Analisa Kinerja Petugas TB (Tuberculosis) di Rumah Sakit Yang Telah Dilatih Program HDL (Hospital DOTS Lingkage) di Kota Medan
ANALISA KINERJA PETUGAS TB (TUBERCULOSIS) DI RUMAH SAKIT YANG TELAH DILATIH PROGRAM HDL (HOSPITAL
DOTS LINGKAGE) DI KOTA MEDAN
TESIS
Oleh DILLA FITRIA 117032043/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
ANALISA KINERJA PETUGAS TB (TUBERCULOSIS)DI RUMAH SAKIT YANG TELAH DILATIH PROGRAM HDL (HOSPITAL
DOTS LINGKAGE) DI KOTA MEDAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Administrasi Rumah Sakit pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh
DILLA FITRIA 117032043/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
Judul Tesis : ANALISA KINERJA PETUGAS TB
(TUBERCULOSIS) DI RUMAH SAKIT YANG TELAH DILATIH PROGRAM HDL (HOSPITAL DOTS LINGKAGE) DI KOTA MEDAN
Nama Mahasiswa : Dilla Fitria Nomor Induk Mahasiswa : 117032043
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Administrasi Rumah Sakit
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H) (dr. Heldy BZ, M.P.H
Ketua Anggota
)
Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
(4)
Telah diuji
Pada Tanggal : 12 Juni 2014 __
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H Anggota : 1. dr. Heldy BZ. M.P.H
2. Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H 3. dr. Fauzi, S.K.M
(5)
PERNYATAAN
ANALISA KINERJA PETUGAS TB (TUBERCULOSIS) DI RUMAH SAKIT YANG TELAH DILATIH PROGRAM HDL (HOSPITAL
DOTS LINGKAGE) DI KOTA MEDAN
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka
Medan, Juli 2014
Dilla Fitria 117032043/IKM
(6)
ABSTRAK
Tuberkulosis sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Strategi DOTS
(Directly Observed Treatment Shortcourse) yang direkomendasikan oleh WHO
merupakan pendekatan yang paling tepat saat ini dan harus dapat dilaksanakan secara sungguh-sungguh dengan melakukan pengawasan dan pengendalian pengobatan penderita.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan faktor predisposisi yaitu pengetahuan, pelatihan, sikap, motivasi; faktor pemungkin yaitu sarana dan prasarana atau fasilitas; maupun faktor penguat yaitu pengawasan dan pembinaan Direktur Rumah Sakit (kepemimpinan) terhadap kinerja petugas rumah sakit terhadap pelaksanaan strategi DOTS pada pasien TB di rumah sakit yang telah dilatih Program HDL (HospitalDOTSLingkage) di Kota Medan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh petugas P2TB di rumah sakit yang telah memperoleh pelatihan program HDL dari Dinas Kesehatan terdiri dari 3 profesi yaitu dokter, paramedis, dan petugas laboratorium dengan total sebanyak 42 orang, maka seluruh populasi diambil sebagai sampel. Tahapan analisis data yaitu univariat, bivariat dan multivariat dengan menggunakan uji regresi logistik ganda.
Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh pengetahuan (p=0,009), motivasi (p=0,045), sarana dan prasarana (p=0,013) dan kepemimpinan (p=0,016) terhadap kinerja petugas dalam pelaksanaan strategi DOTS. Variabel yang paling dominan memengaruhi kinerja petugas adalah pengetahuan dengan nilai koefisien regresi 4,196. Petugas yang memiliki pengetahuan cukup, motivasi tinggi, sarana dan prasarana cukup dan kepemimpinan cukup memiliki probabilitas sebesar 99% untuk kinerja yang baik.
Diharapkan rumah sakit perlu berkomitmen dalam mendukung pelaksanaan P2TB dengan cara menginstruksikan, melakukan supervisi, memberikan reward, direktur langsung mengawasi pelaksanaan DOTS di rumah sakit. Dinas Kesehatan Kota Medan agar dapat melengkapi sarana maupun prasarana.
Kata Kunci : Kinerja, Pengetahuan, Pelatihan, Motivasi, Sarana dan Prasarana, Kepemimpinan
(7)
ABSTRACT
Tuberculosis is still a problem of public health in the world, especially in the developing countries, including Indonesia. DOTS (Directly Observed Treatment Short course) strategy recommended by WHO, is the most appropriate approach for this time and it should be seriously implemented by monitoring and controlling the medication for the patients.
The purpose of this study was to find out the relationship of the predisposing factor, such as knowledge, training, attitude and motivation; the enabling factor, such as facility and infrastructure; and the reinforcing factor, such as controlling and developing the Hospital Director (leadership) on the performance of hospital staff who has been trained through HDL (Hospital DOTS Lingkage) program in the implementation of DOTS strategy for the patients suffering from TB in the hospital in Medan.
The population of the study with cross sectional approach was all of the P2TB staff serving at the hospital who received HDL program training held by health service consisting of 3 profession as follows doctors, paramedics and laboratory staff which are 42 people in total, and all of them were selected to be the samples for this study. The data obtained were univariately, bivariately and multivariately analysed through multiple logistics regression tests.
The result of the study showed that knowledge (p=0.009), motivation (p=0.045), facility and infrastructure (p=0.013), and leadership (p=0.016) had influenced on the performance of staff in implementing the DOTS strategy. The most dominant variable influencing the performance of staff was knowledge with the value of coefficient regression of 4.196. The probability of staff with adequate knowledge, high motivation, adequate facility and infrastructure and adequate leadership to do good performance was 99%.
It is expected that the management of hospital need to have commitment in supporting the implementation of P2TB in order to motivate the performance of P2TB staff, to improve the attitude of the leader that she/he can direct motivate, directly and indirectly do a more effective supervision to the P2TB staff.
Keywords: Performance, Knowledge, Training, Motivation, Facility and Infrastructure, Leadership
(8)
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat serta pertolongan-NYA yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “Analisa Kinerja
Petugas TB (Tuberculosis) di Rumah Sakit Yang Telah Dilatih Program HDL
(Hospital DOTS Lingkage) di Kota Medan”.
Penelitian tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Administrasi Rumah Sakit Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Dengan selesainya penyusunan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
4. Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan
(9)
mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis hingga penulisan tesis selesai.
5. Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H, selaku Ketua Komisi Penguji dan dr. Fauzi, S.K.M, selaku Anggota Komisi Penguji yang telah memberi masukan guna kesempurnaan penulisan tesis.
6. Drg. Hj. Usma Polita Nst, M.Kes, selaku Kepala Dinas Kesehatan Medan, yang
telah memberi izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di rumah sakit
pelaksana DOTS yang telah dilatih HDL (Hospital DOTS Lngkage) di wilayah
Kota Medan.
7. Seluruh Direktur Rumah Sakit Pelaksana DOTS yang telah memberi izin untu
melakukan penelitian pada petugas TB yang telah dilatih program HDL
(Hospital DOTS Lngkage).
8. Seluruh staf pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat khususnya peminatan
Administrasi Rumah Sakit yang telah memberikan tambahan ilmu yang begitu berharga untuk penulis.
9. Seluruh Staf Sekretariat Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat FKM USU yang telah banyak membantu penulis terutama yang berkaitan dengan proses administrasi.
10. Terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada yang tercinta, Ibunda dr. Cut Zuliati Muli, M.Kes, Ayahanda Drs. Suherman, MSP, adinda dr. Herwindo Ahmad, Timor 11 dan bodrexx atas segala jasa, motivasi serta doa yang tak pernah henti.
(10)
11. Teristimewa buat suami terbaik Nufrizal, SE, dan ananda tersayang Naraya Zivara Medina, atas pengertian, kesabaran, dan doa yang selalu terlantun dengan ikhlas.
12. Rekan-rekan mahasiswa peminatan Administrasi Rumah Sakit Program Studi
IKM FKM USU 2011 atas bantuan dan kerjasamanya selama proses penulisan tesis ini.
13. Pihak lain yang telah membantu kelancaran penulisan tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga semua kebaikan yang telah dicurahkan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT. Penulis menyadari atas segala keterbatasan penulisan tesis ini, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini, dengan harapan semoga tesis ini bermanfaat bagi instansi rumah sakit dan instansi pelayanan kesehatan lainnya.
Medan, Juli 2014
Dilla Fitria 117032043/IKM
(11)
RIWAYAT HIDUP
Dilla Fitria lahir pada tanggal 02 Juli 1986 di Kota Medan, anak pertama dari 2 bersaudara dari pasangan Ayahanda Drs. Suherman, MSP dan Ibunda dr.Cut Zuliati Muli, M.Kes.
Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan sekolah dasar di Sekolah Dasar Kemala Bhayangkari Medan selesai tahun 1998, Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Medan selesai tahun 2001, Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Medan selesai tahun 2004, dan melanjutkan pendidikan Strata 1 di Fakultas Kedokteran Universitas Syah Kuala Banda Aceh.
Pada tahun 2011, penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, minat studi Administrasi Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
(12)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Permasalahan ... 8
1.3. Tujuan Penelitian ... 8
1.4. Hipotesis ... 8
1.5. Manfaat Penelitian ... 9
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 10
2.1. Tuberkulosis ... 10
2.1.1. Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia ... 10
2.1.2. Tujuan dan Sasaran Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia ... 12
2.1.3. Kebijakan Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia ... 12
2.1.4. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014 ... 14
2.1.5. Organisasi Pelaksanaan Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia ... 14
2.2. Pelayanan Tuberkulosis dengan Strategi DOTS di Rumah Sakit ... 16
2.2.1. Kriteria Pelayanan TB dengan Strategi DOTS di Rumah Sakit ... 16
2.2.2. Administrasi dan Pengelolaan Pelayanan TB dengan Strategi DOTS di Rumah Sakit ... 17
2.2.3. Staf dan Pimpinan ... 18
2.2.4. Standar Ketenagaan Pelayanan TB dengan Strategi DOTS di Rumah Sakit ... 19
2.2.5. Pelatihan ... 24
(13)
2.3. Kinerja ... 28
2.3.1. Pengertian Kinerja ... 28
2.3.2. Penilaian Kinerja ... 29
2.3.3. Metode Penilaian Kinerja ... 31
2.4. Landasan Teori ... 40
2.5. Kerangka Konsep ... 48
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 49
3.1. Jenis Penelitian ... 49
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 49
3.3. Populasi dan Sampel ... 49
3.4 Metode Pengumpulan Data ... 50
3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 51
3.5.1. Variabel Penelitian ... 51
3.5.2. Definisi operasional ... 51
3.6. Metode Pengukuran ... 52
3.7. Analisa Data ... 53
3.7.1. Analisis Univariat ... 53
3.7.2. Analisis Bivariat ... 53
3.7.3. Analisis Multivariat ... 54
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 55
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 55
4.1.1. Visi dan Misi Dinas Kesehatan Kota Medan ... 57
4.1.2. Tujuan, Sasaran, dan Strategi Pembangunan Kesehatan ... 58
4.2. Karakteristik Responden ... 61
4.2.1. Distribusi Frekuensi Umur Responden ... 61
4.2.2. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden ... 61
4.2.3. Distribusi Frekuensi Masa Kerja Responden ... 62
4.2.4. Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Responden ... 62
4.3. Gambaran Faktor Predisposisi (Pengetahuan, Pelatihan, Sikap, Motivasi), Faktor Pemungkin (Sarana dan Prasarana), dan Faktor Penguat (Pengawasan dan Pembinaan Direktur RS) terhadap Kinerja Petugas dalam Pelaksanaan Strategi DOTS ... 63
4.3.1. Pengetahuan ... 63
4.3.2. Pelatihan ... 66
4.3.3. Sikap ... 69
4.3.4. Motivasi ... 72
4.3.5. Sarana dan Prasarana ... 76
4.3.6. Kepemimpinan ... 78
(14)
4.4. Hubungan Faktor Predisposisi (Pengetahuan, Pelatihan, Sikap, Motivasi), Faktor Pemungkin (Sarana dan Prasarana), dan Faktor Penguat (Pengawasan dan Pembinaan Direktur RS) dengan Kinerja Petugas dalam Pelaksanaan Strategi
DOTS ... 84
4.4.1. Hubungan Pengetahuan dengan Kinerja Petugas RS terhadap Pelaksanaan Strategi DOTS ... 84
4.4.2. Hubungan Pelatihan dengan Kinerja Petugas RS terhadap Pelaksanaan Strategi DOTS ... 85
4.4.3. Hubungan Sikap dengan Kinerja Petugas RS terhadap Pelaksanaan Strategi DOTS ... 86
4.4.4. Hubungan Motivasi dengan Kinerja Petugas RS terhadap Pelaksanaan Strategi DOTS ... 86
4.4.5. Hubungan Sarana dan Prasarana dengan Kinerja Petugas RS terhadap Pelaksanaan Strategi DOTS ... 87
4.4.6. Hubungan Kepemimpinan dengan Kinerja Petugas RS terhadap Pelaksanaan Strategi DOTS ... 88
4.5. Faktor yang Paling Dominan Berhubungan dengan Kinerja Petugas ... 88
BAB 5. PEMBAHASAN ... 90
5.1. Hubungan Pengetahuan dengan Kinerja Petugas ... 90
5.2. Hubungan Pelatihan dengan Kinerja Petugas ... 94
5.3. Hubungan Sikap dengan Kinerja Petugas ... 96
5.4. Hubungan Motivasi dengan Kinerja Petugas ... 98
5.5. Hubungan Sarana dan Prasarana dengan Kinerja Petugas ... 100
5.6. Hubungan Kepemimpinan dengan Kinerja Petugas ... 101
5.7. Keterbatasan Penelitian ... 102
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 104
6.1 Kesimpulan ... 104
6.2 Saran ... 105
DAFTAR PUSTAKA ... 107 LAMPIRAN
(15)
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
2.1. Uraian Tugas Program TB untuk Petugas di Rumah Sakit ... 23
3.1. Metode Pengukuran Variabel Independen dan Variabel Dependen ... 53
4.1. Daftar Alamat Rumah Sakit yang telah Dilatih HDL ... 57
4.2. Daftar Petugas P2TB yang Menjadi Responden ... 60
4.3. Distribusi Frekuensi Petugas TB di Rumah Sakit yang telah Dilatih Program HDL di Kota Medan Berdasarkan Umur ... 61
4.4. Distribusi Frekuensi Petugas TB di Rumah Sakit yang telah Dilatih Program HDL di Kota Medan Berdasarkan Jenis Kelamin ... 62
4.5. Distribusi Frekuensi Petugas TB di Rumah Sakit yang telah Dilatih Program HDL di Kota Medan Berdasarkan Masa Kerja ... 62
4.6. Distribusi Frekuensi Petugas TB di Rumah Sakit yang telah Dilatih Program HDL di Kota Medan Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 62
4.7. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Dokter tentang Pelaksanaan Strategi DOTS ... 63
4.8. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Paramedis tentang Pelaksanaan Strategi DOTS ... 64
4.9. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Petugas Analis tentang Pelaksanaan Strategi DOTS ... 65
4.10. Distribusi Frekuensi Petugas TB di Rumah Sakit yang telah Dilatih Program HDL di Kota Medan Berdasarkan Pengetahuan ... 66
4.11. Distribusi Frekuensi Jawaban Dokter terhadap Pelatihan tentang Pelaksanaan Strategi DOTS ... 66
4.12. Distribusi Frekuensi Jawaban Paramedis terhadap Pelatihan tentang Pelaksanaan Strategi DOTS ... 67
(16)
4.13. Distribusi Frekuensi Jawaban Petugas Analis terhadap Pelatihan
tentang Pelaksanaan Strategi DOTS ... 68
4.14. Distribusi Frekuensi Petugas TB di Rumah Sakit yang telah Dilatih Program HDL di Kota Medan Berdasarkan Pelatihan ... 69
4.15. Distribusi Frekuensi Sikap Dokter sebagai Petugas P2TB dalam Pelaksanaan Strategi DOTS di Rumah Sakit ... 69
4.16. Distribusi Frekuensi Sikap Paramedis sebagai Petugas P2TB dalam Pelaksanaan Strategi DOTS di Rumah Sakit ... 70
4.17. Distribusi Frekuensi Sikap Analis sebagai Petugas P2TB dalam Pelaksanaan Strategi DOTSdi Rumah Sakit ... 71
4.18. Distribusi Frekuensi Petugas TB di Rumah Sakit yang telah Dilatih Program HDL di Kota Medan Berdasarkan Sikap ... 72
4.19. Distribusi Frekuensi Motivasi Dokter sebagai Petugas dalam Pelaksanaan Strategi DOTS di Rumah Sakit ... 72
4.20. Distribusi Frekuensi Motivasi Paramedis sebagai Petugas dalam Pelaksanaan Strategi DOTS di Rumah Sakit ... 73
4.21. Distribusi Frekuensi Motivasi Analis sebagai Petugas dalam Pelaksanaan Strategi DOTS di Rumah Sakit ... 74
4.22. Distribusi Frekuensi Petugas TB di Rumah Sakit yang telah Dilatih Program HDL di Kota Medan Berdasarkan Motivasi... 75
4.23. Distribusi Frekuensi Jawaban Dokter terhadap Sarana dan Prasarana . 76 4.24. Distribusi Frekuensi Jawaban Paramedis terhadap Sarana dan Prasarana ... 77
4.25. Distribusi Frekuensi Jawaban Analis terhadap Sarana dan Prasarana .. 77
4.26. Distribusi Frekuensi Petugas TB di Rumah Sakit yang telah Dilatih Program HDL di Kota Medan Berdasarkan Sarana dan Prasarana ... 78
4.27. Distribusi Frekuensi Jawaban Dokter terhadap Kepemimpinan ... 78
4.28. Distribusi Frekuensi Jawaban Paramedis terhadap Kepemimpinan ... 79
(17)
4.30. Distribusi Frekuensi Petugas TB di Rumah Sakit yang telah Dilatih
Program HDL di Kota Medan Berdasarkan kepemimpinan ... 81
4.31. Distribusi Frekuensi Kinerja Dokter terhadap Pelaksanaan Strategi
DOTS ... 81 4.32. Distribusi Frekuensi Kinerja Paramedis terhadap Pelaksanaan
Strategi DOTS ... 82 4.33. Distribusi Frekuensi Kinerja Analis terhadap Pelaksanaan Strategi
DOTS ... 83 4.34. Distribusi Frekuensi Kinerja Petugas TB di Rumah Sakit yang telah
Dilatih Program HDL di Kota Medan ... 84 4.35. Tabulasi Silang Antara Pengetahuan dengan Kinerja Petugas dalam
Pelaksanaan Strategi DOTS ... 85 4.36. Tabulasi Silang antara Pelatihan dengan Kinerja Petugas dalam
Pelaksanaan Strategi DOTS ... 85 4.37. Tabulasi Silang antara Sikap dengan Kinerja Petugas dalam
Pelaksanaan Strategi DOTS ... 86 4.38. Tabulasi Silang antara Motivasi dengan Kinerja Petugas dalam
Pelaksanaan Strategi DOTS ... 87 4.39. Tabulasi Silang antara Sarana dan Prasarana dengan Kinerja Petugas
dalam Pelaksanaan Strategi DOTS ... 87 4.40. Tabulasi Silang antara Kepemimpinan dengan Kinerja Petugas dalam
Pelaksanaan Strategi DOTS ... 88 4.41. Hasil Analisis Faktor yang Paling Dominan Berpengaruh terhadap
(18)
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
(19)
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1. Surat Izin Penelitian dari FKM ... 110
2. Surat Izin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Medan ... 111
3. Kuesioner Penelitian ... 112
4. Master Tabel ... 129
5. Hasil Analisis Data ... 131
(20)
ABSTRAK
Tuberkulosis sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Strategi DOTS
(Directly Observed Treatment Shortcourse) yang direkomendasikan oleh WHO
merupakan pendekatan yang paling tepat saat ini dan harus dapat dilaksanakan secara sungguh-sungguh dengan melakukan pengawasan dan pengendalian pengobatan penderita.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan faktor predisposisi yaitu pengetahuan, pelatihan, sikap, motivasi; faktor pemungkin yaitu sarana dan prasarana atau fasilitas; maupun faktor penguat yaitu pengawasan dan pembinaan Direktur Rumah Sakit (kepemimpinan) terhadap kinerja petugas rumah sakit terhadap pelaksanaan strategi DOTS pada pasien TB di rumah sakit yang telah dilatih Program HDL (HospitalDOTSLingkage) di Kota Medan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh petugas P2TB di rumah sakit yang telah memperoleh pelatihan program HDL dari Dinas Kesehatan terdiri dari 3 profesi yaitu dokter, paramedis, dan petugas laboratorium dengan total sebanyak 42 orang, maka seluruh populasi diambil sebagai sampel. Tahapan analisis data yaitu univariat, bivariat dan multivariat dengan menggunakan uji regresi logistik ganda.
Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh pengetahuan (p=0,009), motivasi (p=0,045), sarana dan prasarana (p=0,013) dan kepemimpinan (p=0,016) terhadap kinerja petugas dalam pelaksanaan strategi DOTS. Variabel yang paling dominan memengaruhi kinerja petugas adalah pengetahuan dengan nilai koefisien regresi 4,196. Petugas yang memiliki pengetahuan cukup, motivasi tinggi, sarana dan prasarana cukup dan kepemimpinan cukup memiliki probabilitas sebesar 99% untuk kinerja yang baik.
Diharapkan rumah sakit perlu berkomitmen dalam mendukung pelaksanaan P2TB dengan cara menginstruksikan, melakukan supervisi, memberikan reward, direktur langsung mengawasi pelaksanaan DOTS di rumah sakit. Dinas Kesehatan Kota Medan agar dapat melengkapi sarana maupun prasarana.
Kata Kunci : Kinerja, Pengetahuan, Pelatihan, Motivasi, Sarana dan Prasarana, Kepemimpinan
(21)
ABSTRACT
Tuberculosis is still a problem of public health in the world, especially in the developing countries, including Indonesia. DOTS (Directly Observed Treatment Short course) strategy recommended by WHO, is the most appropriate approach for this time and it should be seriously implemented by monitoring and controlling the medication for the patients.
The purpose of this study was to find out the relationship of the predisposing factor, such as knowledge, training, attitude and motivation; the enabling factor, such as facility and infrastructure; and the reinforcing factor, such as controlling and developing the Hospital Director (leadership) on the performance of hospital staff who has been trained through HDL (Hospital DOTS Lingkage) program in the implementation of DOTS strategy for the patients suffering from TB in the hospital in Medan.
The population of the study with cross sectional approach was all of the P2TB staff serving at the hospital who received HDL program training held by health service consisting of 3 profession as follows doctors, paramedics and laboratory staff which are 42 people in total, and all of them were selected to be the samples for this study. The data obtained were univariately, bivariately and multivariately analysed through multiple logistics regression tests.
The result of the study showed that knowledge (p=0.009), motivation (p=0.045), facility and infrastructure (p=0.013), and leadership (p=0.016) had influenced on the performance of staff in implementing the DOTS strategy. The most dominant variable influencing the performance of staff was knowledge with the value of coefficient regression of 4.196. The probability of staff with adequate knowledge, high motivation, adequate facility and infrastructure and adequate leadership to do good performance was 99%.
It is expected that the management of hospital need to have commitment in supporting the implementation of P2TB in order to motivate the performance of P2TB staff, to improve the attitude of the leader that she/he can direct motivate, directly and indirectly do a more effective supervision to the P2TB staff.
Keywords: Performance, Knowledge, Training, Motivation, Facility and Infrastructure, Leadership
(22)
1.1Latar Belakang
Kegiatan penanggulangan Tuberkulosis (TB), khususnya TB Paru di Indonesia telah dimulai sejak diadakan Simposium Pemberantasan TB Paru di Ciloto pada tahun 1969. Namun sampai sekarang perkembangannya belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, TB berkonstribusi sekitar 9,4% terhadap total kematian di Indonesia. Dengan demikian TB menempati peringkat ketiga penyebab kematian utama di Indonesia setelah penyakit sistem kardiovaskuler (26,4%) dan penyakit sistem pernapasan (12,7%). Pada kelompok penyakit infeksi, tuberkulosis berada pada tingkat pertama penyebab kematian diatas tifus (4,3%) dan diare (3,8%) (indonesian-publichealth.com).
Menurut laporan WHO (2009), Indonesia merupakan penyumbang penyakit TB terbesar nomor lima di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria. (ppti.info, 2012)
Diperkirakan saat ini jumlah pasien Tuberkulosis di Indonesia sekitar 5,8% dari total jumlah pasien Tuberkulosis di dunia dan setiap tahun terdapat 429.730 kasus baru dan kematian 62.246 orang. Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia.
(23)
Survei yang dilakukan National Network of Health (NNH) pada tahun 2005 menunjukkan kasus kematian Tuberkulosis menempati urutan ketiga setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit infeksi saluran pernafasan. Berdasarkan laporan Global
Tuberculosis Control Report WHO 2011 prevalensi TB diperkirakan sebesar 289 per
100.000 penduduk, insidensi TB sebesar 189 per 100.000 penduduk, dan angka kematian sebesar 27 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2012).
Pada tahun 2012 penderita suspek TB di Sumatera Utara mencapai 172.767 orang dan dinyatakan positif TB sebanyak 18.257 orang. Dari 25 kabupaten dan kota di Sumatera Utara, kasus TB di Medan yakni jumlah suspek TB 13.583 orang dan sebanyak 1.717 orang yang dinyatakan positif TB (Dinkes Propsu, 2012).
Untuk menanggulangi masalah TB di Indonesia, strategi DOTS (Directly
Observed Treatment Shortcourse) yang direkomendasikan oleh WHO merupakan
pendekatan yang paling tepat saat ini dan harus dapat dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Oleh karena itu peran aktif dengan semangat kemitraan dari semua pihak yang terkait, sehingga penanggulangan TB dapat lebih ditingkatkan melalui gerakan terpadu yang bersifat nasional, yakni Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian Tuberkulosis (Gerdunas TB) yang diresmikan pada tanggal 24 maret 1999 (Depkes, 2002).
Strategi DOTS merupakan suatu cara untuk menjamin keberhasilan program pengobatan penderita Tuberkulosis Paru dengan ketaatan dan keteraturan penderita selama masa pengobatan, yaitu dengan melakukan pengawasan dan pengendalian pengobatan penderita. Pada strategi DOTS terdapat 5 (lima) komponen, yaitu:
(24)
komitmen politik, pemeriksaan laboratorium, ketersediaan obat, pencatatan pelaporan dan pengawasan minum obat.
Pada awal penerapan strategi DOTS di Indonesia yang dimulai pada tahun 1995, Puskesmas merupakan ujung tombak pelayanan di masyarakat. Namun dengan berjalannya waktu, strategi DOTS telah dimulai dikembangkan di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4) yang saat ini berkembang menjadi Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) dan di rumah sakit, baik rumah sakit milik pemerintah maupun swasta. Hasil survei prevalensi tuberkulosis tahun 2004 menunjukkan bahwa pola pencarian pengobatan pasien tuberkulosis ke rumah sakit ternyata cukup tinggi, yaitu sekitar 60% pasien tuberkulosis ketika pertama kali sakit mencari pengobatan ke rumah sakit. Dengan demikian melibatkan rumah sakit dalam pelaksanaan strategi DOTS menjadi satu upaya penting dan sangat strategis karena akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya penemuan pasien tuberkulosis (Depkes,2007).
Untuk menanggulangi masalah TB, strategi DOTS harus diperluas jangkauannya pada seluruh unit pelayanan kesehatan dan berbagai institusi terkait termasuk rumah sakit pemerintah dan swasta, dengan mengikutsertakan secara aktif semua pihak dalam kemitraan yang bersinergi untuk penanggulangan TB. Program ini dikenal sebagai program HDL (Hospital DOTS Lingkage). Selain bertujuan untuk menanggulangi masalah TB, program HDL saat ini telah diwajibkan dimiliki oleh instansi rumah sakit untuk kepentingan akreditasi (Kemenkes RI, 2010).
(25)
Pada saat ini penanggulangan TB dengan strategi DOTS di rumah sakit baru berkisar 20% dengan kualitas yang bervariasi. Pada kenyataannya, strategi DOTS di rumah sakit masih merupakan tantangan besar bagi keberhasilan Indonesia dalam mengendalikan tuberkulosis. Hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh
Team Tuberculosis External Monitoring Mission pada tahun 2005 menunjukkan
bahwa angka penemuan kasus Tuberkulosis di rumah sakit cukup tinggi sekitar 60%, tetapi angka keberhasilan pengobatan rendah (umumnya masih di bawah 50%) dengan angka putus berobat yang masih tinggi (50%-80%). Kondisi tersebut berpotensi untuk menciptakan masalah besar yaitu peningkatan kemungkinan terjadi resistensi terhadap obat anti tuberkulosis (MDR-TB) (Kemenkes RI, 2010).
Untuk mengetahui keberhasilan rumah sakit dalam melaksanakan strategi DOTS, pada bulan Juli 2009 telah dilakukan penilaian terhadap rumah sakit tingkat provinsi di seluruh Indonesia (jumlah 18 rumah sakit). Data hasil penilaian menunjukkan bahwa hanya 17% rumah sakit yang telah melakukan strategi DOTS dengan hasil optimal, 44% rumah sakit keberhasilan sedang dan 39% rumah sakit keberhasilan kurang (Kemenkes RI, 2010).
Data hasil penilaian juga menunjukkan adanya hubungan yang erat antara komitmen direktur rumah sakit terhadap keberhasilan penyelenggaraan DOTS di rumah sakit. Sementara dari jumlah 59% rumah sakit yang telah memiliki Tim DOTS, hanya 28% tim DOTS yang dibentuk bekerja optimal. Sementara 72% rumah sakit yang telah memiliki sumber daya manusia yang terlatih DOTS (dokter umum,
(26)
dokter spesialis, paramedik, petugas laboratorium maupun farmasi), namun tidak dimanfaatkan secara baik oleh pihak manajemen rumah sakit (Kemenkes RI, 2010).
Sampai akhir tahun 2011 jumlah rumah sakit di Sumatera Utara adalah 191 unit dengan rincian 57 unit Rumah sakit pemerintah dan 134 rumah sakit swasta (Dinkes Propsu 2012). Pada awalnya Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara telah melatih program HDL di 25 rumah sakit, baik rumah sakit pemerintah maupun swasta. Namun pada pertengahan Desember 2012, wewenang untuk menjalankan program HDL ini diserahkan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan. Dinas Kesehatan Kota Medan telah melaksanakan program strategi DOTS di Rumah Sakit Pemerintah dan swasta berjumlah 25 rumah sakit. (Dinkes Kota Medan, 2012). Namun dari 25 rumah sakit yang telah dilatih program HDLoleh Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara terdapat rumah sakit yang belum menjalankan program strategi DOTS ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa upaya penanggulangan tuberkulosis dengan strategi DOTS di Medan secara keseluruhan belum mencapai hasil yang diharapkan. Dari 25 rumah sakit tersebut diketahui 17 rumah sakit telah menjalankan program HDL, 7 rumah sakit belum menjalankan program HDL dengan sempurna dan 1 rumah sakit telah tutup yaitu rumah sakit Tembakau Deli.
Petugas TB rumah sakit yang dilatih program HDL terdiri dari dokter, paramedis, dan petugas laboratorium. Petugas TB rumah sakit yang telah dilatih oleh Dinas Kesehatan harus melakukan pencatatan sesuai dengan standar operasional yang ada dan memberikan pelaporan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan mengenai
(27)
perkembangan kasus TB yang terdapat di rumah sakit tersebut. Hal-hal yang harus dilaporkan dari rumah sakit kepada Dinas Kesehatan Kota Medan tersebut antara lain: Jumlah pasien TB secara keseluruhan (kasus TB BTA +/-), apakah strategi DOTS di rumah sakit tersebut berjalan atau tidak dengan cara melihat jumlah pasien yang sembuh (angka kesembuhan dan keberhasilan pengobatan), jumlah pasien yang putus
obat (drop-out), jumlah pasien konversi, dan juga melihat hasil pelaporan dari
laboratorium.
Petugas TB rumah sakit harus aktif melakukan semua kegiatan penanggulangan TB sesuai dengan strategi DOTS. Semua kegiatan yang dilakukan harus sesuai dengan materi program penanggulangan TB yang sudah diberikan pada saat pelatihan. Menurut Dinas Kesehatan Kota Medan, indikator keaktifan petugas TB rumah sakit dilihat dari : pelaporan yang harus tepat waktu, seluruh pemeriksaan dan pengobatan TB harus sesuai dengan tahapan strategi DOTS, dan tidak ada pasien yang putus obat (drop-out).
Apabila petugas TB rumah sakit tidak memberikan laporan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan maka dapat dikatakan petugas TB tersebut tidak aktif dalam melaksanakan program HDL walaupun petugas TB rumah sakit tersebut telah melakukan pemeriksaan dan pengobatan TB sesuai dengan tahapan strategi DOTS.
Dinas Kesehatan Kota Medan melakukan supervisi ke rumah sakit untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan program HDL.
Menurut Kemenkes RI 2011, dalam menangani pasien TB ada standar yang harus digunakan oleh semua profesi yang terkait dalam penanggulangan TB di semua
(28)
tempat. Standar tersebut disebut sebagai ISTC (International Standard for
Tuberculosis Care). ISTC merupakan standar yang harus dipenuhi dalam menangani
pasien tuberkulosis, yang terdiri dari 6 standar untuk penegakan diagnosis, 11 standar untuk pengobatan dan 4 standar untuk fungsi tanggung jawab kesehatan masyarakat. Dengan kata lain ketentuan keaktifan di dalam tatalaksana standar tuberkulosis adalah petugas harus melaksanakan anamnesa, pemeriksaan, diagnosa, pengobatan, penyuluhan dan melaksanakan pencatatan pelaporan. Dari standar TB tersebut dapat diketahui tingkat keaktifan petugas rumah sakit dalam pelaksanaan strategi DOTS.
Dengan pelaksanaan standar TB tersebut rumah sakit akan dapat memberikan pelayanan maksimal agar dapat memberikan kepuasan pada pasien, sehingga dapat juga didapatkan data penemuan kasus maupun data keberhasilan pengobatan juga agar mencegah terjadinya multi- drugs resistance of Tuberculosis (MDR-TB). Namun menurut Dinas Kesehatan Kota Medan, masih ada rumah sakit yang belum mengirimkan pelaporan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan mengenai jalannya program strategi DOTS di rumah sakit tersebut, dan ini dapat dikatakan bahwa petugas Program Pemberantasan Tuberkulosis (P2TB) di rumah sakit tersebut masih belum berjalan dengan sempurna, walaupun telah diberikan pelatihan program HDL. Oleh karena masih adanya rumah sakit yang belum memberikan pelaporan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan, maka peneliti merasa perlu melakukan penelitian untuk melihat faktor-faktor yang memengaruhi kinerja petugas rumah sakit terhadap pelaksanaan strategi DOTS dalam menjalankan program HDL sesuai dengan standar operasional yang telah diberikan saat pelatihan oleh Dinas Kesehatan tersebut.
(29)
Berdasarkan latar belakang di atas perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan faktor predisposisi (Predisposing Factors), faktor pemungkin
(Enabling Factors), maupun faktor penguat (Reinforcing Factors) dengan kinerja
petugas rumah sakit dalam pelaksanaan strategi DOTS pada pasien TB di rumah sakit yang telah dilatih program HDL di Kota Medan.
1.2Permasalahan
Permasalahan dalam penelitian ini adalah masih rendahnya kinerja petugas TB rumah sakit yang sudah dilatih dengan strategi DOTS di Kota Medan.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor predisposisi
(Predisposing Factors) yaitu pengetahuan, pelatihan, sikap, motivasi; faktor
pemungkin (Enabling Factors) yaitu sarana dan prasarana atau fasilitas; maupun
faktor penguat (Reinforcing Factors) yaitu pengawasan dan pembinaan Direktur
Rumah Sakit (kepemimpinan) dengan kinerja petugas rumah sakit terhadap pelaksanaan strategi DOTS pada pasien TB di rumah sakit yang telah dilatih Program HDL di Kota Medan.
1.4 Hipotesis
Ada hubungan faktor predisposisi (Predisposing Factors) yaitu pengetahuan, pelatihan, sikap, motivasi; faktor pemungkin (Enabling Factors) yaitu sarana dan
(30)
pengawasan dan pembinaan Direktur Rumah Sakit (kepemimpinan) dengan kinerja petugas rumah sakit terhadap pelaksanaan strategi DOTS pada pasien TB di rumah sakit yang telah dilatih Program HDL di Kota Medan.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan dan informasi bagi Rumah Sakit mengenai kinerja petugas
P2TB untuk meningkatkan upaya-upaya pelaksanaan strategi DOTS pada pasien TB di Rumah Sakit Kota Medan.
2. Bagi Dinas Kesehatan Kota Medan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumbangan pemikiran dan sebagai masukan untuk meningkatkan keberhasilan program Hospital DOTS Lingkage.
3. Bagi peneliti akan menambah pengalaman dan pengetahuan di bidang penelitian
(31)
2.1. Tuberkulosis
2.1.1. Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP-4). Sejak tahun 1969 pengendalian dilakukan secara nasional melalui Puskesmas. Obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan adalah paduan standar Isonoazid (INH), Asam Para Amino Salisilat (PAS) dan Streptomisin selama satu sampai dua tahun. Asam Para Amino Salisilat (PAS) kemudian diganti dengan Pirazinamid. Sejak 1977 mulai digunakan paduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH, Rifampisin, Pirazinamid dan Ethambutol selama 6 bulan.
Pada tahun 1995, program nasional pengendalian TB mulai menerapkan strategi DOTS dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara Nasional di seluruh Fasilitas pelayanan kesehatan terutama Puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar.
Menurut laporan WHO (2009), Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-5 di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria (ppti.info, 2012). Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan, setiap tahun ada 429.730 kasus baru dan kematian 62.246 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 102 per 100.000 penduduk.
(32)
Faktor yang memengaruhi kemungkinan seseorang menjadi sakit TB adalah
daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV (Human Immunodeficiency
Virus) dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan factor resiko utama bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas system daya tahan tubuh seluler (cellular immunity). Jika terjadi infeksi penyerta (opportunistic)
seperti tuberkulosis, pasien akan menjadi sakit parah bahkan bias mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang yang terinfeksi HIV meningkat, maka pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula. Menurut WHO (2009), prevalensi HIV pada kelompok TB di Indonesia sekitar 2.8%.
Kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistance) diantara
kasus TB baru sebesar 2%, sementara MDR diantara kasus pengobatan ulang sebesar 20% (Kemenkes RI, 2011).
Hasil Survei Prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara Nasional 110 per 100.000 penduduk. Secara Regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu: 1) wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk; 2) wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110 per 100.000 penduduk; 3) wilayah Indonesia Timur angka prevalensi TB adalah 210 per 100.000 penduduk. Khusus untuk propinsi DIY dan Bali angka prevalensi TB adalah 68 per 100.000 penduduk. Mengacu pada hasil survey prevalensi tahun 2004, diperkirakan penurunan insiden TB BTA positif secara Nasional 3-4% setiap tahunnya.
(33)
Sampai tahun 2009, keterlibatan dalam program Pengendalian TB dengan Strategi DOTS meliputi 98% Puskesmas, sementara rumah sakit umum, Balai Kesehatan Paru Masyarakat mencapai sekitar 50%.
2.1.2. Tujuan dan Sasaran Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia
Pengendalian tuberkulosis di Indonesia bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Sasaran strategi nasional pengendalian TB ini mengacu pada rencana strategis kementerian kesehatan dari 2009 sampai dengan tahun 2014 yaitu menurunkan
prevalensi TB dari 235 per 100.000 penduduk menjadi 224 per 100.000 penduduk.
Sasaran keluaran adalah: (1) meningkatkan prosentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang ditemukan dari 73% menjadi 90%; (2) meningkatkan prosentase keberhasilan pengobatan kasus baru TB paru (BTA positif) mencapai 88%; (3) meningkatkan prosentase provinsi dengan CDR di atas 70% mencapai 50%; (4) meningkatkan prosentase provinsi dengan keberhasilan pengobatan di atas 85% dari 80% menjadi 88%.
2.1.3. Kebijakan Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia
Pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi dalam kerangka otonomi dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program, yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).
(34)
Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS dan memperhatikan strategi Global Stop TB partnership. Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program pengendalian TB. Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya MDR-TB.
Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan oleh seluruh Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes), meliputi Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah Balai/Klinik Pengobatan, Dokter Praktek Swasta (DPS) dan fasilitas kesehatan lainnya.
Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan kemitraan diantara sektor pemerintah, non pemerintah, swasta dan masyarakat dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian TB (Gerdunas TB).
Peningkatan kemampuan laboratorium di berbagai tingkat pelayanan ditujukan untuk peningkatan mutu dan akses layanan. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB diberikan secara cuma-cuma dan dikelola dengan manajemen logistik yang efektif demi menjamin ketersediaannya.
Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program. Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok rentan lainnya terhadap TB. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.
Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam Millenium Development
(35)
2.1.4. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014
Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7 strategi, antara lain :
a. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu
b. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan masyarakat
miskin serta rentan lainnya
c. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat (sukarela),
perusahaan dan swasta melalui pendekatan Public-Private Mix dan menjamin
kepatuhan terhadap International Standards for TB Care.
d. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.
e. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajemen
program pengendalian TB
f. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB
g. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategis.
2.1.5 Organisasi Pelaksanaan Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia Organisasi pelaksanaan strategi nasional pengendalian TB di Indonesia dilihat melalui aspek manajemen program antara lain :
a. Tingkat Pusat
Upaya pengendalian TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian Tuberkulosis (Gerdunas-TB) yang merupakan forum kemitraan lintas sektor dibawah koordinasi Menko Kesra. Menteri Kesehatan RI sebagai
(36)
penanggung jawab teknis upaya pengendalian TB. Dalam pelaksanaannya program TB secara Nasional dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, cq. Sub Direktorat Tuberkulosis.
b. Tingkat Propinsi
Di tingkat propinsi dibentuk Gerdunas-TB Propinsi yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Dalam pelaksanaan program TB di tingkat propinsi dilaksanakan Dinas Kesehatan Propinsi.
c. Tingkat Kabupaten/Kota
Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Gerdunas-TB kabupaten/kota yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan kabupaten/kota. Dalam pelaksanaan program TB di tingkat Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Tatalaksana pasien TB dilaksanakan oleh Puskesmas, Rumah Sakit, BP4/Klinik dan Dokter Praktek Swasta.
a. Puskesmas
Dalam pelaksanaan di Puskesmas, dibentuk kelompok Puskesmas Pelaksana (KPP) yang terdiri dari Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM), dengan dikelilingi oleh kurang lebih 5 (lima) Puskesmas Satelit (PS).
Pada keadaan geografis yang sulit, dapat dibentuk Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM) yang dilengkapi tenaga dan fasilitas pemeriksaan sputum BTA.
(37)
b. Rumah Sakit
Rumah Sakit Umum, Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM), dan klinik lainnya dapat melaksanakan semua kegiatan tatalaksana pasien TB.
c. Dokter Praktek Swasta (DPS) dan fasilitas layanan lainnya. Secara umum konsep
pelayanan di Balai Pengobatan dan DPS sama dengan pelaksanaan pada rumah sakit dan Balai Pengobatan (klinik) (KemenKes RI, 2011).
2.2 Pelayanan Tuberkulosis dengan Strategi DOTS di Rumah Sakit
Pelayanan TB menggunakan strategi DOTS disediakan dan diberikan kepada pasien sesuai dengan ilmu pengetahuan kedokteran mutakhir dan standar yang telah disepakati oleh seluruh organisasi profesi di dunia, serta memanfaatkan kemampuan dan fasilitas rumah sakit secara optimal.
Tujuan pelayanan TB dengan strategi DOTS di rumah sakit adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan medis TB di rumah sakit melalui penerapan strategi DOTS secara optimal dengan mengupayakan kesembuhan dan pemulihan pasien melalui prosedur dan tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan serta memenuhi etika kedokteran.
2.2.1 Kriteria Pelayanan TB dengan Strategi DOTS di Rumah Sakit
Setiap pelayanan TB dengan strategi DOTS bagi pasien TB harus berdasarkan standar pelayanan yang telah ditetapkan oleh Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional.
(38)
Setiap pelayanan TB berdasarkan International Standard for Tuberculosis
Care (ISTC) atau Standar Diagnosis, Pengobatan dan Tanggung Jawab kesehatan
Masyarakat.(KemenKes RI,2010).
2.2.2 Administrasi dan Pengelolaan Pelayanan TB dengan Strategi DOTS di Rumah Sakit
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364/Menkes/SK/2009 tentang Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis mengamanatkan bahwa penanggulangan terhadap TB merupakan program nasional yang wajib dilakukan oleh setiap institusi pelayanan kesehatan dan menjadi dasar bagi semua pelaksanaan penanganan TB.
Mengingat pelaksanaan pelayanan TB di rumah sakit sangat rumit dengan keterlibatan berbagai disiplin ilmu kedokteran serta penunjang medik, baik di poliklinik maupun bangsal bagi pasien rawat jalan dan rawat inap serta rujukan pasien dan spesimen. Maka dalam pengelolaan TB di rumah sakit dibutuhkan manajemen tersendiri dengan dibentuknya Tim DOTS di Rumah Sakit.
Tim DOTS di Rumah Sakit dipimpin oleh seorang Direktur/Wakil Direktur berfungsi sebagai administrator, yang berfungsi sebagai :
a. Membuat kebijakan dan melaksanakannya.
b. Mengintegrasikan, merencanakan, dan mengkoordinasikan pelayanan.
c. Melaksanakan pengembangan staf dan pendidikan/pelatihan.
d. Melakukan pengawasan terhadap penerapan standar pelayanan medis/kedokteran
(39)
e. Berkoordinasi dengan Komite Medik untuk memfasilitasi implemantasi etika kedokteran dan mutu profesi, penetapan Standar Pelayanan Medis dan Standar Pelayanan Operasional.
f. Membentuk Tim DOTS yang dipimpin oleh Ketua/pimpinan yang berfungsi :
Pengatur administrasi, pengatur pengembangan staf, pengawas kualitas pelayanan agar sesuai dengan standar pelayanan medis, pengawas bahwa penanganan pasien TB di rumah sakit menggunakan strategi DOTS dan jejaring internal berjalan optimal serta aktif melaksanakan jejaring eksternal, pengawas bahwa pencatatan dan pelaporan baik kepada Direktur maupun Dinas Kesehatan/Kota semuanya terlaksana dengan benar dan tepat waktu.
2.2.3 Staf dan Pimpinan
Penempatan penetapan, hak dan kewajiban staf medis untuk pelayanan TB dengan strategi DOTS oleh pimpinan rumah sakit. Terdapat pengorganisasian kelompok Staf Medis Fungsional (SMF) berasal dari unit terkait dengan pasien TB dalam wadah fungsional yaitu Tim DOTS. Tim DOTS mempunyai uraian tugas, fungsi dan kewajiban yang jelas. Staf medis dalam Tim DOTS berperan aktif dalam membuat Standar Prosedur Operasional (SPO) bagi pelayanan pasien TB.
Adapun kriteria staf dan pimpinan antara lain :
a. Pimpinan rumah sakit membentuk Tim DOTS sebagai wadah khusus dalam
pengelolaan pasien TB di rumah sakit.
b. Pembentukan Tim DOTS di rumah sakit bersifat fungsional ditetapkan melalui
(40)
c. Tim DOTS di rumah sakit berada di bawah koordinasi Direktur/Wakil Direktur Pelayanan Medik.
Tugas, fungsi, serta wewenang Tim DOTS di rumah sakit ditetapkan berdasarkan kompetensi dan diatur sebagai berikut:
a. Ketua Tim DOTS adalah seorang dokter spesialis paru atau penyakit dalam atau
dokter spesialis atau dokter umum yang bersertifikat Pelatihan Pelayanan Tuberkulosis dengan Strategi DOTS di Rumah Sakit (PPTS DOTS).
b. Ketua Tim DOTS merangkap sebagai anggota, dimana anggotanya terdiri dari
SMF Paru, SMF Penyakit Dalam, SMF Kesehatan Anak, SMF Lainnya bila ada
(Bedah, Obgyn, Kulit dan Kelamin, Saraf, dll), Instalasi Laboratorium (PA, PK, Mikro), Instalasi Farmasi, perawat rawat inap dan perawat rawat jalan terlatih, petugas pencatatan dan pelaporan, serta petugas Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS).
2.2.4 Standar Ketenagaan Pelayanan TB dengan Strategi DOTS di Rumah Sakit
Standar ketenagaan pelayanan TB dengan strategi DOTS di Rumah Sakit antara lain :
a. Rumah Sakit Umum Pemerintah
1) RS Kelas A : kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6
dokter, 3 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium
2) RS Kelas B : kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6
(41)
3) RS Kelas C : kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 4 dokter, 2 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium
4) RS Kelas D : kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 2
dokter, 2 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium
b. Rumah Sakit Swasta : menyesuaikan.
c. Dokter Praktek Swasta : minimal telah dilatih.
Apabila rumah sakit tidak dapat membentuk Tim DOTS karena keterbatasan tenaga profesional, maka paling sedikit ada 3 orang staf rumah sakit yang menjalankan tugas untuk mengkoordinir pelaksanaan strategi DOTS di rumah sakit, yaitu : seorang Dokter, seorang Perawat (paramedis), seorang Petugas Laboratorium (Kemenkes RI, 2010).
Dokter ataupun Dokter Spesialis bertugas untuk melakukan anamnesa, pemeriksaan fisik pada pasien, penegakkan diagnosa hingga pemberian obat, juga memberikan penjelasan (edukasi dan informasi) mengenai TB dan pentingnya kepatuhan minum obat. Perawat (paramedis) bertugas untuk memberikan obat setelah diagnosis ditegakkan oleh dokter, memberikan penjelasan (edukasi dan informasi) mengenai TB dan pentingnya kepatuhan minum obat, juga melakukan pencatatan dan pelaporan. Petugas laboratorium bertugas memeriksa sputum pasien TB dan melakukan pencatatan dan pelaporan.
Ketiga petugas tersebut di atas harus bersertifikat Pelatihan Pelayanan Tuberkulosis Dengan Strategi DOTS di Rumah Sakit.
(42)
Tugas Tim DOTS di rumah sakit adalah menjamin terselenggaranya pelayanan TB dengan membentuk unit DOTS di rumah sakit sesuai dengan strategi DOTS termasuk sistem jejaring internal dan eksternal (KemenKes RI, 2011).
Petugas TB rumah sakit di Medan yang telah dilatih oleh Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara harus melakukan pencatatan sesuai dengan standar operasional yang ada dan memberikan pelaporan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan mengenai perkembangan kasus TB yang terdapat di rumah sakit tersebut. Hal-hal yang harus dilaporkan dari rumah sakit kepada Dinas Kesehatan Kota Medan tersebut antara lain :
a. Jumlah pasien TB secara keseluruhan (kasus TB BTA +/-)
b. Apakah strategi DOTS di rumah sakit tersebut berjalan atau tidak, dengan melihat jumlah pasien yang sembuh (angka kesembuhan dan keberhasilan pengobatan), jumlah pasien yang putus obat (drop-out), jumlah pasien konversi.
c. Hasil laboratorium
Petugas TB rumah sakit harus aktif melakukan semua kegiatan penanggulangan TB sesuai dengan strategi DOTS. Semua kegiatan yang dilakukan harus sesuai dengan materi saat pelatihan program penanggulangan TB yang sudah diberikan dari Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara pada saat pelatihan. Menurut Dinas Kesehatan Kota Medan, indikator keaktifan petugas TB rumah sakit dilihat dari:
(43)
a. Pelaporan yang harus tepat waktu
b. Seluruh pemeriksaan dan pengobatan TB harus sesuai dengan tahapan strategi
DOTS
c. Tidak ada pasien yang putus obat (drop-out)
Apabila petugas TB rumah sakit tidak memberikan laporan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan maka dapat dikatakan petugas TB tersebut belum bekerja secara maksimal dalam melaksanakan program HDL walaupun petugas TB rumah sakit tersebut telah melakukan pemeriksaan dan pengobatan TB sesuai dengan tahapan strategi DOTS.
Selain petugas TB rumah sakit, Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara juga melatih supervisor untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan program HDL. Untuk tingkat Kabupaten/Kota, kriteria supervisor tersebut adalah : a. Supervisor terlatih pada Dinas Kesehatan.
b. Jumlah tergantung beban kerja yang secara umun ditentukan jumlah puskesmas,
RS dan fasyankes lain di wilayah kerjanya serta tingkat kesulitan wilayahnya. Secara umum seorang supervisor membawahi 10-20 Fasyankes.
c. Bagi wilayah yang memiliki lebih dari 20 Fasyankes dapat memiliki lebih dari
(44)
Tabel 2.1. Uraian Tugas Program TB untuk Petugas di Rumah Sakit
No Uraian Tugas Dokter Paramedis Petugas
Lab
1 MENEMUKAN PENDERITA :
a. Memberikan penyuluhan tentang TB
kepada pasien TB, keluarga dan PMO
b. Menjaring suspek (penderita tersangka)
TB
c. Mengumpul dahak untuk pemeriksaan
pasien TB
d. mengisi buku daftar suspek Form TB.06
e. Membuat sediaan hapus dahak.
f. Mewarnai dan membaca sediaan dahak,
mengirim balik hasil bacaan, mengisi buku register laboratorium (TB.04), dan
menyimpan sediaan untuk di cross
check
g. Menegakkan diagnosis TB sesuai protap
h. Membuat klasifikasi/tipe penderita
i. Mengisi kartu penderita (Form TB.01)
dan kartu identitas penderita (Form TB.02)
j. Memeriksa kontak terutama kontak
dengan penderita TB BTA positif
k. Memantau jumlah suspek yang
diperiksa dan jumlah penderita TB yang ditemukan X X X X X X X X X X X X X X X
2 MEMBERIKAN PENGOBATAN :
a. Menetapkan jenis paduan obat
b. Memberikan obat tahap intensif dan
tahap lanjutan
c. Mencatat pemberian obat tersebut
dalam kartu penderita (Form TB.01)
d. Menentukan PMO bersama penderita
e. Memberikan KIE (penyuluhan) pada
penderita, keluarga dan PMO
X X X X X X X
(45)
Tabel 2.1. (Lanjutan)
No Uraian Tugas Dokter Paramedis Petugas
Lab
f. Melakukan pemeriksaan dahak ulang
untuk follow-up pengobatan
g. Mengenal efek samping obat dan
komplikasi lainnya serta cara penanganannya
h. Menentukan hasil pengobatan
i. Mencatat hasil pengobatan di kartu
penderita X X X X X X
3 PENANGANAN LOGISTIK :
a. Menjamin tersedianya OAT di RS
b. Menjamin tersedianya bahan pelengkap
lainnya (formulir, reagens, dll)
X
X X
4 PENGELOLAAN LABORATORIUM :
a. Memelihara mikroskop dan alat
laboratorium lainnya
b. Menangani limbah laboratorium
c. Melaksanakan prosedur keamanan dan
keselamatan kerja
X X X
5 JAGA MUTU PELAKSANAAN SEMUA
KEGIATAN No. 1 s/d 4
X
Sumber : Kemenkes RI, 2011
2.2.5 Pelatihan
Pelatihan merupakan salah satu upaya peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan petugas dalam rangka meningkatkan mutu dan kinerja petugas.
Konsep pelatihan dalam program TB, terdiri dari :
a. Pendidikan/pelatihan sebelum bertugas (pre service training)
Dengan memasukkan materi program penanggulangan tuberkulosis strategi DOTS dalam pembelajaran/kurikulum Institusi pendidikan tenaga kesehatan (Fakultas Kedokteran, Fakultas Keperawatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Farmasi dan lain-lain).
(46)
b. Pelatihan dalam tugas (in service training)
Dapat berupa aspek klinis maupun aspek manajemen program : (1) Pelatihan dasar program TB (initial training in basic DOTS implementation) yang terdiri dari pelatihan penuh, pelatihan ulangan (retraining), pelatihan formal (yang dilakukan terhadap peserta yang telah mengikuti pelatihan sebelumnya tapi masih ditemukan banyak masalah dalam kinerjanya dan tidak cukup hanya dilakukan melalui supervisi), dan pelatihan penyegaran (pelatihan untuk peserta yang telah mengikuti pelatihan sebelumnya minimal 5 tahun); (2) Pelatihan lanjutan
(continued training/advanced training) : pelatihan untuk mendapatkan
pengetahuan dan keterampilan program yang lebih tinggi. Materi berbeda dengan pelatihan dasar.
Evaluasi pelatihan adalah proses penilaian secara sistematis untuk menentukan apakah tujuan pelatihan telah tercapai atau tidak, untuk menentukan mutu pelatihan yang dilaksanakan dan untuk meningkatkan mutu pelatihan yang akan mendatang.
Demikian pentingnya evaluasi pelatihan maka pelaksanaanya harus terintegrasi dengan proses pelatihan.
Jenis dan tahap evaluasi pelatihan :
a. Selama pelatihan, terdiri dari : evaluasi reaksi dan evaluasi pembelajaran.
Evaluasi ini menilai penyelenggaraan pelatihan, peserta, fasilitator, materi dan metode pembelajaran.
(47)
b. Paska pelatihan, terdiri dari : (1) Evaluasi kinerja, menilai kompetensi dan kinerja ditempat tugas. Kegiatan ini dilakukan bersamaan dengan kegiatan supervisi dan dilakukan setidaknya setelah 3-6 bulan setelah mengikuti pelatihan; (2) Evaluasi dampak, menilai dampak pelatihan terhadap tujuan program/organisasi, dilakukan sesuai dengan kebutuhan dapat dilakukan melalui penelitian operasional.
Materi-materi yang diberikan saat pelatihan tatalaksana TB antara lain mengenai : (1) program pengendalian TB; (2) penemuan dan pengobatan TB; (3) komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) TB; (4) logistik program pengendalian TB di Fasyankes; (5) pencegahan dan pengendalian infeksi TB; (6) jejaring program pengendalian TB; (7) monitoring dan evaluasi program pengendalian TB.
2.2.6 Supervisi
Supervisi adalah kegiatan yang sistematis untuk meningkatkan kinerja petugas dengan mempertahankan kompetensi dan motivasi petugas yang dilakukan secara langsung.
Kegiatan yang dilakukan selama supervisi adalah observasi, diskusi, bantuan teknis, bersama-sama mendiskusikan permasalahan yang ditemukan, mencari pemecahan permasalahan bersama-sama, memberikan laporan berupa hasil temuan serta memberikan rekomendasi dan saran perbaikan.
Supervisi merupakan salah satu kegiatan pokok dari manajemen. Kegiatan supervisi ini erat hubungannya dengan kegiatan “monitoring langsung”, sedangkan monitoring dapat dikatakan sebagai “supervisi tidak langsung”.
(48)
Tujuan supervisi untuk meningkatkan kinerja petugas, melalui suatu proses yang sistematis dengan peningkatan pengetahuan petugas, peningkatan keterampilan petugas, perbaikan sikap petugas dalam bekerja, peningkatan motivasi petugas.
Supervisi selain merupakan monitoring langsung, juga merupakan kegiatan lanjutan pelatihan. Melalui supervisi dapat diketahui bagaimana petugas yang sudah dilatih tersebut menerapkan semua pengetahuan dan keterampilannya. Selain itu supervisi dapat juga berupa suatu proses pendidikan dan pelatihan berkelanjutan dalam bentuk on the job training.
Supervisi harus dilaksanakan di semua tingkat dan di semua unit pelaksana, karena dimanapun petugas bekerja akan tetap memerlukan bantuan untuk mengatasi masalah dan kesulitan yang mereka temukan. Suatu umpan balik tentang kinerja harus selalu diberikan untuk memberikan dorongan semangat kerja.
Supervisi merupakan kegiatan monitoring langsung dan kegiatan pembinaan untuk mempertahankan kompetensi standar melalui on job training. Supervisi juga dapat dimanfaatkan sebagai evaluasi pasca pelatihan untuk bahan masukan perbaikan pelatihan yang akan datang. Supervisi juga untuk mengevaluasi ketercukupan sumber daya selain tenaga, misalnya : OAT, mikroskopik dan logistik, maupun non OAT lainnya.
Agar supervisi efektif dan mencapai tujuannya, maka supervisi harus direncanakan dengan baik. Supervisi harus dilaksanakan secara rutin dan teratur pada semua tingkat. Seperti supervisi ke Fayankes dan ke kabupaten/kota dilaksanakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali. Sedangkan supervisi ke propinsi dilaksanakan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali.
(49)
2.3 Kinerja
2.3.1. Pengertian Kinerja
Kinerja berasal dari pengertian performance. Performance ialah hasil kerja atau prestasi kerja. Namun, sebenarnya kinerja mempunyai makna yang lebih luas, bukan hanya hasil kerja, tetapi termasuk berlangsungnya proses pekerjaan.
Menurut Stolovitch dan Keeps (1992) yang dikutip oleh Rivai (2005) kinerja merupakan merupakan seperangkat hasil yang dicapai dan merujuk pada tindakan pencapaian serta pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang diminta. Untuk menyelesaikan tugas dan pekerjaan, seseorang harus memiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu. Kesediaan dan keterampilan seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Menurut Robbin (1996) dalam Rivai (2005) pencapaian tujuan yang telah ditetapkan merupakan salah satu tolak ukur kinerja individu. Ada tiga kriteria dalam melakukan penilaian kinerja individu, yakni : (a) tugas individu ; (b) perilaku individu ; (c) ciri individu. (Rivai, 2005)
Menurut Mangkunegara (2009) kinerja merupakan suatu prestasi kerja ataupun hasil kerja (output) baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai karyawan dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Pada hakikatnya kinerja merupakan prestasi yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya atau pekerjaannya sesuai dengan standar dan kriteria yang ditetapkan untuk pekerjaan itu.
(50)
2.3.2. Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja merupakan kajian sistematis tentang kondisi kerja karyawan yang dilaksanakan secara formal yang dikaitkan dengan standar kerja yang telah ditentukan perusahaan. Selain itu, kinerja sebagai suatu sistem pengukuran, dan evaluasi, memengaruhi atribut-atribut yang berhubungan dengan pekerjaan karyawan, perilaku dan keluaran, dan tingkat absensi untuk mengetahui tingkat kinerja karyawan, perilaku dan kelaran, dan tingkat absensi untuk mengetahui tingkat kinerja karyawan pada saat ini.
Penilaian kinerja merupakan analisis dan interpretasi keberhasilan atau kegagalan pencapaian kinerja. Penilaian sebaiknya dikaitkan dengan sumber daya
(input) yang berada di bawah wewenangnya seperti SDM, dana/keuangan,
sarana-prasarana, metode kerja dan hal lain yang berkaitan. Tujuannya adalah agar dapat diketahui dengan pasti apakah pencapaian kinerja yang tidak sesuai (kegagalan)
disebabkan oleh faktor input yang kurang mendukung atau kegagalan pihak
manajemen. (Rivai, 2005)
Menurut Ilyas (2001) yang dikutip oleh Munawaroh (2012) pada hakikatnya penilaian kinerja merupakan suatu evaluasi terhadap penampilan kerja personel dengan membandingkannya dengan standar baku penampilan. Dengan melakukan penilaian demikian, seorang pemimpin akan menggunakan uraian-uraian pekerjaan sebagai tolak ukur. Bila pekerjaan sesuai dengan uraian pekerjaan berarti pekerjaan itu berhasil dilaksanakan dengan baik, bila hasilnya dibawah uraian pekerjaan berarti pelaksanaan pekerjaan tersebut kurang.
(51)
Menurut Mangkunegara (2009) tujuan penilaian kinerja adalah :
a. Sebagai dasar dalam pengambilan keputusan yang digunakan untuk prestasi,
pemberhentian dan besarnya balas jasa.
b. Untuk mengukur sejauh mana seorang karyawan dapat menyelesaikan
pekerjaannya.
c. Sebagai dasar untuk mengevaluasikan efektifitas seluruh kegiatan dalam
perusahaan.
d. Sebagai dasar untuk mengevaluasikan program latihan dan keefektifan jadwal
kerja, metode kerja, struktur organisasi, gaya pengawasan, kondisi kerja dan pengawasan.
e. Sebagai indikator untuk menentukan kebutuhan akan latihan bagi karyawan yang
berada di dalam organisasi.
f. Sebagai alat untuk meningkatkan motivasi kerja karyawan sehingga dicapai
performance yang baik.
g. Sebagai alat untuk dapat melihat kekurangan atau kelemahan dan meningkatkan
kemampuan karyawan selanjutnya.
h. Sebagai kriteria menentukan, seleksi dan penempatan karyawan.
i. Sebagai alat untuk memperbaiki atau mengembangkan kecakapan karyawan.
j. Sebagai dasar untuk memperbaiki atau mengembangkan uraian tugas (job
(52)
2.3.3. Metode Penilaian Kinerja
Menurut Rivai (2005) metode penilaian kinerja adalah sebagai berikut : a. Metode Penilaian Subjektif
Beberapa teknik yang dapat digunakan dalam system penilaian kinerja subjektif antara lain adalah sebagai berikut :
1) Alphabetical/Numerial rating
Dalam metode ini, penilai diminta untuk merating/member peringkat karyawan-karyawan dengan menggunakan angka yang mempunyai bobot yang berbeda. Faktor yang dinilai antara lain :
a) Kualitas dan kuantitas pekerjaan
b) Pengetahuan tentang pekerjaan
c) Kemampuan dalam memecahkan masalah
Skala peringkat misalnya dengan menggunakan angka 1 sampai 5, atau A sampai E yang menunjukkanperbedaan antara kinerja yang lebih baik dan yang lebih buruk. Kelebihan dari metode ini adalah mudah dimengerti dan digunakan. Sementara itu, kekurangannya adalah terkena bias.
2) Forced Choise Rating Index
Pada metode ini penilai diminta untuk membuat kata sifat atau ungkapan-ungkapan yang dapat menggambarkan tentang kinerja karyawan yang dinilai. Dalam hal ini, penilai hanya memilih salah satu dari dua pernyataan yang dianggap sesuai atau mendekati kinerja karyawan yang dinilai.
(53)
3) Personality Trait Rating
Metode ini terdiri dari lima atau enam poin kualitas personal dan karakteristik kepribadian seperti : keyakinan diri (confidence), antusiasisme
(enthusiasm), kedewasaan (maturity), (steadiness under preasure), initiative
dan lain-lain. Penilai diminta untuk memilih salah satu angka yang menggambarkan kepribadian seseorang tersebut.
4) Graphic Rating Scale
Metode ini menggunakan skala grafik yang memberikan gambaran mulai dari kinerja tertinggi sampai terendah. Penilai diminta memberikan tanda pada grafik skala tersebut sesuai dengan karyawan yang dinilai.
Metode ini disamping mudah dipahami dan digunakan juga dapat menghindari penempatan karyawan pada kategori yang spesifik (baik atau
bagus). Namun, rater bias, dan central tendency masih mungkin terjadi.
Disamping itu, sulit untuk menginterpretasikan skala tersebut.
5) Forced Distribution
Metode ini dapat menghindari masalah-masalah seperti central
tendency yang terlalu longgar atau terlalu ketat, namun kinerja kelompok
mungkin tidak sesuai dengan pola normal. Selain itu metode ini sulit diterapkan jika jumlah karyawan yang akan dinilai terlalu sedikit.
6) Ranking
Metode ini adalah metode yang paling sederhana. Penilaian hanya mengurutkan karyawan berdasarkan peringkat atau rangking mulai dari yang mempunyai kinerja yang baik sampai pada kinerja yang paling jelek.
(54)
Metode ini selain mudah digunakan juga memaksa penilai untuk membedakan antara tingkat-tingkat kinerja karyawan yang berbeda. Akan tetapi kelompok yang ada mungkin tidak dapat memenuhi distribusi yang diatur, misalnya karyawan yang berada dibawah atau diatas rata-rata.
7) Paired Comparisons
Metode ini, penilai diminta untuk membandingkan seorang karyawan denngan karyawan lainnya, kemudian dinilai apakah kinerjanya lebih tinggi atau lebih rendah dari karyawan lain.
Dengan menggunakan metode ini, penilai dituntut untuk membandingkan kekuatan dan kelemahan dari para karyawan. Namun demikian metode ini tidak memungkinkan perbandingan yang mudah antara klompok-kelompok pekerja yang berbeda. Disamping itu, metode ini tidak dapat memberikan umpan balik yang jelas kepada karyawan untuk meningkatkan kinerja dimasa yang akan dating. Dan kelemahan ini adalah penilai merasa enggan membuat perbandingan diantara para karyawan.
b. Metode Penilaian Objektif
Penilaian kinerja objektif dapat dilakukan dengan bermacam-macam metode atau teknik. Beberapa teknik yang dapat digunakan dalam sistem penilaian kinerja objektif adalah sebagai berikut :
(55)
1) Free Written Report
Free written report disebut juga sebagai metode esai atau metode
karangan. Penilai memberikan pendapat tentang kinerja masing-masing karyawan dalam bentuk tulisan atau karangan yang menunjukkan kriteria yang dianggap sesuai atau cocok dengan karyawan yang dinilai. Penilai harus memberikan komentar tentang kinerja masa lalu karyawan dan peningkatan atau target baru untuk masa yang akan datang.
Keuntungan dari metode ini adalah dapat menghasilkan pendapat yang berguna bagi kinerja saat ini dan potensi dimasa yang akan datang. Namun dengan metode ini perbandingan antara individu mungkin sulit dihasilkan.
2) Controlled Written Report
Metode ini mirip dengan metode free written report, namun lebih
terarah karena adanya heading dalam dokumen penilaian yang mengarahkan
komentar penilai. Metode ini menuntut penilai untuk memikirkan dengan seksama kinerja seorang karyawan yang dapat berguna bagi kinerja masa kini dan masa akan datang.
3) Critical Incident Technique
Dalam hal ini penilai diminta untuk mencatat kedua sisi kinerja, baik yang positif maupun yang negatif dari karyawan. Melalui metode ini, penilai dituntut untuk berpikir secara seksama mengenai kinerja tiap karyawan.
Metode ini membutuhkan pengawasan secara dekat yang kadang berlebihan dan dapat menimbulkan kebencian karyawan serta pengenduran semangat kerja.
(56)
4) Result Oriented Scheme
Metode ini berorientasi pada hasik yang ingin dicapai yang lebih menekankan kinerja daripada kepribadian. Dalam melakukan penilaian, terdapat kemungkinan kecil untuk dipengaruhi oleh sudut pandang subjek dari penilai. Disampimg dapat mendorong diskusi terbuka dalam memfformulasikan saran-saran, juga memberikan umpan balik terhadap peningkatan kinerja dimasa yang akan datang.
5) Self Appraisal
Metode ini melibatkan karyawan dalam proses penilaian tentang kinerja masing-masing. Metode ini dapat mendorong karyawan untuk memikirkan masalah pekerjaan dan kinerja sehingga dapat memberikan umpan balik yang positif terhadap penningkatan dimasa yang akan datang.
6) Behaviourally Anchored Rating Scales (BARS)
Walaupun belum digunakan secara luas, metode ini memiliki kelebihan yang dapat diperhitungkan dalam mengatasi masalah yang biasanya muncul apabila kita ingin mengkarakteristik skala penilaian konvensional alfabetik/numerik. BARS membutuhkan formulir penilaian yang secara khusus dirancang bagi tiap kelompok pekerjaan.
c. Metode Penilaian Kinerja Yang Berorientasi Masa Lalu
Metode penilaian kinerja berorientasi masa lalu (past oriented evaluation
(57)
Keuntungan dari metode ini adalah dapat dijadikan umpan balik (feed back) yang dapat mengarahkan usaha untuk peningkatan kinerja.
Dalam praktiknya, sebagaimana diuraikan di atas ada beberapa metode untuk mengevaluasi kinerja di waktu yang lalu, dan hampir semua teknik tersebut merupakan suatu upaya untuk meminimalkan berbagai masalah tertentu yang dijumpai dalam pendekatan-pendekatan ini. Dengan mengevaluasi prestasi kerja kinerja di masa lalu, karyawan dapat memperoleh umpan balik dari upaya-upaya mereka. Umpan balik ini selanjutnya bisa mengarahkan kepada perbaikan-perbaikan prestasi. Teknik-teknik penilaian ini antara lain:
1) Skala Peringkat (Rating Scale)
Meskipun metode ini sering dianggap sebagai metode yang subjektif, namun metode ini paling banyak digunakan dalam menilai/mengevaluasi kinerja karyawan.
Metode ini merupakan metode yang paling tua yang digunakan dalam menilai prestasi, dimana para penilai diharuskan melakukan suatu penilaian yang berhubungan dengan hasil kerja karyawan dalam skala-skala tertentu, mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
2) Daftar Pertanyaan (checklist)
Penilaian berdasarkan metode ini biasanya menggunakan sejumlah pertanyaan dengan menggunakan kalimat: Berilah jawaban pertanyaan berikut dengan cara memberi tanda (√) pada kolom yang tersedia.
(58)
Metode ini menggunakan formulir isian yang menjelaskan beraneka ragam tingkat perilaku bagi suatu pekerjaan tertentu. Penilai hanya perlu memilih kata atau pertanyaan yang menggambarkan karakteristik dan hasil kerja karyawan.
Keuntungan dari checklist ialah biaya relatif murah, pengurusannya mudah, penilai hanya membutuhkan pelatihan yang sederhana dan standarisasi. Kelemahannya ialah terdapatnya kepekaan pada penyimpangan penilai yang lebih mengedepankan kriteria-kriteria pribadi karyawan dalam menentukan kriteria-kriteria hasil kerja, kesalahan dalam menafsirkan
materi-materi checklist, kerugia metode ini tidak memungkinkan penilai untuk
memberikan nilai yang berbeda. Sebagai contoh, karyawan yang dengan senang hati bekerja lembur mendapatkan nilai yang sama seperti karyawan yang bekerja lembur dengan setengah hati.
d. Metode dengan Pilihan Terarah (Forced Choise Methode)
Metode ini dirancang untuk meningkatkan objektivitas dan mengurangi subjektivitas dalam penilaian.
Salah satu sasaran dasar pendekatan pilihan ini ialah untuk mengurangi dan menyingkirkan kemungkinan berat sebelah penilaian dengan memaksakan sesuatu pilihan antara pernyataan-pernyataan deskriptif yang kelihatannya mempunyai nilai yang sama. Metode ini mengharuskan penilai untuk memilih pernyataan yang paling sesuai dengan pasangan pernyataan tentang karyawan yang dinilai.
(59)
e. Metode Peristiwa Kritis (critical Incedent Methode)
Metode ini merupakan pemilihan yang mendasarkan pada catatan yang dibuat penilai atas perilaku karyawan yang sangat kritis, seperti sangat baik atau sangat jelek dalam menjalankan pekerjaan.
Pernyataan-pernyataan diatas disebut sebagai insiden kritis dan biasanya dicatat oleh atasan selama masa penilaian untuk setiap karyawan yang amat berguna dalam memberikan umpan balik karyawan yang bersangkutan. Kejadian yang dicatat meliputi penjelasan ringkas dari apa yang terjadi.
f. Metode Catatan Prestasi
Metode ini berkaitan erat dengan metode peristiwa kritis, yaitu catatan penyempurnaan, yang banyak digunakan terutama oleh para profesional, misalnya penampilan, kemampuan berbicara, peran kepemimpinan dan aktifitas lain yang berhubungan dengan pekerjaan. Informasi ini secara khusus digunakan untuk menghasilkan detail laporan tahunan tentang kontribusi seorang profesional selama satu tahun. Selanjutnya, laporan akan digunakan oleh atasan untuk menentukan kenaikan dan promosi untuk memberikan saran-saran tentang hasil kerjanya di masa yang akan datang. Penafsiran atas materi-materi mungkin subjektif dan biasanya terjadi penyimpangan, karena hanya memberikan sesuatu yang baik saja terhadap apapun yang diberikan karyawan.
(1)
H. KINERJA PETUGAS P2TB
Petunjuk pengisian : isilah dengan tanda (√) pada kolom jawaban yang sesuai ! Keterangan :
Y : Ya, apabila petugas melaksanakan
T : Tidak, apabila petugas tidak melaksanakan
OBSERVASI
No Pertanyaan Y T Y Kurang T
1 Kasus TB dilaporkan secara rutin ke Dinas Kesehatan Kota Medan sesuai jadwal yang ditentukan
2 Dalam merencanakan kebutuhan OAT, selalu berdasarkan perhitungan kebutuhan setiap triwulan sesuai rumus yang berlaku
3 Sebelum proses penyimpanan OAT, petugas melakukan semua langkah-langkah pada saat penerimaan OAT sesuai dengan materi pelatihan yang sudah diberikan.
4 Melakukan pemantauan sisa stok OAT yang ada di gudang obat sebulan sekali
5 Mencatat jumlah, tamggal kadaluarsa dan tanggal penerimaan masing-masing obat ke dalam kartu stok dan kartu stok induk
6 Mencatat setiap jumlah OAT yang dikeluarkan di dalam kartu stok dan kartu stok induk
7 Memastikan bahwa setiap pasien TB didampingi oleh PMO (Pengawas Menelan Obat)
8 Dosis harian OAT yang akan ditelan di rumah disiapkan dan dijelaskan cara pemakaiannya di depan PMO pada saat penyerahan OAT di RS 9 Memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi
TB kepada penderita TB
10 Hasil pemeriksaan dahak dari formulir TB.05 dipindahkan ke formulir TB.06
11 Mengisi kartu pengobatan pasien TB pada formulir TB.01
12 Mengisi dan melengkapi kartu identitas pasien TB di formulir TB.02
13 Mengisi dan melengkapi TB.03 UPK per triwulan
(2)
KUESIONER PENELITIAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KINERJA PETUGAS TB
(TUBERCULOSIS) DI RUMAH SAKIT YANG TELAH DILATIH PROGRAM
HDL (HOSPITAL DOTS LINGKAGE) DI KOTA MEDAN No. Responden : (diisi oleh peneliti) Tanggal Pengisian: ……… I. IDENTITAS RESPONDEN (PETUGAS LABORATORIUM)
7. Umur :
8. Jenis Kelamin : Laki-laki Perempuan 9. Masa Kerja : a. ≥ 3 tahun b. < 3 tahun
10.Pendidikan : 11.Rumah Sakit : 12.Alamat Rumah Sakit : J. PENGETAHUAN
Berilah tanda (x) pada jawaban yang tepat ! 7. TB terutama ditularkan melalui :
f. Sistem limfe
g. Sistem peredaran darah h. Makanan dari pasien i. Percikan dahak (droplet) j. Hubungan seksual
8. Dalam pelaksanaan kerja di laboratorium dapat dilakukan : a. Tidak perlu menggunakan alat pelindung diri (APD) b. Harus menggunakan APD
c. Sebaiknya menggunakan APD d. Semua jawaban di atas salah e. Jawaban a dan b benar
9. Alat pelindung diri (APD) dari bahaya/resiko terpapar mikroorganisme di laboratorium berupa :
a. Sarung tangan karet (handscoon) b. Masker
c. Pakaian (jas) laboratorium d. Kaca mata pelindung
(3)
10. Pengumpulan dahak yang baik adalah kecuali :
a. Berikan penjelasan kepada pasien cara batuk yang benar sebelum mengumpulkan dahak
b. Tunjukkan tempat pengambilan dahak yang memenuhi syarat c. Setiap pasien diberikan 3 buah pot dahak untuk dibawa pulang dan
diserahkan keesokan harinya
d. Letakkan pot dahak di tempat yang terkena sinar matahari e. Cuci tangan dengan sabun setelah selesai mengumpulkan dahak
K. PELATIHAN
Petunjuk pengisian : isilah dengan tanda (√) pada kolom jawaban yang sesuai !
No Pertanyaan Ya Tidak
1 Materi pelatihan tatalaksana TB bagi pengelola program TB di rumah sakit yang pernah saya ikuti sesuai dengan kebutuhan
2 Materi pelatihan tatalaksana TB yang pernah saya ikuti dapat mengatasi permasalahan dalam penanggulangan masalah TB
3 Materi pelatihan tatalaksana TB yang pernah saya ikuti meningkatkan pengetahuan saya dalam upaya
penanggulangan masalah TB
4 Materi pelatihan tatalaksana TB yang pernah saya ikuti meningkatkan ketrampilan saya dalam melaksanakan program strategi DOTS di RS
5 Setelah mengikuti pelatihan tatalaksana TB, saya mampu mengaplikasikan hasil pelatihan dalam penatalaksanaan strategi DOTS di RS
6 Setelah mengikuti pelatihan tatalaksana TB, pengetahuan saya dalam melaksanakan strategi DOTS di RS meningkat 7 Setelah mengikuti pelatihan tatalaksana TB, ketrampilan
saya dalam melaksanakan strategi DOTS di RS meningkat 8 Setelah mengikuti pelatihan tatalaksana TB, saya mampu
(4)
L. SIKAP
Petunjuk pengisian : isilah dengan tanda (√) pada kolom jawaban yang sesuai ! Keterangan :
SS : Sangat Setuju S : Setuju
N : Netral TS : Tidak Setuju
STS : Sangat Tidak Setuju
No Pernyataan Alternatif Jawaban
SS S N TS STS 1 Menggunakan alat pelindung diri saat berada
di laboratorium
2 Pencatatan dan pelaporan pada formulir TB (Form TB.05)
3 Mewwarnai sediaan dahak dengan pewarnaan Ziehl neelsen
4 Tidak perlu menjelaskan tata cara batuk yang benar sebelum mengumpulkan dahak
5 Pemeriksaan dahak yang dilakukan hanya saat penegakkan diagnosis saja
M.MOTIVASI
Petunjuk pengisian : isilah dengan tanda (√) pada kolom jawaban yang sesuai ! Keterangan :
SS : Sangat Setuju S : Setuju
N : Netral TS : Tidak Setuju
STS : Sangat Tidak Setuju
No Pernyataan Alternatif Jawaban
SS S N TS STS 1 Tugas dan tanggung jawab yang diberikan
sesuai dengan pendidikan dan kemampuan 2 Tugas dan tanggung jawab yang diberikan
selalu diselesaikan sesuai protap seperti materi pelatihan
(5)
No Pernyataan Alternatif Jawaban SS S N TS STS 4 Bekerja sebagai petugas TB di Rumah Sakit
ini memberikan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan sayaterutama mengenai TB 5 Keberhasilan kerja saya dalam penanganan
program strategi DOTS di RS ini merupakan manifestasi kepuasan kerja yang penting 6 Saya merasa bangga bekerja di rumah sakit ini 7 Bekerja di rumah sakit ini membuat saya
berguna di dalam kehidupan bermasyarakat 8 Gaji yang diberikan selama ini sesuai dengan
yang saya harapkan
9 Selain gaji, saya merasa perlu menerima insentif uang/bentuk lain untuk pelaksanaan program TB
10 Gaji maupun insentif saya terima tepat waktu 11 Hubungan kerja antara pimpinan dan pegawai
baik dan tidak kaku
12 Hubungan kerja sesama petugas maupun pegawai baik
13 Pemberian reward (penghargaan) kepada pegawai berprestasi akan meningkatkan motivasi kerja
N. SARANA DAN PRASARANA
Petunjuk pengisian : isilah dengan tanda (√) pada kolom jawaban yang sesuai !
No Pertanyaan Ya Tidak
1 Apakah keperluan logistik non OAT (reagensia, pot sputum, dll) yang diberikan oleh Dinas Kesehatan Kota Medan kepada pihak RS diterima dalam kondisi baik? 2 Apakah jumlah logistik non-OAT (reagensia, pot sputum,
dll) yang diberikan oleh Dinas Kesehatan Kota Medan kepada pihak RS selalu dalam jumlah yang cukup? 3 Apakah bahan logistik non-OAT(reagensia, pot sputum,
dll) selalu diterima tepat waktu?
4 Apakah pengecekan logistik non-OAT ( reagensia, pot sputum, dll) di RS dilakukan setiap sebulan sekali? 5 Apakah peralatan dan bahan laboratorium untuk
(6)
O. KEPEMIMPINAN
Petunjuk pengisian : isilah dengan tanda (√) pada kolom jawaban yang sesuai !
No Pertanyaan Ya Tidak
1 Direktur RS selalu melakukan pengawasan dan
pembinaan dalam pelaksanaan program strategi DOTS di RS
2 Direktur RS selalu memberikan motivasi dan dukungan terhadap petugas P2TBC dalam pelaksanaan program strategi DOTS di RS
3 Direktur RS rutin melakukan pertemuan/rapat rutin kepada seluruh Unit Pelayanan Fungsional (UPF)/Staf Manajemen Fungsional (SMF) program strategi DOTS di RS
P. KINERJA PETUGAS P2TB
Petunjuk pengisian : isilah dengan tanda (√) pada kolom jawaban yang sesuai ! Keterangan :
Y : Ya, apabila petugas melaksanakan
T : Tidak, apabila petugas tidak melaksanakan
OBSERVASI
No Pertanyaan Y T Y Kurang T
1 Mengumpul dahak untuk penegakkan diagnosis
2 Menghitung kebutuhan logistik non OAT atau bahan habis pakai mengacu pada standar yang sudah diberikan pada saat pelatihan
3 Melakukan pemeriksaan dahak ulang untuk memantau kemajuan pengobatan 4 Pemeriksaan dahak dilakukan sesuai
dengan protap (yaitu pada akhir masa intensif, pada 1 bulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan) 5 Memberi nomor identitas pada kaca
sediaan
6 Permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak di catat dalam formulir TB.05
7 Memberikan arahan kepada suspek mengenai cara mengeluarkan dahak