Tanggung Jawab Terhadap Kegagalan Bangunan dalam Pekerjaan Konstruks Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Sinar Grafika, 2009.

Amiruddin dan H. Zainal Askin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rajawali Pers, 2012.

Arrasjid, Chainur. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta : Sinar Grafika, 2000. Ashofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rineka Cipta, 1996. Darus Badrulzaman, Mariam. KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan

Penjelasan. Bandung : Alumni, 1997.

Djumialdji. Hukum Bangunan Dasar-Dasar Hukum dalam Proyek dan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: PT Rineka Cipta, 1996.

Donald S. Barie, Boyd C. Paulson JR. Terjemahan Sudinarto. Manajemen Konstruksi Profesional jilid kedua. Jakarta : Erlangga, 1993. Fuady, Munir. Hukum Kontrak. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1999. FX, Djumialdji. Perjanjian Pemborongan. Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987. H. Mohammad Amari dan Asep Mulyana, Kontrak Kerja Konstruksi Dalam

Perspektif Tindak Pidana. Semarang : Aneka Ilmu, 2010.

H.S, Salim. Perkembangan Hukum Kontrak di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, 2003.

Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Hamzah, Andi. Kamus Hukum. Jakarta : Ghalia Indonesia, 2005.

I. Ervianto, Wulfram. Manajemen Proyek Konstruksi. Yogyakarta : Andi, 2007. Imam, Soeharto. Manajemen Proyek Dari Konseptual Sampai Operasional.

Jakarta : Erlangga, 1995.

Irwan Kartiwan, Hendra Soenardji dan Kamaja Al Katuuk. Ruang Ruang Gelap Jasa Konstruksi Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014. Masjchun Sofwan, Sri Soedewi. Hukum Bangunan, Perjanjian Pemborongan


(2)

Muhammad, Abudlkadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000.

Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2010.

Notoatmojo, Soekidjo. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta, 2010. Prinst, Darwan. Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata. Bandung :

Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2002.

R. Prodjodikoro, Wirjono. Azas-azas Hukum Perjanjian. Bandung: Sumur, 1981. Salim. Hukum Kontrak (Teori & Teknik Penyusunan Kontrak). Jakarta: Sinar

Grafika, 2009.

Salim, H. Abdullah dan Wiwiek Wahyuningsih. Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Salim, Burhanudi. Etika Sosial Asas Moral dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002 .

Soeharto, Imam. Studi Kelayakan Proyek Industi. Jakarta : Erlangga, 2001. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan

Pustaka. Jakarta: Rajawali Press, 1993.

Soekanto, Soerjono. Penegakan Hukum. Jakarta : Bina Cipta, 1983. Soemitro dan Ronny Hanitjo. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri.

Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990.

Soimin, Soedharyo. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta : Sinar Grafika, 1999.

Sriro, Andrew. Sriro’s Desk Reference of Indonesian Law. Jakarta : Equinox Publishing, 2005.

Subekti, R. Hukum Perjanjian. Jakarta : PT. Intermasa, 2002.

Aneka Perjanjian. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1989. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Jakarta : Intermassa, 2001.

Suparyakir. Pelelangan Jasa Konstruksi. Jakarta : Kreasi Wacana Offset, 2010. Suraji, Akhmad. Konstruksi Indonesia 2030. Jakarta: Lembaga Pengembangan

Jasa Konstruksi Indonesia, 2007.


(3)

Prestasi Pustaka, 2010.

Trihastuti, Nanik. Hukum Kontrak Karya. Malang: Setara Pres, 2013.

Triyanto, Djoko. Hubungan Kerja Di Perusahaan Jasa Konstruksi. Bandung: Mandar Maju, 2004.

Yasin, Nazarkhan. Mengenal Kontrak Konstruksi di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia PustakaUtama, 2002.

Mengenal Klaim Konstruksi dan Penyelesaian Sengketa. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2004.

B. Peraturan

Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa

Konstruksi

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Konstruksi

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi

Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan

Pemerintah Nomor 28 Tahun 2008 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi.

C. Jurnal

Asnuddin, Andi. “Konsep Pengembangan Kontraktor Skala Kecil”, Volume 3 Nomor 4 Tahun 2005.

Eddy Hermanto dan Frida Kristiyani. “Kegagalan Bangunan dari Sisi Konstruksi”, Volume 14 Nomor 1 Tahun 2006.


(4)

Poerdyatmono, Bambang. “Alternatif Penyelesaian Sengketa Jasa Konstruksi”, Volume 8 Nomor 1 Tahun 2007.

Eka Wiyana, Yustinus. “Analisis Kegagalan Konstruksi Dan Bangunan Dari Perspektif Faktor Teknis”, Volume 17 Nomor 2 Tahun 2012.

Robby Gunawan Yahya. “Penyebab Kegagalan Bangunan Jalan dan Jembatan”, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2013.

D. Website

Pentingnya Sektor Jasa Konstruksi Bagi Pertumbuhan Nasional.

Sektor Jasa Konstruksi Kesiapan Sektor Jasa Konstruksi Nasional Menghadapi Masyarakat Ekonomi

Asean (MEA) 2015. tanggal 8 Februari 2016).

Jasa Konstruksi tangal 8 Februari 2016).

Usaha Jasa Konnstruksi. http://legalakses.com (diakses pada tanggal 9 Februari 2016).

Jasa Konstruksi Dan Substansi Perubahan Undang-Undang Jasa Konstruksi.

Apartemen 13 Lantai Ambr tanggal 10 Februari 2016 ).

Jembatan di Taman Ismail Marzuki Ambruk, 4 Orang Tewas. https://regional.kompas.com (diakses pada tanggal10 Februari 2016).

Berbagai Macam Usaha di Bidang Jasa Konstruksi (diakses pada tanggal 15 Februari 2016).\

Apa Itu Usaha Jasa Konstruksi tanggal 15 Februari 2016).

Pendirian Perusahaan Jasa Konstruksi tanggal 15 Februari 2016).

Pedoman Pengawasan Penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi (diakses pada tanggal 17 Februari 2016).


(5)

Aspek Hukum Jasa Konstruksi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2016).

Permasalahan Hukum dalam Pengembangan Properti.

Masalah Gangguan Lingkungan Sebagai Ekses Pembangunan Proyek.

Aspek Hukum Jasa Konstruksi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999. 2016).

Kontrak Kerja Kontruksi Dan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Dalam

Penyelenggaraan Jasa Kontruksi.

(diakses pada tanggal 20

November 2016).

Tanggung Jawab Konsultan Pengawas dalam Pekerjaan Konstruksi.

Masa Pemeliharaan dan Jaminan Konstruksi. balipost.com (diakses pada tanggal 22 Februari 2016).


(6)

BAB III

PERIKATAN DALAM PEKERJAAN KONSTRUKSI

A. Para Pihak dalam Pekerjaan Konstruksi

Pihak-pihak yang terlibat di dalam pekerjaan konstruksi antara lain :

1. Pemberi tugas (bouwheer)

Pemberi tugas dapat berupa perorangan, badan hukum, instansi pemerintah ataupun swasta. Si pemberi tugaslah yang mempunyai prakarsa memborongkan bangunan sesuai dengan kontrak dan apa yang tercantum dalam bestek dan syarat-syarat. Dalam pemborongan pekerjaan umum dilakukan oleh instansi pemerintah, direksi lazim ditunjuk dari instansi yang berwenang, biasanya dari instansi pekerjaan

umum atas dasar penugasan ataupun perjanjian kerja.75

Adapun hubungan antara pemberi tugas dengan perencana dapat berupa :

76

a. Jika pemberi tugas adalah pemerintah dan perencana juga dari pemerintah

maka terdapat kedinasan.

b. Jika pemberi tugas dari pemerintah dan atau swasta, perencana adalah pihak

swasta yang bertindak sebagai penasihat pemberi tugas, maka hubungannya dituangkan dalam perjanjian melakukan jasa-jasa tunggal. Sedangkan apabila pemberi tugas dari pemerintah atau swasta dengan perencana dari pihak swasta yang bertindak sebagai wakil pemberi tugas (sebagai direksi) maka hubungannya dituangkan dalam perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1792-1819 KUH Perdata).

75

FX. Djumialdji, Perjanjian Pemborongan, (Jakarta : PT. Bina Aksara, 1987), hlm. 68.


(7)

Pemberi tugas atau disebut juga pengguna jasa dalam pekerjaan konstruksi harus memiliki kemampuan membayar biaya pekerjaan konstruksi yang didukung dengan dokumen pembuktian dari lembaga perbankan

dan/atau lembaga keuangan bukan bank.77Bukti kemampuan membayar

sebagaimana dimaksud dapat diwujudkan dalam bentuk lain yang disepakati dengan mempertimbangkan lokasi, tingkat kompleksitas, besaran biaya, dan/atau fungsi bangunan yang dituangkan dalam perjanjian tertulis antara

pengguna jasa dan penyedia jasa.78

2. Pemborong (kontraktor)

Pemborong adalah perseorangan atau badan hukum, swasta maupun pemerintah yang ditunjuk untuk melaksanakan pekerjaan pemborongan bangunan

sesuai dengan bestek.79Tugas pemborong adalah melaksanakan pekerjaan sesuai

dengan bestek dan menyerahkan pekerjaan.80

3. Perencana

Apabila pengguna jasa adalah pemerintah, sedangkan perencana juga pemerintah maka terjadi hubungan kedinasan. Jika pengguna jasa dari Pemerintah/Swasta dan perencana dari pihak swasta yaitu konsultan perencana, maka hubungannya diatur dalam perjanjian pemberian kuasa tergantung tugas yang

dilakukan oleh konsultan perencana.81

77 Pasal 15 ayat 2 UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.

78 Pasal 15 ayat 3 UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.

79 FX.Djumialdji, Op. Cit., hlm. 8.

80

Ibid., hlm. 9.

81 Ibid., hlm.11.

Pemberian kuasa diberikan ketika seseorang tidak dapat melaksanakan perbuatan hukum yang menyangkut kepentingan


(8)

hukumnya sendiri karena suatu alasan tertentu, maka orang lain dapat mewakili

kepentingan hukum orang tersebut.82

Tugas perencana konstruksi adalah sebagai berikut:

Menurut Pasal 1792 KUH Perdata, mengenai pemberian kuasa disebutkan bahwa suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kuasa kepada orang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.

83

a. Sebagai penasihat

Disini perencana mempunyai tugas membuat rencana biaya dan gambar bangunan sesuai dengan pesanan pengguna jasa. Hubungan pengguna jasa dengan perencana sebagai penasihat dituangkan dalam perjanjian melakukan jasa-jasa tunggal. Dalam praktik perjanjian melakukan jasa-jasa tunggal disebut istilah seperti perjanjian perencana, perjanjian pekerjaan perencana.

b. Sebagai wakil

Disini perencana bertindak sebagai pengawas, dengan tugas mengawasi pelaksaan pekerjaan. Hubungan antara pengguna jasa dengan perencana sebagai wakil dituangkan dalam perjanjian pemberi kuasa (Pasal 1792-1819 KUH Perdata). Sebagai wakil atau si kuasa, perencana dapat diberhentikan sewaktu-waktu (Pasal 1814 KUH Perdata). Perencana dapat menunjuk orang lain untuk mengawasi pelaksanaan pekerjaan, hal ini dikatakan ada substitusi. Tentang substitusi itu dalam si kuasa bertanggungjawab untuk orang yang telah ditunjuk olehnya sebagai

penggantinya dalam melaksanakan kuasanya.84

82 legalakses.com/download/HukumPerjanjian/PemberianKuasa.pdf (diakses pada tanggal 17

Maret 2016).


(9)

Hubungan hukum antara yang memborongkan dengan perencana diatur

sebagai berikut: 85

a. Apabila yang memborongkan maupun perencana keduanya pihak

pemerintah, maka hubungan hukumnya disebut hubungan kedinasan.

b. Apabila yang memborongkan adalah pihak pemerintah, sedangkan pihak

perencana pihak swasta, maka hubungan hukumnya disebut dengan perjanjian melakukan jasa yang dalam prakteknya dituangkan dalam surat perjanjian pekerjaan perencanaan.

c. Apabila yang memborongkan maupun perencana keduanta adalah pihak

swasta, maka hubungan hukumnya disebut perjanjian melakukan jasa (Pasal 1601 KUH Perdata) yang dalam prakteknya dituangkan dalam surat perjanjian pekerjaan perencanaan.

4. Pengawas atau direksi

Direksi bertugas untuk mengawasi pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Di sini pengawasan memberi petunjuk-petunjuk memborongkan pekerjaan, memeriksa bahan-bahan, waktu pembangunan berlangsung dan akhirnya membyar penilaian

opname dari pekerjaan.86

Selain itu, pada waktu pelelangan pekerjaan, direksi bertugas sebagai panitia pelelangan yaitu: mengadakan pengumuman yang akan dilaksanakan, memberikan penjelasan mengenai RKS (Rencana Kerja dan Syarat-syarat) untuk pemborongan-pemborongan/pembelian dan membuat berita acara penjelasan, melaksanakan pembukuan surat penawaran dan membuat berita acara pembukuan surat penawaran,

84 Ibid.

85

FX. Djumialdji, Op. Cit., hlm.13.


(10)

mengadakan penilaian dan menetapkan calon pemenang serta membuat berita acara

hasil pelelangan dan sebagainya.87

B. Pengikatan Para Pihak dalam Pekerjaan Konstruksi

Perikatan adalah terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda “verbintenis”.

Perikatan artinya hal yang mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain.88

Hal yang mengikat adalah suatu peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, kejadian, dan keadaan. Peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum.

Perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena Undang-Undang.89

Pengikatan merupakan suatu proses yang ditempuh oleh pengguna jasa dan penyedia jasa pada kedudukan yang sejajar dalam mencapai suatu kesepakatan untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi. Dalam setiap tahapan proses ditetapkan hak dan kewajiban masing-masing pihak yang adil dan serasi yang disertai dengan sanksi.

90

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Memang, perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh surat perjanjian, tetapi sebagaimana sudah dikatakan tadi, ada juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan. Sumber-sumber lain ini tercakup dengan nama undang-undang. Jadi, ada

perikatan yang lahir dari perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-undang.91

Dilihat dari obyeknya, perjanjian pemborongan bangunan mirip dengan perjanjian lain yaitu perjanjian kerja dan perjanjian melakukan jasa yang sama-sama menyebutkan bahwa pihak yang satu menyetujui untuk melaksanakan pekerjaan

87

Ibid., hlm. 15.

88 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bakti

2000), hlm. 198.

89 Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 1999),

hlm.313. 90

Lihat penjelasan Pasal 17 UU Jasa Konstruksi.


(11)

pihak lain dengan pembayaran tertentu. Perbedaannya satu dengan yang lainnya ialah bahwa pada perjanjian kerja terdapat hubungan kedinasan atau kekuasaan antara buruh dengan majikan. Pada pemborongan bangunan dan perjanjian melakukan jasa tidak ada hubungan semacam itu, melainkan melaksanakan

pekerjaan yang tugasnya secara mandiri.92Apabila perjanjian pemborongan

menyangkut biaya yang besar, biasanya perjanjian pemborongan dibuat secara tertulis. Untuk proyek Pemerintah, perjanjian pemborongan biasanya dibuat secara

tertulis yang dituangkan dalam bentuk formulir-formulir tertentu.93

Prinsip persaingan yang sehat mengandung pengertian antara lain :

Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu berhak menuntut hal dari pihak lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Menurut Pasal 17 ayat 1 UU Jasa Konstruksi, pengikatan dalam hubungan kerja jasa konstruksi dilakukan berdasarkan prinsip persaingan yang sehat melalui pemilihan penyedia jasa dengan cara pelelangan umum dan terbatas.

94

1. diakuinya kedudukan yang sejajar antara pengguna jasa dan penyedia jasa;

2. terpenuhinya ketentuan asas keterbukaan dalam proses pemilihan dan penetapan;

3. adanya peluang keikutsertaan dalam setiap tahapan persaingan yang sehat bagi

penyedia jasa sesuai dengan kemampuan dan ketentuan yang dipersyaratkan;

4. keseluruhan pengertian tentang prinsip persaingan yang sehat tersebut dalam

huruf a, b dan c dituangkan dalam dokumen yang jelas, lengkap, dan diketahui dengan baik oleh semua pihak serta bersifat mengikat.

92 Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Hukum Bangunan, Perjanjian Pemborongan Bangunan

(Yogyakarta: Liberty, 1982), hlm. 52.

93

FX. Djumialdji, Op. Cit., hlm. 4.


(12)

Pemilihan atas dasar prinsip persaingan yang sehat, pengguna jasa mendapatkan penyedia jasa yang andal dan mempunyai kemampuan untuk menghasilkan rencana konstruksi ataupun bangunan yang berkualitas sesuai dengan jangka waktu dan biaya yang ditetapkan. Di sisi lain merupakan upaya untuk menciptakan iklim usaha yang mendukung tumbuh dan berkembangnya penyedia jasa yang semakin berkualitas dan mampu bersaing.

Pemilihan yang didasarkan atas persaingan yang sehat dilakukan secara pelelangan umum atau terbatas, dan dalam keadaan tertentu dilakukan pemilihan langsung. Pemilihan penyedia jasa harus mempertimbangkan kesesuaian bidang, keseimbangan antara kemampuan dan beban kerja, serta kinerja penyedia jasa. Badan-badan usaha yang dimilki oleh satu atau kelompok orang yang sama atau berada pada kepengurusan yang sama tidak boleh mengikuti pelelangan untuk satu

pekerjaan konstruksi secara bersamaan.95

Pada prinsipnya kedua macam pelelangan tersebut sama, hanya ada sedikit perbedaan dalam hal peserta lelang. Dalam pelelangan umum, semua penyedia jasa yang memenuhi syarat dapat ikut dalam pelelangan, sedangkan dalam pelelangan terbatas yang diizinkan ikut adalah penyedia barang/jasa yang diundang oleh pengguna jasa. Pemilihan macam pelelangan pada umumnya tergantung pada besar kecilnya bangunan, tingkat kompleksitas bangunan juga besar kecilnya biaya

bangunan dan jangka waktu pelaksanaan pekerjaan.96

1. Pelelangan umum, adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa yang

dilakukan secara terbuka dengan pengumuman secara luas melalui media massa

95

2016).


(13)

dan papan pengumuman resmi untuk penerangan umum sehingga masyarakat luas dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya.

2. Pelelangan terbatas, dapat dilaksanakan apabila dalam hal jumlah penyedia

barang/jasa yang mampu melaksanakan diyakini terbatas, yaitu untuk pekerjaan yang kompleks, dengan cara mengumumkan secara luas melalui media massa dan papan pengumuman resmi dengan mencantum penyedia barang atau jasa yang telah diyakini mampu, guna memberi kesempatan kepada penyedia barang/jasa lainnya yang memenuhi kualifikasi.

Tetapi dalam keadaan tertentu, penetapan penyedia jasa dapat

dilakukan dengan cara pemilihan langsung atau penunjukan langsung.97

Keadaan tertentu yang dimaksud antara lain :98

1. Penanganan darurat untuk keamanan dan keselamatan masyarakat.

2. Pekerjaan yang kompleks yang hanya dapat dilaksanakan oleh penyedia jasa

yang sangat terbataas atau hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak.

3. Pekerjaan yang perlu dirahasiakan, yang menyangkut keamanan dan keselamatan

negara.

4. Pekerjaan yang berskala kecil.

Pemilihan langsung adalah pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan dengan membandingkan sebanyak-banyaknya penawaran sekurang-kurangnya 3 penawaran dari penyedia barang/jasa yang telah lulus prakualifikasi serta dilakukan negosiasi baik teknis maupun biaya serta harus diumumkan minimal melalui papan pengumuman resmi untuk penerangan umum dan bila memungkinkan melalui

97

Pasal 17 ayat 3 UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.


(14)

internet. Pemilihan langsung dapat dilaksanakan manakala metode pelelangan umum atau pelelangan terbatas dinilai tidak efisien dari segi biaya pelelangan.

Penunjukan langsung, dapat dilaksanakan dalam keadaan tertentu dan keadaan khusus terhadap 1 penyedia barang/jasa. Pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilangsungkan dengan cara melakukan negosiasi, baik secara teknis maupun biaya, sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan.

Pasal 18 ayat 2 UU Jasa Konstruksi menyebutkan di dalam pengikatan, penyedia jasa wajib menyusun dokumen penawaran berdasarkan prinsip keahlian untuk disampaikan kepada pengguna jasa. Yang dimaksud dengan prinsip keahlian disini adalah dengan mengindahkan prinsip profesionalisme, kesesuaian, dan pemenuhan ketentuan sebagaimana tersebut dalam dokumen pemilihan dan dokumen tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

Lelang jasa konstruksi terdiri dari dokumen lelang dan rancangan kontrak,

yang dirinci sebagai berikut :99

1. Surat undangan, untuk mengikuti lelang di surat ini dijelaskan pula jadwal kapan

jawaban harus diterima, kemungkinan kunjungan ke lokasi proyek dan lain-lain.

2. Kerangka acuan penjelasan, yang berisi perihal latar belakang proyek, tujuan dan

lingkup jasa konstruksi, produk-produk yang harus dihasilkan, dan jangka waktu penyelenggaraan konsultasi.

3. Ringkasan kriteria seleksi dalam, disini dokumen lelang diikutsertakan ringkasan

kriteria seleksi agar para peserta memahami aspek yang akan dianalisis berikut nilai atau bobotnya terhadap butir-butir pokok.


(15)

4. Format proposal, hal ini adalah serangkaian pertanyaan dan informasi yang disusun dalam format tertentu. Jawaban dan tanggapan atas pertanyaan tersebut akan menjadi dasar penilaian proposal yang diajukan peserta lelang.

5. Rancangan kontrak selain dokumen tersebut diatas, pada

dokumen-dokumen lelang dilampirkan pula rancangan kontrak yang nantinya akan ditandatangani oleh pemenang lelang dan pemakai jasa konsultan. Di lampirkan rancangan kontrak di paket lelang dimaksudkan agar para peserta berkesempatan mempelajari pasal-pasalnya. Hal ini akan banyak membantu memberikan masukan dalam rangka menyiapkan proposal. Dokumen-dokumen ini bersifat mengikat bagi kedua pihak dan salah satu pihak tidak dapat mengubah dokumen tersebut secara sepihak sampai dengan penandatanganan kontrak kerja konstruksi.

Selesai membuat Berita Acara Hasil Pelelangan (BAHP), kemudian panitia lelang mengadakan rapat untuk menentukan pemenang lelang. Panitia akan menentapkan calon pemenang lelang yang dianggap akan memberikan keuntungan

bagi negara, maksudnya:100

1. Calon pemenang lelang dianggap dapat memberikan keuntungan secara finansial

pada negara karena menawarkan harga pekerjaan yang berada di bawah pagu dana yang telah ditentukan.

2. Calon pemenang lelang dianggap sebagai perusahan jasa konstruksi yang telah

memiliki pengalaman memadai untuk mengerjakan proyek dimaksud, memiliki reputasi baik (tidak termasuk daftar hitam perusahan), memiliki kemampuan keuangan yang memadai, memiliki peralatan yang lengkap dan sebagainya.


(16)

Pengguna jasa dan penyedia jasa harus menindaklanjuti penetapan tertulis dalam hal menetapkan penyedia jasa secara tertulis sebagai hasil pelaksanaan pemilihan dengan suatu kontrak kerja konstruksi untuk menjamin terpenuhinya hak dan kewajiban para pihak yang secara adil dan seimbang serta dilandasi dengan

itikad baik dalam penyelenggaraan pekerjan konstruksi.101

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, bahwa sebelum ada kesepakatan atau kontrak kerja kontruksi, penyedia jasa dengan pengguna jasa terlebih dahulu melakukan pengikatan. Untuk proses mengarah pengikatan tersebut pengguna jasa menerbitkan dokumen pemilihan penyedia jasa. Berdasarkan dokumen yang diterbitkan pengguna jasa tersebut, penyedia jasa menyampaikan dokumen penawaran kepada pengguna jasa. Sejak dokumen penawaran sudah disampaikan dan diterima oleh pengguna jasa maka dokumen pemilihan dan dokumen penawaran sudah mengikat masing-masing pihak.

Pasal 19 UU Jasa Kontruksi menyebutkan:

“Jika pengguna jasa mengubah atau membatalkan penetapan tertulis, atau penyedia jasa mengundurkan diri setelah diterbitkannya penetapan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak, maka pihak yang mengubah atau membatalkan penetapan, atau mengundurkan diri wajib dikenai ganti rugi atau bisa dituntut secara hukum.”

102

Disini yang dimaksud mengikat adalah bahwa materi yang tercantum dalam dokumen penawaran jasa tidak diperkenankan diubah secara sepihak sejak penyampaian dokumen penawaran sampai dengan

penetapan secara tertulis.103

101

Pasal 18 ayat 4 UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jassa Konstruksi.

102


(17)

C. Kontrak Kerja Konstruksi

Istilah kontrak kerja konstruksi merupakan terjemahan dari construction contract. Kontrak kerja konstruksi merupakan kontrak yang dikenal dalam pelaksanaan konstruksi bangunan, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun

swasta.104 Kontrak kerja konstruksi yang dilakukan oleh pengguna jasa dan juga

penyedia jasa terjadi karena adanya kata sepakat antara kedua belah pihak. Sedangkan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara para

pihak.105

Setiap Perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban, hak adalah suatu kenikmatan dan kewajiban adalah suatu beban.

106

Kontrak kerja konstruksi menurut Pasal 1 ayat (5) UU Jasa Konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Dokumen yang dimaksud adalah surat-surat yang berkaitan dengan kegiatan konstruksi. Konstruksi merupakan susunan (model, letak) dari suatu bangunan. Adapun dokumen-dokumen yang berkaitan erat dengan kontrak konstruksi, adalah :

UU Jasa Konstruksi mengatur akibat hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa, dimana penyedia jasa berkewajiban untuk menyelesaikan suatu pekerjaan konstruksi sesuai apa yang telah diperjanjikan dengan pengguna jasa sebelumnya. Sedangkan pengguna jasa berhak atas suatu pekerjaan konstruksi yang telah dikerjakan oleh penyedia jasa.

107

1. surat perjanjian yang ditandatangani oleh pengguna jasa dan penyedia jasa;

104

Salim, Hukum Kontrak (Teori & Teknik Penyusunan Kontrak) (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 90.

105 Ibid. 106 Ibid. 107

Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 90.


(18)

2. dokumen lelang, yaitu dokumen yang disusun oleh pengguna jasa yang merupakan dasar bagi penyedia jasa untuk menyusun usulan atau penawaran untuk pelaksanaan yang berisi lingkup tugas dan persyaratannya (umum dan khusus, teknis, dan administratif, kondisi kontrak);

3. usulan atau penawaran, yaitu dokumen oleh penyedia jasa berdasarkan dokumen

lelang yang berisi metode, harga penawaran, jadwal waktu, dan sumer daya;

4. berita acara yang berisi kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa

selama proses evaluasi usulan atau penawaran oleh pengguna jasa antara lain klarifikasi atas hal-hal yang menimbulkan keraguan.

5. surat pernyataan dari pengguna jasa menyatakan menerima dan menyetujui

usulan atau penawaran dari penyedia jasa;

6. surat pernyataan dari penyedia jasa yang menyatakan kesanggupan untuk

melaksanakan pekerjaan.

Kontrak konstruksi atau perjanjian pemborongan juga merupakan salah satu perjanjian untuk melakukan pekerjaan, dalam Bab 7A Buku III KUHPerdata tentang “Perjanjian untuk Melakukan Pekerjaan” terdapat tiga macam perjanjian yaitu:

1. perjanjian kerja atau perburuhan;

2. perjanjian pemborongan pekerjaan; dan

3. perjanjian melakukan jasa-jasa tertentu.

Dilihat dari obyeknya, perjanjian pemborongan bangunan mirip dengan perjanjian lain yaitu perjanjian kerja dan perjanjian melakukan jasa, yaitu samasama menyebutkan bahwa pihak yang satu menyetujui untuk melaksanakan pekerjaan

pihak lain dengan pembayaran tertentu.108

108 Salim, H.S, Op. Cit., hlm.90.

Perbedaannya satu dengan yang lainnya ialah bahwa pada perjanjian kerja terdapat hubungan kedinasan atau kekuasaan


(19)

antara buruh dengan majikan. Pada pemborongan bangunan dan perjanjian melakukan jasa tidak ada hubungan semacam itu, melainkan melaksanakan

pekerjaan yang tugasnya secara mandiri.109

Adanya kontrak antara pengguna jasa dan penyedia jasa ini, berfungsi untuk memberikan kepastian hukum para pihaknya dan menggerakkan (hak milik) sumber daya dari nilai ekonomi yang lebih rendah menjadi nilai ekonomi yang lebih

tinggi.110Di dalam Pasal 1604 KUH Perdata dikenal adanya dua macam kontrak

konstruksi, yaitu : 111

1. perjanjian pemborongan dimana pemborong hanya melakukan pekerjaan saja;

2. perjanjian pemborongan dimana pemborong selain melakukan pekerjaan juga

menyediakan bahan-bahannya.

Kedua jenis kontrak ini terdapat perbedaan dalam hal tanggungjawab si pemborong atas hasil pekerjaan yang diperjanjikan. Dalam hal pemborongan harus menyediakan bahan-bahannya dan hasil pekerjaannya, apabila musnah sebelum diserahkan maka kegiatan itu ditanggung oleh pemborong kecuali jika pemberi tugas

itu lalai untuk menerima hasil pekerjaan tersebut.112 Apabila pemborong hanya harus

melakukan pekerjaan dan hasil pekerjaannya itu musnah, maka pemborong hanya bertanggung jawab atas kemusnahan itu selama hal itu terjadi karena kesalahannya. Ketentuan yang terakhir ini mengandung maksud bahwa akibat suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa bahan-bahan yang telah disediakan oleh

pihak yang memborongkan, ditanggung oleh pihak pemborong.113

109

Ibid.

110 Salim, H. Abdullah dan Wiwiek Wahyuningsih, Perancangan Kontrak & Memorandum

of Understanding (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 23.

111 Nazarkhan Yasin, Op. Cit., Hlm. 29.

112

Ibid., hlm. 30.


(20)

Pasal 1607 KUH Perdata mengatakan jika musnahnya hasil pekerjaan tersebut terjadi di luar kesalahan/kelalaian pemborong sebelum penyerahan dilakukan, sedangkan pemberi tugas pun tidak lalai untuk memeriksa dan menyetujui hasil pekerjaan itu, maka pemborong tidak berhak atas harga yang dijanjikan, kecuali jika barang itu musnah karena bahan-bahannya cacat. Dari ketentuan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kedua belah pihak menderita kerugian akibat kejadian yang tak disengaja yang memusnahkan pekerjaan itu. Pihak yang memborongkan kehilangan bahan-bahan yang telah disediakan olehnya sedangkan pihak pemborong kehilangan tenaga dan biaya yang telah dikeluarkan untuk

menggarap pekerjaan.114

Mengenai isi perjanjian pemborongan di dalam KUHPerdata tidak ditentukan maka para pihak yaitu pihak pengembang dan pemborong bebas menentukan isi dari perjanjian tersebut. Hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.

Pihak yang memborong hanya dapat menuntut penggantian kerugian apabila ia dapat membuktikan adanya kesalahan dari si pemborong. Sedangkan pihak pemborong hanya akan dapat menuntut harga yang dijanjikan apabila ia berhasil membuktikan bahwa bahan-bahan yang disediakan oleh pihak lawan itu mengandung cacat-cacat yang menyebabkan kemusnahan pekerjaannya.

115

1. Memenuhi syarat sebagai suatu kontrak.

Para pihak bebas membuat kontrak dan mengatur sendiri isi kontrak tersebut, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut :

2. Tidak dilarang oleh undang-undang.

3. Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku.

114 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perikatan (Jakarta: Intermassa, 2001), hlm. 3.

115

Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan


(21)

4. Sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.116

Hubungan hukum merupakan hubungan antara pengguna jasa dan penyedia jasa yang menimbulkan akibat hukum dalam bidang konstruksi, yakni timbulnya hak dan kewajiban di antara para pihak. Akibat hukum tersebut dimulai sejak ditandatanganinya kontak konstruksi oleh pengguna jasa dan penyedia jasa.

Berikut unsur-unsur yang harus ada dalam suatu kontrak konstruksi, yaitu :

1. adanya subjek, yaitu pengguna jasa dan penyedia jasa;

2. adanya objek, yaitu konstruksi;

3. adanya dokumen yang mengatur hubungan antara pengguna jasa dan penyedia

jasa.

Kontrak konstruksi juga ditemukan pengertiannya di dalam Black Law Dictionary, disebutkan:117

Artinya, kontrak konstruksi adalah suatu tipe perjanjian atau kontrak yang direncanakan dan dispesifikasikan khusus untuk konstruksi yang dibuat menjadi bagian dari perjanjian itu sendiri dan biasanya kontrak konstruksi tersebut pada umumnya dijamin dengan kinerja dan pembayaran untuk melindungi subkontraktor dan kedua pihak sebagai pemilik bangunan sebagai dasar dari perjanjian tersebut.

“contract constructionis : Type of contract in which plans and specification for construction are made a part of contract itself and commonly it secured by performance and payment bond to protect both subcontractor and party for whom building is bring construction.”

118

1. adanya kontrak,

Unsur-unsur kontrak konstruksi yang terdapat pada definisi di atas adalah :

116 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 30.

117 Andrew Sriro, Sriro’s Desk Reference of Indonesian Law (Jakarta: Equinox Publishing,

2005), hlm. 37.


(22)

2. perencanaan,

3. pembangunan,

4. melindungi subkontraktor dan pemilik bangunan.

Menurut PP Penyelenggaraan Jasa Konstruksi Pasal 20 ayat 3 bentuk-bentuk kontrak konstruksi terdiri atas :

1. Kontrak konstruksi berdasarkan imbalan

Dari aspek ini bentuk kontrak konstruksi didasarkan pada cara menghitung biaya pekerjaan atau harga borongan yang akan dicantumkan dalam kontrak. Berikut beberapa macam jenis kontrak konstruksi berdasarkan aspek perhitungan biaya:

a. Fixed lump sum price

Kontrak fixed lump sum price adalah suatu kontrak di mana volume pekerjaan yang tercantum dalam kontrak tidak boleh diuku ulang. Kontrak Kerja Konstruksi dengan bentuk imbalan lump sum, merupakan kontrak jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam jangka waktu tertentu dengan jumlah harga yang pasti dan tetap serta semua risiko yang mungkin terjadi dalam proses penyelesaian pekerjaan yang sepenuhnya ditanggung oleh penyedia jasa

sepanjang gambar dan spesifikasi tidak berubah.119

Pada pelelangan dengan bentuk imbalan lump sum, dalam hal terjadi pembetulan perhitungan perincian harga penawaran dikarenakan adanya kesalahan aritmatik, maka harga penawaran total tidak boleh diubah. Perubahan hanya boleh dilakukan pada salah satu atau volume pekerjaan atau harga satuan, dan semua risiko akibat perubahan karena adanya koreksi aritmatik menjadi


(23)

tanggung jawab sepenuhnya penyedia jasa, selanjutnya harga penawaran menjadi

harga kontrak (nilai pekerjaan).120

b. Unit price

Kontrak unit price adalah kontrak di mana volume pekerjaan yang tercantum dalam kontrak hanya merupakan perkiraan dan akan diukur ulang untuk menentukan volume pekerjaan yang benar-benar dilaksanakan. Kontrak kerja konstruksi dengan bentuk imbalan harga satuan atau unit, merupakan kontrak jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam jangka waktu tertentu berdasarkan harga satuan yang pasti dan tetap untuk setiap satuan/unsur pekerjaan dengan spesifikasi teknis tertentu, yang volume pekerjaannya didasarkan pada hasil pengukuran bersama atas volume pekerjaan yang benar-benar telah

dilaksanakan oleh penyedia jasa.121

Pada pelelangan dengan bentuk imbalan harga satuan dalam hal terjadi pembetulan perhitungan perincian harga penawaran dikarenakan adanya kesalahan aritmatik, harga penawaran total dapat berubah, akan tetapi harga satuan tidak boleh diubah. Koreksi aritmatik hanya boleh dilakukan pada perkalian antara volume dengan harga satuan atau penjumlahan hasil perkalian volume dengan harga satuan. Semua risiko akibat perubahan karena adanya koreksi aritmatik menjadi tanggung jawab sepenuhnya penyedia jasa. Penetapan pemenang lelang berdasarkan harga penawaran terkoreksi. Selanjutnya harga penawaran terkoreksi menjadi harga kontrak (nilai pekerjaan). Harga satuan juga

menganut prinsip Lump Sum.122

120 Lihat penjelasan Pasal 21 ayat (1) PP 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa

Konstruksi.

121 Pasal 21 ayat (2) PP 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

122

Lihat penjelasan Pasal 21 ayat (2) PP 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.


(24)

c. Biaya tambah imbalan jasa (cost plus fee)

Bentuk kontrak seperti ini maksudnya kontrak jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam jangka waktu tertentu, sedangkan jenis pekerjaan dan volumenya belum diketahui dengan pasti. Penyedia jasa dibayar seluruh biaya untuk melaksanakan pekerjaan, ditambah jasa yang biasanya dalam bentuk persentase dari biaya (misalnya 10%). Dalam hal ini tidak ada batasan mengenai besarnya biaya seperti batasan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai biaya selain yang sudah jelas seperti biaya bahan, peralatan, alat bantu, upah, sewa, dan

lain-lain ditambah imbalan jasa yang telah disepakati kedua belah pihak.123

Kekurangan dari kontrak ini adalah pengguna jasa kurang dapat mengetahui biaya aktual proyek yang akan terjadi. Pemilik harus menempatkan staf untuk memonitor kemajuan pekerjaan sehingga dapat diketahui apakah biaya-biaya yang ditagih benar-benar dikeluarkan.

124

d. Gabungan antara lump sum dan unit price

Kontrak kerja jenis ini merupakan gabungan antara lump sun dengan unit price dan atau tambah imbalan jasa dalam satu pekerjaan yang diperjanjikan sejauh yang disepakati para pihak dalam kontrak kerja konstruksi. Secara teknis, hal ini tidak dapat dihindari karena dalam suatu pekerjaan proyek besar yang kompleks, yang memungkinkan beberapa pekerjaan belum dapat ditentukan volumenya pada awalnya sehingga untuk pekerjaan ini diberlakukan bentuk harga

satuan.125

e. Aliansi

123 Nazarkhan Yasin, Op. Cit., hlm. 29.

124 Wulfram I. Ervianto, Manajemen Proyek Konstruksi (Yogyakarta: Andi, 2007), hlm. 120.

125


(25)

Kontrak kerja konstruksi dalam bentuk imbalan aliansi merupakan kontrak pengadaan jasa, yang mana harga kontrak referensi ditetapkan ruang lingkupnya, sedangkan volume pekerjaannya belum diketahui atau pun diperinci secara pasti. Pembayaran pekerjaannya dilakukan secara biaya tambah imbalan jasa dengan suatu pembagian tertentu yang disepakati bersama atas penghematan atau pun biaya lebih yang timbul dari perbedaan biaya sebenarnya dan harga kontrak referensi. Inti atau unsur dari kontrak ini yaitu :

1) harga kontrak referensi ditetapkan lingkupnya;

2) volume pekerjaan belum diketahui atau diperinci secara pasti;

3) pembayaran dilakukan secara tambah imbal jasa;

4) adanya kesepakatan;

5) adanya harga perbedaan biaya sebenarnya dan hara kontrak referensi.

2. Kontrak konstruksi berdasarkan jangka waktu pelaksanaan pekerjaan

Kontrak konstruksi berdasarkan jangka waktunya merupakan suatu kontrak atas perjanjian yang disepakati oleh kedua belah pihak. Di dalam kontrak tersebut

ditentukan lamanya kontrak kerja konstruksi dilaksanakan.126 Kontrak ini dapat

dibedakan menjadi 2 macam, yaitu :127

a.Tahun tunggal

Merupakan pekerjaan yang pendanaan dan pelaksanaannya direncanakan selesai selama 1 (satu) tahun.

b. Tahun jamak

Merupakan pekerjaan yang pendanaan dan pelaksanaannya direncanakan selesai lebih dari 1 (satu) tahun.

126

Salim H.S, Op. Cit., hlm. 94.


(26)

3. Kontrak konstruksi berdasarkan cara pembayaran hasil pekerjaan

Kontrak kerja konstruksi ini merupakan penggolongan kontrak berdasarkan cara pembayaran yang dilakukan oleh pengguna jasa, apakah sesuai kemajuan atau secara berkala. Kontrak jenis ini terbagi menjadi 2 macam, yaitu :

a. Sesuai kemauan pekerjaan

Bentuk kontrak dengan sistem ini, pembayaran kepada penyedia jasa dilakukan atas dasar prestasi atau kemajuan pekerjaan yang telah dicapai sesuai

dngan ketentuan dalam kontrak. 128 Dengan kata lain kontrak yang pembayaran

hasil pekerjaannya dilakukan dalam beberapa tahapan dan bisa juga pembayaan dilakukan sekaligus pada saat pekerjaan fisik selesai 100% (turn key) atau lebih

tepatnya disebut “pra pendanaan penuh”.129Turnkey Project adalah suatu proyek

dimana pelaksanaan pekerjaan dimulai dari pra desain sampai dengan selesai bangunan fisik beserta seluruh kelengkapannya (design & build), dan diserahkan kepada pengguna jasa atau penyedia jasa sedangkan pembayaran seluruh biaya baik pra desain hingga konstruksi fisik dilakukan setelah proyek selesai

dikerjakan dan dapat diterima oleh pengguna jasa. 130

Ketentuan turnkey project adalah :131

1) jumlah harga pasti dan tetap sampai seluruh pekerjaan selesai

dilaksanakan;

2) pembayaran dilakukan berdasarkan hasil penilaian bersama yang

menunjukkan bahwa pekerjaan telah dilaksanakan sesuai dengan kriteria kinerja yang telah ditetapkan.

128

Nazarkhan Yasin, Op. Cit., hlm. 34.

129 Ibid.

130

2016).

131


(27)

b. Pembayaran secara berkala

Dalam bentuk kontrak ini, prestasi penyedia jasa dihitung setiap akhir bulan. Setelah prestasi tersebut diakui pengguna jasa dibayar sesuai prestasi tersebut. Kelemahan cara ini adalah berapa pun kecilnya prestasi Penyedia Jasa pada satu bulan tertentu dia tetap harus dibayar. Hal ini sangat mempengaruhi prestasi pekerjaan yang seharusnya dicapai sesuai jadwal pelaksanaan sehingga

dapat membahayakan waktu penyelesaian.132

1. Kontrak perencanaan konstruksi

Kontrak kerja konstruksi juga dapat digolongkan berdasarkan atas jenis usaha atau pekerjaan yang dilakukan oleh penyedia jasa (Pasal 4 UU Jasa Konstruksi). Kontrak jenis ini dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu:

Kontrak jenis ini merupakan kontrak yang dibuat oleh masing-masing pihak. Salah satu pihak, yaitu pihak perencana memberikan layanan jasa perencanaan dalam pekerjaan konstruksi. Layanan jasa perencananaan tersebut meliputi rangkaian kegiatan atau bagian dari kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi.

2. Kontrak pelaksanaan konstruksi

Kontrak jenis ini merupakan kontrak antara orang perorangan atau badan usaha dengan pihak lainnya dalam pelaksanaan konstruksi.

3. Kontrak pengawasan konstruksi

Kontrak jenis ini merupakan kontrak antara orang perorangan atau badan usaha lainnya dalam pengawasan konstruksi.

Penggolongan yang paling esensi dalam kontrak kerja konstruksi adalah penggolongan berdasarkan atas jenis usahanya, yaitu kontrak perencanaan, kontrak

132


(28)

pelaksanaan konstruksi, dan kontrak pengawasan. Apabila ketiga kontrak ini dilaksanakan maka di dalamnya akan dituangkan pula kontrak berdasarkan imbalan,

jangka waktunya, dan cara pembayarannya.133

D. Penyelesaian Sengketa Konstruksi

Sengketa bisa saja terjadi dan bermula dari suatu situasi di mana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini diawali oleh perasaan tidak puas yang bersifat subyektif dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami oleh siapapun baik perorangan maupun kelompok. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan apabila terjadi conflict of interest. Pengertian sengketa kontrak konstruksi (construction dispute) adalah sengketa yang terjadi sehubungan dengan pelaksanaan

suatu usaha jasa konstruksi antara para pihak.134

133 Nazarkhan Yasin, Op. Cit., hlm. 95.

134

Nazarkhan Yasin, Mengenal Klaim Konstruksi dan Penyelesaian Sengketa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 83.

Kontrak kerja konstruksi yang telah disetujui dan disepakati oleh para pihak menimbulkan hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban ini berupa prestasi, dimana pihak penyedia jasa berkewajiban memenuhi prestasi sedangkan pihak pemberi tugas berhak atas prestasi. Pelaksana dan pemberi tugas harus bertindak aktif untuk mewujudkan prestasi tersebut. Jika tidak ada tindakan aktif dari salah satu pihak maka prestasi akan sulit terwujud. Dalam pelaksanaan perjanjian terdapat kemungkinan timbul wanprestasi yang dilakukan oleh para pihak. Wanprestasi ini dapat berasal dari pihak penyedia jasa maupun dari pihak pemberi pekerjaan. Apabila masalah wanprestasi tersebut menimbulkan perselisihan antara penyedia jasa dengan pemberi pekerjaan maka pada dasarnya akan diselesaikan dengan menempuh musyawarah untuk mufakat.


(29)

Penyelesaian sengketa dalam kontrak bukan bertujuan menempatkan para pihak pada dua ujung yang saling berlawanan, yaitu pada posisi sebagai pihak yang menang atau kalah, tetapi yang diinginkan dan diharapkan adalah pemecahan masalah yang dapat memberikan kepuasan kepada para pihak yang berperkara. Penyelesaian suatu persoalan diupayakan dicapai dan dilakukan secara

bersama-sama atas dasar saling pengertian dan saling sepakat.135

Apabila salah satu pihak lalai atau tidak menepati prestasi sebagaimana yang telah diperjanjikan dinamakan melakukan wanprestasi. Wujud dari wanprestasi

tersebut meliputi :136

1. Tidak melaksanakan apa yang telah diperjanjikan untuk dilaksanakan.

2. Melaksanakan apa yang diperjanjikan tetapi tidak sama dengan isi perjanjian.

3. Terlambat dalam melakukan kewajiban perjanjian.

4. Melakukan sesuatu yang diperjanjikan untuk tidak dilakukan.

Lingkup sengketa jasa konstruksi dapat saja terjadi pada tingkat perencanaan konstruksi, pelaksanaan konstruksi, juga pada tingkat pengawasan konstruksi itu

sendiri. Maka dari itu sengketa jasa konstruksi terdiri dari 3 bagian :137

1. Sengketa precontractual yaitu sengketa yang terjadi sebelum adanya kesepakatan

kontraktual, dan dalam tahap proses tawar menawar. Dalam proses tawar menawar para pihak akan saling bernegosiasi untuk mendapat kesepakatan bersama.

2. Sengketa contractual yaitu sengketa yang terjadi pada saat berlangsungnya

pekerjaan pelaksanaan konstruksi. Artinya tahapan kontraktual sudah selesai,

135

Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012), hlm. 16.

136 Wirjono R. Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian (Bandung: Sumur, 1981), hlm.

61.

137

Bambang Poerdyatmono, Alternatif Penyelesaian Sengketa Jasa Konstruksi, Jurnal


(30)

disepakati, ditandatangani, dan dilaksanakan di lapangan. Sengketa terjadi manakala apa yang tertera dalam kontrak tidak sesuai dengan apa yang dilaksanakan di lapangan. Dalam istilah umum sering orang mengatakan bahwa pelaksanaan proyek di lapangan tidak sesuai dengan bestek, baik bertek tertulis (kontrak kerja) dan atau bestek gambar (lampiran-lampiran kontrak), ditambah perintah-perintah direksi/pengawas proyek (manakala bestek tertulis dan bestek gambar masih ada yang belum lengkap).

3. Sengketa pascacontractual yaitu sengketa yang terjadi setelah bangunan

beroperasi atau dimanfaatkan selama 10 (sepuluh) tahun. Sengketa disini bisa terjadi karena kegagalan bangunan setelah bangunan beroperasi selama 10 tahun.

Menurut Pasal 36 UU Jasa Konstruksi, pola penyelesaian sengketa di dalam pekerjaan jasa konstruksi dibagi menjadi 2 cara yaitu melalui pengadilan atau di luar pengadilan, berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. Dan pada pasal 37 ayat (1) UU Jasa Konstruksi, menyatakan: penyelesaian jasa sengketa konstruksi diluar pengadilan dapat ditempuh untuk masalah-masalah dalam kegiatan pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi serta dalam hal terjadinya kegagalan bangunan.

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah cara penyelesaian sengketa antara pengguna jasa dan penyedia jasa dengan memilih penyelesaian melalui pengadilan. Dalam hal pilihan penyelesaian sengketa melalui pengadilan, prosedur dan prosesnya mengikuti ketentuang-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAP). Putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan bersifat mengikat, artinya, putusan tersebut dapat dipaksakan pelaksanaannya. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan putusan secara sukarela, maka pengadilan dapat melaksanakan eksekusi terhadap isi putusan pengadilan dengan cara paksa, yaitu dengan


(31)

menggunakan alat-alat kepolisian. Akan tetapi, pada kenyataannya bahwa pilihan penyelesaian sengketa melalui pengaadilan kurang disukai dan diminati untuk menyelesaikan sengketa konstruksi, karena penyelesaiannya membutuhkan “waktu yang sangat lama (bertahun-tahun), biaya yang tidak sedikit (tidak resmi), sifatnya terbuka, para hakimnya hanya memiliki pengetahuan hukum, dengan kata lain para Hakim atau Jaksa tidak berlatar belakang disiplin ilmu teknik-seorang Insinyur, ahli

ekonomi, atau arsitek.”138

1. Melalui pihak ketiga

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau biasa disebut dengan alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute resolation) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak. Menurut Pasal 49 ayat 1 PP Penyelenggaraan Jasa Konstruksi penyelesaian sengketa dalam penyelenggaraan jasa konstruksi di luar pengadilan dapat dilakukan dengan cara :

a. Mediasi

Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa mediasi adalah pengikutsertaan pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa, yang mana

pihak ketiga tersebut bertindak sebagai penasihat/penengah (mediator).139

138

Nazarkhan Yasin, Op. Cit., hlm. 90.

139

Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hlm. 122.

Tugas mediator adalah bertindak sebagai fasilitator, yaitu hanya membimbing para pihak yang bersengketa untuk mengatur suatu pertemuan dan mecapai suatu kesepakatan. Mediator ditunjuk oleh para pihak atau oleh Lembaga Arbitrase dan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Untuk menyelesaikan persolan para pihak, pihak mediator dapat meminta bantuan penilai ahli. Apabila mediator berhasil dalam menyelesaikan sengketa para pihak, maka hasil


(32)

kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk kesepakatan tertulis, yang ditandatangani oleh para pihak dan mediator (Pasal 50 PP Penyelenggaraan Jasa Konstruksi). Kesepakatan yang dibuat oleh kedua pihak bersifat final dan

mengikat.140

1) menemukan jalan kerluar dan pembaruan perasaan;

Tugas mediasi dalam memberikan kesempatan para pihak untuk:

2) melenyapkan kesalahpahaman;

3) menentukan kepentingan yang pokok;

4) menemukan bidang-bidang yang mungkin dapat disetujui;

5) menyatukan bidang-bidang tersebut menjadi solusi yang disusun oleh para

pihak.

Manfaat yang paling esensi dari mediasi adalah cepat, murah dan komunikasi antara para pihak. Mediasi ini difokuskan untuk menyelesaikan

persoalan secara damai.141

b. Konsiliasi

Konsiliasi adalah suatu upaya untuk mendamaikan antara pengguna jasa dengan penyedia jasa terhadap sengketa yang timbul di bidang jasa konstruksi. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan jasa konsiliasi dilakukan dengan menggunakan bantuan seorang konsiliator. Syarat menjadi konsiliator yaitu ditunjuk berdasarkan kesepakatan para pihak yang bersengketa dan harus mempunyai sertifikat keahlian yang ditetapkan oleh lembaga.

Tugas konsiliator adalah menyusun dan merumuskan upaya penyelesaian untuk ditawarkan kepada para pihak. Jika rumusan itu disetujui oleh para pihak,

140

Ibid., hlm. 123.


(33)

maka solusi yang dibuat konsiliator menjadi rumusan pemecahan masalah. Rumusan pemecahan masalah dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. Kesepakatan tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak bersifat final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik.

2. Arbitrase melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc

Penyelesaian sengketa konstruksi dengan menggunakan cara arbitrase mengacu pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Alternatif Penyelesaian Sengketa. Arbitrase adalah penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang diubat secara tertulis

oleh pihak yang bersengketa. 142

Perjanjian Arbitrase merupakan suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis. Perjanjian tertulis itu dibuat oleh para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjia arbitrase tersendiri yang dibuat

para pihak setelah timbul sengketa. 143

a. Seorang wakil dari pihak pertama (pengguna jasa).

Para pihak yang mengadakan kontrak kontsruksi telah tercantum cara penyelesaian sengketa yang muncul di antara mereka. Keanggotaan arbitrase ini terdiri dari :

b. Seorang wakil dari pihak kedua (penyedia jasa).

c. Seorang ahli sebagai ketua, yang pengangkatannya disetujui oleh pengguna

jasa dan penyedia jasa.

Para arbiter inilah yang mengadakan persidangan dan mengambil keputusan untuk menyelesaikan berbagai kasus yang muncul di antara mereka. Putusan yang

142 Pasal 12 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Alternatif Penyelesaian

Sengketa.

143

(diakses pada tanggal 5 Maret 2016).


(34)

dihasilkan bersifat final dan mengikat. Pihak yang bersalah harus memikul biaya Arbitrase, kecuali apabila Panitia Arbitrase memutuskan lain. Sebelum Panitia Arbitrase memulai dengan tugasnya, dibuat surat perjanjian yang ditandatangani oleh kedua pihak dan ditandatangani pula oleh Panitia Arbitrase yang menyatakan bahwa mereka menerima tugas. Keputusan Panitia Arbitrase mempunya kekuatan seperti perjanjian antara pihak yang membuatnya. Para pihak wajib mentaatinya juga

mengenai biaya-biaya yang bersangkutan.144

144


(35)

BAB IV

TANGGUNG JAWAB TERHADAP KEGAGALAN BANGUNAN DALAM PEKERJAAN KONTSRUKSI

A. Faktor Terjadinya Kegagalan Bangunan dalam Pekerjaan Konstruksi

Percepatan pembangunan di Indonesisa kini sering terkendala dengan munculnya ekses yang bernama kegagalan konstruksi atau bangunan. Menurut definisinya, kegagalan bangunan adalah keadaan bangunan, yang setelah diserahterimakan oleh penyedia jasa kepada pengguna jasa, menjadi tidak berfungsi baik sebagian atau keseluruhan dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi atau pemanfaatannya yang menyimpang

sebagai akibat kesalahan penyedia jasa dan/atau pengguna jasa.145

Secara umum kriteria keberhasilan pada sebuah proyek konstruksi ialah ketika bisa menghasilkan sebuah bangunan yang murah akan tetapi berkualitas bagus. Guna mewujudkan hal ini maka ratusan atau bahkan ribuan kontraktor di negara Indonesia ataupun dunia melakukan berbagai macam inovasi serta mencoba supaya proses pembangunan bisa berhasil sesuai dengan apa yang direncanakan atau

bila perlu mesti lebih baik dari yang diperkirakan.146 Segala hal tentu terdapat

permasalahannya, sama halnya dengan proyek pembangunan banyak sekali kendala serta rintangan sehingga kerap kali menjadi penyebab kegagalan proyek bangunan

berskala besar hingga sampai yang berskala kecil.147

145

Pasal 1 ayat (6) UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.

146

Maret 2016).


(36)

Kegagalan berarti apa yang terjadi ternyata di bawah dari standar yang sudah ditetapkan, maka dari itu sebelum mengatakan gagal maka dibutuhkan sebuah ukuran standar keberhasilannya. Standar keberhasilan dalam dunia proyek konstruksi adalah sebagai berikut :

1. Hemat biaya pelaksanaan.

2. Tidak terjadi kecelakaan kerja atau biasa disebut dengan zero accident.

3. Kualitas bangunan yang dibuat bagus.

4. Struktur bangunan kuat serta tahan lama minimal dalam jangka waktu

perencanaan masa pakai.

5. Selesai dalam waktu cepat.

6. Memperoleh keuntungan maupun nilai lebih dari kontrak proyek.

7. Kebahagiaan sumber daya manusia sebagai pembangun.

Kegagalan bangunan dan kegagalan konstruksi dapat disebabkan oleh faktor teknis maupun faktor non teknis. Faktor teknis, karena adanya penyimpangan proses pelaksanaan yang tidak memenuhi spesifikasi teknis yang disepakati dalam kontrak, sedangkan faktor non teknis lebih disebabkan karena proses pra kontrak (bidding) maupun tidak kompetennya Badan Usaha, tenaga kerja, tidak profesionalnya tata kelola manajerial antara pihak-pihak yang terlibat dalam proyek konstruksi serta

lemahnya pengawasan atau supervisi.148

1. Aspek teknis

148 Yustinus Eka Wiyana, Analisis Kegagalan Konstruksi Dan Bangunan Dari Perspektif

Faktor Teknis, Jurnal Politeknik Negeri Semarang, Volume 17 Nomor 2, (Semarang: Politeknik Negeri Semarang, 2012), hlm. 15.


(37)

Aspek teknis yang dimaksud adalah karena adanya penyimpangan proses pelaksanaan yang tidak memenuhi spesifikasi teknis yang disepakati dalam kontrak.

aspek teknis terbagi atas :149

a. Peralatan

a. Kesalahan pelaksanaan

Misalnya kecelakaan alat, pelaksanaan atau metode pelaksanaan tidak sesuai dengan perencanaan, atau dengan sengaja merubah spesifikasi untuk mendapatkan keuntungan yang besar.

b. Pemakaian

Beban yang ditanggung tidak sesuai dengan perencanaan. Seperti misalnya beban jalan yang melebihi daya dukung rencana.

b. Material

1) Material yang tidak bermutu

Kendati sudah ada material yang telah diuji, tetapi ada juga sampel material yang cacat atau dalam penggunaannya tidak layak. Kesalahan ini disebut kesalahan rencana.

2) Kesalahan perencanaan

Gambar dan spesifikasi yang kurang lengkap sistem struktur yang dipilih rentan kerusakan. Misalnya, perhitungan rangka atap baja ringan menggunakan penutup genteng metal, tetapi menggunakan genteng keramik.

3) Material berkualitas rendah

149

Irwan Kartiwan, Hendra Soenardji dan Kamaja Al Katuuk, Ruang Ruang Gelap Jasa


(38)

Meskipun contoh material telah lolos uji laboratorium dan spesifikasi teknis yang ada telah terpenuhi, ada juga material yang cacat tidak terdeteksi dan diketahui setelah terjadi kegagalan karena contoh material yang diuji diambil secara acak dan tidak dilakukan pada semua material, ini tidak bisa dikategorikan kesalahan pelaksanaan atau perencanaan.

c. Biaya

Kecenderungan memilih yang “murah” membuat tingkat keberhasilan proyek semakin rendah. Definisi ini seyogyanya dirumuskan dalam regulasi yang sejalan dengan definisi menguntungkan negara, agar tidak menjadi ruang kriminalisasi.

d. Cuaca/kondisi lapangan

1) Pemilihan lokasi yang berisiko

Daerah yang rawan gempa, angin yang cukup kencang, kondisi tanah yang labil ataupun perbedaan ketinggian tanah merupakan kondisi lokasi yang berisiko.

2) Faktor alam

Kegagalan ini terjadi akibat perubahan dinamik dari alam, seperti letusan gunung berapi, banjir, gelombang laut, dan gempa bumi. Indonesia sendiri merupakan kawasan yang dilalui salah satu jaringan gempa (circum pacific).

e. Spesifikasi teknis

1) Kesalahan dalam perencanaan

Bisa disebabkan oleh gambar dan spesifikasi alat yang tidak lengkap atau dalam perencanaan sendiri tidak mempunyai kompetensi yang cukup mendukung.


(39)

2) Kesalahan pemakaian

Pemakaian yang bukan fungsinya juga menjadi penyebab terjadinya kegagalan struktur. Sebagai contoh, dari tempat hunian menjadi gudang sehingga beban hidup bangunan berlebihan.

3) Ketidaktelitian dalam pelaksanaan

Misalnya dalam penggalian tanah, kecelakaan alat, atau metode pelaksanaan yang tidak sesuai dengan perencanaan awal.

2. Aspek non teknis

Aspek kedua adalah non teknis, yang maksudnya lebih disebabkan oleh

proses pra kontrak (bidding) maupun tidak kompetennya badan usaha, tenaga kerja, tidak profesionalnya tata kelola manajerial antara pihak-pihak yang terlibat dalam proyek konstruksi serta lemahnya pengawasan/supervisi. Aspek non teknis terdiri dari :150

a. Standard Operating Procedure (SOP)

Standard Operating Procedure (SOP) pada dasarnya adalah pedoman yang berisi prosedur-prosedur operasional standar yang digunakan untuk memastikan bahwa semua keputusan dan tindakan, serta penggunaan fasilitas-fasilitas proses yang dilakukan berejalan secara efisien dan efektif, konsisten, standar, dan sistematis. Tidak mengikuti SOP adalah kesalahan yang akan menuntun pada kegagalan bangunan/konstruksi.

b. Standar manajemen mutu

Kesalahan di manajerial bisa disebabkan oleh semua pihak di konstruksi baik itu pemilik, desainer (konsultan), dan/atau kontraktor. Seperti halnya

150


(40)

kurangnya teamwork, jadwal yang terlalu padat, kurangnya kontrol, kurangnya informasi lapangan, buruknya alur informasi, material terkirim tidak sesuai, kurangnya antisipasi keadaan alam, serta permintaan bahan yang terlambat adalah bebeapa faktor manajerial yang menjadi penyebab rework.

Kinerja komunikasi yang tidak baik dalam proyek bisa mengganggu pencapaian sasaran proyek. Komunikaasi yang tidak efektif dalam proyek juga mengakibatkan dampak lain seperti perselisihan/kesalahpahaman antar unsur proyek, terjadinya over/underdesign sehingga mengganggu mutu pekerjaan, menghambat produktivitas, dan berujung pada biaya yang tidak ekonomis.

c. Administrasi proyek atau kontrak

Kegagalan bangunan akibat aspek ini bisa terjadi karena :151

1) Penafsiran harga yang lemah atau catatan-catatan tentang pembiayaan

pekerjaan teredahulu yang kurang cepat.

2) Munculnya kejadian-kejadian tak terduga, misalnya terjadinya

penangguhan pekerjaan, kenaikan upah dan harga yang tak terduga, keputusan pemilik proyek yang terlambat, dan perubahan desain.

3) Manajemen proyek yang lemah, kemampuan manajer proyek yang kurang

sesuai dan dukungan manajemen pusat yang tidak selaras dengan lapangan.

4) Banyak kecelakaan tidak dilindungi oleh asuransi.

5) Pemilik bangkrut.

Kesalahan dalam pelaksanaan pekerjaan dapat disebabkan oleh pelaksana atau oleh pengawas. Kontraktor yang bekerja menyimpang dari speksifikasi teknis merupakan kesalahan pelaksana. Konsultan supervisi yang tidak benar dalam pengawasan, seperti misalnya membiarkan pelaksana bekerja menyimpang,


(41)

merupakan kesalahan pihak pengawas.152 Kegagalan bangunan juga dapat disebabkan oleh pengguna jasa (owner). Misalnya pengguna jasa memanfaatkan bangunan tidak sesuai peruntukan awal yang menyebabkan beban yang terjadi pada

struktur melebihi beban perencanaan.153

Melihat kegagalan bangunan dari segi tanggung jawab, dapat dikenakan kepada institusi maupun orang perseorangan, yang melibatkan ketiga unsur yang terkait, yaitu perencana pengawas dan pelaksana. Bila disebabkan karena kesalahan pengguna jasa/bangunan dalam pengelolaan dan menyebabkan kerugian pihak lain

maka pengguna jasa/bangunan wajib bertanggungjawab dan dikenai ganti rugi.154

1. Kegagalan perencana

Penyebab kegagalan perencana umumnya disebabkan oleh :155

a. Terjadi penyimpangan dari prosedur baku, manual atau peraturan yang

berlaku.

b. Terjadi kesalahan dalam penulisan spesifikasi teknik.

c. Kesalahan atau kurang profesionalnya perencana dalam menafsirkan data

perencanaan dan dalam menghitung kekuatan rencana suatu komponen konstruksi.

d. Perencanaan dilakukan tanpa dukungan data penunjang perencanaan yang

cukup dan akurat.

e. Terjadi kesalahan dalam pengambilan asumsi besaran rencana (misalnya

beban rencana) dalam perencanaan.

152

153 Ibid.

154

Maret 2016).

155

Robby Gunawan Yahya, Penyebab Kegagalan Bangunan Jalan dan Jembatan, Jurnal


(42)

f. Terjadi kesalahan perhitungan arithmatik.

g. Kesalahan gambar rencana.

2. Kegagalan pengawas

Kegagalan pengawas umumnya disebabkan oleh :156

a. Tidak melakukan prosedur pengawasan dengan benar.

b. Tidak mengikuti TOR.

c. Menyetujui proposal tahapan pembangunan yang tidak sesuai dengan

spesifikasi.

d. Menyetujui proposal tahapan pembangunan yang tidak didukung oleh metode

konstruksi yang benar.

e. Menyetujui gambar rencana kerja yang tidak didukung perhitungan teknis.

3. Kegagalan pelaksana

Kegagalan pelaksana umumnya disebabkan oleh :157

a. Tidak mengikuti spesifikasi sesuai kontrak.

b. Salah mengartikan spesifikasi.

c. Tidak melaksanakan pengujian mutu dengan benar.

d. Tidak menggunakan material yang benar.

e. Salah membuat metode kerja.

f. Salah membuat gambar kerja.

g. Pemalsuan data profesi.

h. Merekomendasikan penggunaan peralatan yang salah.

4. Kegagalan pengguna jasa atau bangunan

Penyebab kegagalan pengawas umumnya disebabkan oleh :158

156 Ibid.

157

Ibid.


(43)

a. Penggunaan bangunanan yang melebihi kapasitas rencana.

b. Penggunaan bangunan diluar dari peruntukan.

c. Penggunaan bangunan yang tidak didukung dengan program pemeliharaan

yang sudah ditetapkan.

d. Penggunaan bangunan yang sudah habis umur rencananya.

Berdasarkan Pasal 36 ayat 1 PP Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, kegagalan bangunan dinilai dan ditetapkan oleh 1 (satu) atau lebih penilai ahli yang profesional dan kompeten dalam bidangnya serta bersifat independen dan mampu memberikan penilaian secara obyektif, yang harus dibentuk dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan sejak diterimanya laporan mengenai terjadinya kegagalan bangunan. Penilai ahli sebagaimana dimaksud dipilih, dan disepakati bersama oleh penyedia jasa dan pengguna jasa. Pemerintah berwenang untuk mengambil tindakan tertentu apabila kegagalan bangunan mengakibatkan kerugian dan atau menimbulkan gangguan pada keselamatan umum, termasuk memberikan pendapat dalam penunjukan, proses penilaian dan hasil kerja penilai ahli yang dibentuk dan disepakati oleh para pihak.

Penilai ahli adalah penilai ahli di bidang konstruksi. Penilai ahli terdiri dari orang perseorangan, atau kelompok orang atau badan usaha yang disepakati para pihak, yang bersifat independen dan mampumemberikan penilaian secara obyektif

dan profesional.159 Biaya penilai ahli menjadi beban pihak atau pihak-pihak yang

melakukan kesalahan. Selama penilai ahli melakukan tugasnya, maka pengguna jasa menanggung pembiayaan pendahuluan. Seorang penilai ahli harus memiliki

sertifikat keahlian dan terdaftar pada Lembaga. Tugas penilai ahli antara lain :160

1. menetapkan sebab-sebab terjadinya kegagalan bangunan;

159

Lihat Penjelasan PP 29 Tahun 2000 Pasal 36


(44)

2. menetapkan tidak berfungsinya sebagian atau keseluruhan bangunan;

3. menetapkan pihak yang bertanggung jawab atas kegagalan bangunan serta

tingkat dan sifat kesalahan yang dilakukan;

4. menetapkan besarnya kerugian, serta usulan besarnya ganti rugi yang harus

dibayar oleh pihak atau pihak-pihak yang melakukan kesalahan;

5. menetapkan jangka waktu pembayaran kerugian.

Penilai ahli berkewajiban untuk melaporkan hasil penilaiannya kepada pihak yang menunjuknya dan menyampaikan kepada Lembaga dan instansi yang mengeluarkan izin membangun, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah melaksanakan

tugasnya. 161Penilai ahli berwenang untuk :162

1. menghubungi pihak-pihak terkait, untuk memperoleh keterangan yang

diperlukan;

2. memperoleh data yang diperlukan;

3. melakukan pengujian yang diperlukan;

4. memasuki lokasi tempat terjadinya kegagalan bangunan.

B. Sanksi yang Dikenakan Para Pihak dalam Kegagalan Bangunan Konstruksi Berdasarkan hasil penilaian yang dilakukan oleh penilai ahli terhadap kegagalan bangunan, dapat ditentukan pihak mana yang bersalah di dalam pekerjaan konstruksi yang berakibat kegagalan bangunan. Para pihak yang bersalah ini akan dibebani tanggung jawab. Berdasarkan Pasal 41 UU Jasa Konstruksi, kegagalan bangunan dapat dikenakan sanksi pidana atau administratif. Sanksi terhadap

161 Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa

Konstruksi.

162 Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa


(45)

kegagalan bangunan juga diatur di dalam Pasal 46 PP Penyelenggaraan Konstruksi. Dalam Pasal ini, sanksi terhadap kesalahan para pihak dikenakan sanksi perdata dengan membayar ganti rugi.

1. Sanksi pidana

Sanksi pidana adalah suatu hukuman sebab akibat, sebab adalah kasusnya dan akibat adalah hukumnya, orang yang terkena akibat akan memperoleh sanksi baik masuk penjara ataupun terkena hukuman lain dari pihak berwajib. Sanksi pidana merupakan suatu jenis sanksi yang bersifat nestapa yang diancamkan atau dikenakan terhadap perbuatan atau pelaku perbuatan pidana atau tindak pidana yang dapat menggangu atau membahayakan kepentingan hukum. Sesuai dengan isi Pasal 43 UU Jasa Konstruksi, maka pihak penyedia jasa yang melakukan kesalahan dan mengakibatkan kegagalan bangunan dapat dikenakan sanksi pidana, antara lain :

a. Barang siapa yang melakukan perencanaan pekerjaan konstruksi yang tidak

memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak.

b. Barang siapa yang melakukan pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang

bertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan keteknikan yang telah ditetapkan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenakan pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5% (lima per seratus) dari nilai kontrak.

c. Barang siapa yang melakukan pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi

dengan sengaja memberi kesempatan kepada orang lain yang melaksanakan pekerjaan konstruksi melakukan penyimpangan terhadap ketentuan


(46)

keteknikan dan menyebabkan timbulnya kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak. Denda paling banyak 5% (lima persen) untuk pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan 10% (sepuluh persen) dari nilai kontrak untuk perencanaan dan pengawasan. Dari pasal ini dapat dilihat penerapan sanksi pidana tersebut merupakan pilihan dan merupakan jalan terakhir bilamana terjadi kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan karena ada pilihan lain yaitu denda.

2. Sanksi administratif

Sanksi yang dikenakan kepada pihak penyedia jasa dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksinya mengalami kegagalan bangunan adalah sanksi administratif dan sanksi profesi. Penjatuhan sanksi administratif ini tergantung pada berat ringannya kesalahan pihak penyedia jasa. Dapat dikenakan pada orang perseorangan dan atau badan usaha penandatangan kontrak kerja konstruksi.

Sanksi administratif kepada pihak penyedia jasa berupa :163

a. peringatan tertulis;

b. penghentian sementara pekerjaan konstruksi;

c. pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi;

d. pembekuan izin usaha dan/atau profesi;

e. pencabutan izin usaha dan/atau profesi.

Sanksi administratif yang dikenakan kepada pihak pengguna jasa berupa:164

a. peringatan tertulis;

b. penghentian sementara pekerjaan konstruksi;

163

Pasal 42 ayat (1) UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.


(47)

c. pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi;

d. 1arangan sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi;

e. pembekuan izin pelaksanaan pekerjaan konstruksi;

f. pencabutan izin pelaksanaan pekerjaan konstruksi

3. Sanksi perdata

Pelaksanaan ganti rugi dalam hal kegagalan bangunan dapat dilakukan

dengan mekanisme pertanggungan pihak ketiga atau asuransi, dengan ketentuan:165

a. persyaratan dan jangka waktu serta nilai peretanggungan ditetapkan atas

dasar kesepakatan;

b. premi dibayar oleh masing-masing pihak, dan biaya premi yang menjadi

tanggungan penyedia jasa menjadi bagian dari unsur biaya pekerjaan konstruksi. Apabila pengguna jasa tidak bersedia memasukkan biaya premi sebagaimana dimaksud, maka risiko kegagalan bangunan menjadi tanggungjawab pengguna jasa.

C. Tanggung Jawab terhadap Kegagalan Bangunan dalam Pekerjaan Konstruksi

Tanggung jawab perencananaan, pelaksanaan, dan pengawasan konstruksi dilandasi oleh prinsip-prinsip keahlian sesuai kaidah keilmuan dan kejujuran intelektual. Kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi dan paling lama 10

tahun sejak dilakukan penyerahan akhir pekerjaan konstruksi.166

165 Pasal 46 ayat (1) PP No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Konstruksi.

166

(diakses pada tanggal 21 Februari 2016).


(48)

Hasil penilaian yang dilakukan oleh penilai ahli terhadap hasil perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan konstruksi, dapat menentukan siapakah yang beralah dalam pelaksanaan konstak konstruksi, apakah perencana konstruksi, pelaksana konstruksi atau pengawas konstruksi. Para pihak yang bersalah ini dibebani tanggung jawab, baik tanggun jawab perdata, administratif, maupun tanggung jawab

pidana.167

1. UU Jasa Konstruksi

Menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, ketentuan mengenai pertanggungjawaban secara umum terhadap kegagalan bangunan dapat dilihat pada peraturan-peraturan sebagai berikut :

Dalam UU ini ketentuan mengenai pertanggungjawaban secara umum terhadap kegagalan bangunan dapat dilihat pada Bab VI tentang kegagalan bangunan. Dalam Pasal 25 ketentuan ini terdapat 3 pengaturan yang harus dipeerhatikan, yaitu:

a. Pengguna maupun penyedia jasa konstruksi wajib bertanggungjawab atas

kegagalan bangunan (Pasal 25 ayat 1).

b. Pertanggungjawaban oleh penyedia jasa ditentukan terhitung sejak

penyerahan akhir pekerjaan konstruksi dan paling lama 10 tahun (Pasal 25 ayat 2).

c. Kegagalan bangunan oleh penyedia jasa ditetapkan oleh pihak ketiga selaku

penilai ahli (Pasal 25 ayat 3).

Menurut Pasal 26 UU Jasa Konstruksi diatur bahwa:

a. Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan

perencana atau pengawas konstruksi, dan hal tersebut terbukti menimbulkan


(49)

kerugian bagi pihak 1ain, maka perencana atau pengawas konstruksi wajib bertanggung jawab sesuai dengan bidang profesi dan dikenakan ganti rugi. Tanggung jawab secara keprofesian dalam hal ini diartikan pertanggungjawaban berdassarkan kode etik profesi. Pelaksanaan ganti rugi dapat dilakukan melalui mekanisme pertanggungan yang pemberlakuannya disesuaikan dengan tingkat pengembangan sistem pertanggungan bagi

perencana dan pengawas konstruksi.168

b. Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan pelaksana

konstruksi dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka pelaksana konstruksi wajib bertanggung jawab sesuai dengan bidang usaha dan dikenakan ganti rugi.

Pasal 27 UU Jasa Konstruksi menyatakan :

“Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan pengguna jasa dalam pengelolaan bangunan dan hal tersebut menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka pengguna jasa wajib bertanggung jawab dan dikenai ganti rugi.”

2. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa

Konstruksi

Menurut PP Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, ketentuan menjadi pertanggungjawaban secara umum terhadap kegagalan bangunan dapat dilihat pada Bab V tentang kegagalan bangunan dimana terdapat beberapa pengaturan penting yang harus diperhatikan sebagai berikut :


(50)

a. Jangka waktu pertanggungjawaban atas kegagalan bangunan harus diatur secara tegas dalam kontrak konstuksi dengan jangka waktu maksimal 10 tahun (Pasal 35).

b. Penilai ahli yang bertugas untuk menentukan kegagalan bangunan dipilih dan

disepakati bersala oleh penyedia dan pengguna jasa (Pasal 36 ayat 2 dan 3).

c. Apabila terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan kesalahan perencana

konstruksii, maka perencana konstruksi hanya bertanggungjawab atas ganti rugi sebatas hasil perencanaannya yang belum atau tidak diubah (Pasal 40 ayat 2).

d. Apabila terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan oleh kesalahan

pelaksana dan pengawas konstruksi, maka tanggung jawab berupa sanksi dan ganti rugi dapat dikenakan pada usaha perseorangan dan atau badan usaha pelaksana konstruksi penandatanganan kontrak kerja konstruksi (Pasal 40 ayat 3 dan 4).

Pertanggungjawaban atas kegagalan bangunan untuk perencana konstruksi

mengikuti kaidah teknik perencanaan dengen ketentuan sebagai berikut :169

a. selama masa tanggungan atas kegagalan bangunan di bawah 10 (sepuluh)

tahun berlaku ketentuan sanksi profesi dan ganti rugi;

b. untuk kegagalan bangunan lewat dari masa tanggungan dikenakan ketentuan

sanksi profesi.

Berdasarkan penetapan jangka waktu pertanggungjawaban tersebut, perencana konstruksi wajib menyatakan dengan jelas dan tegas tentang umur konstruksi yang direncanakan, dalam dokumen perencanaan dan dokumen lelang,


(51)

dilengkapi dengan penjelasannya.170 Pengguna jasa pun wajib melaporkan terjadinya kegagalan bangunan dan tindakan-tindakan yang diambil kepada menteri atau instansi yang berwenang dan lembaga. Pengguna jasa bertanggung jawab atas

kegagalan bangunan yang disebabkan oleh kesalahan pengguna jasa.171

Tanggung jawab para pihak terhadap kegagalan bangunan dalam pekerjaan

konstruksi adalah :172

a. Tanggung jawab perencana konstruksi

Apabila terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan oleh kesalahan perencana konstruksi, maka ia hanya bertanggung jawab atas ganti rugi sebatas hasil perencananaannya yang belum atau tidak berubah. Perencana konstruksi dibebaskan dari tanggung jawab atas kegagalan bangunan sebagai akibat dari rencana yang diubah pengguna jasa dan atau pelaksana konstruksi tanpa persetujuan tertulis dari perencana konstruksi.

b. Tanggung jawab pelaksana konstruksi

Apabila terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan kesalahannya maka ia dijatuhi sanski administratif dan pembayaran ganti rugi. Penjatuhan sanski dan pembayaran anti rugi dapat dikenakan usaha perseorangan dan atau badan usaha pelaksana penandatanganan kontrak kerja konstruksi.

c. Tanggung jawab pengawas konstruksi

Apabila terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan oleh kesalahan pengawas maka ia dapat dijatuhi sanksi administratif dan pembayaran ganti rugi. Penjatuhan sanksi dan ganti rugi dikenakan pada usaha orang

170

Pasal 40 PP Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. 171

Pasal 45 PP Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.


(52)

perseorangan dan atau badan usaha pengawas konstruksi penandatanganan kontrak kerja konstruksi.

Penyedia jasa pada tahap masa pemeliharaan wajib memantau hasil kerjanya, dan menjaga (memelihara) agar tidak terjadi kerusakan-kerusakan. Apabila terjadi kerusakan bangunan yang tidak sesuai spesifikasi teknik maka seluruh biaya perbaikan ditanggung oleh penyedia jasa. Tanggung jawab penyedia jasa tidak berhenti setelah masa pemeliharaan habis tetapi tetap dibebani tanggung jawab dalam waktu tertentu sesuai dengan klausul kontrak (biasanya dicantumkan dalam

pasal kegagalan bangunan). Tanggung jawab ini disebut jaminan konstruksi. 173

Dalam Pasal 25 ayat (2) UU Jasa Konstruksi disebutkan kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa ditentukan sejak penyerahan akhir pekerjaan

konstruksi dan paling lama 10 tahun.174

a. Persyaratan dan jangka waktu serta nilai pertanggungan ditetapkan atas dasar

kesepakatan;

Berdasarkan PP Penyelenggaraan Konstruksi Pasal 46, pelaksanaan ganti rugi dalam hal kegagalan bangunan dapat dilakukan dengan mekanisme pertanggungan pihak ketiga atau asuransi, dengan ketentuan :

b. Premi dibayar oleh masing-masing pihak, dan biaya premi yang menjadi

tanggungan penyedia jasa menjadi bagian dari unsur biaya pekerjaan konstruksi.

Apabila pengguna jasa tidak bersedia memasukkan biaya premi, maka risiko kegagalan bangunan menjadi tangung jawab pengguna jasa. Dan ketentuan lebih

173

2016).


(53)

lanjut mengenai pertangungan/asuransi ini diatur oleh instansi yang berwenang

dalam bidang asuransi. 175

Selain pihak penyedia jasa dan pihak pengguna jasa, ada juga satu pihak yang luput dari regulasi, yaitu pihak pemakai fasilitas. UU Jasa Konstruksi hanya mengatur sampai pada tingkatan penyedia jasa dan pengguna jasa, sedangkan yang menikmati proyek diabaikan, padahal secara substansial pihak ini cukup punya

peranan yang besar dalam kegagalan bangunan.176 Kerusakan yang terjadi seering

bukan disebabkan pada pihak penyedia jasa dan pengguna jasa, namun justru dilakukan oleh para pemakai fasilitas ini. Ironisnya, kegagalan bangunan ini justru

cenderung ditimpakan kepada para penyedia jasa.177

175

Pasal 46 ayat (2) dan (3) PP Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Konstruksi.

176

Irwan Kartiwan, Hendra Soenardji dan Kamaja Al Katuuk, Op. Cit., hlm. 38.


(54)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian serta penjelasan pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan yang berkaitan dengan pokok pembahasan serta sekaligus merupakan jawaban dari pada permasalahan yang penulis buat, yaitu:

1. Pengaturan jasa konstruksi di Indonesia berdasarkan pada asas kejujuran dan

keadilan, manfaat, keserasian, keseimbangan, kemandirian, keterbukaan, kemitraan, keamanan dan keselematan demi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Adapun pengaturan jasa konstruksi bertujuan untuk memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi yang kokoh dan andal, mewujudkan tertib penyelenggaraan jasa konstruksi, serta mewujudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi. Penyelenggaraan konstruksi di Indonesia terdiri dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan.

2. Pengikatan merupakan suatu proses yang ditempuh oleh pengguna jasa dan

penyedia jasa pada kedudukan yang sejajar dalam mencapai suatu kesepakatan untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi. Pengikatan dalam hubungan kerja jasa konstruksi dilakukan berdasarkan prinsip persaingan yang sehat melalui pemilihan penyedia jasa dengan cara pelelangan umum dan terbatas. Penyedia jasa yang telah memenangkan lelang membuat suatu kesepakatan dengan pengguna jasa yang dituangkan di dalam kontrak kerja konstruksi. Kontrak kerja konstruksi yang telah disetujui dan disepakati para pihak menimbulkan hak dan


(1)

TANGGUNG JAWAB TERHADAP KEGAGALAN BANGUNAN DALAM PEKERJAAN KONSTRUKS BERDASARKAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG JASA KONSTRUKSI

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

JESSICA LYDIA M. SIMANJUNTAK NIM. 1 2 0 2 0 0 2 3 5

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TANGGUNG JAWAB TERHADAP KEGAGALAN BANGUNAN DALAM PEKERJAAN KONSTRUKSI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG JASA KONSTRUKSI

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

O l e h:

Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum D

JESSICA LYDIA M. SIMANJUNTAK NIM. 1 2 0 2 0 0 2 3 5

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM EKONOMI

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

Windha, S.H., M.Hum NIP 197501122005012002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

NIP. 197302202002121001 NIP. 198309112006042002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur atas berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi dengan tepat waktu. Skripsi ini dilakukan bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan studi pada Program Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.

Skripsi ini diberi judul “Tanggung Jawab Terhadap Kegagalan Bangunan Dalam Pekerjaan Konstruksi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi”. Dengan adanya penulisan skripsi ini penulis berharap agar para pembaca dapat memaklumi kekurangan dari penulis karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan serta bahan-bahan refrensi.

Penulis banyak mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Pembantu Dekan I,

Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan II, dan Bapak Dr. OK. Saidin, S.H., M.H. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Ibu Windha, S.H., M.Hum selaku Ketua Bagian Departemen Hukum Ekonomi

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Almarhum Bapak Ramli, S.H, M.Hum selaku Sekretaris bagian Departemen

Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang


(4)

6. Ibu Dr peduli dan memberikan bimbingan dalam penulisan skripsi ini.

7. Seluruh Bapak/Ibu Staf Pengajar Fakultas Hukum USU yang telah banyak

mendidik selama proses perkuliahan.

8. Kepada kedua orangtua penulis M. Simanjuntak, S.E. dan Dra. G. Sinaga,

serta kedua saudara penulis Vanessa Simanjuntak dan Felicya Simanjuntak yang telah memberikan dukungan, motivasi dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Teman-teman seperjuangan penulis selama masa perkuliahan yang menemani

serta banyak mendukung Julian Leonardo, Marissa Meinita, Ruth Depari, Monica Hutabarat, Margaretha Sitohang, Rachel Agatha dan Sonya Evalin.

10.Teman-teman penulis Andy Natanael, Rodeta Sihombing S.M., Agnes

Simanjuntak, Cheselin Kezia dan Anggreny Sibuea, terimakasih untuk semangat, doa dan dukungan yang diberikan.

11.Kepada teman-teman grup E dan seluruh teman-teman stambuk 2012.

Demikianlah penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang mendukung dalam penulisan ini sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberikan yang terbaik buat kita semua.

Medan, Maret 2016 Penulis

Jessica Lydia M. Simanjuntak NIM. 120200235


(5)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi... iii

Abstrak ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Keaslian Penelitian ... 10

E. Tinjauan Pustaka ... 11

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II PENGATURAN JASA KONSTRUKSI MENURUT UU NO. 18 TAHUN 1999 A. ... Asas dan Tujuan Jasa Konstruksi ... 20

B. ... Usaha Jasa Konstruksi ... 23

C. Penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi... 33


(6)

BAB III PENGIKATAN DALAM PEKERJAAN KONSTRUKSI A.Para Pihak Dalam Pekerjaan

Konstruksi ... 45

B. Pengikatan Para Pihak Dalam Pekerjaan Konstruksi ... 49

C.Kontrak Kerja Konstruksi ... 55

D. Penyelesaian Sengketa Konstruksi ... 66

BAB IV TANGGUNG JAWAB TERHADAP KEGAGALAN BANGUNAN DALAM PEKERJAAN KONSTRUKSI A.Faktor Terjadinya Kegagalan Bangunan Dalam Pekerjaan Konstruksi ... 75

B. Sanksi Yang Dikenakan Para Pihak Dalam Kegagalan Bangunan Konstruksi ... 85

C. Tanggung Jawab Terhadap Kegagalan Bangunan Dalam Pekerjaan Konstruksi ... 89

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 96

B. Saran ... 98


Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

1 86 105

Penghentian Proyek Pembangunan Monerel Jakarta (Analisis Pasal 25 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi)

0 9 0

Analisis Terhadap Tanggung Jawab Penyelenggara Jasa Transportasi Go-Jek Ditinjau Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

0 0 1

PERTANGGUNGJAWABAN PIHAK-PIHAK DALAM PEKERJAAN KONSTRUKSI TERKAIT KEGAGALAN KONSTRUKSI BANGUNAN YANG MENYEBABKAN HILANGNYA NYAWA ORANG LAIN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG J.

0 1 1

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN JASA PENERBANGAN TERHADAP PENUMPANG DALAM KECELAKAAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN.

0 0 13

Tanggung Jawab Terhadap Kegagalan Bangunan dalam Pekerjaan Konstruks Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi

0 0 6

Tanggung Jawab Terhadap Kegagalan Bangunan dalam Pekerjaan Konstruks Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi

0 0 1

Tanggung Jawab Terhadap Kegagalan Bangunan dalam Pekerjaan Konstruks Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi

0 0 17

Tanggung Jawab Terhadap Kegagalan Bangunan dalam Pekerjaan Konstruks Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi

0 0 21

Tanggung Jawab Terhadap Kegagalan Bangunan dalam Pekerjaan Konstruks Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi

0 0 5