Prinsip-Prinsip Pembelajaran Matematika di Kelas Akselerasi

kematangan maturity siswa semenjak masa pubertas serta implikasi yang dihadapinya dari perubahan struktur tubuh mereka. Kedua, karakteristik emosional emotional characteristics, dalam pendekatan ini siswa ditempatkan melalui wilayah emosional dimana terdapat dua ciri yang paling dominan pada tingkat SMA, yaitu ketegangan dan stress, serta perilaku vandalisme. Ketiga, karakteristik sosial social characteristics, yaitu terbentuknya kelompok dalam “peer-group” yang menjadi sumber umum aturan-aturan tingkah laku, hasrat untuk menggapai posisi puncak dalam tahun-tahun di SMA, dan siswa cenderung berpikiran kepada orang-orang yang memikirkannya. Keempat, karakteristik kognitif cognitive characteristics, yaitu ciri- ciri yang dominan dalam periode SMA adalah suatu transisi antara tindakan operasional yang kongkrit dan pemikiran formal, transisi antara moralitas pembatasan dan kerja sama, serta mulai terbentuknya pemikiran yang lebih abstrak, liberal dan cenderung lebih rasional. 44 Tipologi Biehler dan Snowman di atas merupakan unsur-unsur yang mewakili kecerdasan intelektual IQ, kecerdasan emosional EI dan kecerdasan sosial SI. Meskipun demikian, antara EI dan SI berkaitan sangat erat seperti yang telah dijelaskan oleh Goleman. Oleh karena itu proses pembelajaran matematika di kelas akselerasi seyogyanya berlandaskan pada prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh Biehler dan Snowman. 44 Biehler, F. Robert dan Jack Snowman. 1990. Psychology Applied to Teaching. Sixt Edition. Boston : Houghton Mifflin Company, hal. 126-133 Sedangkan Rose dan Nicholl mengembangkan prinsip Cara Belajar Cepat CBC atau accelerated learning. Pelakasanaan prinsip ini terletak pada perubahan ruang kelas secara total. Pembelajaran matematika yang dianggap menyeramkan diubah menjadi proses pembelajaran yang menyenangkan dan efisien. Pada pelajaran matematika, seorang guru di kelas akselerasi dapat menggunakan aneka permainan dan aktivitas, emosi dan musik, relaksasi, visualisasi, permainan peran, warna, dan peta konsep. 45 Dengan perubahan itu maka proses belajar matematika di kelas akselerai menjadi kejadian yang menyenangkan, sekaligus mampu menguasai delapan jenis kecerdasan yang dikembangkan Gardner. Dengan lebih terperinci, Nungki Menjelaskan bahwa proses pembelajaran matematika dalam kelas akselerasi dapat dilaksanakan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut: a Menggunakan matemtika dengan menyenangkan; b Memecahkan masalah dan bekerja sama dengan ang lain; c Menunjukkan berunding yang kuat; d Melihat lebih dari satu jalan dalam pendekatan sebuah masalah; e Menerapkan matematika dalam setiap kesempatan; dan f Menggunakan teknologi. 46 45 Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl. 2009. Accelerated Learning …………..hal. 37 46 Nungki P.S. 2008. Membantu Anak Belajar Matematika. Yogyakarta: Penerbit Tugu, hal. 18-19 Pembelajaran matematika dalam pandangan Nungki di atas mengharuskan siswa yang mengikuti kelas akselerasi harus pula melibatkan aspek emosional, sosial, dan alternatif pemikiran yang bersifat majemuk.

C. Program Pelaksanaan Kelas Akselerasi

Program pembelajaran akselerasi didasarkan pada amanat Undang- Undang No 20 Tahun 2003 Pasal 5 Ayat 4 yaitu: Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. Untuk mengakomodasi UU Sisdiknas, maka Pemerintah pada tahun 2006 mengeluarkan Permendiknas No. 342006 tentang Pembinaan Prestasi Peserta Didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. 47 Untuk menampung siswa-siswa berbakat istimewa, maka dibutuhkan kelas akselerasi sebagai wadah pelaksanaan program percepatan siswa dengan cerdas istimewa. Namun, pada tahun 2007 Pemerintah mengeluarkan Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan untuk Peserta Didik Berkecerdasan Istimewa terlihat tidak lagi memfokuskan pada penyelenggaraan kelas akselerasi semata. Ada beberapa bentuk layanan pendidikan khusus yang ditawarkan, seperti kelas khusus untuk siswa cerdas dalam satuan pendidikan reguler, kelas inklusif yang dibuat untuk memberikan layanan kepada siswa cerdas istimewa yang dalam proses pembelajarannya bergabung dengan siswa kelas 47 Depdiknas. Panduan Guru dan Orang Tua Pendidikan Cerdas Istimewa. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Menengah Kementrian Pendidikan Nasional, 2010, hal. 3 reguler, dan satuan pendidikan khusus atau sekolah khusus yang semua siswanya memiliki kecerdasan istimewa. 48 Kelas akselerasi yang telah berjalan satu dasawarsa silam, tentu diperlukan bagi pengembangan siswa-siswa yang memiliki kecerdasan istimewa. Kecerdasan istimewa menurut pandangan Depdiknas memiliki beberapa indikator berupa potensi kemampuan di bidang inteligensia umum, akademik khusus, berpikir produktif atau kreatif, memiliki kepemimpinan, berjiwa seni, dan aspek psikomotorik yang menonjol. 49 Banyak terjadi pada siswa-siswa yang memiliki kecerdasan istimewa mengalami hambatan pembelajaran learning disabilities. Hal itu disebabkan antara lain oleh faktor pendekatan belajar yang kurang tepat dalam menanangi anak yang memiliki kecerdasan istimewa, seperti kurangnya stimulasi dan dukungan, tidak ada mekanisme diskusi yang merangsang intelektualitasnya, anak cerdas kurang mendapat belaian yang membearkan hati, kurang mendapat ruang gerak, materi dan kegiatan yang memadai, dan faktor minimnya pengembangan melalui proses. 50 Mengingat potensi dan kecerdasan yang dimiliki bakat besar tersebut, maka pemerintah memberlakukan program kelas akseleerasi sebagai jalur khusus menampung anak-anak berbakat tinggi gifted children. 48 Ibid, hal. 4 49 Depdiknas. Panduan bagi Guru dan Orang Tua Pengertian, Konsep, dan Identifikasi Siswa Cerdas Istimewa. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Menengah Kementrian Pendidikan Nasional, 2010, hal. 5 50 Depdiknas. Memahami dan Menangani Cerdas Istimewa dengan Berbagai Masalah yang Menghambat Prestasi Akademis. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Menengah Kementrian Pendidikan Nasional, 2010, hal 153-157