran siswa melalui asimilasi
dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi batu dalam pikiran, sedangkan akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya
informasi baru sehingga informasi tersebut mempunyai tempat. Berdasarkan uraian tersebut maka teori belajar yang mendasari
penelitian ini adalah adalah teori belajar kognitivisme dan konstruksivisme. Berdasarkan teori kognitif piaget, siswa usia Sekolah Dasar berada pada tahap
operasional konkrit 7-11 tahun, oleh karena itu dalam pembelajaran hendaklah menggunakan benda-benda konkrit dan sesuai dengan situasi nyata sehingga
siswa mudah memahami materi yang diberikan guru. Kegiatan konstruktivisme terlihat dalam pembelajaran dengan menggunakan SETS, siswa dituntut untuk
bisa menghubungkaitkan antara unsur-unsur SETS. Ini bisa diawali dengan menggunakan contoh yang dialami siswa sendiri atau yang dipahami dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan adanya pemahaman itu siswa bisa mengkonstruk membangun pengetahuan yang baru, salah satunya adalah melalui interaksi, baik
dengan pendidik maupun antar siswa.
2.1.4 Hasil belajar