Analisis pengaruh good corporate governance terhadap praktik manajemen laba pada industri perbankan Indonesia tahun 2007-2011

(1)

ANALISIS PENGARUH

GOOD CORPORATE GOVERNANCE

TERHADAP PRAKTIK MANAJEMEN LABA PADA

INDUSTRI PERBANKAN INDONESIA TAHUN 2007-2011

Oleh

TUTUT IDA HARDIATI WIBOWO

H24104014

PROGRAM SARJANA ALIH JENIS MANAJEMEN

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(2)

ANALISIS PENGARUH

GOOD CORPORATE GOVERNANCE

TERHADAP PRAKTIK MANAJEMEN LABA PADA

INDUSTRI PERBANKAN INDONESIA TAHUN 2007-2011

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memeroleh gelar

SARJANA EKONOMI

pada Program Sarjana Alih Jenis Manajemen

Departemen Manajemen

Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

 

 

 

Oleh

TUTUT IDA HARDIATI WIBOWO

H24104014

PROGRAM SARJANA ALIH JENIS MANAJEMEN

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(3)

Judul Skripsi : Analisis Pengaruh Good Corporate Governance terhadap Praktik Manajemen Laba pada Industri Perbankan Indonesia Tahun 2007-2011

Nama : Tutut Ida Hardiati Wibowo NIM : H24104014

Menyetujui Dosen Pembimbing,

(Ali Mutasowifin, S. E., M. Ak.) NIP: 19660904 200501 1 002

Mengetahui Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Jono M. Munandar, M. Sc.) NIP: 19610123 198601 1 002


(4)

ABSTRAK

TUTUT IDA HARDIATI WIBOWO. H24104014. Analisis Pengaruh Good Corporate Governance terhadap Praktik Manajemen Laba pada Industri Perbankan Indonesia Tahun 2007-2011. Di bawah bimbingan ALI MUTASOWIFIN.

Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan dengan pemilik (pemegang saham). Sebagai pengelola, manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada shareholders. Akan tetapi, terkadang informasi yang dilaporkan tidak sesuai dengan kondisi perusahaan yang sebenarnya.

Kejatuhan perusahaan raksasa terkemuka di dunia, Enron Corporation dan WorldCom di Amerika Serikat, menjadi akibat dari tindakan rekayasa yang dilakukan oleh pihak manajemen. Sejak saat itu, perhatian dunia berkenaan dengan implementasi Good Corporate Governance (GCG), seketika, mulai meningkat tajam dan menjadi buzzword (kata kunci) yang hangat diperbincangkan.

Hasil analisis yang dilakukan oleh berbagai organisasi internasional dan regulator pemerintah di banyak negara ditemukan bahwa terjadinya tragedi ekonomi atau bisnis di atas, karena prinsip-prinsip GCG telah diabaikan oleh segenap tatanan kehidupan bangsa dan lemahnya corporate governance (tata kelola perusahaan) di banyak perusahaan. Praktik yang mengabaikan prinsip-prinsip GCG yang telah terjadi pada masa lampau membuktikan bahwa bad corporate governance (BCG) adalah nyata dan menjadi penyebab krisis ekonomi berkepanjangan di Tanah Air.

Dalam menjaga industri perbankan tetap sehat, efektivitas penerapan GCG sangat bergantung pada strategi serta metode implementasi yang dilakukan dan/atau dipilih. Dengan ungkapan lain, jika ingin berhasil menerapkan GCG, selain strategi, maka dibutuhkan konsistensi. Karena, pasar perbankan Indonesia sangat besar dan penetrasi pasarnya masih sangat rendah. Dengan penetrasi pasar kurang dari 50%, perbankan Indonesia memiliki ruang untuk tumbuh yang demikian besar.

Oleh karena itu, penerapan GCG dari level tertinggi hingga yang paling rendah pada suatu perusahaan sudah sangat mendesak untuk segera dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Now or never. Karena, GCG terkait erat dengan kepercayaan pemegang saham dan publik, reputasi, jejak rekam iklim bisnis, serta para pelaku usaha itu sendiri. Ini merupakan fondasi mutlak yang diperlukan untuk menjamin lajunya perputaran roda perekonomian di suatu negara secara berkesinambungan.

      Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh komite audit, ukuran dewan komisaris, struktur kepemilikan dan keterbukaan, komposisi dewan komisaris, serta ukuran perusahaan sebagai indikator dari good corporate governance terhadap manajemen laba.

Variabel independen dalam penelitian ini adalah komite audit, ukuran dewan komisaris, struktur kepemilikan dan keterbukaan, komposisi dewan


(5)

komisaris, serta ukuran perusahaan. Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah manajemen laba.

Sampel penelitian ini adalah 26 perusahaan pada Industri Perbankan Indonesia yang terdaftar di Bank Indonesia (BI) dari tahun 2007 hingga 2011. Model penelitian yang digunakan adalah Modified Jones Model (1995) dengan regresi linier berganda sebagai alat analisisnya.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komite audit dan komposisi dewan komisaris berpengaruh terhadap manajemen laba. Sedangkan tiga variabel independen lainnya (ukuran dewan komisaris, struktur kepemilikan dan keterbukaan, serta ukuran perusahaan) tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.

Kata kunci: Good Corporate Governance, Manajemen Laba, Modified Jones Model (1995), perbankan Indonesia, dan regresi linier berganda.


(6)

ABSTRACT

TUTUT IDA HARDIATI WIBOWO. H24104014. The Effects of Corporate Governance on Earnings Management (Case Study of Indonesian Banking Industry 2007-2011). Counseled by ALI MUTASOWIFIN.

Manager as the administrator of the company knows internal information and company prospect in the future more than shareholders. As the administrator, manager has to give signal to shareholders about company situation. However, sometime information reported is not appropriate with actual company situation. The collapse of the big companies in the world, such as Enron Corporation and WorldCom in the United States, became an effect of artificial conduct which was done by management party. Since then, the concern in accordance with the implementation of Good Corporate Governance (GCG) has been increasing rapidly and be topical buzzword discussed.

The analysis result had been created by international organizations and government regulators in most countries, was found that those ecomomical events happened because GCG fundamentals were ignored by all of nation life and of GCG’s weak in most companies. The proceedings to harass the GCG’s fundamentals in years ago had proved that bad CG was real and be the pioneer of economy crisis in Indonesia.

Maintaining the banking industry, the effectivity of GCG implementation is really depending on strategy and method which is done and/or chosen. In the other words, if we want succeed to implement GCG, besides strategy, we need commitment. Because, the Indonesia banking market is really huge and the market penetration is still low. With the market penetration less than fifty percents, the Indonesia banking industry has space to grow considerably.

Therefore, GCG implementation will has been urging to be done immediately from the highest level until the lowest level properly. Now or never. Because, GCG closely related with trust of shareholders and publics, reputation, business track record, and its businessman. It is absolute fundamental which is needed in a country to secure the rotation of the economy sustainable.

The objectives of this research are analyzing influence of audit committee, board of commissioners size, ownership and openness structure, board of commissioners composition, and company size as good corporate governance indicators to earnings management.

Independent variables of this research are audit committee, board of commissioners size, ownership and openness structure, board of commissioners composition, and company size. Otherwise, dependent variable is earnings management.

Sample of this research is 26 companies in Indonesia banking industry listed in Bank of Indonesia (BI) from 2007 to 2011. Otherwise, research model used is Modified Jones Model (1995) and multiple linear regression is as analysis tool.

The result is that audit committee and board of commissioners composition variables influence to earnings management. Otherwise, board of commissioners


(7)

size, ownership and openness structure, and company size do not influence to earnings management.

Key words: Good Corporate Governance, Earnings Management, Modified Jones Model (1995), Indonesian banking, and multiple linear regression.


(8)

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Analisis Pengaruh Good Corporate Governance terhadap Praktik Manajemen Laba pada Industri Perbankan Indonesia Tahun 2007-2011” adalah karya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya, baik yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan oleh penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2013

Tutut Ida Hardiati Wibowo


(9)

RIWAYAT HIDUP

Tutut Ida Hardiati Wibowo lahir di Jakarta pada tanggal 11 April 1988 dari pasangan Bapak Mislan dan Ibu Siti Jubaidah. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. TK Islam Al Fajar (1992), SDN Pulo Gebang 05 Pagi (1994), SLTPN 172 (2000), dan SMAN 21 (2003) merupakan bangku sekolah pendidikan penulis. Ketika masih SD, penulis juga pernah belajar Ilmu Agama di Madrasah Diniyah Awwaliyah Al Muhajirin hingga lulus. Di sekolah, penulis aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, seperti Pramuka, PMR, Paskibra, Pencak Silat, dan Rohis.

Tahun 2006, setelah menyelesaikan pendidikan pada tingkat SMA Jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), penulis melanjutkan pendidikannya ke Program Diploma III (D3) Akuntansi di Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) pada tahun yang sama. Sejak semester dua, penulis telah aktif mengikuti berbagai organisasi kemahasiswaan, seperti AF, PEC, P3, HMJA, dan BEM dengan berbagai macam jabatan. Ketika semester lima, penulis pernah melaksanakan on the job training di PT United Tractors, Tbk. Penulis berhasil menyelesaikan pendidikannya tersebut kurang dari tiga tahun.

Setelah meyandang Gelar Ahli Madya, penulis memutuskan untuk bekerja terlebih dahulu di tahun 2009. PT Bank ICB Bumiputera, Tbk menjadi tempat pertama bagi penulis untuk mencari pengalaman kerja. Penulis bekerja sebagai Verification Staff di Divisi New Account Processing selama tiga belas bulan dan resign pada tahun 2010. Penulis memutuskan untuk fokus melanjutkan kuliah ke tingkat Strata Satu (S1) dengan mengambil Program Sarjana Alih Jenis Manajemen, Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis belajar di Kampus IPB Baranang Siang.


(10)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur selalu senantiasa dipanjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Tidak lupa juga lantunan doa kepada junjungan kita Baginda Nabi Muhammad SAW, keluarga, beserta para sahabatnya. Skripsi ini berjudul ”Analisis Pengaruh Good Corporate Governance terhadap Praktik Manajemen Laba pada Industri Perbankan Indonesia Tahun 2007-2011”. Judul ini dipilih oleh penulis karena perilaku good corporate yang buruk berkembang di beberapa industri, salah satunya perbankan, sehingga perlu adanya perbaikan. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh komite audit, ukuran dewan komisaris, status kepemilikan dan keterbukaan, komposisi dewan komisaris, serta ukuran perusahaan sebagai indikator good corporate governance terhadap manajemen laba. Selain itu, skripsi ini sebagai syarat untuk memeroleh Gelar Sarjana Ekonomi pada Program Sarjana Alih Jenis Manajemen, Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Selama proses penyusunan skripsi, banyak hal yang telah didapat oleh penulis, tidak hanya tekait dalam bidang akademis tetapi juga berbagai masukan bagi pengembangan diri penulis, terutama attitude dan softskill. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna akibat keterbatasan dan kendala. Namun demikian, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun ke arah penyempurnaan dari para pembaca dan pihak-pihak yang berkepentingan agar penulisan dapat menjadi lebih baik lagi di masa mendatang. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Amin.

Bogor, Februari 2013

Tutut Ida Hardiati Wibowo


(11)

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan syukur, senantiasa, penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kesehatan, keselamatan, kesabaran, dan ketekunan, sehingga, atas rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam ditujukan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi suri tauladan bagi seluruh umat Islam di seluruh dunia. Skripsi ini berjudul ”Analisis Pengaruh Good Corporate Governance terhadap Praktik Manajemen Laba pada Industri Perbankan Indonesia Tahun 2007-2011”. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat perolehan Gelar Sarjana Ekonomi pada Program Sarjana Alih Jenis Manajemen (PSAJM), Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM), Institut Pertanian Bogor (IPB).

Penyusunan skripsi ini banyak dibantu oleh beberapa pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Paling utama, penulis menyampaikan rasa hormat dan bakti kepada kedua orang tua dan rasa sayang kepada adik tercinta yang senantiasa mendoakan, mendukung, dan memberi semangat kepada penulis demi terselesaikannya skripsi ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih, penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Jono M. Munandar, M. Sc. selaku Ketua Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM), Institut Pertanian Bogor (IPB) serta sekaligus selaku Pembimbing Akademik (PA) bagi penulis. 2. Ibu Farida Ratna Dewi, S. E., M. M. selaku Ketua Program Studi Strata 1

(S1), Program Sarjana Alih Jenis Manajemen (PSAJM), Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM), Institut Pertanian Bogor (IPB).

3. Bapak Ali Mutasowifin, S. E., M. Ak. selaku dosen pembimbing. 4. Bapak Dr. Ir. Abdul Kohar Irwanto, M. Sc. selaku dosen penguji I. 5. Ibu Yusrina Permanasari, S. Sos., M. E. selaku dosen penguji II. 6. Ibu Lindawati Kartika, S. E., M. Si. selaku Tim Quality Control (QC).


(12)

7. Seluruh dosen, staf pengajar, serta karyawan Program Sarjana Alih Jenis Manajemen (PSAJM), Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM), Institut Pertanian Bogor (IPB).

8. Om Rudi dan Tante Shinta yang telah memberikan curahan kasih sayang dan motivasi selama ini.

9. Saudara Agus Supriyanto yang selalu mengalirkan dukungan, kesabaran, perhatian, serta semangat kepada penulis.

10. Bapak Yopi yang telah memberikan banyak masukan pada proses pembuatan skripsi ini.

11. Saudari Eka Sefiana yang telah menjadi inspirasi bagi penulis sehingga karya ilmiah ini tercipta.

12. Saudari Maya yang telah membantu penulis dalam proses pengolahan data penelitian.

13. Rekan Fitri, Nuni, Windu, Dika, Fani, Rinda, Lili, David, Andhika Savitri, Dheput, Neny Ratih, dan Tridewi yang juga telah memberikan dukungan, baik moral maupun spiritual kepada penulis.

14. Seluruh pihak yang telah membantu demi terciptanya karya ini.

Semoga kebaikan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis, akan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Amin.

Bogor, Februari 2013

Tutut Ida Hardiati Wibowo


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSYARATAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN ABSTRAK ... iv

HALAMAN ABSTRACT ... vi

HALAMAN PERNYATAAN ... viii

HALAMAN RIWAYAT HIDUP ... ix

HALAMAN KATA PENGANTAR ... x

HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH ... xi

HALAMAN DAFTAR ISI ... xiii

HALAMAN DAFTAR TABEL ... xv

HALAMAN DAFTAR GAMBAR ... xvi

HALAMAN DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2 Perumusan Masalah Penelitian ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Kelembagaan Perbankan ... 11

2.1.1 Pengertian Bank ... 11

2.1.2 Fungsi Bank ... 11

2.1.3 Jenis Bank ... 13

2.2 Manajemen Laba ... 14

2.2.1 Pengertian Manajemen Laba ... 14

2.2.2 Strategi Manajemen Laba ... 15

2.2.3 Prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU) dan Manajemen Laba ... 15

2.2.4 Motivasi Melakukan Manajemen Laba ... 16

2.2.5 Mekanisme Manajemen Laba ... 17

2.3 Modified Jones Model ... 17

2.4 Good Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan yang Baik ... 21


(14)

2.4.2 Tujuan Good Corporate Governance (GCG) ... 22

2.4.3 Manfaat Good Corporate Governance (GCG) ... 23

2.4.4 Teori Good Corporate Governance (GCG) ... 23

2.4.5 Partisipan Good Corporate Governance (GCG) ... 24

2.4.6 Prinsip Good Corporate Governance (GCG) ... 27

2.4.7 Peranan Good Corporate Governance (GCG) dalam Bisnis Perbankan ... 32

2.5 Penelitian Terdahulu ... 34

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 37

3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 37

3.2 Populasi dan Sampel ... 42

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 43

3.4 Metode Analisis Data ... 43

3.4.1 Modified Jones Model ... 44

3.4.2 Uji Asumsi Klasik (Regresi) ... 46

3.4.3 Uji Hipotesis ... 48

3.4.4 Uji Regresi Linier Berganda ... 50

3.5 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ... 51

3.5.1 Variabel Independen ... 51

3.5.2 Variabel Dependen ... 52

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 53

4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian ... 53

4.2 Statistik Deskriptif ... 55

4.3 Uji Asumsi Klasik (Regresi) ... 67

4.4 Uji Hipotesis ... 70

4.5 Analisis Regresi Linier Berganda ... 76

4.6 Implikasi Manajerial ... 78

KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

1. Kesimpulan ... 79

2. Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 81

LAMPIRAN ... 85


(15)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Pertumbuhan ekonomi dunia (dalam persentase) ... 1

2. Kriteria pengambilan sampel ... 53

3. Sampel perusahaan perbankan ... 54

4. Variabel komite audit ... 56

5. Variabel ukuran dewan komisaris ... 57

6. Variabel struktur kepemilikan dan keterbukaan ... 58

7. Logaritma natural dari variabel ukuran perusahaan ... 59

8. Total akrual dari tahun 2007 hingga 2011 ... 62

9. Nilai non discretionary accruals (akrual yang normal) dari tahun 2007 hingga 2011 ... 63

10. Nilai discretionary accruals (akrual yang abnormal) dari tahun 2007 hingga 2011 ... 64

11. Ringkasan perhitungan manajemen laba (ML=DA) ... 65

12. Rata tengah, simpangan, dan populasi pada masing-masing variabel ... 65

13. Nilai toleransi dan VIF variabel independen ... 68

14. Nilai Durbin-Watson pada uji autokorelasi ... 69

15. Nilai f hitung dan probabilitas dari hasil uji simultan ... 70


(16)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Angka pengangguran (KSK, September, 2012) ... 2

2. Indeks kepercayaan konsumen (KSK, September, 2012) ... 3

3. Defisit anggaran dan utang pemerintah (KSK, September, 2012) ... 3

4. Harga komoditas dunia (KSK, Maret, 2012) ... 4

5. Perbandingan antara NPL dengan CAR pada saat sebelum dan sesudah krisis (KSK, September, 2012) ... 5

6. Rasio PDB sektor terhadap total PDB (KSK, Juni, 2003) ... 5

7. Pertumbuhan DPK (KSK, Maret, 2012) ... 6

8. Kerangka pemikiran ... 38

9. Grafik data berdistribusi normal (SPSS, 2012) ... 67

10. Histogram data berdistribusi normal (SPSS, 2012) ... 67


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Data masukan untuk Variabel View pada SPSS ... 86

2. Data masukan untuk Data View pada SPSS ... 87

3. Variabel komposisi dewan komisaris ... 90

4. Variabel ukuran perusahaan ... 91

5. Total aktiva dari tahun 2006 hingga 2010 ... 92

6. Perbandingan antara angka satu dengan total aktiva (aset) perusahaan pada tahun sebelumnya ... 93

7. Total pendapatan tahun 2006 ... 94

8. Total pendapatan tahun 2007 ... 95

9. Total pendapatan tahun 2008 ... 96

10. Total pendapatan tahun 2009 ... 97

11. Total pendapatan tahun 2010 ... 98

12. Total pendapatan tahun 2011 ... 99

13. Total pendapatan dari tahun 2006 hingga 2011 ... 100

14. Selisih total pendapatan tahun sekarang dengan tahun sebelumnya ... 101

15. Perbandingan antara selisih total pendapatan pada tahun sekarang dengan total aktiva pada tahun sebelumnya ... 102

16. Total piutang dari tahun 2006 hingga 2011 ... 103

17. Selisih total piutang pada tahun sekarang dengan tahun sebelumnya ... 104

18. Perbandingan antara selisih total piutang tahun sekarang dengan total aktiva (aset) pada tahun sebelumnya ... 105

19. Total aktiva tetap dari tahun 2006 hingga 2011 ... 106

20. Perbandingan antara total aktiva tetap pada tahun sekarang dengan total aset pada tahun sebelumnya ... 107


(18)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Tindakan rekayasa terhadap pencatatan laporan keuangan yang dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan merupakan penyebab terjadinya krisis yang berlangsung di Amerika Serikat dan Eropa. Bermacam-macam langkah telah banyak dilakukan untuk menyelesaikan krisis tersebut, namun masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Krisis tersebut menyebabkan jatuhnya beberapa perusahaan besar dunia, seperti Enron Corporation dan WorldCom di Amerika Serikat, HIH Insurance Company Ltd., One-Tell Pty Ltd. di Australia, serta Parmalat di Itali. Hal tersebut didukung dengan adanya data pertumbuhan ekonomi dunia yang ada pada Tabel 1.

Tabel 1. Pertumbuhan ekonomi dunia (dalam persentase)

Negara 2009 2010 2011 (Proyeksi)

Output Dunia -0,5 5,1 4,3

Advanced Economies -3,4 3,0 2,2

Amerika Serikat -2,6 2,9 2,5

Euro Zone -4,1 1,8 2,0

Jerman -4,7 3,5 3,2

Perancis -2,6 1,4 2,1

Portugal -2,0 2,3 -1,1

Italia -5,2 1,3 1,0

Irlandia -11,3 -3,6 -1,3

Yunani -0,8 -2,1 -2,6

Spanyol -3,7 -0,1 0,8

Inggris -4,9 1,3 1,5

Jepang -6,3 4,0 -0,7

Emerging & Developing Economies 2,8 7,4 6,6

ASEAN-5 1,7 6,9 5,4

Indonesia 4,6 6,1 6,3 – 6,8

BRIC

Brazil -0,6 7,5 4,1

Rusia -7,8 4,0 4,8

India 6,8 10,4 8,2

Cina 9,2 10,3 9,6

Middle East and North Africa 2,5 4,4 4,2


(19)

Seperti terlihat pada Tabel 1, krisis ekonomi yang dihadapi oleh Amerika Serikat dan Eropa diikuti dengan penurunan perekonomian yang ada di kedua benua tersebut. Sedangkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia sendiri relatif positif dan solid. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan krisis tersebut akan menjadi ancaman buruk terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Negara-negara maju masih terbelenggu oleh besarnya defisit anggaran, beban utang, tingginya angka pengangguran, serta sektor perbankan yang memprihatinkan. Angka pengangguran dapat diperlihatkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Angka pengangguran (KSK, September, 2012)

Angka pengangguran di negara-negara Eropa meningkat dari tahun ke tahun (angka di tahun 2012 merupakan angka proyeksi). Tingginya angka penggangguran akan berakibat pada menurunnya daya beli masyarakat. Krisis ekonomi yang berkepanjangan mendorong masyarakat untuk membatasi pengeluarannya, terutama pada aktivitas konsumsi. Aktivitas konsumsi dapat digambarkan oleh indikator indeks kepercayaan masyarakat yang sangat rendah bahkan di bawah angka rata-rata jangka panjang pada indeks tersebut (1990-2011). Indeks kepercayaan konsumen dapat diperlihatkan pada Gambar 2.


(20)

Gambar 2. Indeks kepercayaan konsumen (KSK, September, 2012) Selain tingginya angka pengangguran yang berakibat pada daya beli konsumen, negara-negara maju juga dibelenggu oleh adanya masalah defisit anggaran dan utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB). Perbandingan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.


(21)

Dengan beberapa masalah yang telah diutarakan di atas, terjadi ketidakpastian pada perekonomian global di masa mendatang. Hal tersebut dapat mengakibatkan penularan pada perekonomian domestik yang telah dapat dirasakan imbasnya dalam hal total ekspor Indonesia ke negara-negara di Zona Eropa. Harga komoditas ekspor yang menjadi andalan Indonesia, seperti minyak kelapa sawit, minyak mentah, gas alam, dan batu bara turun drastis di pasaran internasional akibat resesi perekonomian global. Harga komoditas dunia (dalam USD) diperlihatkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Harga komoditas dunia (KSK, Maret, 2012)

Penurunan nilai ekspor Indonesia, menyebabkan perolehan surplus transaksi berjalan lebih rendah dibandingkan dengan surplus transaksi pada semester sebelumnya. Penurunan bisnis secara global tersebut berakar dari pengabaian terhadap prinsip-prinsip GCG di seluruh kehidupan bangsa dan lemahnya corporate governance (tata kelola perusahaan) di banyak perusahaan, khususnya industri perbankan yang ada di Tanah Air. Praktik mengabaikan prinsip-prinsip GCG yang telah terjadi pada masa lampau membuktikan bahwa bad corporate governance (BCG) sungguh nyata dan merupakan penyebab terjadinya krisis ekonomi berkepanjangan di Indonesia. Walaupun sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu Indonesia dilanda krisis,


(22)

beberapa dekade terakhir, bangsa Indonesia memang belum menerapkan GCG secara optimal. Padahal, perekonomian yang kokoh, tangguh, dan sustainable dapat terwujud bila GCG dijalankan dengan baik. Perbandingan pada saat sebelum dan sesudah diterapkannya GCG dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Perbandingan antara NPL dengan CAR pada saat sebelum dan sesudah krisis (KSK, September, 2012)

Implementasi GCG pada industri perbankan selalu menjadi perhatian karena krisis ekonomi yang melanda Indonesia di masa lampau bersumber dari industri perbankan. Hal tersebut didukung oleh data yang ada pada Gambar 6.


(23)

Pada Gambar 6 di atas, sumbangan PDB di Sektor Non Pertambangan dan Pertanian menurun dibandingkan dengan Sektor Pertanian dan Pertambangan. Industri Perbankan sendiri termasuk pada kelompok Sektor Non Pertanian dan Pertambangan.

GCG yang efektif sangat bergantung pada strategi dan metode yang dipilih agar industri perbankan tetap sehat dan beroperasi secara terus-menerus. Hal tersebut harus dilakukan mengingat peluang perbankan masih sangat tinggi dan penetrasi pasar yang masih sangat rendah. Mengacu pada survei Bank Dunia di tahun 2009, sekitar 32% dari masyarakat Indonesia atau 76 juta penduduk masih dalam kondisi financially excluded, yaitu belum tersentuh jasa yang paling dasar dari sektor keuangan, seperti bank, pasar modal, asuransi, dana pensiun, dan lembaga-lembaga keuangan lain. Selain itu, sebanyak 60-70% Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) juga belum memiliki akses terhadap perbankan. Padahal, hampir 53 juta masyarakat miskin bekerja di sektor UMKM.

Kondisi ekonomi yang kondusif sepanjang tahun 2011 juga merupakan bonus bagi industri perbankan di Tanah Air. Pertumbuhan ekonomi yang kabarnya mencapai level tertinggi pasca krisis 1998, menghembuskan angin segar bagi perkembangan bisnis perbankan. Hal ini terlihat dari kinerja sebagian besar bank yang tumbuh positif sepanjang tahun lalu. Ada yang asetnya naik pesat, labanya tumbuh signifikan, kreditnya mengalir deras, dan ada pula yang menghimpun dana pihak ketiganya naik pesat. Selain itu, penurunan suku bunga dana ternyata memberi kontribusi yang besar pula terhadap pendapatan bunga. Karena, selisih penurunan suku bunga dana dengan kredit berlangsung lebih lama (Infobank, 2012, Juni). Pertumbuhan DPK dapat dilihat pada Gambar 7.


(24)

Para stakeholders memercayai kepengurusan perusahaan kepada para manajer sehingga manajer sebagai pengelola lebih mengetahui informasi yang ada di dalam perusahaan. Walaupun demikian, manajer tetap berkewajiban untuk memberikan informasi apapun kepada stakeholders. Akan tetapi, informasi yang diutarakan tidak sesuai dengan kondisi perusahaan yang sebenarnya.

Perbankan memiliki regulasi yang sangat ketat, misalnya capital adequacy ratio (CAR) dan giro wajib minimum (GWM) yang harus memenuhi standar yang diperlukan. Bank Indonesia menggunakan laporan keuangan tersebut sebagai dasar penentuan status suatu bank, apakah bank tersebut merupakan bank yang sehat atau tidak. Oleh karena itu, manajer mempunyai insentif untuk melakukan manajemen laba agar perusahaan mereka dapat memenuhi kriteria yang disyaratkan oleh Bank Indonesia (BI). Jika laporan keuangan direkayasa oleh manajemen, akan mengakibatkan distorsi dalam alokasi dana dan hilangnya transparansi dalam melakukan transaksi. Kedua hal ini akan berdampak langsung pada hilangnya kepercayaan masyarakat yang merupakan pemakai transaksi keuangan tersebut kepada pihak bank. Industri perbankan merupakan industri kepercayaan. Jika investor kurang percaya terhadap laporan keuangannya yang bias karena tindakan manajemen laba, mereka akan melakukan penarikan uang secara besar-besaran (rush). Akibatnya, industri perbankan akan collapse dan berdampak serius bagi struktur ekonomi suatu negara (Adrian dan Restuti, 2011).

Manajemen melakukan upaya-upaya rekayasa dengan menggunakan teknik-teknik tertentu agar tampilan laporan keuangannya terlihat lebih baik, labanya lebih tinggi, atau labanya lebih rendah. Ada banyak cara bagi manajer untuk melakukan judgment pada laporan keuangan. Sebagai contoh, judgment dalam memerkirakan kejadian ekonomi di masa depan, semacam umur ekonomis (masa pemanfaatan) dan nilai kerusakan (penyusutan) aset yang berumur panjang. Contoh lainnya adalah masa pemanfaatan sumber daya alam, seperti tambang, sumur minyak, kewajiban manfaat pensiun,


(25)

tunjangan untuk karyawan, pajak tangguhan, kerugian piutang macet, serta perbaikan aset.

Praktik penyelewengan yang dilakukan terhadap laporan keuangan ini telah menjadi perhatian banyak pihak, sehingga telah banyak juga yang mengadakan penelitian tentang manajemen laba. Di antaranya adalah Sefiana (2010) memasukkan beberapa variabel yang terkait dengan GCG, seperti proporsi komisaris independen, ukuran dewan komisaris dan keberadaan komite audit. Hasil yang didapat dari penelitian tersebut adalah ketiga variabel tersebut tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Sedangkan Adrian dan Restuti (2011) menganalisis apakah komposisi dewan komisaris, ukuran dewan komisaris, keberadaan komite audit, dan ukuran perusahaan berpengaruh terhadap manajemen laba atau tidak. Hasil yang didapat dari penelitian tersebut juga mendukung penelitian yang telah dilakukan oleh Sefiana (2010) bahwa komposisi dewan komisaris, ukuran dewan komisaris, serta keberadaan komite audit tidak berpengaruh terhadap manajemen laba tetapi ukuran perusahaan berpengaruh terhadap manajemen laba.

Oleh karena itu, implementasi GCG di semua tingkatan karyawan pada suatu perusahaan sudah sangat mendesak untuk segera dilaksanakan karena terkait erat dengan kepercayaan para pemakai laporan keuangan. Perlu suatu tata cara untuk meminimalkan manajemen laba (upaya rekayasa terhadap laporan keuangan) yang dilakukan oleh perusahaan perbankan dengan menerapkan praktik corporate governance.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk meneliti dan menganalisis skripsi ini dengan judul ”Analisis Pengaruh Good Corporate Governance terhadap Praktik Manajemen Laba pada Industri Perbankan Indonesia Tahun 2007-2011”.

1.2Perumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, dibatasi masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana pengaruh komite audit sebagai indikator dari good corporate governance terhadap manajemen laba?


(26)

b. Bagaimana pengaruh ukuran dewan komisaris sebagai indikator dari good corporate governance terhadap manajemen laba?

c. Bagaimana pengaruh status kepemilikan dan keterbukaan sebagai indikator dari good corporate governance terhadap manajemen laba?

d. Bagaimana pengaruh komposisi dewan komisaris sebagai indikator dari good corporate governance terhadap manajemen laba?

e. Bagaimana pengaruh ukuran perusahaan sebagai indikator dari good corporate governance terhadap manajemen laba?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah penelitian di atas, tujuan penelitian ini adalah:

a. Menganalisis pengaruh komite audit sebagai indikator dari good corporate governance terhadap manajemen laba.

b. Menganalisis pengaruh ukuran dewan komisaris sebagai indikator dari good corporate governance terhadap manajemen laba.

c. Menganalisis pengaruh status kepemilikan dan keterbukaan sebagai indikator dari good corporate governance terhadap manajemen laba.

d. Menganalisis pengaruh komposisi dewan komisaris sebagai indikator dari good corporate governance terhadap manajemen laba.

e. Menganalisis pengaruh ukuran perusahaan sebagai indikator dari good corporate governance terhadap manajemen laba.

1.4Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dengan adanya penyusunan penelitian ini adalah:

a. Bagi Akademik

Diharapkan dapat memberikan tambahan literatur penelitian dan membantu dalam perkembangan Ilmu Akuntansi dan Manajemen dengan tema good corporate governance, khususnya di industri perbankan.

b. Bagi Peneliti


(27)

governance terhadap manajemen laba pada perusahaan, khususnya industri perbankan di Indonesia.

c. Bagi Perusahaan

Diharapkan dapat lebih menerapkan good corporate governance dan mengurangi tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis hanya mengkaji tentang good corporate governance dan praktik manajemen laba. Di dalamnya, dibahas tentang keterkaitan antara CG dengan komite audit (KA), ukuran dewan komisaris (UDK), status kepemilikan dan keterbukaan (SKK), komposisi dewan komisaris (KDK), serta ukuran perusahaan (UP) sebagai variabel independen (bebas). Sedangkan manajemen laba (ML) sebagai variabel dependen (terikat). Perusahaan yang dikaji adalah Perbankan Indonesia. Data yang diambil terbatas hanya pada lima (5) periode, yaitu periode 2007 hingga 2011.


(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelembagaan Perbankan

Kelembagaan perbankan yang dijelaskan dalam subbab ini mencakup pengertian bank, fungsi bank, dan jenis bank.

2.1.1 Pengertian Bank

UU No. 10 Tahun 1998 pada Bab I tentang Perbankan menyatakan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Sebagai badan usaha, bank akan selalu berusaha mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari usaha yang dijalankannya. Sebaliknya sebagai lembaga keuangan, bank mempunyai kewajiban pokok untuk menjaga kestabilan nilai uang, mendorong kegiatan ekonomi, dan perluasan kesempatan kerja (Tangkilisan, 2003).

Perubahan istilah lembaga keuangan menjadi badan usaha dimaksudkan agar para pelaku bank lebih profesional dalam mengelola dana dari/ke masyarakat (Supramono, 1995 dalam Tangkilisan, 2003).

2.1.2 Fungsi Bank

UU No. 10 Tahun 1998 pada Bab II tentang Perbankan (website Bank Indonesia) menyebutkan fungsi dan tujuan perbankan Indonesia, yaitu: a. Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan

penyalur dana masyarakat.

b. Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.

Pengertian kedua pasal tersebut jika dihubungkan dengan Penjelasan Umum Undang-undang Perbankan yang Diubah adalah bahwa perbankan


(29)

nasional kita mempunyai ciri khas tersendiri jika dibandingkan dengan perbankan umumnya yang merupakan karakter perbankan nasional kita. Dengan demikian, perbankan nasional kita mempunyai fungsi dan tujuan dalam kehidupan ekonomi nasional bangsa Indonesia (Tangkilisan, 2003), yaitu:

a. Bank berfungsi sebagai financial intermediary. Kegiatan usaha pokoknya adalah menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, pemindahan dana masyarakat dan unit surplus kepada unit defisit, serta pemindahan uang dan penabung kepada peminjam.

b. Penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat tersebut bertujuan menunjang sebagian tugas penyelenggaraan negara, yaitu:

1) Menunjang pembangunan nasional dan daerah, bukan melaksanakan misi pembangunan suatu golongan apalagi perseorangan. Jadi, perbankan Indonesia diarahkan untuk menjadi agen pembangunan (agent of development).

2) Dalam rangka mewujudkan trilogi pembangunan nasional yaitu:

a) Meningkatkan pemerataan kesejahteraan rakyat banyak, bukan hanya kesejahteraan segolongan orang atau perseorangan saja tetapi juga seluruh rakyat Indonesia, tanpa kecuali.

b) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, bukan hanya pertumbuhan ekonomi segolongan orang atau perseorangan saja tetapi juga pertumbuhan ekonomi seluruh rakyat Indonesia, termasuk pertumbuhan ekonomi yang diserasikan.

c) Meningkatkan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

d) Meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat banyak. Artinya, tujuan yang hendak dicapai oleh perbankan nasional adalah meningkatkan pemerataan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia, bukan segolongan orang atau perseorangan saja. c. Dalam menjalankan fungsi tersebut, perbankan Indonesia harus

mampu melindungi secara baik apa yang dititipkan masyarakat kepadanya dengan menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential banking), yaitu:


(30)

1) Efisien, sehat, dan wajar dalam persaingan yang sehat dan semakin mengglobal (mendunia).

2) Menyalurkan dana masyarakat tersebut ke bidang-bidang yang produktif, bukan konsumtif.

d. Peningkatan perlindungan dana masyarakat yang dipercayakan pada bank. Selain melalui penerapan prinsip kehati-hatian, diperlukan juga pemenuhan ketentuan persyaratan kesehatan bank serta mencegah terjadinya praktik-praktik yang merugikan kepentingan masyarakat luas. Dengan demikian, fungsi perbankan kita tidak hanya sekedar sebagai wadah penghimpun dan penyalur dana masyarakat, perantara penabung, serta investor, tetapi juga fungsinya akan diarahkan kepada peningkatan taraf hidup rakyat banyak agar masyarakat menjadi lebih baik dan sejahtera daripada sebelumnya. Oleh karena itu, dalam menjalankan fungsinya, perbankan Indonesia seyogianya selalu mengacu pada tujuan perbankan Indonesia tersebut.

2.1.3 Jenis Bank

Dengan Undang-undang Perbankan yang Diubah, kelembagaan bank ditata dalam struktur yang lebih sederhana menjadi dua jenis bank saja (Tangkilisan, 2003), yaitu:

a. Bank Umum

Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dengan sendirinya, bank umum adalah bank pencipta uang giral.

b. Bank Perkreditan Rakyat

Bank perkreditan rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dengan sendirinya, Bank Perkreditan Rakyat adalah bukan bank pencipta uang giral karena Bank Perkreditan Rakyat tidak ikut memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.


(31)

2.2 Manajemen Laba

Manajemen laba yang dijelaskan dalam subbab ini mencakup pengertian manajemen laba, strategi manajemen laba, prinsip akuntansi berterima umum (PABU) dan manajemen laba, motivasi melakukan manajemen laba, dan mekanisme manajemen laba.

2.2.1 Pengertian Manajemen Laba

Untuk berpikir secara umum tentang bagaimana manajemen laba didefinisikan, pertimbangkan definisi-definisi berikut ini seperti yang dikutip oleh Lasdi (2006):

a. Schipper (1989, p. 92): “... intervensi dari manajemen dalam proses pelaporan keuangan eksternal, dengan maksud untuk memeroleh beberapa keuntungan privat (sebagai lawan dari hanya sekedar memfasilitasi proses operasi yang netral) ....”

b. Healy dan Wahlen (1999, p. 6): “Manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan judgment-nya dalam pelaporan keuangan dan transaksi dengan mengubah laporan keuangan untuk menyesatkan beberapa stakeholders tentang kinerja ekonomi perusahaan dan memengaruhi hasil kontraktual yang tergantung pada angka-angka akuntansi yang dilaporkan.”

c. Scott (2000, p. 351): “Manajemen laba adalah pilihan manajer terhadap kebijakan akuntansi untuk mencapai beberapa tujuan yang spesifik.” Selain ketiga definisi di atas tentang manajemen laba, laba itu sendiri didefinisikan oleh Siregar dan Utama (2008) bahwa “Earnings (EARN) is defined as net income before extraordinary items and cash flows from operation (CFO) is net cash flows from operating activities reported in the Statement of Cash Flows.”

Sesuai dengan kutipan di atas, bahwa laba adalah pendapatan bersih sebelum pos luar biasa sedangkan operasi arus kas adalah arus kas bersih dari aktivitas operasi yang dilaporkan dalam Laporan Arus Kas.


(32)

2.2.2 Strategi Manajemen Laba

Terdapat tiga jenis strategi manajemen laba (Subramanyam dan Wild, 2010), yaitu:

a. Meningkatkan Laba

Salah satu strategi manajemen laba adalah meningkatkan laba yang dilaporkan pada periode terkini untuk membuat perusahaan dipandang lebih baik.

b. Big Bath

Strategi big bath dilakukan melalui penghapusan (write-off) sebanyak mungkin pada suatu periode. Atau, manajer melakukan “mandi besar” (big bath) melalui pengurangan laba pada periode ini.

c. Perataan Laba

Perataan laba merupakan bentuk umum dari manajemen laba. Manajer mengurangi fluktuasi laba dengan perataan laba (income smoothing). Perataan laba juga mencakup tidak melaporkan bagian laba pada periode tertentu, tidak hanya dengan menciptakan cadangan dan “bank” laba tetapi juga melaporkan laba ini pada periode buruk. Banyak perusahaan menggunakan bentuk manajemen laba ini.

2.2.3 Prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU) dan Manajemen Laba

Literatur profesional (praktisi dan regulator) tidak memberikan definisi yang jelas tentang manajemen laba meskipun mereka telah membuat pernyataan tentang bentuk ekstrim dari manajemen laba, yaitu financial fraud (Lasdi, 2006).

Manajemen laba berbeda dengan financial fraud. Keduanya secara konseptual berbeda, yaitu financial fraud dilakukan melaui kecurangan praktik akuntansi dengan maksud untuk menipu. Di lain pihak, manajemen laba dilakukan atas keinginan manajemen melalui judgment dan estimasi yang masih di dalam aturan Prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU). Tetapi, manajemen laba tampaknya sulit untuk dibedakan dari pelaksanaan kebijakan akuntansi yang sesuai aturan PABU tanpa ada keinginan manajemen di dalamnya.


(33)

Isu penting dari definisi manajemen laba adalah bagaimana mengukur manajemen laba dengan adanya PABU yang meminta manajemen untuk membuat judgment dan estimasi. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan meminta manajemen untuk memberikan dokumentasi yang jelas dan rinci tentang bagaimana mereka membuat estimasi dan judgment (Lasdi, 2006).

Dengan adanya isu definisi ini, sulit untuk mengidentifikasi secara sistematis manajemen laba dalam sampel yang besar. Demikian pula dalam praktiknya, manajemen laba sering kali disamakan dengan kecurangan. Sehingga, hal ini menjadikan sulit bagi praktisi untuk mengidentifikasi manajer dan perusahaan yang melakukan manajemen laba melalui perataan laba.

Healy dan Wahlen (1999) dalam Lasdi (2006) menyatakan bahwa kesulitan untuk mengidentifikasi tersebut diakibatkan karena masalah pengukuran manajemen laba.

Manajemen laba itu buruk karena akan mengakibatkan reliabilitas menurun. Manajemen laba itu baik karena sebagai alat untuk mengomunikasikan informasi berlebih yang didapat oleh manajemen (Rahmawati, 2012).

2.2.4 Motivasi Melakukan Manajemen Laba

Banyak alasan untuk melakukan manajemen laba. Alasan tersebut di antaranya (Subramanyam dan Wild, 2010), yaitu:

a. Insentif Perjanjian

Banyak perjanjian yang menggunakan angka akuntansi. Misalnya, perjanjian kompensasi manajer biasanya mencakup bonus berdasarkan laba. Perjanjian bonus biasanya memiliki batas atas dan bawah, artinya manajer tidak mendapatkan bonus saat laba lebih rendah dari batas bawah dan tidak mendapatkan bonus tambahan saat laba lebih tinggi dari batas atas.

b. Dampak Harga Saham


(34)

menaikkan harga saham perusahaan sementara sepanjang satu kejadian tertentu. Seperti, merger yang akan dilakukan, penawaran surat berharga, rencana untuk menjual saham, atau melaksanakan opsi.

c. Insentif Lain

Laba sering kali diturunkan untuk menghindari biaya politik dan penelitian yang dilakukan oleh badan pemerintah. Misalnya, untuk ketaatan undang-undang anti monopoli.

2.2.5 Mekanisme Manajemen Laba

Bahasan berikut menjelaskan mekanisme manajemen laba. Mekanisme tersebut seperti tercantum dalam Subramanyam dan Wild (2010), yaitu:

a. Pemindahan Laba

Pemindahan laba merupakan manajemen laba dengan memindahkan laba dari satu periode ke periode lainnya. Pemindahan laba dapat dilakukan dengan mempercepat atau menunda pengakuan pendapatan atau beban.

b. Manajemen Laba Melalui Klasifikasi

Laba juga dapat ditentukan secara khusus dengan mengklasifikasikan beban (dan pendapatan) pada bagian tertentu di laporan laba rugi.

2.3 Modified Jones Model

Akrual, secara teknis, merupakan perbedaan antara kas dan laba. Akrual juga merupakan komponen utama pembentuk laba dan disusun berdasarkan taksiran tertentu (Rahayu, 2009). Dasar akrual merupakan dasar yang dipilih untuk penyusunan laporan akuntansi keuangan dan dipandang lebih rasional dibandingkan dengan dasar kas. Selain itu, dasar akrual juga lebih mampu menunjukkan dan menggambarkan keadaan perusahaan yang sebenarnya di saat hak dan kewajiban perusahaan dapat diketahui melalui laporan keuangan perusahaan tersebut. Namun, dasar akrual juga memberi kelonggaran pada manajemen untuk memilih metode akuntansi yang dapat memengaruhi angka akuntansi tersebut. Peluang ini sering digunakan oleh


(35)

manajer ketika mereka menghendaki insentif tertentu bagi dirinya (Andayani, 2010 dalam Nuraini, 2012). Misalnya, biaya depresiasi. Untuk mengetahui besarnya biaya ini, kita harus mengetahui cost, umur manfaat (estimasi), dan metode depresiasi yang digunakan. Nilai cost memang sudah tetap (fixed) dan tidak dapat diubah. Namun, umur manfaat dan metode depresiasi dapat diubah sesuai dengan kebijakan, pertimbangan, atau discretion manajemen. Kata discretion tersebut melandasi terbentuknya istilah akrual diskresioner. Ini terjadi karena jumlah akrual diskresioner berasal dari diskresi (discretion), pilihan, atau pertimbangan manajer untuk sekedar mengikuti atau diturunkan dari kondisi ekonomi perusahaan (Rahayu, 2009).

Secara umum, akrual yang merupakan produk akuntansi dapat dianggap memiliki jumlah yang relatif tetap dari tahun ke tahun. Hal ini dikarenakan aturan akuntansi tersebut juga tidak mengalami perubahan. Perubahan akrual yang terjadi dapat dianggap sebagai hal yang tidak normal (abnormal) dan merupakan hasil penggunaan kebijakan (discretion) manajemen yang berlebihan. Bila pada saat yang bersamaan manajemen juga memiliki insentif atau motif untuk memanipulasi laba, perubahaan akrual yang terjadi dianggap sebagai bentuk manipulasi laba yang dilakukan oleh manajemen. Namun demikian, tidak semua perubahan akrual berasal dari diskresi manajemen. Ada juga perubahan akrual yang berasal dari perubahan kondisi ekonomi perusahaan itu sendiri. Misalnya, perubahan penjualan akan berpengaruh pada jumlah akrual terkait. Ini berarti, usaha untuk menguji manipulasi laba melalui akrual perlu memertimbangkan perubahan kondisi ekonomi perusahaan yang dapat memengaruhi akrual ketika mengestimasi akrual diskresioner (Rahayu, 2009).

Sedangkan akrual total digunakan untuk satu atau dua akun tertentu saja. Ini dilakukan dengan harapan bahwa akrual total akan mampu menangkap porsi yang lebih besar terhadap manipulasi yang dilakukan oleh manajer daripada porsi yang ditangkap bila hanya menggunakan satu akun saja (Rahayu, 2009). Tujuan utama dari akuntansi akrual adalah melindungi investor dalam menaksir kinerja ekonomi perusahaan selama satu periode melalui penggunaan prinsip akuntansi dasar, seperti pengakuan pendapatan


(36)

dan penandingan. Dengan dasar akrual ini, transaksi dan peristiwa akuntansi diakui bukan pada saat kas diterima namun pada saat terjadinya transaksi yang kemudian diakui pada periode bersangkutan (Nuraini, 2012).

Manajemen laba diproksikan melalui discretionary accrual (Dechow, et al., 1995 dalam Nuraini, 2012) dan discretionary revenue (Stubben, 2010 dalam Nuraini, 2012). Model accrual (akrual) merupakan model yang paling umum digunakan untuk mendeteksi manajemen laba dan telah dilakukan banyak penelitian mengenai manajemen laba yang diproksikan dengan discretionary accrual. Terdapat dua konsep akrual, yaitu discretionary

accrual dan non discretionary accrual. Discretionary accrual merupakan

akrual yang ditentukan oleh manajemen, karena manajemen dapat memilih kebijakan metode dan estimasi akuntansi. Inilah kelemahan dasar akrual yang menimbulkan peluang bagi manajer untuk mengimplementasikan strategi manajemen laba. Discretionary accrual adalah strategi yang lebih sulit untuk dideteksi, sehingga memerlukan investigasi data dan analisis yang lebih rinci (Achmad, et al., 2007 dalam Nuraini, 2012). Model Jones kemudian juga mendefinisikan discretionary accrual sebagai bagian dari akrual yang terjadi atau dilaporkan pada periode tertentu di luar bagian akrual yang umum terjadi (konstan), karena perubahan pendapatan atau penjualan (koefisien perubahan pendapatan) dan PPE (koefisien PPE) (Rahayu, 2009). Discretionary accrual (tingkat akrual yang abnormal) ini merupakan tingkat akrual hasil rekayasa laba yang dilakukan oleh manajer (Saputro dan Setiawati, 2004). Sedangkan non discretionary accrual merupakan akrual yang ditentukan atas kondisi ekonomi serta berupa pengakuan laba yang wajar dan tunduk pada suatu standar atau prinsip akuntansi yang berlaku umum. Bila melanggar non discretionary accrual (tingkat akrual yang wajar) akan memengaruhi kualitas laporan keuangan menjadi tidak wajar. Perilaku non discretionary accrual ini lebih mudah untuk dideteksi, sedangkan discretionary accrual lebih sulit untuk dideteksi (Djakman, 2003). Bentuk akrual yang di analisis dalam penelitian ini adalah discretionary accrual yang merupakan akrual tidak normal dan merupakan pilihan kebijakan manajemen dalam pemilihan metode akuntansi (Nuraini, 2012).


(37)

Ada beberapa metode untuk mendeteksi manajemen laba. Salah satunya, yaitu Model Jones. Jones (1991) merupakan model awal untuk membantu mengidentifikasi perusahaan yang melakukan manajemen (manipulasi) laba. Kemudian, model ini populer sebagai Model Jones. Model ini berfokus pada akrual total sebagai sumber manipulasi (Rahayu, 2009). Tujuan Model Jones adalah memisahkan discretionary accrual dan non discretionary accrual. Model Jones (1991) mengajukan model yang menolak asumsi bahwa non discretionary accrual adalah konstan. Model ini mencoba mengontrol pengaruh perubahan keadaan ekonomi perusahaan pada non dicretionary accrual. Model ini memiliki kelemahan yaitu asumsi implisitnya adalah pendapatan yang bersifat non diskresioner. Hal ini berarti, pendapatan dalam Model Jones tidak boleh dalam keadaan dimanipulasi oleh manajemen. Bila ternyata manajemen juga memanipulasi pendapatan, misalnya melalui pengakuan pendapatan yang dipercepat atau diperlambat, maka akrual diskresioner (eror atau residual dari persamaan) akan cenderung bias ke nilai 0 (nol) (Jones, 1991 dalam Rahayu, 2012).

Kemudian, Dechow, et al., (1995) mencoba memodifikasi kelemahan Model Jones yang tidak mampu menangkap dampak dari manipulasi berbasis pendapatan tersebut, karena perubahan dalam pendapatan diasumsikan dapat menimbulkan non discretionary accrual (Peasnell dan Young, 1999 dalam Nuraini, 2012). Modifikasi model tersebut dinamakan Model Modifikasi Jones atau Modified Jones Model. Model tersebut mengestimasi tingkat akrual yang diharapkan (non discretionary accrual) sebagai fungsi perbedaan antara perubahan pendapatan, piutang dagang, serta aktiva tetap. Selain itu, model ini digunakan untuk memisahkan antara discretionary accrual dengan non discretionary accrual (Djakman, 2003). Model ini, secara implisit, mengasumsikan bahwa semua perubahan dalam penjualan kredit pada periode kejadian merupakan hasil manipulasi laba. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa lebih mudah memanipulasi laba dengan mengubah pengakuan pendapatan dari penjualan kredit daripada penjualan kas (Rahayu, 2009). Dalam penelitian ini, Modified Jones Model (1995) dipilih karena penelitian Dechow, et al. membuktikan bahwa model ini lebih mampu mendeteksi


(38)

tingkat manajemen laba dibandingkan dengan model estimasi yang lain, seperti Model Healy (1985), Model DeAnglo (1986), Model Jones (1991), dan Model Industri (Saputro dan Setiawati, 2004). Dari hasil pengujian perbandingan kekuatan antara Model Jones (1991) dengan Modified Jones

Model (1995), diperoleh bukti bahwa Modified Jones Model, secara

signifikan, lebih baik dalam mendeteksi manajemen laba berbasis pendapatan (Peasnell dan Young, 1999 dalam Nuraini, 2012).

2.4 Good Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan yang Baik)

Good corporate governance (tata kelola perusahaan yang baik) yang dijelaskan dalam subbab ini mencakup definisi, tujuan, manfaat, teori, partisipan, prinsip good corporate governance (GCG), dan peranan good corporate governance (GCG) dalam bisnis perbankan.

2.4.1 Definisi Good Corporate Governance (GCG)

Frasa corporate governance terdiri atas dua kata, yaitu corporate dan

governance. Kata corporate merupakan kata sifat (adjective) yang

bermakna berbagai sifat yang berkaitan dengan korporasi atau perusahaan. Sedangkan kata governance merupakan kata benda (noun) yang bermakna pengelolaan. Di Indonesia, sebagian literatur menerjemahkan corporate governace sebagai tata kelola dan yang lainnya sebagai tata pamong (Warsono dkk., 2009).

Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) dalam Warsono dkk., (2009) mendefinisikan bahwa CG sebagai perangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemangku kepentingan, pengurus, pihak kreditor, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya.

CG sebagai sistem yang terdiri atas fungsi-fungsi yang dijalankan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk memaksimalkan penciptaan nilai perusahaan, baik sebagai entitas ekonomi maupun sosial, melalui penerapan prinsip-prinsip dasar yang berterima umum (Warsono dkk., 2009).


(39)

Development) yang dikutip oleh Sutojo dan Aldridge (2008), CG adalah sistem yang dipergunakan untuk mengarahkan dan mengendalikan kegiatan bisnis perusahaan. CG mengatur pembagian tugas, hak, dan kewajiban mereka yang berkepentingan terhadap kehidupan perusahaan, termasuk para pemegang saham, dewan pengurus, para manajer, dan semua anggota stakeholders (pemegang saham).

Menurut ASX (Australian Stock Exchange) yang dikutip oleh Sutojo dan Aldridge (2008), CG sebagai sistem yang dipergunakan untuk mengarahkan dan mengelola kegiatan perusahaan.

Definisi CG juga diutarakan oleh dua orang pakar manajemen, Jill dan Aris Solomoan, yang dikutip oleh Sutojo dan Aldridge (2008). Dalam buku mereka, Corporate Governance and Accountability, kedua pakar manajemen tersebut mendefinisikan corporate governance sebagai sistem yang mengatur hubungan antara perusahaan (diwakili oleh board of directors) dengan pemegang saham.

Good corporate governance adalah sistem dan struktur untuk mengelola perusahaan dengan tujuan meningkatkan nilai pemegang saham (stakeholder’s value) serta mengalokasi berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan (stakeholders), seperti kreditor, supplier, asosiasi usaha, konsumen, pekerja, pemerintah, dan masyarakat luas (Tangkilisan, 2003). 2.4.2 Tujuan Good Corporate Governance (GCG)

Good corporate governance mempunyai lima macam tujuan utama (Sutojo dan Aldridge, 2008), yaitu:

a. Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham.

b. Melindungi hak dan kepentingan para anggota stakeholders yang bukan pemegang saham.

c. Meningkatkan nilai perusahaan dan para pemegang saham.

d. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja dewan pengurus (board of directors) dan manajemen perusahaan.

e. Meningkatkan mutu hubungan board of directors dengan manajemen senior perusahaan.


(40)

2.4.3 ManfaatGood Corporate Governance (GCG)

Manfaat good corporate governance mencakup hal-hal sebagai berikut (Sutojo dan Aldridge, 2008):

a. Mencegah praktik pengungkapan laporan keuangan perusahaan kepada pemegang saham, investor, dan pihak lain yang berkepentingan secara tidak transparan.

b. Dapat melakukan bimbingan kepada manajemen perusahaan mereka secaralebih efektif.

c. Mengarahkan dan mengendalikan kegiatan bisnis perusahaan sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh pemiliknya.

2.4.4 TeoriGood Corporate Governance (GCG)

Sejumlah teori berusaha untuk menjelaskan dan menganalisis tentang CG. Masing-masing teori ini menjelaskan CG berdasarkan pada perspektif berbeda yang timbul dari disiplin ilmu yang berbeda-beda pula. Teori CG adalah sebagai berikut:

a. Teori Keagenan (Agency Theory)

Jensen dan Meckling (1976) dalam Warsono dkk. (2009) menyebutkan bahwa manajer dalam suatu perusahaan disebut sebagai agen dan pemegang saham disebut sebagai principal. Pemegang saham yang merupakan principal mendelegasikan pengambilan keputusan bisnis kepada manajer yang merupakan perwakilan atau agen dari pemegang saham. Permasalahan yang muncul sebagai akibat dari sistem kepemilikan perusahaan seperti ini adalah agen tidak selalu membuat keputusan-keputusan yang bertujuan untuk memenuhi kepentingan terbaik prinsipal.

Salah satu asumsi utama dari teori keagenan adalah tujuan prinsipal dan agen yang berbeda yang dapat memunculkan konflik karena manajer perusahaan cenderung untuk mengejar tujuan pribadinya sendiri. Manajer cenderung untuk menunjukkan egoisme (perilaku yang mengarahkan mereka untuk memaksimalkan kepentingan diri mereka sendiri). Hal ini dapat mengakibatkan kecenderungan manajer untuk


(41)

memfokuskan pada proyek dan investasi perusahaan yang menghasilkan laba yang tinggi dalam jangka pendek daripada memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham melalui investasi di proyek-proyek yang menguntungkan dalam jangka panjang.

b. Teori Biaya Transaksi (Transaction Cost Theory)

Teori ini berusaha memandang perusahaan bukan hanya sebagai suatu unit ekonomi dalam suatu dunia pasar sempurna dan keseimbangan tetapi juga sebagai suatu organisasi yang terdiri atas orang-orang dengan pandangan dan tujuan yang berbeda-beda.

Teori biaya transaksi didasarkan pada kenyataan bahwa perusahaan telah menjadi sedemikian besar. Sehingga, mereka memanfaatkan pasar dalam menentukan alokasi sumber daya. Perusahaan-perusahaan menjadi sangat besar dan kompleks sehingga pergerakan harga di luar perusahaan menentukan produksi dan pasar mengoordinasikan transaksi-transaksi (Warsono dkk., 2009).

c. Teori Pemangku kepentingan (Stakeholders Theory) Dasar dari teori pemangku kepentingan adalah perusahaan telah

menjadi sangat besar dan menyebabkan masyarakat menjadi sangat pervasive (mudah menyebar), sehingga perusahaan perlu melaksanakan akuntabilitasnya, tidak hanya terhadap berbagai sektor masyarakat tetapi juga kepada pemegang sahamnya.

Istilah pemangku kepentingan (stakeholders) merujuk kepada pihak-pihak atau kelompok-kelompok yang memengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan, kebijakan, dan operasi suatu organisasi. Misalnya, pemegang saham, karyawan, pemasok, pelanggan, kreditor, komunitas lokal, masyarakat umum, dan lingkungan sosial.

Hal ini berarti bahwa, tidak hanya pemangku kepentingan yang dipengaruhi oleh perusahaan tetapi juga memengaruhi perusahaan (Warsono dkk., 2009).

2.4.5 PartisipanGood Corporate Governance (GCG)


(42)

CG bergantung pada apa yang dilaksanakan oleh partisipan dan bagaimana partisipan berupaya untuk menjalankan fungsi tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip CG yang dianut.

Di satu sisi, partisipan, baik sebagai individu maupun unit organisasi, menjadikan perusahaan dapat berkembang secara dinamis. Karena, para partisipan yang berada di perusahaan memiliki gagasan inovatif dan dedikasi yang tinggi untuk menjalankan gagasan tersebut. Terdapat lima jenis partisipan CG (Warsono dkk., 2009), meliputi:

a. Board of Directors (BOD)

BOD merupakan organ perusahaan yang fungsi utamanya adalah memberi perhatian secara bertanggung jawab atas pengelolaan perusahaan dalam rangka mencapai maksud tujuan perusahaan. BOD bertugas mengelola dan mewakili perusahaan di bawah pengarahan dan pengawasan BOC.

b. Chief Executive Officer (CEO)

Tugas utama CEO adalah menjalankan perusahaan sebaik mungkin dan mengamankan aset perusahaan.

c. Board of Commissioners (BOC)

Terdapat dua model yang lazimnya diterapkan oleh perusahaan berkaitan dengan pembentukan boards (dewan), yaitu one tier system yang lazim disebut sebagai Model Anglo Saxon dan two tier system yang lazim berlaku di kontinental Eropa. BOC terutama bertanggung jawab untuk mengawasi tugas-tugas manajemen.

One tier system dianut pada perusahaan yang hanya mempunyai satu BOD. Pada umumnya, merupakan kombinasi antara manajer atau pengurus senior (direktur eksekutif) dan direktur independen yang bekerja dengan prinsip paruh waktu (non direktur eksekutif). Negara-negara dengan one tier system adalah Amerika Serikat dan Inggris.

Two tiers system adalah sistem pada perusahaan yang mempunyai dua badan terpisah, yaitu BOD dan BOC. BOC terutama bertanggung jawab untuk mengawasi tugas-tugas manajemen. BOC tidak boleh


(43)

melibatkan diri dalam tugas-tugas manajemen dan tidak boleh mewakili perusahaan dalam transaksi-transaksi dengan pihak ketiga. Anggota BOC diangkat dan diganti dalam RUPS. Negara-negara dengan two tiers system adalah Denmark, Jerman, Belanda, Jepang, dan Indonesia.

d. Auditor

Auditor (pemeriksa) merupakan partisipan yang berperan

mengevaluasi, memeriksa, menginvestigasi, dan memberikan keyakinan (assurance) terhadap penerapan GCG.

e. Stakeholders

Terdapat banyak kelompok stakeholders (pemangku kepentingan), baik yang memengaruhi perusahaan maupun yang dipengaruhi oleh perusahaan, yaitu:

1) Pemegang Saham

Menurut Pedoman Umum GCG KNKG (2006) dalam Warsono, dkk. (2009), pemegang saham merupakan pemilik modal perusahaan yang memiliki hak dan tanggung jawab atas perusahaan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

2) Karyawan

Karyawan merupakan aset perusahaan yang sangat penting. Karyawan bertugas melaksanakan operasi perusahaan dengan tujuan utama yaitu memenuhi kepentingan pelanggan.

3) Pelanggan

Pelanggan ditempatkan pada posisi teratas hirarki pemangku kepentingan, karena pelanggan memiliki peran penting dalam kelangsungan dan keberlanjutan perusahaan.

4) Komunitas atau Masyarakat Sosial

Undang-undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 pada Bab V tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan mengatur kewajiban perusahaan untuk memrogramkan dan melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan atau lebih dikenal dengan corporate social responsibility (CSR).


(44)

5) Kreditor

Kreditor sangat diperlukan untuk memeroleh modal. Perusahaan akan dengan mudah memeroleh pinjaman dengan jumlah tertentu dari kreditor apabila dapat menunjukkan laporan keuangan dan kinerja yang baik serta memerlihatkan good corporate governance perusahaan tersebut.

6) Pemerintah

Peran pemerintah sangat penting, terutama pada regulasi peraturan dan perundang-undangan yang berkaitan dengan CG dan CSR. Pemerintah dan badan regulasi berkepentingan untuk memastikan bahwa perusahaan mengelola keuangan dengan benar dan mematuhi semua peraturan dan undang-undang. Agar, memeroleh kepercayaan pasar dan investor yang meliputi semua pihak yang berkaitan dengan persyaratan pengelolaan keuangan perusahaan, termasuk persyaratan pengelolaan perusahaan terbuka. Misalnya, komunitas bursa efek, Bapepam-LK, dan Departemen Keuangan RI. Setiap lembaga di atas mengeluarkan standar pengelolaan keuangan

perusahaan dan menuntut untuk dipatuhi oleh perusahaan.

2.4.6 PrinsipGood Corporate Governance (GCG)

Prinsip-prinsip ini berperan sebagai kebijakan perusahaan untuk memilih dan menetapkan aktivitas-aktivitas yang harus dilakukan dalam penerapan CG. Di samping itu, dengan berpegangan pada prinsip-prinsip yang baik, berbagai aktivitas dapat bersinergi untuk mencapai tujuan CG. Contohnya, memberikan nilai tambah bagi perusahaan sebagai entitas ekonomi dan sosial.

Prinsip-prinsip yang digunakan oleh lembaga atau undang-undang yang berusaha menegakkan CG (Warsono dkk., 2009), yaitu:

a. Menurut OECD (Organization for Economic Cooperation and Development), yaitu:

1) Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham.

2) Persamaan perlakuan terhadap seluruh pemegang saham, termasuk pemegang saham asing dan minoritas.


(45)

3) Peranan pemangku kepentingan yang terkait dengan perusahaan. 4) Keterbukaan dan transparansi terkait keuangan, kinerja perusahaan,

kepemilikan, dan pengelolaan perusahaan. 5) Akuntabilitas dewan komisaris.

b. Menurut ICGN (International Corporate Governance Network), yaitu: 1) Honesty (Kejujuran)

Menyampaikan kebenaran di setiap waktu tanpa harus memerhatikan konsekuensinya.

2) Resilence (Kekuatan Segera Pulih)

Prinsip ini menuntut perusahaan untuk mengembangkan struktur CG yang mampu bertahan hidup dan segera pulih kembali jika perusahaan mengalami kemunduran ataupun kegagalan.

3) Responsiveness (ketanggapan)

Prinsip ini menuntut perusahaan untuk bereaksi cepat terhadap permintaan dan tuntutan para pemangku kepentingan.

4) Transparency (Transparansi)

Pada dasarnya, prinsip ini menuntut perusahaan menyajikan secara terus terang informasi yang relevan bagi para pemangku kepentingan secara andal dan dalam bahasa yang mudah dipahami. c. Menurut SOA (Sarbanes Oxley Act) 2002, yaitu:

1) Integrity (Integritas)

Prinsip ini merujuk kepada kelengkapan catatan laporan keuangan pada perusahaan.

2) Reliability (Keandalan)

Prinsip ini merujuk kepada penyajian informasi yang akurat pada sebuah perusahaan.

3) Accountability (Akuntabilitas)

Prinsip ini merujuk kepada adanya pihak yang diberi amanah untuk menetapkan pengendalian atas perusahaan dan bertanggung jawab atas kegagalan, jika terjadi.


(46)

d. Menurut KNKG (Komite Nasional Kebijakan Governance), yaitu: 1) Transparansi

Yaitu perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan.

2) Akuntabilitas

Yaitu perusahaan harus dapat memertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar.

3) Responsibilitas

Yaitu perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan, sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapatkan pengakuan sebagai good corporate citizen.

4) Independensi

Yaitu perusahaan harus dikelola secara independen, sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan diintervensi oleh pihak lain.

5) Kewajaran dan Kesetaraan

Yaitu perusahaan harus senantiasa memerhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan pada asas kewajaran dan kesetaraan.

e. Menurut Keputusan Menteri, yaitu: 1) Transparansi

Keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan mengemukakan informasi material serta relevan mengenai perusahaan.

2) Kemandirian

Suatu keadaan saat perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.


(47)

3) Akuntabilitas

Kejelasan fungsi, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban organ perusahaan, sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.

4) Pertanggungjawaban

Kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.

5) Kewajaran (Fairness)

Keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan pada perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

f. Menurut CGCG UGM (Center for Good Corporate Governance Universitas Gadjah Mada), yaitu:

1) Transparency (Transparansi)

Menyampaikan informasi yang material sesuai dengan substansi yang sesungguhnya serta menjadikan informasi tersebut dapat diakses dan dipahami secara mudah oleh pihak-pihak lain yang berkepentingan.

2) Accountability and Responsibility (Pertanggungjelasan dan

Pertanggungjawaban)

Mempertanggungjelaskan amanah yang diterima sesuai dengan hukum, peraturan, standar moral, etika, dan best practices yang berterima umum serta menyiapkan atau mengantisipasi pertanggungjawaban jika pertanggungjelasan yang diajukan ditolak.

3) Responsiveness (Ketanggapan)

Menanggapi, meliputi juga kegiatan antisipatif, permintaan (requests), umpan balik (feedback) dari pihak-pihak yang berkepentingan, serta perubahan-perubahan dunia usaha yang berpengaruh signifikan terhadap perusahaan.

4) Independency (Independensi)


(48)

berpotensi memunculkan konflik kepentingan dan menjelaskan fungsinya sesuai kompetensi yang memadai.

5) Fairness (Keadilan)

Memberlakukan pihak lain secara adil berdasarkan pada ketentuan-ketentuan berterima umum.

g. Menurut literatur, yaitu:

1) Rezaee (2007) menyatakan bahwa pengembangan CG yang efektif seharusnya berdasarkan pada sembilan prinsip berikut ini, yaitu:

a) Value-Adding Philosophy (Filosofi Penambah Nilai)

Memberikan fondasi bagi semua fungsi di perusahaan sebagai nilai positif dan kinerja perusahaan yang berkelanjutan. b) Independence (Independensi)

Meminimalkan atau bahkan menghindari terjadinya konflik kepentingan, baik di antara maupun antar partisipan perusahaan. c) Ethical Conduct (Perilaku Etis)

Mempromosikan perilaku etis kepada semua partisipan di perusahaan.

d) Accountability (Akuntabilitas)

Menumbuhkembangkan semangat semua pihak untuk menjalankan amanah dengan sungguh-sungguh dan bersedia mempertanggungjelaskan segala keputusan, tindakan, dan hasil kinerja yang dihasilkan.

e) Shareholder Democracy (Demokrasi Pemegang Saham)

Mempromosikan demokrasi di rapat pemegang saham dalam pemilihan dewan direksi dengan mengakui dan menghormati hak-hak pemegang saham.

f) Integrity of Financial Reporting (Integritas Pelaporan Keuangan) Menjaga integritas pelaporan keuangan melalui peningkatan

kualitas, keandalan, dan transparansi laporan keuangan. g) Transparency (Transparansi)


(49)

non-keuangan, tersedia dan dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

h) Competence and Integrity (Kompetensi dan Integritas)

Efektifitas CG bergantung pada pihak-pihak yang memiliki integritas dan kompetensi memadai dalam menjalankan fungsi-fungsi CG.

i) Effective System of Checks and Balances (Sistem Cek dan Keseimbangan yang Efektif)

Meyakinkan terjadinya keselarasan kepentingan di antara para partisipan CG.

2) Anand (2008) menyebutkan empat prinsip CG yang seharusnya digunakan sebagai pijakan dalam pengembangan aktivitas-aktivitas penerapan CG, yaitu:

a) Independensi

Independensi tidak hanya berupa pemisahan peran antara ketua pejabat eksekutif dengan ketua dewan direksi tetapi juga komposisi dewan direksi yang harus terdiri atas banyak anggota dewan yang independen.

b) Akuntabilitas

Setiap partisipan CG memegang amanah dan bersedia bertanggung jawab atas kegagalan-kegagalan yang terjadi, jika ada. c) Responsibilitas

Anggota perusahaan seharusnya bertanggung jawab untuk memastikan bahwa keputusan dan tindakan yang diambil adalah berdasarkan pada informasi yang memadai dan lengkap.

d) Reputasi

Perusahaan harus menjalani dan menjaga hubungan baik dengan publik.

2.4.7 Peranan Good Corporate Governance (GCG) dalam Bisnis Perbankan Sejak krisis moneter tahun 1997, dari mulai pembentukan hingga penutupan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) 2004 dan


(50)

perbankan di Indonesia. Penataan itu, terutama, diarahkan pada upaya memperkuat ketahanan dalam mewujudkan stabilitas perbankan guna mengatasi berbagai krisis yang dapat menimpa perbankan. Di samping itu, dengan semakin meluasnya jangkauan kegiatan operasional perbankan pada era globalisasi di berbagai bidang pembangunan ekonomi, diperlukan rambu-rambu dalam pengendaliannya.

Kameyama dkk. (2005) menyebutkan bahwa

“In March 2001, the National Committee of Corporate Governance (the ‘NCCG’) issued the National Code for Good Corporate Governance. The Code consists of 13 chapters, i. e.: shareholders; the board of commissioners; the board of directors; audit system; corporate secretary; stakeholders; disclosure; confidentiality; insider information; business ethics and corruption; donations; compliance with health, safety and environmental protection regulations; and equal employment opportunity. In July 2003, the NCCG has completed the Indonesian Banking Sector Code (hereinafter referred to as “the Banking Code”) as a complement of the National Code for Good Corporate Governance to create a healthy banking system in Indonesia.”

Sesuai dengan kutipan di atas, Kameyama, dkk. menyebutkan dalam jurnalnya bahwa, pada bulan Maret 2001, Komite Nasional Tata Kelola Perusahaan mengeluarkan Kode Nasional Tata Kelola Perusahaan. Kode tersebut terdiri atas tiga belas bagian, yaitu pemegang saham; dewan komisaris; dewan direktur; sistem audit; sekretaris perusahaan; para pemangku kepentingan; pengungkapan; kerahasiaan; informasi terselubung; kecurangan dan etika bisnis; donasi; peraturan kepatuhan terhadap kesehatan, keamanan, dan perlindungan lingkungan; serta kesempatan yang sama pada semua pegawai. Pada Juli 2003, Komite Nasional Tata Kelola Perusahaan telah melengkapi Kode Pada Sektor Perbankan Indonesia (selanjutnya mengacu pada “Kode Perbankan”) sebagai pelengkap Kode Nasional Tata Kelola Perusahaan yang Baik untuk menghasilkan sistem perbankan yang sehat di Indonesia.


(51)

program rekapitalisasi, terutama ditujukan untuk meningkatkan ketahanan permodalan bank. Pada tahun 2003, Bank Indonesia telah pula menerbitkan ketentuan perihal modal minimum yang harus dipenuhi bank umum, termasuk setelah memerhatikan terdapatnya unsur market risk yang dapat berpengaruh pada permodalan tersebut.

Demikian pula, telah diterbitkan regulasi oleh Bank Indonesia dalam rangka pembangunan infrastruktur bagi manajemen yang diperlukan dalam mengendalikan risiko yang dihadapi oleh perbankan di masa depan.

Selanjutnya juga, unsur-unsur lain dalam CAMELS telah pula dibenahi. Hal yang menonjol adalah pembenahan pada segi manajemen perbankan melalui penerapan fit and proper test untuk pengurus dan bahkan pemilik bank. Melalui langkah-langkah ini, kepemilikan bank-bank swasta nasional oleh kelompok-kelompok usaha di sektor riil yang meluas sejak deregulasi perbankan 1988 hingga krisis moneter 1997, secara formal, telah berhasil ditiadakan (Ali, 2006).

Jumlah bank di Indonesia, dari tahun ke tahun, menurun karena

merger ataupun dilikuidasi. Ketika rating Versi Biro Riset Infobank

pertama kali diluncurkan pada 1996, jumlah bank masih 240 buah. Ke depan, jumlah bank diperkirakan masih akan menyusut akibat merger antar bank, baik ketentuan kepemilikan tunggal (single presence policy) atau SPP maupun memperkuat modal. Bahkan akibat aturan baru tentang kepemilikan bank yang akan menggerus kepemilikan, jual beli bank akan marak.

Selama ini, sebuah bank dilikuidasi karena perilaku pemiliknya yang rakus dan menganggap bahwa uang bank adalah uang nenek moyang. Persoalan bukan hanya urusan matematika tetapi juga perilaku pengurus dan karyawan. Oleh karena itu, persoalan governance menjadi hal yang penting dalam pengelolaan perbankan pada masa depan (Infobank, 2012, Juni). 2.5 Penelitian Terdahulu

Adrian dan Restuti (2011) melakukan penelitian dan menguji beberapa variabel terkait. Variabel bebas terdiri atas komposisi dewan komisaris, ukuran dewan komisaris, keberadaan komite audit, dan ukuran perusahaan.


(52)

adalah komposisi dewan komisaris, ukuran dewan komisaris, dan keberadaan komite audit tidak berpengaruh terhadap manajemen laba di perusahaan perbankan. Sedangkan ukuran perusahaan berpengaruh terhadap manajemen laba di perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Wisnumurti (2010) juga melakukan penelitian dan menguji beberapa

variabel terkait. Variabel bebas adalah asimetri informasi (bid-ask spread). Variabel terikat adalah manajemen laba (discretionary accrual). Variabel kontrol adalah ukuran perusahaan (total assets). Sedangkan, good corporate governance (komposisi dewan komisaris independen, ukuran dewan komisaris, dan ukuran komite audit) sebagai variabel pemoderasi. Kesimpulan penelitian ini adalah komposisi dewan komisaris independen dan ukuran dewan komisaris bukan merupakan variabel pemoderasi antara asimetri informasi terhadap tindakan manajemen laba pada perusahaan perbankan pada tahun 2005 hingga 2007. Sedangkan ukuran komite audit merupakan variabel pemoderasi antara asimetri informasi terhadap tindakan manajemen laba pada perusahaan perbankan pada tahun 2005 hingga 2007. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siregar dan Utama

(2008) adalah seperti berikut ini:

“Our study finds that the type of earnings management favored by publicly listed firms on the JSE tends to be efficient contracting. This result is not consistent with public perception that these firms engage in opportunistic earnings management. We also find evidence that earnings management in firms with high family ownership that do not belong to business groups is more efficient than in firms with a different ownership structure. In contrast, we do not find significant evidence that larger firms, firms audited by the 12Big 4, firms with a higher proportion of independent boards, and firms with audit committees engage in efficient earnings management.” Sesuai dengan kutipan di atas, penelitian mereka menemukan bahwa

tipe-tipe manajemen laba yang disukai oleh perusahaan yang terdaftar di JSE cenderung untuk tidak melakukan praktik manajemen laba. Hasil tersebut tidak konsiten dengan persepsi publik bahwa perusahaan-perusahaan tersebut terlibat dalam tindakan manajemen laba. Mereka juga menemukan bukti


(53)

bahwa manajemen laba di perusahaan dengan kepemilikan keluarga yang tinggi yang tidak termasuk ke dalam bisnis grup adalah lebih efisien dilakukan daripada kepemilikan yang tidak satu keluarga. Sebaliknya, mereka tidak menemukan bukti yang cukup signifikan bahwa perusahaan yang lebih besar yang telah diaudit oleh The Big 4 dengan proporsi dewan inependen yang lebih tinggi dan yang telah diaudit, terlibat dalam praktik manajemen laba.


(54)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian

Dalam mendukung kegiatan perekonomian, industri perbankan memegang peranan yang cukup penting dalam menjaga stabilitas perekonomian tersebut di Tanah Air. Ketika industri perbankan dihantam masalah, baik internal maupun eksternal, masalah tersebut mampu mendatangkan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Besarnya pengaruh perbankan tersebut diselaraskan dengan potensi perbankan yang besar dan penetrasi pasar yang rendah. Salah satu penyebab dari adanya kirisis tersebut yaitu kurangnya penerapan GCG dalam sebuah manajemen perbankan. Sebagai lembaga intermediary, perbankan mempunyai beberapa tujuan agar perbankan dapat tumbuh secara sehat, terbebas dari distorsi alokasi dana, transparansi transaksi, dan adanya peningkatan kepercayaan masyarakat. Beberapa tujuan perbankan tersebut dapat tercapai bila faktor-faktor pendukung yang dapat mewujudkan beberapa tujuan perbankan tersebut dapat dipahami dan dilaksanakan dengan baik. Banyak faktor yang dapat diterapkan demi terwujudnya tujuan perbankan tersebut, khususnya faktor-faktor yang memengaruhi Good Corporate Governance (GCG). Good Corporate Governance (GCG) tersebut diidentifikasi dapat mendorong terwujudnya tujuan perbankan karena perusahaan dikelola dengan baik. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah komite audit (KA=X1), ukuran dewan komisaris (UDK=X2), struktur kepemilikan dan keterbukaan (SKK=X3), komposisi dewan komisaris (KDK=X4), serta ukuran perusahaan (UP=X5). Kelima faktor tersebut dianalisis menggunakan regresi linier berganda dan dari kelima faktor tersebut akan dicari faktor apa saja yang berpengaruh dan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Setelah didapat hasilnya, kemudian diberikan implikasi manajerial berkaitan dengan hasil tersebut. Gambaran dari kerangka pemikiran penelitian mengenai pengaruh komite audit (KA), ukuran dewan komisaris (UDK), struktur kepemilikan dan


(55)

keterbukaan (SKK), komposisi dewan komisaris (KDK), serta ukuran perusahaan (UP) terhadap manajemen laba, tersedia pada Gambar 8.

Gambar 8. Kerangka pemikiran Keterangan:

KA (X1) : Komite Audit (X1)

1. Krisis ekonomi bersumber dari industri perbankan. 2. Potensi industri perbankan yang besar.

3. Penetrasi pasar yang rendah.

Kurangnya penerapan GCG di industri perbankan

Tujuan industri perbankan agar: 1. tetap sehat,

2. terbebas dari distorsi alokasi dana, 3. transparansi transaksi, dan

4. peningkatan kepercayaan masyarakat.

Identifikasi faktor-faktor GCG pada industri perbankan

Faktor-faktor yang memengaruhi GCG

KA (X1) UDK (X2) SKK (X3) KDK (X4) UP (X5)

Analisis regresi linier berganda


(1)

 

Lampiran 16. Total piutang dari tahun 2006 hingga 2011


(2)

 

Lampiran 17. Selisih total piutang pada tahun sekarang dengan tahun sebelumnya


(3)

 

Lampiran 18. Perbandingan antara selisih total piutang tahun sekarang dengan total aktiva (aset) pada tahun sebelumnya


(4)

 

Lampiran 19. Total aktiva tetap dari tahun 2006 hingga 2011


(5)

 

Lampiran 20. Perbandingan antara total aktiva tetap pada tahun sekarang dengan total aset pada tahun sebelumnya


(6)

 

Lampiran 21. Hasil lengkap uji autokorelasi dan analisis regresi linier berganda R R Square yang Disesuaikan Standard Eror Statistik Perubahan Durbin-Watson R Square Perubahan R Square F Hitung Derajat Kebebasan 1 Derajat Kebebasan 2 Perubahan Probabilitas F Hitung

0,332 0,110 0,075 0,113 0,110 3,081 5 124 0,012 1,707

Variabel Koefisien Tidak Standard Koefisien Standard

T Hitung Probabilitas

Statistik Korelasi

Beta Standard Eror Beta Toleransi Nilai VIF

Konstanta 0,430 0,243 1,767 0,080

KA 0,113 0,046 0,217 2,448 0,016 0,913 1,095

UDK 0,013 0,009 0,192 1,499 0,136 0,436 2,291

SKK -0,013 0,030 -0,053 -0,416 0,678 0,438 2,281

KDK 0,110 0,041 0,236 2,666 0,009 0,915 1,093

UP -0,017 0,009 -0,265 -1,836 0,069 0,346 2,894


Dokumen yang terkait

PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP MANAJEMEN LABA DI INDUSTRI PERBANKAN INDONESIA

0 5 27

Pengaruh Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba di Industri Perbankan Indonesia

0 12 66

PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP MANAJEMEN LABA DI INDUSTRI PERBANKAN INDONESIA PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP MANAJEMEN LABA DI INDUSTRI PERBANKAN INDONESIA ( STUDI EMPIRIS PADA PERBANKAN YANG LISTING DI BURSA EFEK INDONESIA ).

0 1 17

PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP MANAJEMEN LABA DI INDUSTRI PERBANKAN INDONESIA PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP MANAJEMEN LABA DI INDUSTRI PERBANKAN INDONESIA.

0 1 16

PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP MANAJEMEN LABA PADA INDUSTRI PERBANKAN INDONESIA (Studi Kasus Pada Industri Perbankan yang Terdaftar di BEI Tahun 2004-2007).

0 0 9

PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP MANAJEMEN LABA DI INDUSTRI PERBANKAN INDONESIA Pengaruh Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba Di Industri Perbankan Indonesia.

0 1 15

PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP MANAJEMEN LABA DI INDUSTRI PERBANKAN INDONESIA Pengaruh Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba Di Industri Perbankan Indonesia.

0 2 15

PENGARUH GOOD CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP MANAJEMEN LABA PADA INDUSTRI PERBANKAN YANG TERDAFTAR DI BEI

0 0 19

PENGARUH GOOD CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP MANAJEMEN LABA PADA INDUSTRI PERBANKAN DI INDONESIA - Perbanas Institutional Repository

0 0 19

PENGARUH GOOD CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP MANAJEMEN LABA PADA INDUSTRI PERBANKAN DI INDONESIA - Perbanas Institutional Repository

0 0 19