Latar Belakang Gambaran Tayangan Iklan Fast Food (Makanan Siap Saji) Di Televisi Dan Kebiasaan Makan Fast Food (Makanan Siap Saji) Dan Kejadian Obesitas Pada Pelajar Di Sma Swasta Cahaya Medan Tahun 2013

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Televisi merupakan salah satu media elektronik yang dapat menjangkauseluruh lapisan masyarakat dari perkotaan sampai dengan pedesaan. Keberadaan televisi sudah menjadi sangat populer di masyarakat, dan sudah tidak dapat dipisahkan lagi dari teknologi dan informasi. Kata - kata “pemirsa, jangan kemana -mana, kami akan kembali setelah pesan -pesan berikut” sudah menjadi kata yangsangat melekat dalam kehidupan kita sehari - hari. Baik secara disengaja maupun tidak, masyarakat setiap saat disuguhi iklan - iklan dari suatu produk tertentu, sehingga iklan telah menjadi bagian dalam kehidupan sehari – hari Umi, 2010. Iklan yang akan disampaikan sebaiknya diramu sedemikian rupa sehingga pesan yang terkandung didalamnya mudah dicerna dan dimengerti oleh konsumen, serta mengandung informasi yang benar. Seandainya pesan suatu iklan dapat dengan mudah terpatri dalam benak konsumen, dan konsumen mengartikannya dengan sudut pandang yang benar, maka hal itu merupakan suatu hasil maksimal yang diperoleh suatu iklan Umi, 2010. . Media televisi merupakan media yang menyedot belanja iklan terbesar dibandingkan media cetak, radio ataupun media luar griya. Nielsen Media Research NMR menyebutkan, sekitar 7.052 spot iklan per hari atau sekitar 250 ribu iklan setiap bulannya hilir mudik di televisi. Setidaknya, tiap hari muncul 216 merek di televisi. Tak heran bila televisi, masih menguasai 70 persen dari total belanja iklan Universitas Sumatera Utara atau sekitar Rp 16 trilyun dari total Rp 23 trilyun. Berdasarkan pantauan Advertising Information Servicer Nielsen Media Research, belanja iklan pada semester pertama 2006 mencapai Rp 13,636 triliun. Jika dibandingkan dengan semester yang sama tahun 2005 yang mencapai Rp 11,826 triliun, belanja iklan di semester pertama tahun 2006 ini naik 15 persen. Angka-angka tersebut berdasarkan pantauan Nielsen Media Research pada 97 koran, 182 majalah dan 18 stasiun televisi. Untuk pembagian kue iklan, televisi masih mendominasi. Pada semester pertama tahun 2010 ini, televisi mampu meraih 68 persen atau senilai Rp 9 triliun. Dibanding dengan semester yang sama tahun sebelumnya, nilainya naik 12 persen Umi, 2010. Sebagian besar iklan yang ditayangkan dalam program acara anak, adalah produk makanan untuk anak- anak. Menurut staf Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia YLKI Sularsi, berdasarkan hasil penelitian, durasi iklannya hampir 60 dari program acara anak- anak itu sendiri. Tidaklah heran kalau anak - anak sangat mudah mengingat nama - nama jenis makanan yang sering diiklankan. Banjirnya tayangan iklan produk makanan telah membuat nama-nama merek makanan ituterpatri di kepala mereka. Jadi, kata Sularsi, jangan heran kalau mulut anak fasih mengucapkan jenis makanan, misalnya hamburger, chicken nugget, sosis dan lain- lain dengan merek- merek tertentu. Padahal, dengan nama- nama yang terpatri di kepalanya itu dapat membuat anak melupakan makanan pokoknya. Karena anak- anak lebih suka meng konsumsi makanan yang telah dikenalnya dari iklan televisi Agung, L. 2004. Hampir sebagian besar anak Indonesia dan barangkali di seluruh dunia mengenal televisi sejak usia balita. Rata- rata, anak- anak menghabiskan waktu Universitas Sumatera Utara antara 3 – 3,5 jam per hari untuk menonton tayangan televisi termasuk satu jam tayangan iklan. Waktu anak hanya dihabiskan untuk dua hal: sekolah dan bermain plus menonton televisi. Televisi bisa dijejali iklan, yang dilakukan hampir semua merek. Kebanyakan anak menonton seluruh program mulai dari film kartun, kuis anak, pentas musik anak, sinetron, berita hingga iklan. Bisa dipastikan bahwa porsi terbesar yang ditonton adalah iklan, karena seluruh program baik program anak maupun dewasa diselingi dengan iklan Afika, J. 2002. Tingginya frekuensi terpaan iklan, menjadikan televisi sebagai medium yang menanamkan mentalitas konsumtif pada anak-anak sejak usia sangat dini. Produk seperti makanan cepat saji atau camilan sejenis snack , biskuit, susu, mainan, peralatan sekolah, segera menjadi seolah - olah kebutuhan pokok mereka. Biasanya, anak lebih kerap jadi “korban” iklan produk makanan. Padahal 90 produk makanan yang diiklankan itu tidak bergizi Agung, L. 2004. Anak mengidentifikasi kebutuhan mereka seperti yang ditawarkan iklan. Lebih jauh lagi, iklan juga mengajarkan anak meminta kepada orang tua untuk membelikan produk yang di iklankan. Kebiasaan ini sekaligus mempersiapkanorientasi konsumsi mereka saat dewasa dan sudah ber penghasilan nanti, yakni menempatkan iklan sebagai referensi utama dan alamiah dalam memenuhi berbagai kebutuhan sehari-hari, hingga pemenuhan simbol status dan gaya hidup. Kebiasaan remaja dan anak yang getol menyantap makanan jajanan akibat gencarnya iklan dan ajakan teman, dapat berpengaruh terhadap status gizi. Pasalnya, makanan jajanan ini cenderung rendah serat, rendah vitamin serta mineral, tetapi tinggi kalori, garam natrium, dan kolesterol Haryanto,2004. Universitas Sumatera Utara Kesukaan yang berlebihan terhadap makanan yang tertentu saja menyebabkan kebutuhan gizi tidak terpenuhi keadaan ini berkaitan dengan “mode” yang tengah marak di kalangan remaja seperti kebiasaan makan fast food atau makanan siap saji. Usia remaja merupakan usia yang sangat mudah terpengaruh oleh siapa saja teman pergaulan dan media masa terutama iklan yang menarik perhatian remaja tentang makanan yang baru dan harga yang terjangkau Elnovriza, 2008. Pengaruh iklan pada remaja sangatlah kuat. Pada tahun 2004, hasil survei Consumer International menunjukkan sebagian besar remaja menyukai iklan dan mempercayai informasi yang dimuat di dalamnya. Sekarang ini, iklan-iklan fast food semakin banyak di media. Hasil Survei Internasional menyatakan bahwa 67 siaran iklan di televisi 11 negara didominasi oleh jenis iklan fast food atau dua per tiga dari total tayangan iklan makanan di televisi adalah iklan fast food. Umumnya remaja rata-rata mengunjungi restoran cepat saji dua kali seminggu. Penelitian yang dilakukan oleh Ratna tahun 2008 didapatkan hasil frekuensi konsumsi fast food pada remaja SMA Depok lebih dari dua kali per minggu sebanyak 36,1 dan penelitian yang dilakukan Mardatillah 2008 menunjukkan hasil frekuensi konsumsi fast food lebih dari dua kali dalam seminggu sebanyak 36,8. Hal ini juga didukung dengan hasil penelitian oleh Risa dkk tahun 2009 pada remaja SMA Palembang frekuensi konsumsi fast food yang lebih dari tiga kali per minggu sebanyak sebanyak 52,2. Pola makan remaja akan menentukan jumlah zat-zat gizi yang diperoleh untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Selain itu remaja umumnya melakukan aktivitas fisik lebih tinggi dibanding usia lainnya, sehingga diperlukan zat gizi yang lebih Universitas Sumatera Utara banyak Mitayani, 2010. Kesalahan dalam memilih makanan dan kurang cukupnya pengetahuan tentang gizi akan mengakibatkan timbulnya masalah gizi yang akhirnya memengaruhi status gizi. Status gizi yang baik hanya dapat tercapai dengan pola makan yang baik, yaitu pola makan yang didasarkan atas prinsip menu seimbang, alami dan sehat Sediaoetama dalam Kristianti, 2009. Adanya kecenderungan perubahan pola makan pada remaja yang terjadi dewasa ini, tidak lepas dari pengaruh peningkatan sosial ekonomi dan banyaknya restoran. Restoran-restoran ini menjual berbagai makanan produk olahan dan dikenal sebagai makanan modern fast food ala Barat. Umumnya restoran ini menyediakan makanan-makanan impor seperti fried chicken, hamburger, pizza, spaghetti, dan sejenisnya dari berbagai merek dagang. Penelitian mengenai fast food yang dilakukan oleh Mudjianto dalam Heryanti 2009 seperti fried chicken dan french fries, sudah menjadi jenis makanan yang biasa dikonsumsi pada waktu makan siang atau makan malam remaja di enam kota besar di Indonesia seperti di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Denpasar. Menurut penelitian tersebut 15-20 dari 471 remaja di Jakarta mengonsumsi fried chicken dan burger sebagai makan siang dan 1-6 mengonsumsi hotdog, pizza dan spaghetti. Bila makanan tersebut dikonsumsi secara terus-menerus dan berlebihan dapat mengakibatkan gizi lebih obesitas. Komposisi gizi pizza 100 g kalori483 KKal, lemak48 g, kolesterol 52 g, karbohidrat3 g, gula3 g, Protein 3 g, komposisi gizi hamburger 100 g kalori 267 KKal, Lemak 10 g, kolesterol 29 mg, protein 11 g, karbohidrat 33 g, Serat kasar 3 g, Gula7 g, komposisi gizi fried chicken 100 g kalori298 KKal, Universitas Sumatera Utara lemak16,8 g, protein 34,2 g, karbohidrat 0,1 g, komposisi gizi spaghetti 100 g kalori 371 KKal, lemak 1,51 g, protein 13,04 g, karbohidrat 74,67 g, komposisi hot dog 100 g kalori 242 KKal, lemak 14,54 g, protein 10,39 g, karbohidrat 18,03 g Muliany, 2005 Pola makan yang tinggi kalori dan aktifitas fisik yang kurang berperan penting terhadap terjadinya peningkatan prevalensi obesitas. Hasil Riskesdas tahun 2010 juga menunjukkan prevalensi obesitas menurut IMTU dengan katagori umur 13-15 tahun di Indonesia sebesar 2,5 dan khusus di Kalimantan Barat sebesar 1,5, katagori umur 16-18 tahun prevalensi obesitas di Indonesia sebesar 1,4 dan khusus di Kalimantan Barat sebesar 0,7. Dilihat dari hasil Riskesdas 2010 prevalensi obesitas di Kalimantan Barat menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan rata- rata prevalensi obesitas di Indonesia. Prevalensi berat badan lebih di Pontianak sebanyak 8,6 dan persen obesitas sebanyak 9,5 Dinkes Pontianak, 2011. Kecenderungan dalam mengkonsumsi fast food terlalu sering dapat menimbulkan ketidakseimbangan gizi menyebabkan gizi lebih obesitas. Penelitian Martha 2009 yang dilakukan pada sebuah SMA di Medan sebanyak 40,33 responden mengalami obesitas dan 9,24 mengalami overweight. Hal ini disebabkan oleh pola makan berlebih, yaitu jumlah siswi yang mengonsumsi fast food 2-3 kali seminggu yaitu sebanyak 43,69. Penelitian Shinta 2011 di pontianak, responden dengan kategori status gizi lebih yaitu sebanyak 46,7 mempunyai frekuensi konsumsi fast food 1-2 kali dalam seminggu. Hasil observasi dan wawancara, didapatkan hasil bahwa SMA Swasta Cahaya Medan adalah salah satu sekolah swasta yang ada di Kota Medan. SMA ini letaknya Universitas Sumatera Utara sangat strategis dimana dekat dengan pusat perbelanjaan beberapa mall yang di dalamnya terdapat restoran-restoran fast food. Penelitian Rina 2013 di SMA Swasta Cahaya Medan ditemukan 11 murid SMA yang mengalami kelebihan berat badan. Dari data-data di latar belakang tersebut, peneliti tertarik membuat judul penelitian gambaran tayangan iklan fast food makanan siap saji di televisi dan kebiasaan makan fast food makanan siap saji dengan kejadian obesitas pada Pelajar SMA Swasta Cahaya Medan Tahun 2013.

1.2. Rumusan masalah