2. Hukum Keras
Hard Law
Hard law adalah satu bentuk hukum internasional yang mempunyai kekuatan mengikat binding power terhadap negara peserta contracting parties secara
langsung sesuai dengan asas pacta sunt servanda. Hard law ini dapat berupa treaty, convention, agreement, protocol, dan lain-lain. Beberapa Konvensi dibawah ini
mengatur mengenai rejim perlindungan lingkungan laut
98
: a.
Konvensi Paris 1974 Konvensi ini aslinya bernama the 1974 Paris Convention for Prevention of
Marine Pollution from Land-Based Sources. Konvensi ini terdiri atas 29 pasal dan 2 annex yang mewajibkan Negara-negara peserta untuk secara individu atau bersama-
sama mencegah terjadinya pencemaran laut dari bahan-bahan pencemar yang bersumber dari darat.
Konvensi Paris
secara jelas mengatur jenis-jenis bahan pencemar yang
dilarang beserta batasan yang boleh dimasukkan ke laut. Untuk itu dalam annex-nya tersebut disebutkan 4 klasifikasi jenis kimia yang dilarang, dibatasi dan yang
diperbolehkan hanya dalam jumlah tertentu. b.
Konvensi London 1976 Konvensi ini dikenal dengan Convention on Civil Liability for Oil Pollution
Damage Resulting from Exploration and Exploitation of Seabed Mineral Resources yang ditetapkan pada tahun 1976.
98
Sukanda Husin, Penegakan Hukum.....Op.Cit., hal. 26, sedangkan untuk kumpulan konvensi hukum laut internasional lainnya dapat dilihat pada R.R. Churchill and A.V. Lowe, The Law
of The Sea, UK, Manchester University Press, 1988, hal. XIX.
Universitas Sumatera Utara
Konvensi ini merupakan Konvensi internasional pertama yang menganggap bahwa perbuatan mencemarkan lingkungan laut merupakan suatu perbuatan hukum.
Oleh karena itu, konvensi ini mewajibkan setiap perusahaan yang melakukan pencemaran di lepas pantai baik yang bersumber dari instansi maupun dari kapal
memikul tanggungjawab financial atas kerugian yang diderita oleh korban atau negara korban.
c. The MARPOL Convention 19731978
Konvensi ini secara khusus mengatur mengenai pencemaran yang disebabkan oleh kegiatan kapal, serta mengatur mengenai bagaimana mencegah kapal agar tidak
mencemari laut dalam pelayarannya. d.
1996 Protocol to London Dumping Convention Dumping pembuangan limbah secara sengaja ke laut biasanya dapat
dilakukan secara legal karena telah memperoleh izin maupun illegal karena tidak dibenarkan oleh undang-undang. Sehingga kegiatan dumping terutama yang legal
menurut undang-undang juga perlu diatur menurut ketentuan konvensi ini. e.
CITES dan CBD Convention
on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora CITES merupakan salah satu konvensi yang mengatur masalah perdagangan
species tumbuhan dan satwa yang terancam punah. Konvensi ini bertujuan untuk menghindari berbagai jenis flora dan fauna dari kepunahan melalui sistem
pengendalian perdagangan yang berlebihan melalui prinsip control dan pengawasan
Universitas Sumatera Utara
melalui system lisensi.
99
Indonesia merafikasi ketentuan ini didalam Keppres No. 431978 tentang Pengesahan CITES.
Convention on Biological Diversity 1992 merupakan konvensi yang memberikan perlindungan terhadap berbagai macam keanekaragaman hayati. Bahwa
setiap Negara mestilah menjaga dan memberikan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati yang berada diwilayah Negara masing-masing. Indonesia
meratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati. Perlindungan keanekaragaman hayati ini secara khusus telah diatur juga di dalam UUPWPPPK pada Bab V. Pemanfaatan,
bagian ketiga tentang Konservasi dari Pasal 28 sampai dengan Pasal 31 dan Bab V. Pemanfaatan, bagian keempat tentang Rehabilitasi dari Pasal 32 sampai dengan Pasal
33 serta Bab. V. Pemanfaatan, bagian Larangan pada Pasal 34. f.
Konvensi Hukum Laut 1982 Indonesia telah meratikasi Konvensi ini menjadi Undang-Undang Nomor 17
tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Conventions on Law of the Sea Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut. Konvensi ini pada
Bab. XII-nya mengatur secara umum tentang pencegahan pencemaran laut Marine pollution. Dalam konvensi ini, setiap Negara mempuyai hak kedaulatan sovereign
right untuk mengambil sumber daya alam di dalam laut maupun di dasar laut. Di
99
Lebih lanjut dapat lihat di dalam web resmi CITES : http:international.fws.gov citescites.html, terakhir diakses pada Selasa, 10052011, pukul. 01.20 wib.
Universitas Sumatera Utara
samping itu, Konvensi ini juga mewajibkan Negara-negara peserta untuk menggunakan teknologi sadar lingkungan agar di dalam melakukan penggalian
sumber daya alam tersebut tidak terjadi kerusakan dan pencemaran lingkungan. Untuk itu Negara-negara di dunia ini diwajibkan untuk bekerja sama dalam membuat
teknologi dan peraturan perlindungan lingkungan laut. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut mendapatkan perhatian khusus
Konvensi. Bab XII yang terdiri dari 45 pasal, dari Pasal 192 sampai Pasal 237 khusus diperuntukkan bagi segala sesuatunya yang berhubungan dengan pencemaran dan
tindakan-tindakan yang harus diambil untuk melindungi lingkungan laut.
100
Meskipun dalam konvensi hukum laut ini tidak memberikan pengaturan secara spesifik mengenai pembahasan pencemaran dan perusakan lingkungan di
wilayah pesisir dan pulau kecil melainkan hanya membahas pencemaran laut secara umum namun berdasarkan perkembangan selanjutnya wilayah pesisir dan pulau kecil
sebagai salah satu bagian penunjang ekosistem laut, maka pesisir dan pulau kecil pun mendapat perhatian untuk dilindungi. Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 13
KHL : “Suatu elevasi surut adalah suatu wilayah daratan yang terbentuk secara
alamiah yang dikelililngi dan berada diatas permukaan laut pada waktu air laut, tetapi berapa di bawah permukaan laut pada waktu air pasang. Dalam
hal suatu evaluasi terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut territorial dari daratan atau suatu pulau, maka garis
surut pada elevasi demikian dapat dapat digunakan sebagai garis pangkal untuk maksud pengukuran lebar laut territorial.”
100
Boer Mauna, Op.Cit., hal. 333.
Universitas Sumatera Utara
Elevasi sebagai salah satu ekosistem pesisir mulai mendapat perhatian pada saat ini dikarenakan selain berfungsi sebagai penentuan titik pangkal territorial suatu
Negara juga mempunyai potensi ekonomis seperti pariwisata, perikanan dan pertanian laut seperti pohon bakau dan rumput laut, sehingga bila pesisir pantai
tercemar dan rusak akibat abrasi akan membawa dampak kerugian secara ekonomis dan politik.
Setiap Negara mempunyai kewajiban melindungi dan melestarikan lingkungan laut
101
yang tentu saja mencakup wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bagi Negara yang berbentuk kepulauan. Masih dalam BAB XII KHL tentang
Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut, Pasal 208, menjelaskan bahwa pencemaran yang berasal dari kegiatan-kegiatan dari laut yang tunduk pada
yurisdikasi nasional mesti menetapkan peratuaran perundang-undangan nasional mereka
102
, yang mana nantinya Negara kita akan menindaklanjuti ketentuan dari pasal ini pada beberapa peraturan perundang-undangan nasional yang ada termasuk
perundangan yang terbaru mengenai pengelolaan pesisir dan pulau kecil yaitu undang-undang nomor 27 tahun 2007 dan undang-undang 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai framework kerangka kerja dalam memberikan perlindungan hukum terhadap segala macam bentuk
pencemaran yang terjadi di wilayah yurisdiksi Indonesia.
101
Pasal 192, KHL 1982.
102
Pasal 208, KHL 1982.
Universitas Sumatera Utara
Penentuan daerah kedaulatan dan hak berdaulat suatu negara atas sumber daya alam yang mereka miliki tidak lepas dari betapa pentingnya penentuan garis pangkal
sebagai penentuan batas elevasi surut pantai suatu negara, bila garis elevasi surut pantai sudah diketahui maka barulah garis pangkal ditentukan. Suatu elevasi surut
adalah suatu wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah yang dikelilingi dan berada di atas permukaan laut pada waktu air surut, tetapi berada di bawah
permukaan laut pada waktu air pasang. Dalam hal suatu evaluasi surut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial
dari daratan utama atau suatu pulau, maka garis air surut pada elevasi demikian dapat digunakan sebagai garis pangkal untuk maksud pengukuran lebar laut teritorial.
103
Ada 3 tiga tipe garis pangkal menurut Unclos 1982 yaitu garis pangkal biasa normal, garis pangkal lurus straight, and garis pangkal kepulauan straight
archipelagic.
104
Kegunaan garis pangkal inilah yang nantinya akan digunakan secara umum oleh setiap negara guna menentukan dasar penarikan garis teritorial, zona
tambahan, zona ekonomi ekslusif sampai dengan landas kontinen. Sedangkan secara khusus dengan adanya penetuan garis pangkal inilah nantinya akan dapat ditentukan
103
Pasal 13 KHL.
104
Adapun definisi dari setiap garis pangkal tersebut, menurut UNCLOS yang diratifikasi dan digunakan sebagai dasar peristilahan yang nantinya diterjemahkan secara resmi pada isi pasal dalam
undang-undang nasional yang mengatur masalah laut adalah : “The normal baseline is the basic element from which the territorial sea and other maritime zones are
determined. It is defined as the low water line along the coast, as marked on large-scale charts of the coastal state Article 5. Straight baselines are defined by straight lines that join points on the
coastline which have been selected according to the criteria listed in Article 7. They delineate internal waters from territorial seas and other maritime zones. Straight archipelagic baselines define the
periphery on an island group by joining the outermost islands with a succession of straight lines constructed in accordance with Article 47.”
Universitas Sumatera Utara
tapal batas wilayah provinsi danatau kabupaten kota terhadap penentuan batas wilayah laut mereka.
Penentuan batas laut suatu daerah provinsi danatau kota nantinya juga akan menggunakan tatacara sebagaimana yang telah diatur dalam TALOS A Manual on
Technical Aspects of The United Nations Convention on The Law of The Sea-1982, dimana batas wilayah laut terdiri atas beberapa teori teknik kelautan
105
, namun yang umum digunakan adalah dengan menggunakan teori the equidistance line
106
atau yang dikenal juga dengan istilah median line garis tengah.
Meskipun masih banyak pengaturan internasional lainnya yang mengatur mengenai perlindungan lingkungan terutama lingkungan laut, namun pada kenyataan
hukum internasional ini hanya berupa imbauan, ajakan dan kewajiban menjalankan perintah. Mengingat dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut yang sudah
masuk ke dalam teritorial suatu negara akan bergantung kepada efektifitas dan itikat baik suatu negara tersebut untuk benar-benar menegakkan aturan hukum nasional
mereka sendiri.
105
Chapter 6 TALOS, mengenai Bilateral Boundaries, disebutkan terdapat beberapa teknik penentuan batas delimitasi laut yaitu : The Equidistance, Thalweg, Arbitrary Lines, Prolongation of
land Boundaries, enclaving, dan pengembangan dari teori equidistance lainnya.
106
Artikel 15 UNCLOS, menyebutnya sebagai equidistance line demikian juga dengan TALOS sedangkan untuk beberapa buku yang membahas mengenai delimitasi juga menyebutkan
sebagai median line garis tengah.
Universitas Sumatera Utara
B. Kerangka Hukum Laut Nasional