Ajaran keselamatan Sumbangan katekese bagi warga Kebatinan Pangestu yang beragama Katolik.

37 selalu berhubungan dengan Suksma Sejati agar selalu menerima kekuasaan dan kebijaksanaan. Keseimbangan antara angan-angan dan perasaan menyebabkan jiwa manusia menjadi tenang dan tenteram, pikiran terang, hati menjadi ringan, lega dan bahagia, keinginan tidak timbul bagaikan cendana dimusim hujan. Kenyataan memang tidak mudah menyelaraskan angan-angan, nafsu-nafsu dan perasaan-perasaan. Hal ini disebabkan karena kekurangan kepercayaan kepada Suksma Kawekas melalui suksma sejati dalam hati manusia, juga karena manusia tunduk kepada nafsu duniawinya. Oleh karena itu sebagai keseimbangan, manusia harus melatih diri dengan melaksanakan pedoman Hasta Sila, yang pelaksanaannya melalui Jalan Rahayu, panembah dengan memperhatikan Paliwara. Setiap hari manusia harus sanggup melatih diri, jujur, melihat kekurangan diri apa yang dimaksud dalam Hasta Sila. Juga setiap hari manusia harus rajin menjalankan panembahan yang berati menggiatkan Tri Sila Warnabinarja, 1977: 30. Bagaimana ketiga faktor angan-angan, nafsu, perasaan bekerjasama, nafsu-nafsu adalah salah satu unsur dalam jiwa manusia. Nafsu yang dimaksudkan: lauwamah, amarah, sufiah dan mutmainah. Nafsu-nafsu ini dapat dikatakan sebagai pendorong kekuatan angan-angan dan perasaan. Lebih jelasnya dapat digambarkan sebagai berikut: misal ada keinginan dari sufiah, getaran keinginan itu dihubungkan dengan angan-angan sehingga manusia mempunyai gambaran tertentu tentang apa yang diinginkannya, kemudian getaran apa yang diinginkan sampai pada perasaan, sehingga manusia merasa senang dengan apa yang diinginkannya, selanjutnya getaran rasa senang akan 38 menimbulkan pergolakan dalam angan-angan antara cipta-nalar-pangerti, dari situ timbulah pengertian yang jelas tentang yang diinginkan, pengertian yang jelas itu lalu menggerakkan kembali nafsu keinginan supaya lebih giat mendorongnya, oleh dorongan lebih giat tersebut angan-angan memerintahkan alat-alat pelaksana panca indera untuk mencapai keinginan tersebut. Apa bila keinginan tercapai perasaan akan merasa positif, apa bila tidak akan merasa ngatif. Untuk dapat mengekang dan menundukkan angan-angan manusia harus menyerahkan kesadaran kepada Suksma Sejati. Cara mudah dalam perasaan positif adalah melaksanakan tapa brata dan budi darma tertuju kepada perasaan positif dengan selalu membiasakan diri selalu bergembira dan menjalankan banyak hal untuk keperluan sesama manusia. Lebih- lebih tentang dirinya sendiri, tidak boleh merasa dengan pedih hati, rendah diri, karena hal itu berati kurang percaya terhadap keadilan Tuhan. Perasaan positif adalah syarat mutlak untuk bersatu dengan Suksma Sejati.

c. Bersatu luluh dengan Suksma Sejati dan Suksma Kawekas

Dalam mencapai persatuan luluh manusia harus menyadari bahwa dirinya terbelenggu oleh keduniaan yang menjadi penyekat persatuan luluh. Belenggu tersebut akibat dari aktivitas cipta dan angan-angan yang selalu berubah-ubah sehingga menimbulkan kelekatan pada kebendaan fana menyebabkan timbulnya rasa seneng sedih, marah bingung, kesal, keluh kesah kecewa. Demikian juga kalau nafsu-nafsu kemauan keinginan tidak ditaklukkan akan menimbulkan keterbelengguan oleh kebendaan fana. Oleh karena itu manusia harus bisa 39 membebaskan diri dari belenggu kebendaan dan kefanaan dunia sehingga manusia sampai kepada “pamudaran” yang merupakan kunci untuk dapat bersatu luluh dengan Tuhan melalui suksma sejati. Cara ini dapat dilakukan dengan menjalankan perintah sesuai dengan sifat-sifat dari Tuhan sendiri yaitu dengan melaksanakan “Jalan Rahayu” Warnabinarja, 1977:32.

F. Ajaran Penghayatan Pangestu dalam Kehidupan

Sikap hidup Pangestu bertalian erat dengan pandangannya terhadap dunia material yang dapat disentuh oleh panca indera. Dalam mensikapi hidup ada tiga unsur utama yaitu: distansi, konsentrasi dan representasi. Manusia mengambil distansi jarak terhadap dunia jagad gedhe. Kemudian diadakan konsentrasi terhadap dirinya sendiri, inipun semacam distansi terhadap badannya sendiri jagad cilik. Hasil dari distansi dan konsentrasi adalah representasi. Melepaskan ikatan dunia material dan batin yang dimurnikan, maka orang menjalankan kehidupannya sebagai seorang utusan Tuhan dalam dunia Dejong, 1975: 15.

1. Distansi

Tiga macam sifat manusia yang dapat diambil distansi terhadap dunia yang pertama, rela rila menyerahkan segala miliknya, yang kedua menerima narima dengan riang hati segala sesuatu yang menimpa dirinya, dan yang ketiga hidup dengan sabar dan toleransi sabar. Dalam tiga pengertian inilah terwujud distansi terhadap dunia material yang dapat disentuh oleh panca indera 40 a. Rila Rila merupakan langkah pertama pada jalan hidup yang sempurna. Lambat laun orang harus menyerahkan segala miliknya, kemampuan, dan hasil kerja dengan keiklasan hati. Sesungguhnya yang disebut rila itu adalah keikhlasan hati dengan rasa bahagia dalam hal menyerahkan segala miliknya, hak-haknya dan semua buah pekerjaannya kepada Tuhan, dengan tulus ikhlas, karena mengingat bahwa semuanya itu ada dalam kekuasaan Tuhan maka dari itu harus tiada suatu apapun membekas didalam hati. Orang yang mempunyai watak rela tidak patut mengharapkan buah jerih payahnya, tidak patut bersusah hati dan berkeluh kesah tentang semua penderitaan dan kesengsaraan. Orang yang rela tidak menginginkan sanjungan puji dan kemashuran. Tidak iri hati, serta tidak lekat kepada semua benda yang dapat dirusak, tetapi bukan orang yang melalaikan kewajiban Soenarto, 2014: 12. Barangsiapa yang menyerahkan segala sesuatu kepada Tuhan, akan berdoa juga denga cara lain. Berdoa agar dapat dibebaskan dari duka itu tak ada artinya, manusia harus menyerahkan segala segala keinginannya dan menyerahkan dirinya tanpa keinginan dan kemauan sedikitpun kepada Yang Maha Kuasa. b. Narima Narima artinya merasa puas dengan nasibnya, tidak memberontak, menerima dengan rasa terima kasih. Sikap rila mengarahkan perhatian kepada segala sesuatu yang telah kita capai dengan daya upaya sendiri, sedangkan narima menekankan apa yang ada, menerima segala sesuatu yang masuk dalam hidup 41 kita, baik yang bersifat materi maupun yang bersifat kewajiban yang ditanggung oleh manusia. Dengan demikian manusia harus menerima kenyataan yang terjadi dalam kehidupannya. Sikap narima itu adalah sesuatu harta yang tak habis- habisnya, oleh karena itu barangsiapa yang berhasrat mendapat kekayaan, carilah di dalam sifat narima. Bahagialah orang yang memiliki watak narima itu dalam hidupnya, karena ia unggul terhadap keadaan tidak kekal Soenarto, 2014: 13. Narima berati ketenangan hati dalam menerima segala sesuatu dari dunia luar, harta benda, kedudukan sosial, nasib malang dan untung. Narima tidak menyelamatkan orang dari mara bahaya yang dapat menimpanya melainkan merupakan suatu perisai terhadap penderitaan. Sebab musabab lahiriah hendaklah diterima seperti apa adanya. Narima adalah sikap perbaikan dalam diri manusia, bagaimana menerima menghayati segala yang terjadi dalam kehidupan Dejong, 1975:19. c. Sabar Hanya orang yang menjalankan rila dan narima akan menjadi sabar. Seorang yang dengan rela hati menyerahkan diri dan yang menerima dengan senang hati sudah bersikap sabar. Kesabaran merupakan kelapangan dada yang dapat merangkul segala pertentangan. Kesabaran itu laksana samudra yang tidak bertumpah, tetap sama, sekalipun banyak sungai yang bermuara padanya. Maka kesabaran jangan disamakan dengan semacam kemalasan batin yang hanya menopang dagu secara pasif. Dalam Pangestu kesabaran diartikan sebagai sikap pengekangan diri yang paling tinggi. Barangsiapa sabar, tidak tergoncangkan dan tidak terombang ambingkan oleh apa saja yang dijumpainya. Ia tidak mencerai 42 beraikan dan tidak akan dicerai beraikan. Maka dari itu kesabaran dinamakan pintu surga Soenarto, 2014: 14.

2. Konsentrasi

Cita-cita Pangestu adalah suatu sikap hidup yang positif arahnya. Pangestu ingin memberikan sumbangan bagi pemecahan masalah-masalah di Indonesia. Pangestu mengatasi masalah-masalah material didahului dulu dengan masalah spiritual. Agar seorang memperoleh sikap hidup yang positif, yang membangun maka dia harus memperhatikan memusatkan perhatiannya kepada dasar dan makna kepribadiannya sendiri. Permunian pusat kehidupan ini diperoleh dengan makin memusatkan kepada pribadi dengan jalan tapa dan pamudaran. Dejong, 1975:22. a. Tapa Setiap konsentrasi dapat dikacaukan oleh segala nafsu. Nafsu erat hubungannya dengan fungsi-fungsi jasmani. Nafsu egosentris termasuk nafsu yang terkuat dalam diri manusia. Maka dari itu Pangestu meganjurkan tapa. Lewat tapa kekuatan badan diperlemah, sehingga sikap dan perasaan terhadap sesama diperlemah, orang akan menjadi sadar akan relativitas dirinya. Laku tapa sangat ditekankan karena dapat dilakukan secara individual, namun dengan jalan mengasingkan diri dari masyarakat seperti zaman dulu oleh para pertapa, mengasingkan diri di gunung-gunung dan hutan rimba, menurut Pangestu itu bukan tapa yang sebenarnya. Tapa merupakan suatu jalan untuk melaksanakan tugas ilahi, ialah kesempurnaan hidup. Tapa atau askese dijalankan ditengah- 43 tengah masyaratakat dan sebaiknya tersembunyi bagi sesama. Musuh-musuh yang merintangi niat-niat suci ada ditengah-tengah kehidupan. Musuh -musuh bukanlah fungsi-fungsi hidup yang vital makan, tidur dsb, melainkan nafsu- nafsu yang tak terduga. Kehidupan nafsu itu bagaikan sebuah sungai yang harus dibendung. Tapa mengurangi kenikmatan daging dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, antara lain mengurangi makanan dan minuman. Cara bertapa ini harus disesuaikan dengan keadaan badan, keadaaan iklim dan situasi setempat. Syarat menjalankan tapa ialah tidak boleh mengganggu berjalannya hidup sehari-hari. Dipilih jalan tengah antara keadaan puas dengan keadaan lapar . jangan kebanyakan tidur, namun juga jangan tidur terlalu lama. Dengan demikian tapa asal dipergunakan dengan cara seksama dapat megembalikan seseorang kepada dirinya: kepada pusat hidupnya. b. Pamudaran Keadaaan hidup yang tercapai oleh tapa yang intensif dapat dilukiskan dengan berbagai pengertian. Yang kas ialah rasa kebebasan batin seseorang. Kebebasan batin ini disebut pamudaran. Pamudaran berasal dari kata udar atau wudar, melepaskan pakaian atau menguraikan seutas tali. Pamudaran berati, bahwa seseorang dalam batinnya telah lepas dari dunia indrawi. Ciri kas dari pamudaran adalah bersatunya dengan Tuhan, sesama dan semua ciptaan. Manusia merasakan dirinya berada di dalam setiap makluk, di dalam setiap atom dari angkasa luas. Keadaan pembebasan juga disebut dengan istilah heneng-hening. Keadaan ini berada diatas hidup inderawi dan dapat dicapai dengan mengatur 44 fungsi-fungsi inderawi. Sehingga seseorang dalam menghadapi segala situasi kesukaran hidup sehari-hari, dapat menghadapi dengan tenang.

3. Representasi

Manusia yang telah mengambil jarak terhadap materi permasalahan dunia, bukan berati meninggalkan namun menemukan kekayaan batin dalam menuju persatuan dengan Tuhan. Representasi berarti bahwa semua kewajiban harus dipenuhi dan dijalankan demi membangun keselamatan dunia. Dalam hal ini ada dua hal yang perlu diperhatikan, “Kuwajiban” dan “Memayu Ayuning Bawana” Dejong, 1976: 28.

G. Ajaran akhir zaman

Gambaran untuk jiwa-jiwa yang akan kembali kehadirat Tuhan di gambarkan dengan seorang musafir yang memulai melakukan perjalanan meninggalkan rumahnya. Dan suatu saat akan kembali lagi kerumah asalnya. Namun perjalanan musafir sangatlah banyak godaan, bahkan harus melalui jalan gawat, apabila tidak mendapat karunia Tuhan, mereka akan tersesat. Bagi jiwa- jiwa Pangestu, dunia ini disebut pondoktempat tinggal sementara, sedangkan akhiran disebut sebagai desa, yakni rumah tinggal tetap, tujuan dari sang musafir Sularso, 1987: 98-99. Pangestu mempunyai kepercayaan bahwa jiwa-jiwa yang meninggal akan dihadapkan pada kiamat kecil, kelahiran kembali reinkarnasi dan kiamat besar. Semua tahapan itu tergantung dengan jiwa manusia ketika masih hidup di dunia.